SEPUTAR ILMU KALAM DAN BAGAIMANA ULAMA SALAF MENYIKAPINYA
Ilmu kalam adalah suatu ilmu yang membahas perkara tauhid dengan metodologi filsafat. Hukum mempelajari ilmu kalam ini haram karena berimplikasi kepada superioritas akal dan kesombongan intelektual. Dengan kata lain akal lebih dikedepankan daripada Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam memahami keberadaan Allah, perbuatan-Nya, nama-nama-Nya serta sifat-sifat-Nya yang Mahasempurna dan tidak serupa dengan-Nya sesuatupun.
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya, bertaqwalah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya Dia Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” [Al-Hujurat: 1]
“Apa yang aku perintahkan kepada kalian tentang suatu perkara, maka tunaikanlah dengan semampu kalian.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang beramal dengan satu amalan yang bukan dari ajaran kami, maka tertolak.” [Muttafaqun ‘alaihi – Al-Bukhari 2697 dan Muslim 3243]
“Barangsiapa yang menafsrikan Al-Qur’an dengan akal pikirannya semata, meskipun hasilnya kebetulan mencocoki kebenaran, maka dia tetap dikatakan salah (berdosa).” [HR. At-Tirmidzi]
“Sungguh seandainya salah seorang itu ditimpa dengan berbagai amalan yang dilarang oleh Allah selain dosa syirik, lebih baik baginya daripada ia mempelajari ilmu kalam.”
[1]
“Celakalah orang-orang yang berdalam-dalam.” (tiga kali)
“Al-Mutanaththu’ adalah orang yang berdalam-dalam dalam sesuatu, membebani diri untuk membahasnya menurut madzhab ahli kalam yang masuk kepada perkara yang tidak penting bagi mereka, membicarakan perkara yang tidak dicapai akal mereka.” [Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud]
[2]
.
Beliau berkata di dalam As-Siyar (11/236):
فلما استشهد قفل باب الفتنة عمر رضي الله عنه، وانكسر الباب، قام رؤوس الشر على الشهيد عثمان حتى ذبح صبرا.
وتفرقت الكلمة وتمت وقعة الجمل، ثم وقعة صفين.
فظهرت الخوارج، وكفرت سادة الصحابة، ثم ظهرت الروافض والنواصب.
وفي آخر زمن الصحابة ظهرت القدرية، ثم ظهرت المعتزلة بالبصرة، والجهمية والمجسمة بخراسان في أثناء عصر التابعين مع ظهور السنة وأهلها إلى بعد المئتين، فظهر المأمون الخليفة – وكان ذكيا متكلما، له نظر في المعقول – فاستجلب كتب الاوائل، وعرب حكمة اليونان، وقام في ذلك وقعد، وخب ووضع، ورفعت الجهمية والمعتزلة رؤوسها، بل والشيعة، فإنه كان كذلك.
وآل به الحال إلى أن حمل الامة على القول بخلق القرآن، وامتحن العلماء، فلم يمهل.
وهلك لعامه، وخلى بعده شرا وبلاء في الدين.
فإن الامة ما زالت على أن القرآن العظيم كلام الله تعالى ووحيه وتنزيله، لا يعرفون غير ذلك، حتى نبغ لهم القول بأنه كلام الله مخلوق مجعول، وأنه إنما يضاف إلى الله تعالى إضافة تشريف، كبيت الله، وناقة الله.
فأنكر ذلك العلماء.
ولم تكن الجمهية يظهرون في دولة المهدي والرشيد والامين فلما ولي المأمون، كان منهم، وأظهر المقالة.
روى أحمد بن إبراهيم الدورقي، عن محمد بن نوح: أن الرشيد، قال: بلغني أن بشر بن غياث المريسي، يقول: القرآن مخلوق، فلله علي إن أظفرني به، لاقتلنه.
قال الدورقي: وكان متواريا أيام الرشيد فلما مات الرشيد، ظهر، ودعا إلى الضلالة.
“Dulu kaum muslimin satu padu, agama mereka tegak di masa kekhalifahan Abu Bakr dan Umar. Namun ketika Umar meninggal secara syahid (karena dibunuh), terbukalah pintu fitnah setelahnya. Bangkitlah para tokoh kejelekan yang memberontak kepada Utsman bin Affan sampai membunuh beliau tanpa perlawanan.
Kemudian terpecah-belah persatuan kaum muslimin, dan terjadi Perang Al-Jamal dan Perang Shiffin. Muncullah Khowarij yang mengkafirkan para tokoh shohabat. Kemudian muncullah Syiah Rofidhoh dan Nashibah.
Pada akhir masa shohabat muncullah Al-Qodariyyah, kemudian muncullah Al-Mu’tazilah di Bashroh, dan Al-Jahmiyyah serta Al-Mujassimah di Khurosan pada pertengahan masa tabiin. Meskipun begitu, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang memegangnya tetap nampak jelas sampai setelah tahun 200-an. Kemudian muncul Kholifah Al-Makmun. Dia dulunya adalah orang yang cerdas dan ahli kalam. Dia mempunyai perhatian dengan masalah logika. Kemudian dia mendatangkan buku-buku orang-orang dulu dan menerjemahkan filsafat manthiq Yunani. Dia semakin tenggelam dan larut dalam hal itu, sehingga Al-Jahmiyyah dan Al-Mu’tazilah menampakkan kepalanya, bahkan syiah juga demikian.
Bahkan keadaannya berubah, sampai Al-Makmun memaksa ummat Islam untuk berpendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Dia juga menguji para ulama dan tidak memberi tenggang.
Kemudian Al-Makmun meninggal pada tahun itu, tetapi dia meninggalkan kepada orang yang setelahnya kejelekan dan musibah dalam perkara agama. Karena dulunya ummat Islam senantiasa di atas prinsip bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, wahyu-Nya dan diturunkan oleh Allah. Mereka tidak mengetahui selain hal itu, hingga Al-Makmun menyebarkan kepada mereka pendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk yang dibuat dan mengatakan bahwa penisbatan Al-Qur’an sebagai kalam (ucapan) Allah itu hanyalah sebagai bentuk pemuliaan makhluk, seperti baitullah (Rumah Allah) dan untanya Allah (unta mukjizat Nabi Sholih ‘alaihis salam). Kemudian para ulama mengingkari hal itu.
Padahal sebelumnya firqoh Al-Jahmiyyah tidak nampak di masa kekuasaan Al-Mahdi, Harun Ar-Rosyid dan Al-Amin. Namun ketika Al-Makmun berkuasa, dia menjadi golongan mereka dan menampakkan pendapat Al-Jahmiyyah.
Bahkan Ahmad bin Ibrohim Ad-Dauroqi meriwayatkan dari Muhammad bin Nuh: bahwa Harun Ar-Rosyid berkata: “Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr bin Ghoyats Al-Marisi (tokoh jahmiyyah) berkata bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Demi Allah, wajib aku jika bisa menangkapnya untuk membunuhnya.”
Ad-Dauroqi berkata: Bisyr Al-Marisi ini sembunyi-sembunyi pada masa kekuasaan Harun Ar-Rosyid, ketika Harun Ar-Rosyid meninggal, dia muncul dan menyerukan kesesatannya.”
[3]
.
Imam Asy-Syafii rohimahulloh berkata:
“Hukumku pada ahlil kalam, mereka dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan ke unta, kemudian diarak berkeliling di kabilah-kabilah dan suku-suku, kemudian diserukan tentang mereka ‘Ini balasan orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menghadap diri kepada Ilmu Kalam’.” [Manaqib Asy-Syafii karya Al-Baihaqi 1/462, cet, Dar At-Turots]
Mereka (para ahli kalam) memang berhak mendapatkan apa yang dikatakan Imam Asy-Syafii dari sisi agar mereka bertaubat kepada Allah dan memperingatkan yang lainnya agar tidak mengikuti mereka. Jika kita melihat kepada mereka dari sisi yang lain: mereka telah dikuasai kebingungan dan dikuasai setan. Sehingga kemudian kita mengasihi mereka dan kita berlemah lembut kepada mereka. Dan kita memuji Allah yang telah menyelamatkan kita dari fitnah/ujian yang ditimpakan Allah kepada mereka.
2. Pandangan dari sisi taqdir: kita menyayangi mereka dan meminta kepada Allah agar mereka diberi al-afiyah (keselamatan) dari kesesatan, dan kita memuji Allah yang telah menyelamatkan kita dari keadaan mereka yang menyimpang.
Sehingga masih tersisa kekawatiran atas orang yang keluar dari jalan Ash-Shiroth Al-Mustaqim dan tidak mengetahui hakekat perkara ilmu kalam.
“Kalau seandainya Allah menemui seorang hamba dengan membawa dosa selain kesyirikan, itu lebih baik daripada menemuinya dengan sesuatu dari ilmu kalam.” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab]
“Imam kita Asy-Syafii telah sangat keras mengharamkan menyibukkan diri dengan ilmu kalam. Beliau sangat tegas dalam mengharamkannya, mengeraskan hukuman bagi orang yang simpati kepadanya, memperjelek perbuatannya, serta menyebutkan besar dosanya. Makanya beliau berkata: ‘Kalau seandainya Allah menemui seorang hamba dengan membawa dosa selain kesyirikan, itu lebih baik daripada menemuinya dengan sesuatu dari ilmu kalam’. Dan ungkapan-ungkapan beliau yang semakna dengan ini sangat banyak dan masyhur.” [Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab]
[4]
.
1. Imam Ahmad berkata:
“Dulu Imam Asy-Syafii jika telah dipastikan di sisinya ada satu khobar (hadits), beliau mengikutinya. Dan sebaik-baik sifat Imam Syafii adalah tidak menginginkan ilmu kalam. Beliau hanya antusias dengan ilmu fiqih.”
“Seseorang menulis surat kepada Imam Asy-Syafii menanyainya tentang berdebat dengan ahli kalam dan duduk-duduk bersama mereka. Imam Syafii berkata: “Yang kami dengar dan kami dapati dari salaf (pendahulu) kami dari para ulama, bahwa mereka membenci ilmu kalam dan berdebat dengan orang-orang menyimpang. Agama itu hanyalah dalam tunduk dan berhenti kepada apa yang ada di Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak melampuinya.”
“Kalau Allah menguji seorang hamba dengan semua dosa selain menyekutukan-Nya, itu lebih baik baginya daripada al-ahwa (bid’ah, ilmu kalam).”
“Kalau seorang mengetahui apa yang ada pada al-ahwa (bid’ah) dari ilmu kalam, sungguh mereka akan lari darinya sebagaimana lari dari singa.”
“Tidak ada seorang pun jatuh dalam ilmu kalam, kemudian dia bisa beruntung.”
Kemudian beliau (Asy-Sayfi’i) balik bertanya: “Sedang dimana engkau?” Al-Muzani menjawab: “Di Masjid Jami di Fusthoth.” Kemudian Imam Ay-Syafii berkata: “Engkau sedang berada di Taron.” Taron adalah satu tempat di Laut Al-Qulzum, dimana hampir tidak ada satu perahu yang selamat di sana. Kemudian Imam Asy-Syafii memberikan satu masalah fiqih kepadanya. Kemudian dia menjawabnya. Kemudian beliau memasukkan kepada Al-Muzani sesuatu yang merusak jawabannya. Kemudian Al-Muzani menjawab dengan selain itu. Kemudian beliau memasukkan sesuatu yang merusak jawabanku. Setiap kali Al-Muzani menjawab, beliau mendatangkan sesuatu yang merusak jawaban itu. Kemudian Imam Asy-Syafii berkata:
“Ini fiqih yang tentangnya ada penjelasan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pendapat-pendapat ahul ilmi, memasukinya seperti ini, maka bagaimana dengan ilmu kalam tentang Allah, yang berdebat tentangnya kafir?”
Kemudian Al-Muzani meninggalkan ilmu kalam dan menghadap kepada ilmu fiqih.
“Kalau seseorang berwasiat dengan kitab-kitabnya kepada orang lain, dan di dalamnya ada kitab-kitab ilmu kalam, maka kitab-kitab ilmu kalam itu tidak termasuk dalam wasiat, karena itu bukanlah ilmu (yang bermanfaat.”
“Perkataan-perkataan filsafat, wajib engkau menempuh jalan salaf, dan hati-hati engkau dari setiap perkara yang baru.”
“Ahli kalam tidak akan beruntung selama-lamanya.”
Beliau berkata dalam riwayat Al-Marrudzi:
“Bukanlah aku termasuk ahli kalam. Aku tidak memandang ilmu kalam sedikitpun melainkan apa yang ada di dalam Al-Qur’an, atau hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shohabatnya rodhiyallahu ‘anhum atau dari tabiin. Adapun yang selain dari itu maka berbicara tentangnya tidak terpuji.” (Diriwayatkan oleh Al-Khollal)
“Hati-hatilah dari duduk-duduk dengan orang yang suka berdebat dan dengan ahli kalam.” (Diriwayatkan Abu Nashr As-Sajzi)
“Tidak sepantasnya untuk berjidal (debat kusir), bertakwalah kepada Allah. Tidak sepantasnya engkau mendudukan dirimu dan engkau terkenal dengan ilmu kalam. Kalau hal ini baik, sungguh kita akan didahului oleh para shohabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah itu. Namun jika datang seseorang meminta bimbingan kepadamu, maka berilah bimbingan.” (Diriwayatkan Abu Nashr As-Sajzi)
“Wajib kamu berpegang dengan sunnah, hadits dan yang memberi manfaat kepadamu. Dan hati-hatilah kamu dari berdebat, jidal, sesungguhnya tidak akan beruntung orang yang menyukai ilmu kalam.”
“Jangan engkau duduk-duduk dengan ahli kalam, dan jangan kamu mengajak bicara kepada seorang pun dari mereka.”
“Aku tidak suka seseorang untuk duduk-duduk dengan mereka dan bergaul dengan mereka, dan beramah-tamah dengan mereka. Setiap orang yang menyukai ilmu kalam, akhir urusannya tidak lain kecuali kepada bid’ah, karena ilmu kalam tidak mengajak kepada kebaikan. Wajib kalian memegang sunnah-sunnah dan fikih yang kalian bisa mendapat manfaat dengannya. Tinggalkan jidal, ucapan ahli bid’ah dan orang yang suka berdebat. Kita telah mendapati para pendahulu, mereka tidak mengenal hal ini dan menjauhi ahli kalam.”
“Jangan engkau bermusyawarah dengan seorang pun dari ahli bid’ah dalam agamamu. Jangan temani dia dalam safar.”
“Orang yang mengambil ilmu kalam tidak akan beruntung. Dan barangsiapa mengambil ilmu kalam, tidak bisa lepas dari menjadi jahmiyah.”
[5]
“Saya tidak menyukai Ilmu Kalam dalam masalah agama, warga negeri ini juga tidak menyukainya, dan melarangnya, seperti membicarakan pendapat Jahm bin Shafwan, masalah qadar dan sebagainya. Mereka tidak menyukai Kalam kecuali di dalam terkandung amal. Adapun Kalam di dalam agama, bagi saya lebih baik diam saja. karena hal-hal di atas. [Jami' Bayan al-'Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 415]
“Seandainya ada orang melakukan dosa besar seluruhnya kecuali menjadi musyrik. kemudian dia melepaskan diri dari bid’ah-bid’ah Ilmu Kalam ini, dia akan masuk surga.” [Al-Hilyah, VI/325]
“Barangsiapa yang mencari agama lewat Ilmu Kalam ia akan menjadi kafir zindiq, siapa yang mencari harta lewat Kimia, ia akan bangkrut, dan siapa yang mencari bahasa-bahasa yang langka dalam Hadits (gharib al-Hadits) ia akan bohong.” [Dzamm Al-Kalam, lembar 173-B]
“Berdebat dalam agama itu aib (cacat).” Beliau juga berkata: “Setiap ada orang datang kepada kita, ia ingin berdebat. Apakah ia bermaksud agar kita ini menolak apa yang telah dibawa oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” [Syaraf ASh-hab Al-Hadits, hal. 5]
“Barangkali kamu murid dari ‘Amir bin ‘Ubaid. Mudah-mudahan Allah melaknat ‘Amr bin ‘Ubaid karena dialah yang membuat bid’ah Ilmu Kalam. Seandainya kalam itu merupakan Ilmu, tentulah para Sahabat dan Tabi’in sudah membicarakannya, sebagaimana mereka juga berbicara masalah hukum (fiqih) dan syari’ah.” [Dzan Al-Kalam, lembar 173-B]
“Hindarilah bid’ah”. Kemudian ada orang yang bertanya, “Apakah bid’ah itu, wahai Abu Abdillah?”. Imam Malik menjawab: “Penganut bid’ah itu adalah orang-orang yang membicarakan masalah nama-nama Allah, sifat-sifat Allah, kalam Allah, ilmu Allah, dan qudrah Allah. Mereka tidak mau bersikap diam (tidak memperdebatkan) hal-hal yang justru para Sahabat dan Tabi’in tidak membicarakannya.” [Ibid, lembar 173]
“Tentang diri saya sendiri, saya sudah mendapatkan kejelasan tentang agama dari Tuhanku. Sementara anda memilih ragu-ragu. Pergilah saja kepada orang-orang yang masih ragu-ragu, dan debatlah dia.” [Al-Hilyah, VI/324]
“Tidak boleh menyebarkan kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang dalam beragama hanya mengikuti selera, bid’ah dan klenik; dan kitab-kitab itu adalah kitab-kitab penganut kalam, seperti kelompok Mu’tazilah dan sebagainya.” [Jami' Bayan al-'Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 416-417]
[6]
.
“Adapun bahaya ilmu kalam manthiq, yaitu akan memberikan kerancuan dan menggoyangkan aqidah, dan menghilangkan penetapan aqidah. Itulah diantara bahaya pada permulaannya. Dan kembalinya dengan dalil diragukan. Dalam hal ini orang berbeda-beda. Ini bahayanya dalam keyakinan yang benar. Dan ilmu kalam mantiq punya bahaya yang lain dalam mengokohkan keyakinan ahli bid’ah pada bid’ah dan mengokohkan keyakinan itu dalam dada-dada mereka, dimana faktor-faktor pendorongnya akan bangkit dan bertambah kuat semangat mereka di atas ilmu kalam. Namun bahaya ini dengan perantaraan fanatik yang muncul dari jidal (debat).”
“Adapun manfaat ilmu kalam, disangka bahwa faedahnya adalah menyingkap dan mengetahui hakekat sebenar-benarnya. Jauh, jauh sekali persangkaan itu. Dalam ilmu kalam tidak ada yang memenuhi tujuan yang mulia ini. Bahkan pengacauan dan penyesatan dalam ilmu kalam itu lebih banyak daripada penyingkapan dan pengenalan hakekat. Ini jika engkau mendengarnya dari seorang muhaddits atau hasyawi. Kadang terbetik di benakmu bahwa manusia adalah musuh selama mereka tidak mengetahui. Dengarkan ini dari orang yang telah mendalami ilmu kalam, kemudian membencinya setelah mengetahui dengan sebenarnya dan sampai dengan susah payah kepada puncak derajat ahli kalam, lalu melewati hal itu menuju ilmu-ilmu yang lain yang sesuai dengan jenis ilmu kalam, kemudian yakin bahwa jalan menuju hakekat ma’rifat (pengenalan) dari sisi ini tertutup. Sungguh, ilmu kalam itu tidak memberi manfaat kepadamu untuk menyingkap, mengenalkan dan memperjelas sebagian perkara. Namun kadang-kadang dalam perkara yang jelas, hampir engkau paham sebelum engkau mendalami ilmu kalam.”
“Siapakah orangnya yang berkata sesuatu tentang ilahiyah, kemudian dianggap pendapatnya?”
وأرواحنا في وحشة من جسومنا … وحاصلُ دنيانا أذَى ووبالُ
ولم نستفد من بحثنا طول عمرنا … سوى أن جمعنا فيه: قيل وقالوا
فكم قد رأينا من رجال ودولةٍ … فبادوا جميعاً مسرعين وزالوا
وكم من جبال قد عَلَت شُرُفاتِها … رجالٌ فزالوا والجبالُ جبالُ
لقد تأمَّلتُ تلك الطرق الكلامية والمناهج الفلسفية، فما رأيتُها تشفي عليلاً، ولا تُروي غليلاً، ورأيتُ أقربَ الطرق طريق القرآن، اقرأ في الإثبات {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى}، {إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ}، واقرأ في النفي {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ}، {وَلا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْماً}، ثم قال: “ومَن جرَّب مثلَ تجربَتِي، عرف مثل معرفتِي”.
“Akhir dari mendahuluan akal adalah belenggu…Dan puncak usaha orang-orang yang tahu adalah kesesatan
فلم أر إلاَّ واضعاً كفَّ حائر … على ذقن أو قارعاً سنَّ نادم
“Demi umurku, sungguh aku telah mendatangi ma’had-ma’had semua…dan aku jalankan kedua mataku antara petunjuk-petunjuk itu
“Wahai para shababat kami, janganlah kalian sibuk dengan ilmu kalam. Kalau aku dulu tahu bahwa ilmu kalam itu akan menyampaikan kepada batas yang telah aku sampai sekarang, tentu aku tidak akan menyibukkan dengannya.”
أو قال: على عقيدة عجائز نيسابور”،
Atau dia berkata: di atas aqidah orang tua-orang tua Naisabur.”
Seperti Abu Hamid Al-Ghozali yang mempunyai i’tiqod menurut jalan para ahli kalam (mutakallimin). Sebagian ulama telah menukilkan perkataannya yang menunjukkan bahwa dia rujuk. Ini sebagaimana yang disebutkan Ibnu Abi Al-Izzi Al-Hanafi pensyarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah ketika membicarakan sekumpulan para ahli kalam dan kebingungan mereka:
“Demikian juga Al-Ghozali rahimahullah, akhir hidupnya berakhir pada sikap diam dan kebingungan dari permasalahan-permasalahan ilmu kalam. Kemudian dia berpaling dari jalan-jalan ilmu kalam itu dan menghadap kepada hadits-hasits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian meninggal dalam keadaan Shahih Al-Bukhari ada di dadanya.”
“Dia bersamaan dengan luasnya cakrawala /wawasan pengetahuan dia dalam ilmu ushul, dia mengatakan: ‘Barangsiapa yang memegang teguh agamanya orang-orang tua, maka dia beruntung.”
“Pegangilah agama anak-anak kecil dalam madrasah dan orang-orang pedusunan. Dan abaikan yang selain itu.” [HR. Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot 5/374 dengan sanad shohih menurut imam Muslim, sebagaimana dikatakan Imam An-Nawawi dalam Tahdzib Al-Asma wal Lughot 2/22]
[7]
.
(Imam Suyuthi & ilmu kalam manthiq)
“Dulu pada awal menuntut ilmu, aku mempelajari sedikit ilmu manthiq, kemudian Allah menaruh kebencian terhadapnya di dalam hatiku dan aku mendengar Ibnush Sholah berfatwa tentang haromnya ilmu kalam, oleh karena itu Allah memberikan ganti untukku dengan ilmu hadits yang merupakan ilmu yang paling utama.”
[8]
Footnote:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar