Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Sabtu, 08 Juni 2013

Kerancuan Seputar Berhukum Selain dengan Hukum Allah

Kerancuan Seputar Berhukum Selain dengan Hukum Allah

وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)
Penjelasan mufradat ayat:
الْكَافِرُوْنَ
Asal makna kufur adalah menutupi sesuatu.
Dikatakan petani itu “kafir” karena dia menutupi biji (dengan tanah) dan dinamakan malam dengan “kafir” karena ia menutupi segala sesuatu (dengan kegelapan). Pengertian kufur secara bahasa ini seperti yang terdapat dalam Surat Al-Hadid ayat 20.
Adapun makna secara istilah syar’i adalah bahwa kekafiran itu terbagi menjadi dua:
a. Kufur Akbar yaitu yang menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka.
b. Kufur Ashgar yaitu kekafiran yang menyebabkan pelakunya berhak mendapatkan ancaman tanpa dikekalkan (dalam neraka). (Al-Qaulul Mufid, 103)
Sebab Turunnya AyatAl-Imam Ahmad dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan beliau menyebutkan sebab turunnya ayat ini:
Allah Ta’ala menurunkan ayat ini berkenaan tentang dua kelompok di kalangan Yahudi di masa jahiliyyah, di mana salah satu kelompok telah menguasai yang lainnya sehingga mereka ridha. Mereka berdamai (mengikat perjanjian) dengan ketentuan bahwa bila ada orang dari kelompok yang mulia membunuh (seseorang) dari kelompok yang hina maka (dia) diharuskan membayar diyat sebesar 50 wisq (1 wisq kurang lebih 130 kg ,pen). Sementara bila ada orang dari kelompok yang hina membunuh (seseorang) dari kelompok yang mulia maka diyat-nya sebesar 100 wisq.
Mereka tetap memegangi hukum (perjanjian) ini sampai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tiba di Madinah. Kedua kelompok tersebut merasa hina dengan kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (padahal) beliau belum mengetahui di saat (mereka) melakukan perjanjian damai. (Suatu ketika) ada orang dari kelompok yang hina membunuh seseorang dari kelompok yang mulia.
Maka kelompok yang mulia mengirim utusan kepada kelompok hina agar mereka membayar 100 wisq. Berkata yang hina: “Beginikah cara dua kampung yang agamanya satu? Nasab keturunannya satu? Negerinya satu? Sedangkan diyat sebagian mereka setengah diyat sebagian yang lain?! Sesungguhnya kami hanya memberikan kamu (jumlah diyat tersebut) karena penganiayaan kalian terhadap kami dan kami takut terhadap kalian. Adapun jika Muhammad (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah datang maka kami tidak memberikan ini kepada kalian.”
(Sikap kelompok yang hina ini) hampir menyebabkan berkobar peperangan di antara mereka. Kemudian mereka memutuskan untuk menjadikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (sebagai hakim) di antara mereka.
Kelompok mulia berkata: “Demi Allah, Muhammad tidak akan memberikan kepada kalian dari mereka (kelompok hina) dua kali lipat dari apa yang diberikan mereka dari kalian. Sungguh mereka telah benar, mereka tidaklah memberikan kepada kita (diyat tersebut) melainkan penganiayaan dari kami dan menguasai mereka. Maka hendaklah kalian menyelidiki Muhammad untuk mengecek pendapatnya. Jika dia memberikan kepada kalian apa yang kalian inginkan maka kalian boleh mengangkatnya jadi hakim dan jika dia tidak memberikan kepadamu maka kalian waspada dan jangan kalian jadikan dia sebagai hakim.”
Maka mereka pun menyusupkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beberapa orang dari kalangan munafiqin untuk mengecek pendapat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam datang, Allah mengabarkan Rasul-Nya tentang seluruh perkara mereka dan apa yang mereka kehendaki. Allahpun menurunkan firman-Nya:
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
“Demi Allah, untuk mereka turun ayat ini dan mereka yang dimaksud oleh Allah ‘Azza wa Jalla.” (Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menghasankannya dalam Ash-Shahihah, 6/109-110)
Penafsiran AyatAyat Allah yang mulia ini telah ditafsirkan oleh ahli tafsir dari kalangan shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yaitu Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu anhuma. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas beliau berkata: “Dengannya (perbuatan itu) adalah kekafiran, namun bukan kafir terhadap Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya.”
Dalam riwayat lain beliau berkata:
“Bukan (yang dimaksud) adalah kekufuran yang mereka inginkan. Sesungguhnya (ayat ini) bukan kekufuran yang mengeluarkan dari agama, (namun) kufrun duna kufrin (kekufuran di bawah kekufuran, yaitu tidak mengeluarkan dari Islam).” (Dikeluarkan oleh Al-Hakim dan berkata: sanadnya shahih, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Terdapat jalan lain, silakan lihat dalam Silsilah Ash-Shahihah karangan Al-’Allamah Al-Albani 6/113-114).
Berhukum dengan Hukum Selain AllahTelah menyebar di kalangan sebagian kaum muslimin dan orang-orang yang terkena penyakit kelompok Hamas (semangat tanpa ilmu), suatu fikrah (pemikiran) bahwa setiap yang berhukum dengan selain hukum Allah maka dia kafir dan keluar dari Islam.
Dengan alasan ini mereka berkesimpulan bahwa mayoritas bahkan seluruh pemerintahan di negara-negara Islam adalah pemerintahan kafir. Dengan demikian para pejabatnya pun kafir, orang-orang (dalam hal ini rakyat) yang tidak turut mengkafirkan mereka pun kafir.
Muncullah fitnah yang disebut dengan fitnah at-takfir (fitnah pengkafiran) yang sampai kepada tingkat pengkafiran masyarakat muslim. Kelompok ini yang masyhur sebagai kelompok Khawarij.
Terjerumusnya mereka ke dalam kesesatan ini disebabkan dua hal:
Pertama, sedikitnya ilmu.
Kedua
, mereka tidak memahami kaidah-kaidah syariat yang benar, yang merupakan asas dakwah Islam.
Setiap orang dari kalangan kelompok sesat, yang keluar dari asas tersebut maka dia telah menyelisihi Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman:
وَمَن يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَساَءَتْ مَصِيْرًا
“Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang telah ia kuasai itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
Allah memberikan penekanan yang sangat tegas dengan firman-Nya: “Mengikuti selain jalan kaum mukminin.” Kalimat ini merupakan poin yang sangat penting untuk membedakan antara orang-orang yang betul-betul memiliki komitmen dengan Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu mereka yang senantiasa mengikuti jalan kaum mukminin dari kalangan para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang mengikutinya dangan baik, dengan kelompok yang “mengaku” berpegang di atas Al Qur’an dan As Sunnah padahal mereka menyelisihi jalan kaum mukminin tersebut. Orang-orang demikian mendapat ancaman kesesatan dan siksaan yang pedih.
Ayat ini menjadi pemisah antara golongan yang jujur dengan kelompok sempalan yang menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah hanya sebagai slogan semata. Kandungan ayat tersebut sangat mirip denga apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits perpecahan umat dan yang selamat hanya satu yaitu “Siapa yang berjalan di atas jalanku dan jalan para shahabatku.” (lihat perkataan Al-’Allamah Al-Albani rahimahullah Ta’ala dalam kitab Fitnatut Takfir, hal. 14-18).
Jikalau mereka memperhatikan dengan seksama penafsiran dari Ibnu ‘Abbas rahimahullah yang lalu, akan nampak bagi mereka bahwa sesungguhnya orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tidaklah memiliki makna mutlak kafir yang mengeluarkan seseorang dari Islam. Namun tergantung dari keadaan mereka ketika menjadikannya sebagai hukum selain dari hukum Allah tersebut. Apakah mereka melakukan hal tersebut karena menganggap halal berhukum dengan selain hukum Allah atau disebabkan karena mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka?!
Fatwa Ulama tentang Berhukum dengan selain Hukum AllahAl-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah Ta’ala berkata setelah menjelaskan sebab kesesatan:
“Jika engkau telah mengetahui hal ini, maka tidak boleh membawa ayat-ayat ini kepada sebagian pemerintah kaum muslimin dan para hakim mereka yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah berupa undang-undang buatan manusia. Saya berkata: tidak boleh mengkafirkan mereka dan mengeluarkannya dari agama, jika mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.Walaupun mereka berdosa dengan sebab berhukum dengan selain yang diturunkan Allah. Sebab walaupun mereka seperti Yahudi dari sisi berhukum tersebut, namun mereka menyelisihinya dari sisi yang lain, yaitu keimanan mereka dan pembenaran mereka dengan apa yang diturunkan Allah. Berbeda dengan Yahudi yang kafir, mereka mengingkari (hukum Allah).”
Beliau berkata pula:
“Kekufuran terbagai menjadi dua macam: kufur i’tiqadi dan amali. Adapun i’tiqadi tempatnya di hati, sedangkan amali tempatnya di jasmani. Barangsiapa yang amalannya kufur karena menyelisihi syariat dan sesuai dengan apa yang diyakini dalam hatinya berupa kekafiran, maka itu kufur i’tiqadi yang tidak diampuni Allah dan dikekalkan pelakunya dalam neraka selamanya. Adapun bila perbuatan tersebut menyelisihi yang diyakini dalam hati, maka dia mukmin dengan hukum Rabb-nya. Namun penyelisihannya dalam hal amalan, maka kekafiran adalah amali saja dan bukan kufur i’tiqadi. Dia berada di bawah kehendak Allah, jika Dia menghendaki maka disiksa dan jika Dia menghendaki maka diampuni. (lihat Silsilah Ash-Shahihah karya Al-’Allamah Al-Albani rahimahullah, 6/111-112)
Al-’Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah Ta’ala berkata:
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena meremehkan, atau menganggap hina, atau meyakini bahwa yang lainnya lebih mendatangkan kemaslahatan dan lebih bermanfaat bagi makhluk, atau yang semisalnya, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Di antara mereka adalah orang yang membuat undang-undang untuk manusia yang menyelisihi syariat Islam agar dijadikan sebagai metode yang manusia berjalan di atasnya.
Karena mereka tidaklah meletakkan undang-undang yang menyelisihi syariat Islam tersebut melainkan mereka meyakini bahwa hal tersebut lebih bermaslahat dan bermanfaat bagi makhluk. Karena telah diketahui secara akal yang pasti dan secara fitrah bahwa tidaklah manusia berpaling dari suatu metode menuju metode yang lain yang menyelisihinya, melainkan dia meyakini adanya keutamaan metode yang dia condong kepadanya dan adanya kekurangan pada metode yang dia berpaling darinya.
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah namun dia tidak merendahkan dan meremehkannya, dan tidak meyakini bahwa hukum yang selainnya lebih mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya atau yang semisalnya, maka dia dzalim dan tidak kafir. Dan berbeda tingkatan kedzalimannya, tergantung yang dijadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya.
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah bukan karena merendahkan hukum Allah, tidak pula meremehkan dan tidak meyakini bahwa hukum yang lainnya lebih mendatangkan maslahat dan lebih manfaat bagi makhluknya atau semisalnya, namun dia berhukum dengannya karena adanya nepotisme terhadap yang dihukum, atau karena sogokan, atau yang lainnya dari kepentingan dunia maka dia fasiq dan tidak kafir. Dan berbeda pula tingkatan kefasiqannya, tergantung kepada ada yang dia jadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya.”
Kemudian beliau berkata:
“Masalah ini, yaitu masalah berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, termasuk permasalahan besar yang menimpa para hakim (pemerintah) di jaman ini. Hendaklah seseorang tidak terburu-buru dalam memberi vonis (kafir) kepada mereka dengan apa yang mereka tidak pantas mendapatkannya, sampai jelas baginya kebenaran, karena masalah ini sangatlah berbahaya –kita memohon kepada Allah untuk memperbaiki pemerintahan muslimin dan teman dekat mereka–. Sebagaimana pula wajib atas seseorang yang Allah berikan kepadanya ilmu, untuk menjelaskan kepada mereka supaya ditegakkan kepada mereka hujjah dan keterangan yang jelas, agar seseorang binasa di atas kejelasan dan seseorang selamat di atas kejelasan pula. Jangan dia menganggap rendah dirinya untuk menjelaskan dan jangan pula dia segan kepada seorang pun, karena sesungguhnya kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya dan milik kaum mukminin.” (Lihat Syarah Tsalatsatul Ushul, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 158-159. Lihat pula kitab Fitnatut Takfir, hal. 98-103)
Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
Mereka ditanya:
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah apakah dia muslim atau kafir kufur akbar (yang mengeluarkan dari Islam) dan tidak diterima amalannya?’
Mereka menjawab:
Allah berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al-Maidah: 44)
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْظَالِمُوْنَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dzalim.” (Al-Maidah: 45)
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 47)
Namun apabila dia meyakini halalnya hal tersebut dan meyakini bolehnya maka ini kufur akbar, dzalim akbar dan fasiq akbar yang mengeluarkan dari agama.
Adapun jika dia melakukan itu karena sogokan atau karena maksud lain, dan dia meyakini haramnya hal tersebut, maka dia berdosa, termasuk kufur ashgar, dzalim ashgar, dan fasiq ashgar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Semoga Allah memberi taufiq, dan shalawat serta salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabatnya.
Atas nama:
Ketua: Abdul ‘Aziz bin Baz
Wakil ketua: Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota: Abdullah Ghudayyan
(Lihat Fitnatut Takfir, hal. 104-105)
Wallahul muwaffiq.
Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi



Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif