Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Senin, 25 Februari 2013

ILMU NUJUM (PERBINTANGAN)

Allah-green.svg

BAB 29

ILMU NUJUM (PERBINTANGAN)

Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya
dari Qatadah Radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata:
“Allah menciptakan bintang-bintang ini untuk tiga
hikmah: sebagai hiasan langit, sebagai alat pelempar
syetan, dan sebagai tanda untuk petunjuk (arah dan
sebagainya).
Maka barangsiapa yang berpendapat selain
hal tersebut maka ia telah melakukan kesalahan, dan
menyia-nyiakan nasibnya, serta membebani dirinya
dengan hal yang diluar batas pengetahuannya”.
Sementara tentang mempelajari tata letak peredaran
bulan, Qatadah mengatakan makruh, sedang Ibnu
Uyainah tidak membolehkan, seperti yang diungkapkan
oleh Harb dari mereka berdua. Tetapi Imam Ahmad
memperbolehkan hal tersebut (69).
-----------------------------------------
(69)Maksudnya, mempelajari letak matahari, bulan dan
bintang, untuk mengetahui arah kiblat, waktu shalat dan
semisalnya, maka hal itu diperbolehkan.

Abu Musa Radhiyallahu 'anhu menuturkan: Rasulullah  bersabda:
“Tiga orang yang tidak akan masuk surga: pecandu
khamr (minuman keras), orang yang memutuskan
hubungan kekeluargaan, dan orang yang mempercayai
sihir (70)”. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban dalam kitab
shahihnya).
------------------------------------
(70)Mempercayai sihir yang di antara macamnya adalah ilmu
nujum (astrologi), sebagaimana yang telah dinyatakan
dalam suatu hadits: “barangsiapa yang mempelajari
sebagian dari ilmu nujum, maka sesungguhnya dia telah
mempelajari sebagian dari ilmu sihir…” lihat bab 25.

Kandungan bab ini:

1. Hikmah diciptakannya bintang-bintang.

2. Sanggahan terhadap orang yang mempunyai
anggapan adanya fungsi lain selain tiga tersebut.

3. Adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama
tentang hukum mempelajari ilmu letak peredaran
bulan.

4. Ancaman bagi orang yang mempercayai sihir
(yang di antara jenisnya adalah ilmu
perbintangan), meskipun ia mengetahui akan
kebatilannya.

KITAB TAUHID BAB 29 HAL 159-162

Gif

Jumat, 22 Februari 2013

Cinta Hakiki



CINTA bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah, dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Namun cinta apakah yang paling tinggi dan mulia?
Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk memahami hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar dari hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-anaknya bergelimang dalam dosa. Dengan alasan cinta pula, seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikit pun.
Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan seperti ini, setan tampil mengibarkan benderanya serta menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang dilarang Allah Subhanahu wa-ta'ala   dan Rasul-Nya Muhammad . Allah Subhanahu wa-ta'ala  lberfirman:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)
Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam dalam haditsnya dari sahabat Tsauban mengatakan, “Hampir-hampir orang-orang kafir mengerumuni kalian sebagaimana berkerumunnya di atas sebuah tempayan.” Seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?” Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam berkata, “Bahkan kalian saat itu banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air bah. Dan Allah Subhanahu wa-ta'ala  benar-benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian, dan benar-benar Allah Subhanahu wa-ta'ala  akan campakkan ke dalam hati kalian (penyakit) al-wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah yang dimaksud dengan al-wahn, ya Rasulullah?” Rasulullah n menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud no. 4297, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di t dalam tafsirnya mengatakan, “Allah Subhanahu wa-ta'ala.memberitakan dalam dua ayat ini (Ali ‘Imran: 13—14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan masalah lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat. Allah Subhanahu wa-ta'ala menjelaskan pula perbedaan besar antara dua negeri tersebut. Allah Subhanahu wa-ta'ala  bahwa hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb) dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan pandangan mereka serta menanamkannya di dalam hati-hati mereka. Semuanya berakhir pada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan terbesar dari cita-cita, cinta, dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang sangat cepat.”
Definisi Cinta
Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim  mengatakan, “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas. Bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas. (Berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)
Hakikat Cinta
Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah l, maka ia akan menjadi ibadah. Sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah Subhanahu wa-ta'ala , yaitu kesyirikan.
Cinta Kepada Allah l
Cinta yang dibangun karena Allah  
Subhanahu wa-ta'ala akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim  dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata, ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala, lalu Allah Subhanahu wa-ta'ala menurunkan ayat ujian kepada mereka:
“Katakanlah, ‘Jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian’.” (Ali ‘Imran: 31)
Mereka (sebagian salaf) berkata, “(Firman Allah 
Subhanahu wa-ta'ala) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut, buah serta faedahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala) adalah mengikuti Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam. Faedah dan buahnya adalah kecintaan Allah Subhanahu wa-ta'ala kepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam maka kecintaan Allah Subhanahu wa-ta'ala kepada kalian tidak akan terwujud dan akan hilang.”
Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena Allah Subhanahu wa-ta'ala, tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi-Nya. Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik :“Tiga hal yang jika ketiganya ada pada diri seseorang niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman: hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, hendaklah dia mencintai seseorang serta tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Ibnul Qayyim  mengatakan bahwa di antara sebab-sebab datangnya cinta Allah Subhanahu wa-ta'ala kepada seorang hamba ada sepuluh perkara:
Pertama, membaca Al-Qur’an, menggali dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala  dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.
Ketiga, terus-menerus berzikir dalam setiap keadaan.
Keempat, mengutamakan kecintaan Allah Subhanahu wa-ta'ala atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.
Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa-ta'ala, menyaksikan dan mengetahuinya.
Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah  Subhanahu wa-ta'ala segala nikmat-Nya.

Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah Subhanahu wa-ta'ala.
Kedelapan, berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah Subhanahu wa-ta'ala turun (ke langit dunia).
Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.

Kesepuluh, menjauhkan segala sebab yang akan menghalangi hati dari AllahSubhanahu wa-ta'ala . (Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)
Cinta adalah Ibadah
Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah Subhanahu wa-ta'ala  berfirman:
“Tetapi Allah menjadikan kamu mencintai keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (al-Hujurat: 7)
“Dan orang-orang yang beriman lebih mencintai Allah.” (al-Baqarah: 165)
“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (al-Maidah: 54)
Adapun dalil dari hadits Rasulullah   adalah hadits Anas z yang telah disebut di atas yang dikeluarkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim rahimahumallah, “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”
Macam-Macam Cinta
Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-Yamani  dalam kitab al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hlm. 114) menyatakan bahwa cinta ada empat macam.
Pertama, cinta ibadah.
Yaitu mencintai Allah 
Subhanahu wa-ta'ala dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di atas.
Kedua, cinta syirik.
Yaitu mencintai Allah 
Subhanahu wa-ta'ala dan juga selain-Nya seperti cintanya kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala. Allah Subhanahu wa-ta'ala  berfirman:
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah). Mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (al-Baqarah: 165)
Ketiga, cinta maksiat.
Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah
Subhanahu wa-ta'ala ldan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah Subhanahu wa-ta'ala berfirman:
“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (al-Fajr: 20)
Keempat, cinta tabiat.
Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta, dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah 
Subhanahu wa-ta'ala  berfirman:
“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf q) berkata, ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf: 8)
Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah 
Subhanahu wa-ta'ala sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, berubahlah menjadi cinta maksiat.
Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih mencintai perkara-perkara tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah  Subhanahu wa-ta'ala  bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.
Buah Cinta
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  mengatakan, “Ketahuilah bahwa yang menggerakkan hati menuju Allah Subhanahu wa-ta'ala  ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di menyatakan, “Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya. Bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (al-Qaulus Sadid, hlm. 110)
Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah Subhanahu wa-ta'ala? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci.
Pertama, bila dia mencintai selain Allah Subhanahu wa-ta'ala lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala  maka ini adalah cinta syirik. Hukumnya jelas haram.
Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah Subhanahu wa-ta'ala  menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat. Hukumnya haram.
Ketiga, bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.
Wallahu a’lam.
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah an-Nawawi)


Kamis, 21 Februari 2013

TATHAYYUR


Allah-green.svg

BAB 28

TATHAYYUR

Firman Allah (سبحانه و تعالى‎)  :
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu
adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi mereka tidak
mengetahui.” (QS. Al A’raf: 131).
“Mereka (para Rasul) berkata: “kesialan kalian itu
adalah karena kalian sendiri, apakah jika kamu diberi
peringatan (kamu bernasib sial)? Sebenarnya kamu
adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Yasin: 19).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah 
 bersabda “Tidak ada ‘Adwa, Thiyarah, Hamah, Shafar.” (HR.
Bukhari dan Muslim), dan dalam riwayat Imam Muslim
terdapat tambahan: “dan tidak ada Nau’, serta ghaul.”
(68).
-----------------------------------------------------
(68)Adwa: penularan penyakit. Maksud sabda Nabi di sini
ialah untuk menolak anggapan mereka ketika masih hidup
di zaman jahiliyah, bahwa penyakit berjangkit atau
menular dengan sendirinya, tanpa kehendak dan takdir
Allah (سبحانه و تعالى‎) 

Anggapan inilah yang ditolak oleh Rasulullah  ,
bukan keberadaan penjangkitan atau penularan; sebab,
dalam riwayat lain, setelah hadits ini, disebutkan:
“… dan menjauhlah dari orang yang terkena penyakit
kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa.”
(HR. Bukhari).

Ini menunjukkan bahwa penjangkitan atau penularan
penyakit dengan sendirinya tidak ada, tetapi semuanya atas
kehendak dan takdir Ilahi, namun sebagai insan muslim di
samping iman kepada takdir tersebut haruslah berusaha
melakukan tindakan pencegahan sebelum terjadi penularan
sebagaimana usahanya menjauh dari terkaman singa.
Inilah hakikat iman kepada takdir Ilahi.

Thiyarah: merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk
karena melihat burung, binatang lainnya, atau apa saja.

Hamah: burung hantu. Orang-orang jahiliyah merasa
bernasib sial dengan melihatnya, apabila ada burung hantu
hinggap di atas rumah salah seorang di antara mereka, dia
merasa bahwa burung ini membawa berita kematian
tentang dirinya sendiri, atau salah satu anggota
keluarganya. Dan maksud beliau adalah untuk menolak
anggapan yang tidak benar ini. Bagi seorang muslim,
anggapan seperti ini harus tidak ada, semua adalah dari
Allah dan sudah ditentukan oleh-Nya.

Shafar: bulan kedua dalam tahun hijriyah, yaitu bulan
sesudah Muharram. Orang-orang jahiliyah beranggapan
bahwa bulan ini membawa nasib sial atau tidak
menguntungkan. Yang demikian dinyatakan tidak ada oleh
Rasulullah. Dan termasuk dalam anggapan seperti ini:
merasa bahwa hari rabu mendatangkan sial, dan lain-lain.
Hal ini termasuk jenis thiyarah, dilarang dalam Islam.

Nau’: bintang; arti asalnya adalah: tenggelam atau
terbitnya suatu bintang. Orang-orang jahiliyah
menisbatkan turunnya hujan kepada bintang ini, atau
bintang itu. Maka Islam datang mengikis anggapan seperti
ini, bahwa tidak ada hujan turun karena suatu bintang
tertentu, tetapi semua itu adalah ketentuan dari Allah (سبحانه و تعالى‎) .

Ghaul: hantu, salah satu makhluk jenis jin. Mereka
beranggapan bahwa hantu ini dengan perubahan bentuk
maupun warnanya dapat menyesatkan seseorang dan
mencelakakannya. Sedang maksud sabda Nabi di sini
bukanlah tidak mengakui keberadaan makhluk seperti ini,
tetapi menolak anggapan mereka yang tidak baik tersebut
yang akibatnya takut kepada selain Allah, serta tidak
bertawakkal kepada-Nya, inilah yang ditolak oleh beliau;
untuk itu dalam hadits lain beliau bersabda: “Apabila
hantu beraksi manakut-nakuti kamu, maka serukanlah
adzan.” Artinya: tolaklah kejahatannya itu dengan
berdzikir dan menyebut Allah. Hadits ini diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari
Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah   telah
bersabda:“Tidak ada ‘Adwa dan tidak ada Thiyarah, tetapi
Fa’l menyenangkan diriku”, para sahabat bertanya:
“apakah Fa’l itu? Beliau menjawab: “yaitu kalimah
thayyibah (kata-kata yang baik)”.

Abu Daud meriwayatkan dengan sanad yang shahih,
dari Uqbah bin Amir, ia berkata: “Thiyarah disebut-sebut
dihadapan Rasulullah  , maka beliaupun bersabda:
“Yang paling baik adalah Fa’l, dan Thiyarah
tersebut tidak boleh menggagalkan seorang muslim dari
niatnya, apabila salah seorang di antara kamu melihat
sesuatu yang tidak diinginkannya, maka hendaknya ia
berdo’a: “Ya Allah, tiada yang dapat mendatangkan
kebaikan kecuali Engkau, dan tiada yang dapat menolak
kejahatan kecuali Engkau, dan tidak ada daya serta
kekuatan kecuali atas pertolongan-Mu”.

Abu Daud meriwayatkan hadits yang marfu’ dari
Ibnu Mas’udRadhiyallahu 'anhu , bahwa Rasulullah   bersabda:
“Thiyarah itu perbuatan syirik, thiyarah itu
perbuatan syirik, tidak ada seorangpun dari antara kita
kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini),
hanya saja Allah(سبحانه و تعالى‎)   bisa menghilangkannya dengan
tawakkal kepada-Nya.” (HR.Abu Daud).
Hadits ini diriwayatkan juga oleh At Tirmidzi dan
dinyatakan shahih, dan kalimat terakhir ia jadikan
sebagai ucapannya Ibnu Mas’ud.

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari 
Ibnu UmarRadhiyallahu 'anhu
, bahwa Rasulullah   bersabda:
“Barangsiapa yang mengurungkan hajatnya karena
thiyarah ini, maka ia telah berbuat kemusyrikan”, para
sahabat bertanya: “lalu apa yang bisa menebusnya?
Rasulullah   menjawab:”hendaknya ia berdoa: “ya
Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dari-Mu, dan
tiada kesialan kecuali kesialan dari-Mu, dan tiada
sesembahan kecuali Engkau”.

Dan dalam riwayat yang lain dari Fadhl bin Abbas,
Rasulullah   bersabda:“Sesugguhnya Thiyarah itu adalah yang bisa
menjadikan kamu terus melangkah, atau yang bisa
mengurungkan niat (dari tujuan kamu)”.

Kandungan bab ini:

1. Penjelasan tentang kedua ayat tersebut di atas;
surat Al A’raf 131, dan Yasin 19.

2. Pernyataan bahwa tidak ada ‘Adwa.

3. Pernyataan bahwa tidak ada thiyarah.

4. Pernyataan bahwa tidak ada hamah.

5. Pernyataan bahwa tidak ada Shafar.

6. Al Fa’l tidak termasuk yang dilarang oleh
Rasulullah, bahkan dianjurkan.

7. Penjelasan tentang makna Al Fa’l.

8. Apabila terjadi tathayyur dalam hati seseorang,
tetapi dia tidak menginginkannya, maka hal itu
tidak apa-apa baginya, bahkan Allah (سبحانه و تعالى‎)  akan
menghilangkannya dengan bertawakkal kepada-
Nya.

9. Penjelasan tentang doa yang dibacanya, saat
seseorang menjumpai hal tersebut.

10. Ditegaskan bahwa thiyarah itu termasuk syirik.

11. Penjelasan tentang thiyarah yang tercela dan
terlarang.

KITAB TAUHID BAB 28 HAL 154-159

Jumat, 15 Februari 2013

NUSYRAH

Allah-green.svg

BAB 27

NUSYRAH 

Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu 'anhu , bahwa Rasulullah  
ketika ditanya tentang Nusyrah, 
beliau menjawab:“Hal itu termasuk perbuatan syetan.” (HR.Ahmad
dengan sanad yang baik, dan Abu Daud).

Imam Ahmad ketika ditanya tentang nusyrah,
menjawab: “Ibnu Mas’ud membenci itu semua.”

Diriwayatkan dalam shahih Bukhari, bahwa Qatadah
menuturkan: "Aku bertanya kepada Sa'id bin Musayyab:
“Seseorang yang terkena sihir atau diguna-guna, sehingga
tidak bisa menggauli istrinya, bolehkah ia diobati dengan
menggunakan Nusyrah? Ia menjawab:
“Tidak apa-apa, karena yang mereka inginkan
hanyalah kebaikan untuk menolak madharat, sedang
sesuatu yang bermanfaat itu tidaklah dilarang.”

Diriwayatkan dari Al Hasan Radhiyallahu 'anhu ia berkata: “tidak ada
yang dapat melepaskan pengaruh sihir kecuali tukang
sihir.”

Ibnul qayyim menjelaskan: “Nusyrah adalah
penyembuhan terhadap seseorang yang terkena sihir.

Caranya ada dua macam:

Pertama: dengan menggunakan sihir pula, dan inilah
yang termasuk perbuatan syetan. Dan
pendapat Al Hasan di atas termasuk dalam
kategori ini, karena masing-masing dari
orang yang menyembuhkan dan orang yang
disembuhkan mengadakan pendekatan
kepada syetan dengan apa yang
diinginkannya, sehingga dengan demikian
perbuatan syetan itu gagal memberi pengaruh
terhadap orang yang terkena sihir itu.

Kedua: Penyembuhan dengan menggunakan Ruqyah
dan ayat-ayat yang berisikan minta
perlindungan kepada Allah(سبحانه و تعالى‎) , juga dengan
obat-obatan dan doa-doa yang
diperbolehkan. Cara ini hukumnya boleh.

Kandungan bab ini:

1. Larangan Nusyrah.

2. Perbedaan antara Nusyrah yang dilarang dan yang
diperbolehkan. Dengan demikian menjadi jelas
masalahnya.

Kitab Tauhid bab 27 hal 152-153

Minggu, 10 Februari 2013

DUKUN, TUKANG RAMAL DAN SEJENISNYA

Allah-green.svg

BAB 26

DUKUN, TUKANG RAMAL DAN SEJENISNYA

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab
shahihnya, dari salah seorang istri Nabi  , bahwa
Rasulullah  bersabda:“Barangsiapa yang mendatangi peramal dan
menanyakan kepadanya tentang sesuatu perkara dan dia
mempercayainya, maka shalatnya tidak diterima selama
40 hari.”

Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
bahwa Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang mendatangi seorang dukun, dan
mempercayai apa yang dikatakannya, maka
sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) terhadap wahyu
yang telah diturunkan kepada Muhammad  .” (HR. Abu
Daud).
Dan diriwayatkan oleh empat periwayat (66) dan Al
Hakim dengan menyatakan: “Hadits ini shahih menurut
kriteria Imam Bukhari dan Muslim” dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu 
bahwa Rasulullah   bersabda:
-----------------------------------------------------
(66) Yakni: Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai’ dan Ibnu
Majah.

“Barangsiapa yang mendatangi peramal atau dukun,
lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka
sesungguhnya ia telah kafir terhadap wahyu yang telah
diturunkan kepada Muhammad  ”.
Abu Ya’la pun meriwayatkan hadits mauquf dari
Ibnu Mas’ud seperti yang tersebut di atas, dengan sanad
Jayyid.

Al Bazzar dengan sanad Jayyid meriwayatkan hadits
marfu’ dari Imran bin Hushain, bahwa Rasulullah  
bersabda:“Tidak termasuk golongan kami orang yang meminta
dan melakukan Tathayyur, meramal atau minta diramal,
menyihir atau minta disihirkan, dan barangsiapa yang
mendatangi dukun lalu mempercayai apa yang
diucapkannya, maka sesungguhnya ia telah kafir
terhadap wahyu yang telah diturunkan kepada
Muhammad  .
Hadits ini diriwayatkan pula oleh At Thabrani dalam
Mu’jam Al Ausath dengan sanad hasan dari Ibnu Abbas
tanpa menyebutkan kalimat: “dan barangsiapa
mendatangi …dst”.

Imam Al Baghawi (67) berkata: “Al Arraf (peramal)
adalah orang yang mengaku dirinya mengetahui banyak
hal dengan menggunakan isyarat-isyarat yang
dipergunakan untuk mengetahui barang curian atau
tempat barang yang hilang dan semacamnya. Ada pula
yang mengatakan: "ia adalah Al Kahin (dukun) yaitu:
orang yang bisa memberitahukan tentang hal-hal yang
ghaib yang akan terjadi di masa yang akan datang". Dan
ada pula yang mengatakan: "ia adalah orang yang bisa
memberitahukan tentang apa yang ada di hati seseorang”.
----------------------------------------------
(67)Abu Muhammad Al Husain bin Mas’ud bin Muhammad
Al Farra’, atau Ibn Farra’ Al- Baghawi. Digelar Muhyi
Sunnah. Kitab-kitab yang disusunnya antara lain: syarh as
sunnah, al jami’ baina ash shahihain. Lahir pada tahun
436 H (1044 M), dan meninggal tahun 510 H (1117 M).

Menurut Abu Abbas Ibnu Taimiyah: “Al Arraf adalah
sebutan untuk dukun, ahli nujum, peramal nasib dan
sejenisnya yang mengaku dirinya bisa mengetahui hal-hal
ghaib dengan cara-cara tersebut.”

Ibnu Abbas berkata tentang orang-orang yang
menulis huruf-huruf أبا جاد     sambil mencari rahasia
huruf, dan memperhatikan bintang-bintang: “Aku tidak
tahu apakah orang yang melakukan hal itu akan
memperoleh bagian keuntungan di sisi Allah”.

Kandungan bab ini:

1. Tidak dapat bertemu dalam diri seorang mukmin
antara iman kepada Al Qur’an dengan percaya
kepada tukang ramal, dukun dan sejenisnya.

2. Pernyataan Rasul   bahwa mempercayai ucapan
dukun adalah kufur.

3. Ancaman bagi orang yang minta diramalkan.

4. Ancaman bagi orang yang minta di-tathayyur-kan.

5. Ancaman bagi orang yang minta disihirkan.

6. Ancaman bagi orang yang menulis huruf-huruf
أبا جاد   [untuk mencari pelamat rahasia].

7. Perbedaan antara Kahin dan Arraf, [bahwa
kahin/dukun ialah orang yang memberitahukan
tentang perkara-perkara yang akan terjadi di masa
mendatang yang diperoleh dari syetan penyadap
berita di langit].


KITAB TAUHID BAB 26 HAL 147-150


أبا جاد  
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif