Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Senin, 28 Oktober 2013

HADITS KE-1 , Penjelasan 50 Hadits Inti Ajaran Islam


HADITS PERTAMA (1)

Dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, "Hanyasanya perbuatan-perbuatan itu dengan niat, dan
sesungguhnya setiap orang bergantung dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa
yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-
Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ingin ia perolehnya, atau untuk
wanita yang ingin ia nikahinya, maka hijrahnya kepada apa-apa yang ia berhijrah
kepadanya". Diriwayatkan oleh dua orang Imam ahli hadits; Abu Abdillah Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari, dan Abul Husain Muslim bin
Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi, di dalam kedua kitab Shahih mereka yang
merupakan kitab paling shahih yang pernah ditulis.2

PENJELASAN HADITS
1- Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Ash-haabus Sunan, dan selain mereka.
Dan telah menyendiri periwayatan hadits ini dari Umar; Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi.
Dan menyendiri periwayatannya juga dari Alqamah; Muhammad bin Ibrahim At-Taimi.
Dan menyendiri periwayatannya juga dari Muhammad; Yahya bin Said Al-Anshari.
Kemudian banyak para periwayat hadits ini yang mengambilnya dari Yahya. Maka hadits
ini termasuk hadits-hadits gharib dalam Shahih Al-Bukhari. Dan hadits ini merupakan
pembuka dalam Shahih Al-Bukhari. Demikian juga di akhir Shahih Al-Bukhari, yaitu
hadits Abu Hurairah; "Dua kata yang dicintai Allah…". Maka hadits ini pun termasuk
hadits-hadits gharib dalam Shahih Al-Bukhari.

2- An-Nawawi membuka kitab hadits Arba'in-nya dengan hadits ini. Dan sebagian besar
ulama membuka kitab-kitab mereka juga dengan hadits ini. Di antara mereka Imam Al-
Bukhari, beliau membuka kitab Shahih-nya dengan hadits ini. Abdul Ghani Al-Maqdisi,
beliau membuka kitab Umdatul Ahkam-nya dengan hadits ini. Al-Baghawi, beliau
membuka kedua kitabnya; Mashabihus Sunnah dan Syarhus Sunnah dengan hadits ini. As-
Suyuthi, beliau membuka kitabnya yang bernama Al-Jami'ush Shaghir dengan hadits ini.
An-Nawawi pun memberi judul pasal di permulaan kitabnya yang bernama Al-Majmu'
Syarhul Muhadzdzab (1/35), "Pasal tentang ikhlas dan memurnikan niat (untuk Allah)
dalam segala amalan yang tampak dan yang tersembunyi". Kemudian beliau membawakan
tiga ayat dari Al-Qur'an, kemudian hadits innamal a'maalu bin niyyat. Lalu beliau berkata,
"Ini hadits shahih, disepakati atas keshahihan dan keagungannya. Hadits ini merupakan
salah satu kaidah-kaidah keimanan. Dan merupakan awal penguat keimanan dan
rukunnya. Asy-Syafi'i rahimahullah telah berkata, "Hadits ini masuk ke dalam tujuh puluh
bab dalam fiqih". Beliau berkata pula, "Hadits ini sepertiga ilmu". Demikian pula hal ini
dikatakan oleh para ulama lainnya. Hadits ini pun merupakan adalah satu hadits yang
berporos padanya agama Islam. Dan para ulama berselisih dalam jumlah hadits yang
merupakan poros agama Islam. Di antara mereka ada yang mengatakan tiga buah hadits.
Ada yang mengatakan empat. Ada pula yang mengatakan dua. Dan ada yang mengatakan
satu saja. Dan saya (Imam An-Nawawi) telah mengumpulkan seluruhnya dalam juz
arba'in, mencapai empat puluh hadits, tidak dapat seorang pun yang beragama merasa
cukup dari mengetahui hadits-hadits ini. Karena seluruhnya shahih dan terkumpul padanya
kaidah-kaidah Islam, baik dalam masalah prinsip-prinsip agama, cabang-cabangnya,
zuhud, etika-etika Islam, ajaran akhlak-akhlak yang baik, dan lain-lainnya. Dan saya
memulai dengan hadits ini karena ingin mencontoh para Imam kita dan para pendahulu
salaf kita dari kalangan para ulama radhiallahu 'anhum. Dan kenyataannya pun hadits ini
telah dimulai oleh imam ahli hadits -tanpa diingkari lagi- Abu Abdillah Al-Bukhari dalam
Shahih-nya. Dan sebagian ulama menukilkan bahwa para ulama salaf menyukai dan
menganggap baik untuk memulai kitab-kitab mereka dengan hadits ini. Sebagai peringatan
bagi penuntut ilmu agar meluruskan kembali niatnya hanya untuk mengharap wajah Allah
Ta'ala semata dalam segala perbuatannya yang tampak dan yang tersembunyi. Dan telah
diriwayatkan kepada kami dari Imam Abu Said Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah,
beliau berkata, "Jika aku menulis sebuah kitab, niscaya akan saya jadikan hadits ini pada
permulaan setiap bab. Dan kami pun telah diriwayatkan dari beliau juga, bahwa beliau
berkata, "Barangsiapa ingin menulis sebuah kitab, maka hendaknya ia memulainya dengan
hadits ini. Dan Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin Al-Khaththab
Al-Khaththabi Asy-Syafi'i, seorang Imam rahimahullah, ia berkata dalam kitabnya yang
bernama Al-Ma'alim, "Dahulu, orang-orang pendahulu dari guru-guru kami menyukai
memulai segala sesuatu dengan hadits ini, dan memulainya dalam perkara-perkara agama,
karena semua perkara agama membutuhkan hadits ini".
Ibnu Rajab, dalam Jami'ul 'Ulumi wal Hikam (1/61) berkata, "Para ulama telah sepakat
atas keshahihan dan diterimanya hadits ini. Dan Al-Bukhari pun memulai kitab Shahihnya
dengan hadits ini, dan memposisikannya sebagai khuthbah (muqaddimah)nya. Hal ini
sebagai isyarat dari beliau bahwa setiap amalan (apapun) yang tidak diperuntukkan (dalam
mengamalkannya) karena wajah Allah, maka amalan tersebut bathil, tidak menghasilkan
suatu apapun, baik di dunia maupun di akhirat".
3- Ibnu Rajab berkata, "Hadits ini salah satu hadits yang Islam berporos padanya.
Diriwayatkan dari Asy-Syafi'i bahwa beliau berkata, 'Hadits ini merupakan sepertiga ilmu,
dan masuk ke dalam tujuh puluh bab dalam fiqih'. Dan Imam Ahmad berkata, 'Pokokpokok
Islam terdapat pada tiga hadits; hadits Umar (al-A'malu bin Niyyat), hadits 'Aisyah
(Barangsiapa yang mengada-ada perkara baru dalam urusan kami ini maka ia tertolak),
dan hadits An-Nu'man bin Basyir (Yang halal itu jelas, dan haram itu jelas)'."

Beliau juga berkata (1/71) dalam menjelaskan maksud perkataan Imam Ahmad, "Hal itu,
karena agama ini seluruhnya mengandung pelaksanaan perintah-perintah dan larangan dari
hal-hal yang haram (dilarang) serta (anjuran untuk) tidak melakukan perkara-perkara yang
syubuhat (samar-samar, belum jelas hukumnya). Dan semua ini terkandung dalam hadits
An-Nu'man bin Basyir. Dan hal di atas, tidaklah tepenuhi (syarat-syaratnya) melainkan
dengan dua perkara; pertama, amalan itu zhahirnya harus sesuai dengan sunnah. Dan
inilah yang terkandung dalam hadits 'Aisyah (Barangsiapa yang mengada-ada perkara baru
dalam urusan kami ini maka ia tertolak). Kedua, amalan tersebut secara batin harus
diperuntukkan karena wajah Allah. Inilah yang terkandung dalam hadits Umar (al-A'malu
bin Niyyat)".
Dan Ibnu Rajab pun membawakan penukilan-penukilan (1/61-63) dari sebagian para
ulama tentang hadits-hadits yang berporos padanya agama Islam. Di antara ulama ada
yang mengatakan bahwa hadits-hadits tersebut berjumlah dua hadits. Ada yang
mengatakan empat. Ada pula yang mengatakan lima. Dan hadits-hadits yang beliau
sebutkan dari mereka -selain tiga hadits yang telah disebutkan di atas- adalah hadits;
"Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut
ibunya…", dan hadits "Salah satu kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apaapa
yang tidak bermanfaat baginya", dan hadits "Sesungguhnya Allah itu Mahabaik,
dan Ia tidak menerima kecuali apa-apa yang baik…", dan hadits "Tidak sempurna
keimanan seorang di antara kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya
sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri", dan hadits "Tidak boleh
memadharratkan dan tidak boleh saling membahayakan", dan hadits "Jika aku
memerintahkan sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian!", dan hadits "Berbuat
zuhudlah di dunia ini, niscaya Allah akan mencintaimu. Dan berbuat zuhudlah
terhadap apa-apa yang dimiliki manusia, niscaya mereka mereka akan mencintaimu",
dan hadits "Agama adalah nasihat".

4- Sabdanya, "Hanyasanya perbuatan-perbuatan itu dengan niat".
"Innama" merupakan kata yang berfungsi sebagai pembatas. Adapun "al" dalam kata "ala'maal",
maka para ulama ada yang mengatakan bahwa fungsinya sebagai pengkhusus,
sehingga amalan-amalan yang dimaksud adalah qurbah (ibadah dan pendekatan diri
kepada Allah) saja. Dan ada pula yang mengatakan bahwa ia berfungsi sebagai
pengumum, sehingga amal-amal di sini mencakup segala macam amal dan perbuatan.
Maka segala amalan yang merupakan qurbah (ibadah dan pendekatan diri kepada Allah),
pelakunya akan diberi pahala (oleh Allah). Dan jika amal perbuatan tersebut merupakan
adat istiadat dan kebiasaan semata, seperti makan, minum, dan tidur, maka jika pelakunya
meniatkan hal-hal tersebut sebagai penguat dirinya untuk taat kepada Allah, ia akan diberi
pahala (oleh Allah). Adapun "al" dalam kata "an-niyat" merupakan pengganti dari dhamir
(kata ganti) "ha". Maksudnya; amalan-amalan itu dengan niatnya. Dan sesuatu yang
berkaitan dengan al-jaar wal majruur terbuang dalam kalimat ini, yang taqdir-nya
(perkiraannya) adalah "dianggap sah". Jadi, maknanya; hanyasanya amalan-amalan itu
dianggap sah dengan niatnya. Dan niat artinya secara bahasa adalah maksud (hati). Dan ia
berfungsi sebagai pembeda antara satu ibadah dengan ibadah yang lainnya, dan sebagai
pembeda antara ibadah yang wajib dan yang sunnah, juga pembeda antara ibadah dan adat
kebiasaan, seperti; pembeda antara mandi karena junub dan mandi untuk menyegarkan
dan membersihkan tubuh.

5- Sabdanya "......dan sesungguhnya setiap orang bergantung
dengan apa yang ia niatkan". Berkaitan dengan sabdanya ini, Ibnu Rajab dalam Jami'ul
'Ulumi wal Hikam (1/65) berkata, "Hadits ini merupakan kabar bahwa seseorang tidak
memperoleh sesuatu pun dari amal dan perbuatannya melainkan dengan apa yang ia
niatkan. Jika ia berniat kebaikan, maka ia akan memperoleh kebaikan (pahala). Dan jika ia
berniat buruk, maka ia pun akan memperoleh keburukan (dosa). Dan ini bukan sematamata
pengulangan tanpa maksud dan makna dari kalimat yang pertama. Karena kalimat
yang pertama menunjukkan bahwa baik dan buruknya perbuatan seseorang bergantung
pada niat yang membuatnya melakukan perbuatan tersebut. Sedangkan kalimat yang ke
dua, ia menunjukkan bahwa besar dan kecilnya pahala dan ganjaran yang akan ia peroleh
bergantung dari kadar kualitas niat baik amalan (ibadah)nya tersebut, dan besar dan
kecilnya dosa dan adzab yang akan ia peroleh bergantung dari kadar niat buruk amalan
(maksiat)nya tersebut. Dan jika ia berniat melakukan sesuatu yang mubah (dibolehkan)
dan tidak lebih dari itu, maka hasil amalannya pun mubah saja. Maka ia tidak
mendapatakan pahala ataupun dosa. Dari sini, dapat kita pahami bahwa amalan
(perbuatan) itu, baik, buruk, dan mubah-nya bergantung kepada niat yang mendorongnya
melakukan amalan (perbuatan) tersebut. Demikian pula dengan pahala dan dosanya
bergantung kepada niat yang menjadikan amalannya tersebut baik, rusak atau mubah".

6- Sabdanya "Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia
yang ingin ia perolehnya, atau untuk wanita yang ingin ia nikahinya, maka hijrahnya
kepada apa-apa yang ia berhijrah kepadanya".
Hijrah diambil dari kata hajr yang artinya meninggalkan. Hijrah dapat berupa
meninggalkan negeri yang menakutkan kepada negeri yang aman. Seperti; (yang pernah
terjadi di zaman Rasulullah) berhijrah dari Mekkah ke Habasyah. Dan dapat juga berupa
meninggalkan negeri kafir ke negeri Islam. Seperti; (yang juga pernah terjadi di zaman
Rasulullah) berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Dan kini tiada lagi hijrah ke Madinah
setelah ditaklukannya kota Mekkah (pada tahun ke 8 hijriyah). Adapun berhijrah dari
negeri syirik (kafir) ke negeri Islam terus berlangsung hingga hari kiamat.
Sabdanya "Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya". Di sini, pensyaratan dan balasan berbentuk
sama. Namun pada asalnya berbeda. Maknanya adalah; barangsiapa yang hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya secara niat dan maksud, maka hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya balasan dan pahalanya. Maka dari sini, dapat kita pahami perbedaan antara
keduanya.
Ibnu Rajab berkata (1/72), "Tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan
bahwa amalan-amalan (perbuatan) itu bergantung pada niatnya, dan bahwa balasan pelaku
amalan tersebut bergantung pada baik dan buruk niatnya, dan kedua kalimat ini
merupakan kaidah menyeluruh yang tidak keluar darinya sesuatu pun, maka Nabi pun
menyebutkan contoh dari sekian contoh amal perbuatan yang bentuknya satu, namun
hasilnya dapat berbeda berdasarkan baik dan buruk niatnya. Seolah-olah beliau (Nabi)
berkata bahwa seluruh amal apapun dapat diaplikasikan seperti contoh dalam hadits ini".
Beliau berkata pula (1/73), "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengabari bahwa hijrah ini
berbeda-beda (balasannya) berdasarkan niat dan maksudnya. Maka barangsiapa yang
berhijrah ke negeri Islam karena kecintaannya kepada 
Allah dan Rasul-Nya, dan karena
ingin mempelajari agama Islam dan ingin 
menampakkan agamanya disebabkan ia tidak
dapat menampakkannya di negeri kesyirikan, 
maka orang ini adalah orang yang benarbenar
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan cukuplah ia mendapatkan kemuliaan
dan kedudukan dengan sebab apa yang telah ia niatkan dalam hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya. 
Karena makna inilah nabi mencukupkan jawaban pensyaratannya dengan mengulang lafazhnya saja. 
Karena hasil dari apa yang ia niatkan dengan hijrahnya tersebut
merupakan puncak dari apa yang ia inginkan di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang
dari negeri kesyirikan ke negeri Islam untuk mendapatkan dunia atau untuk menikahi
wanita di negeri Islam tersebut, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia inginkan itu.
Maka orang yang pertama adalah pedagang, dan orang yang kedua adalah pelamar wanita.
Dan kedua-duanya bukanlah muhajir (orang yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya).
Dan dalam sabdanya "…kepada apa-apa yang ia berhijrah kepadanya" terdapat
penghinaan terhadap apa-apa yang ia inginkan dari perkara dunia, dengan sebab beliau
(Nabi) tidak menyebutkan lafazhnya sama sekali. Dan juga, hijrah kepada Allah dan
Rasul-Nya bentuknya adalah satu dan tidak berbilang, oleh karenanya Nabi hanya
mengulangi lafazh pensyaratannya saja. Berbeda dengan hijrah kepada perkara-perkara
dunia, ia banyak dan tidak terbatas (bentuknya). Sehingga manusia mungkin saja berhijrah
untuk memperoleh keinginan dunia yang bersifat mubah, dan bahkan haram. Dan masingmasing
dari tujuan-tujuan hijrah kepada perkara-perkara dunia tidak terbatas jumlahnya.
Oleh karena itu nabi hanya bersabda, "…maka hijrahnya kepada apa-apa yang ia
berhijrah kepadanya", apapun bentuknya".

7- Ibnu Rajab berkata (1/74-75), "Telah dikenal bahwa kisah Muhajir Ummu Qais (orang
yang berhijrah karena ingin menikahi Ummu Qais) merupakan sebab munculnya sabda
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "…barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang
ingin ia perolehnya, atau untuk wanita yang ingin ia nikahinya…". Hal ini banyak
disebutkan oleh para ulama belakangan ini dalam kitab-kitab mereka. Namun, kami tidak
pernah melihat asal-usul hal ini dengan sanad yang shahih, Wallahu A'lam".

8- Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazhkannya adalah bid'ah. Maka tidak boleh
melafazhkan niat pada setiap ibadah apapun, kecuali pada ibadah haji dan umrah, maka
seseorang dibolehkan menyebutkan dalam talbiyahnya apa yang ia niatkan, berupa qiran,
ifrad atau tamattu'. Ia boleh berkata, "Labbaika umratan wa hajjan". Atau "Labbaika
hajjan". Atau "Labbaika umratan". Karena memang hal ini ditunjukkan oleh sunnah
(hadits) dan tidak pada ibadah yang lainnya.

9- Pelajaran dan faidah hadits:

a. Sesungguhnya tidak ada amal (perbuatan) kecuali dengan niat.

b. Sesungguhnya setiap amal (perbuatan) itu dianggap sah dengan niat-niatnya.

c. Sesungguhnya balasan untuk si pelaku amalan (perbuatan) berdasarkan niatnya.

d. Hendaknya seorang alim (ulama) memberikan perumpamaan sebagai penjelasan dan
penerangan.

e. Keutamaan hijrah, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya. Dan
telah terdapat dalam Shahih Muslim (121) dari 'Amr bin Al-'Ash radhiallahu 'anhu,
dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda,

f. Tidakkah engkau mengetahui bahwa Islam menghapuskan apa-apa yang terjadi
sebelumnya? Dan hijrah juga menghapuskan apa-apa yang terjadi sebelumnya?
Dan ibadah haji juga menghapuskan apa-apa yang terjadi sebelumnya?

g. Seseorang itu mendapatkan pahala, atau dosa, atau tidak mendapatkan apapun sesuai
dengan niatnya.

h. Almalan-amalan bergantung pada wasilah yang mengantarkan kepadanya. Mungkin
saja sesuatu itu pada asalnya hukumnya mubah, namun ia dapat berubah menjadai
sebuah ketaatan (ibadah) jika seseorang berniat kebaikan dengannya. Seperti makan
dan minum, jika seseorang meniatkan dengannya sebagai penguat dirinya untuk
beribadah.

i. Sesungguhnya sebuah amalan (perbuatan) dapat menjadi pahala bagi pelakunya, dan
dapat pula menjadi penghalang dari pahala tersebut.


HADITS KE-(1 ) Diterjemahkan oleh Abu Abdillah Arief B. bin Usman Rozali dari kitab Fat-hul Qawiyyil Matin fi Syarhil

Arba'in wa Tatimmatul Khamsin, karya Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-'Abbad Al-Badr -hafizhahullah-,

cetakan Daar Ibnul Qayyim & Daar Ibnu 'Affan, Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1424 H/ 2003 M. Hadits ke-1,

halaman 8 sampai 14.

Rabu, 23 Oktober 2013

DAKWAH SALAFIYAH, ADALAH DAKWAH AHLUS SUNNAH

DAKWAH SALAFIYAH, ADALAH DAKWAH AHLUS SUNNAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Dakwah Salaf bukanlah dakwah yang baru. Tetapi ia adalah dakwah Ahlus Sunnah. Yaitu dakwah haq yang dilakukan para sahabat. Dakwah Salaf mengajak ummat Islam berpegang kepada Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengajak ummat untuk kembali kepada al-Qur`an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shalih.


Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan beberapa istilah dan definisi Salaf, Ahlus Sunnah dan lainnya. Penulis juga akan menjelaskan beberapa prinsip Ahlus Sunnah dalam berdakwah di jalan Allah. Mudah-mudahan upaya penulisan ini bermanfaat. 

DEFINISI SALAF (السَّلَفُ)
Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( اَلسَّلَفُ ) artinya, yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama.[1] Jadi, Salaf artinya ialah para pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.[2] 

Adapun menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini. Mereka adalah para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.

Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa tabi’ut-tabi’in). [3] 

Menurut al Qalsyani: “Salafush-Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini, yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya n dan menegakkan agama-Nya...”[4] 

Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al ‘Aqiidatul-Islamiyyah Bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan al-Qur`an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk, Pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan al-Qur`an dan as-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya (perilaku) menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi, meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi al-Qur`an dan as-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman sahabat, ta-bi’in dan tabi’ut tabi’in".[5] 

Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara yang baru atau bid’ah. Akan tetapi, penisbatan ini adalah syar’i, karena menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah disebut juga as Salafiyyuun, karena mereka mengikuti manhaj Salafush-Shalih dari sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka, serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, maka mereka itu disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. 

Jadi, Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang. Tetapi, Salaf adalah manhaj. Yaitu sistem hidup dalam ber‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya, yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat -rodhiyallahu 'anhum- sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.[6] 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t (wafat th. 728 H) berkata: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf. Bahkan (ia) wajib menerima yang demikian itu, karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran”.[7] 

DEFINISI AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah, mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu anhum .

As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah, jalan atau cara, apakah jalan itu baik atau buruk.[8] 

Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), as-Sunnah adalah petunjuk yang telah ditujukkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Demikian inilah as-Sunnah yang wajib diikuti. Orang yang mengikutinya akan dipuji, dan orang yang menyalahinya akan dicela.[9] 

Pengertian as-Sunnah menurut Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus, berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu, generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah, kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al Bashri (wafat th. 110 H), Imam al Auza’i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H)”.[10] 

Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran. Tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para imam (yang berpegang kepada) al haq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful-Ummah.[11] 

Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah, generasi pertama dari ummat ini. Yaitu kalangan sahabat, tabi’ut tabi’in, serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran. [12] 

Imam Abu Syammah asy-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 665 H) berkata: “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah, berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya; meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyelisihinya banyak. Karena kebenaran itu ialah, apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang diamalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka”.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu :

اَلْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ.

Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran, walaupun engkau sendirian. [13] 

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah, orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam masalah agama.

Karena mereka, orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka itu juga disebut dengan Ahlul-Hadits, Ahlul-Atsar dan Ahlul-Ittiba’. Di samping itu, mereka juga disebut sebagai ath-Thaa-ifatul-Manshuurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), al-Firqatun-Naajiyah (golongan yang selamat), Ghurabaa` (orang asing).

Tentang ath-Thaa-ifatul-Manshuurah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَتَزَالُ مِنْ أُمَّتِيْ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ.

Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah Allah; tidak akan mencelakai mereka, orang yang tidak menolong mereka dan orang yang menyelisihi mereka, sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.[14] 

Tentang al-Ghurabaa`, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْباً، وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْباً، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ.

Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya; maka beruntunglah bagi al-Ghurabaa` (orang-orang asing). [15] 

Sedangkan makna al-Ghurabaa` ialah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma ; ketika suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang makna dari al-Ghurabaa`, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُنَاسٌ صَالِحُوْنَ فِيْ أُنَاسِ سُوْءٍ كَثِيْرٍ مَنْ يَعْصِيْهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيْعُهُمْ.

Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek; orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.[16] 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghurabaa`:

اَلَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ.

Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia.[17] 

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

...الَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِي مِنْ سُنَّتِي.

Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sepeninggalku sesudah dirusak oleh manusia.[18] 

Ahlus-Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah dan al-Firqatun-Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan ini sudah masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf. Karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash, dan sesuai dengan kondisi serta kenyataan yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para imam, seperti ‘Abdullah Ibnul Mubarak, ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya rahimahullah.[19] 

Imam asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita, dan wajib bagi kita berterima kasih atas usaha mereka”.[20] 

Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H) v menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah: “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Sahabat g dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian ash-haabul hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.”[21] 

SEJARAH MUNCULNYA ISTILAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini, sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in. 

Ketika menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla.

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

(Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu. –(Ali ‘Imran/3 ayat 106), ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Adapun orang yang putih wajahnya, mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah; sedangkan orang yang hitam wajahnya, mereka adalah Ahlul Bid’ah dan sesat".[22] 

Kemudian, istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf rahimahullah , di antaranya: 

1. Ayyub as Sikhtiyani rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata: “Apabila aku diberitahu tentang meninggalnya seseorang dari Ahlus Sunnah, (maka) seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku”. 

2. Sufyan ats-Tsauriy rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus-Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-Ghurabaa`. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”[23] 

3. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah (wafat th. 187 H) berkata: “...Berkata Ahlus Sunnah: 'Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan'.” 

4. Abu ‘Ubaid al Qasim bin Sallam rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Iimaan:[24] “...Maka sesungguhnya, apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, bertambah dan berkurangnya iman, dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian...”

5. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, as-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi, ash-haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul -
shollallahu 'alaihi wa sallam- dan para sahabatnya, semenjak dari zaman para sahabat -rodhiyallahu 'anhum- hingga pada masa sekarang ini...” 


6. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata: “...Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah pada hari Kiamat; maka itu merupakan agama, yang kami beragama dengannya. Dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa, penghuni surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[25] 

7. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi rahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur (al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah): “...Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah, agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar, dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlul Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya.

MANHAJ DAKWAH AHLUS-SUNNAH
Yang dimaksud dengan dakwah (mengajak manusia ke jalan Allah), yaitu mengajak manusia untuk beriman kepada Allah, mengimani apa yang dibawa para rasul-Nya, membenarkan apa yang mereka kabarkan kepada manusia, mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa pada bulan Ramadhan, haji ke Baitullah, mengajak manusia untuk beriman kepada Allah Azza wa Jalla , malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, beriman kepada hari Akhir (dibangkitkannya manusia sesudah mati), iman kepada Qadar yang baik dan buruk, dan mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah saja seolah-olah ia melihat-Nya.[26] 

Jadi, yang dikatakan dakwah adalah mengajak manusia kepada Rukun Islam, Rukun Iman, dan melaksanakan syari’at Islam, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah, melarang manusia dari perbuatan syirik, mengajak umat untuk ittiba’ (meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan melarang berbuat bid’ah. Mengajak manusia ke jalan yang benar, agar manusia selamat di dunia dan di akhirat, yakni dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu anhum.

Dakwah di jalan Allah merupakan sebesar-besar ketaatan kepada Allah. Dan perkataan yang paling baik adalah mengajak manusia ke jalan Allah dan beramal shalih.

Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. [Fushshilat/41:33].

A. Dakwah Yang Haq Harus Dengan Bekal Ilmu Syar’i
Sesungguhnya orang yang memperhatikan perjalanan para ulama Ahli Hadits pada masa-masa yang telah lewat, ia akan melihat bahwa para ulama Ahli Hadits telah mengikuti metode yang sama dalam berdakwah menuju Allah di atas cahaya dan bashirah (ilmu dan keyakinan).

Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman: 

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tidak ada termasuk orang-orang yang musyrik”.[Yusuf/12:108].

Yaitu meliputi metode ilmu, belajar dan mengajar. Karena sesungguhnya, apabila dakwah menuju Allah merupakan kedudukan yang paling mulia dan utama bagi seorang hamba, maka hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan ilmu. Dengan ilmu, seseorang dapat berdakwah, dan kepada ilmu pula ia berdakwah. Bahkan demi sempurnanya dakwah, ilmu itu harus dicapai sampai batas usaha yang maksimal.[27] 

Syarat seseorang berdakwah harus berilmu dan faham tentang ilmu syar’i, yang dengan ilmunya tersebut, ia dapat mengajak ummat kepada agama Islam yang benar. Metode ilmiah ini dibangun di atas tiga dasar.[28] Pertama, al ‘Ilmu. Yaitu mengetahui al haq (kebenaran). Kedua, dakwah menuju al haq (mengajak manusia kepada kebenaran). Ketiga, teguh dan istiqamah di atas kebenaran.[29] 
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا

Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. [al Fath/48:28].

Yang dimaksud dengan الْهُدَى (petunjuk) ialah ilmu yang bermanfaat, dan دِيْنُ الْحَقِّ (agama yang benar) ialah amal shalih. Allah Subhanahu wa Ta’alamengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk menjelaskan kebenaran dari kebathilan, menjelaskan tentang nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya, memerintahkan semua yang bermanfaat untuk hati, ruh dan jasad. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencintai-Nya, berakhlak dengan akhlak yang mulia, beramal shalih, beradab dengan adab yang bermanfaat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perbuatan syirik, perilaku dan akhlak buruk yang berbahaya untuk hati dan badan, dunia dan akhirat.[30] 

B. Ahlus-Sunnah Berdakwah (Mengajak Manusia) ke Jalan Allah Dengan Hikmah[31] 
Firman Allah al Hakiim:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabb-mu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [an-Nahl/16: 125]

Ayat yang mulia di atas merupakan asas yang mengajarkan jalan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mengajarkan kepada para da'i, jalan dalam berdakwah. Karena sesungguhnya, Allah telah mensyari’atkan kepada para hamba-Nya melalui Kitab-Nya yang Dia turunkan, dan dengan penjelasan Rasul-Nya n dalam perkara-perkara yang dapat memberikan penerangan untuk akal mereka, kesucian jiwa dan kelurusan perbuatan mereka.

Allah telah menamakan (syari’at itu) dengan sabil (jalan), supaya mereka tetap konsisten dalam seluruh fase perjalanan dalam menempuh kehidupan ini; sehingga dapat mengantarkan kepada puncak yang dituju, yaitu kebahagiaan abadi di akhirat. Dan Dia merangkaikan sabil (jalan) itu dengan Diri-Nya, sehingga disebut sabilillaah (di jalan Allah), supaya para hamba mengetahui, Dia-lah yang telah membuatnya, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat mengantarkan menuju ridha-Nya selain jalan Allah.

Ayat di atas, pada asalnya merupakan firman Allah Subhanahu wa Ta’alayang ditujukan kepada Nabi pilihan-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan Nabi-Nya n untuk berdakwah menuju jalan Rabb-nya. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al Amiin (yang dapat dipercaya) dan al Ma’shum (yang terjaga dari dosa), sehingga, tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu di antara jalan Rabb-nya, kecuali beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendakwahkannya. Dengan demikian kita mengetahui, apa saja yang tidak diserukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal itu bukan termasuk jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga kita pun mendapatkan petunjuk tentang perbedaan antara al haq dengan al bathil, petunjuk dengan kesesatan, serta antara da’i-da’i Allah dengan da’i-da’i setan.

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyeru kepada apa yang diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berarti ia termasuk da’i-da’i Allah, yang menyeru kepada al haq dan hidayah.[32] Dan barangsiapa yang menyeru kepada apa yang tidak diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia termasuk da’i-da’i setan, yang menyeru kepada kebathilan dan kesesatan. Sehingga, seorang muslim yang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ia akan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mendakwahkan setiap yang ia ketahui dari jalan Rabb-nya. Dan jika setiap individu dari kalangan kaum Muslimin menjalankan dakwah ini sesuai dengan kemampuannya, maka akan teranglah jalan Allah bagi orang-orang yang menempuhnya, ilmu akan tersebar di kalangan kaum Muslimin. Adapun jalan-jalan kebathilan, akan sepi dari da’i-da’i setan.[33] 

Kewajiban terbesar yang wajib ditempuh oleh para da’i, ustadz dan ulama, yaitu meniti manhaj para nabi dalam berdakwah menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berdasarkan tinjauan dari sudut agama dan akal, maka seorang da’i tidak boleh menyimpang dari manhaj dakwah anbiyaa’, lalu memilih manhaj dakwah yang lain, karena:

1. Manhaj anbiyaa’ (para nabi) adalah jalan paling lurus yang ditetapkan Allah kepada seluruh nabi, dari yang pertama sampai terakhir.

2. Sesungguhnya para nabi benar-benar telah berpegang teguh dan mempraktekkan manhaj tersebut. Hal itu jelas menunjukkan kepada kita, bahwa masalah manhaj bukan termasuk masalah ijtihad (bukan berasal dari pemikiran).

3. Allah telah mewajibkan kepada Rasul-Nya yang mulia n untuk meneladani dan menempuh manhaj para nabi tersebut, dan kita wajib mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Karena kesempurnaan konsep dakwah para nabi tergambar dalam dakwah Nabi Ibrahim Alaihissallam , maka Allah memerintahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mengikuti manhaj Nabi Ibrahim Alaihissallam. Allah Subhanahu wa Ta’alajuga memerintahkan umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mengikuti agama Nabi Ibrahim Alaihissallam yang hanif.[34] 

Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisaa`/4: 59].
Jika kita kembali kepada al Qur`an, sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada kita, bahwa ‘aqidah seluruh rasul adalah tauhid. Adapun dakwah mereka, dimulai dengan tauhidullah, dan tauhid merupakan perkara terpenting dan terbesar yang mereka dakwahkan.

5. Allah telah menciptakan alam ini, menyusunnya dengan sangat rapi, dan menjadikan ketetapan-ketetapan bagi alam ini. Seandainya ketetapan-ketetapan alam itu berbeda-beda, niscaya rusaklah alam ini. Begitu juga dalam hal syari’at, ia tidaklah tegak kecuali di atas ‘aqidah yang haq. Jika syari’at telah lepas dari ‘aqidah, maka rusaklah syari’at tersebut, sehingga tidak lagi sebagai syari’at yang benar.

Jelaslah, bahwa hubungan ‘aqidah tauhid terhadap seluruh syari’at para nabi (termasuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), bagaikan pondasi sebuah bangunan dan bagaikan ruh bagi badan. Jasad tidak akan berdiri dan hidup, kecuali dengan adanya ruh.

Untuk menambah kepahaman kita terhadap Sunnatullah yang disyari’atkan-Nya, berikut kami bawakan tiga contoh. Bahwa pengaturan dan ketertiban dalam syari'at-Nya merupakan perkara yang dijadikan tujuan, sehingga wajib diikuti dan tidak boleh menyimpang dari hal-hal berikut:

1. Shalat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan shalat kepada kita dengan perbuatan yang nyata. Andaikan ada sekelompok orang yang mengubah tata-cara shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka apakah shalatnya itu benar dan bersesuaian dengan syari'at Islam?

2. Haji.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengerjakan haji dan mengajarkan manusia tentang manasik haji. Maka jika ada jama’ah yang menghendaki adanya perubahan terkait dengan manasik haji, maka apakah hajinya tersebut dibenarkan oleh Islam atau justru merusak ibadah haji?

3. Dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ini yang terpenting).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan tauhid, dan demikian pula seluruh rasul. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): "Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu, maka di antara ummat itu ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). [an-Nahl/16:36]. [35] 

Di antara contohnya, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu ketika diutus ke Yaman. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ (وَفِي طَرِيْقٍ: فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللهِ)، (وَفِي أُخْرَى: أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ) فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ (وَفِي رِوَايَةٍ: فَإِذَا عَرَفُوْا اللهَ)، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ لِذَلِكَ فَإِياَّكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ.
Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka agar bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. (Pada lafazh lainnya: Maka yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allah semata). (Juga lafazh lainnya: Supaya mereka menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi). Apabila mereka mentaatimu karena yang demikian itu (dalam suatu riwayat: Apabila mereka telah mentauhidkan Allah), maka beritahukanlah kepada mereka, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka beritahukanlah kepada mereka, sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah yang diambil dari orang-orang yang kaya di antara mereka, lalu dibagikan kepada orang-orang yang miskin di antara mereka. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka jauhilah olehmu harta-harta mereka yang baik, dan takutlah kamu terhadap do’a orang yang dizhalimi, karena tidak ada hijab antara do’a orang yang dizhalimi dengan Allah.[36] 

Kita faham, mengikuti ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’alayang berkaitan dengan syari’at dan aturannya yang detail dalam peribadatan serta perinciannya adalah wajib, tetapi kenapa kita tidak memahami ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’aladan aturan-Nya yang detail dalam masalah dakwah? Padahal para nabi, semuanya meniti jalan yang satu. Kita tidak boleh berpaling dari manhaj dakwah yang dicontohkan oleh para nabi, dan tidak boleh menyelisihinya. Sebab, apabila menyalahi menhaj dakwah para nabi, akan berakibat sangat fatal. Para da’i wajib menggunakan kembali akal mereka dan mengubah sikap mereka. 

Kemudian apakah ummat Islam (khususnya para da’i) mengambil manfaat dari manhaj yang agung ini dalam memberikan perhatian tentang masalah-masalah tauhid dan menjadikannya sebagai titik tolak dakwah mereka? Jawabannya, sesungguhnya sebagian besar da’i dan ustadz telah menyimpang jauh dari manhaj para nabi dalam berdakwah, sehingga umat Islam mengalami kondisi yang menyedihkan dan pahit, akibat kekeliruan dari dakwah yang mereka lakukan. 

Sesungguhnya banyak di antara ummat Islam (termasuk da’i, kyai dan pemikirnya, Pen.) jahil terhadap manhaj ini, dan sebagian lagi pura-pura bodoh. Mereka dihalang-halangi oleh setan dari manhaj yang haq ini, kemudian mereka membuat manhaj-manhaj yang menyelisihi manhaj dakwah para nabi. Hal ini menjerumuskan mereka dan menyebabkan mereka tertimpa bencana di dalam agama dan dunianya.[37] 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]_______
Footnote
[1]. Lisaanul ‘Arab (VI/331), Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) rahimahullah.
[2]. Lihat al Mufassiruun Bainat-Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish-Shifaat (I/11) karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdurrahman al Maghrawi, Muassasah ar-Risalah, th. 1420 H.
[3]. Muttafaqun ‘alaih. (HR al Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 (212), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. 
[4]. Al Mufassiruun Bainat-Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish-Shifaat (I/11). 
[5]. Al Mufassiruun Bainat-Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish-Shifaat (I/13-14) dan al Wajiiz fii ‘Aqiidah Salafush-Shaalih, hlm. 34.
[6]. Dinukil dari Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa' wal Bida’ (I/63-64), karya Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili; Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajis-Salaf karya Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali, hlm. 21 dan Mujmal Ushuul Ahlis-Sunnah wal Jamaa’ah fil- ‘Aqiidah. 
[7]. Majmu’ Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (IV/149).
[8]. Lisaanul ‘Arab (VI/399).
[9]. Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis-Sunnah, hlm. 16. 
[10]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, oleh Ibnu Rajab, hlm. 495, tahqiq dan ta’liq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, Cet. II, Th. 1420 H, Daar Ibnul Jauziy.
[11]. Mujmal Ushuul Ahlis-Sunnah wal Jamaa’ah fil-‘Aqiidah.
[12]. Syarhul-‘Aqiidah al Waasithiyyah, oleh Khalil Hirras, hlm. 61.
[13]. Al Baa’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal Hawaadits, hlm. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman dan Syarah Ushuulil I’tiqaad, karya al Lalika-i, no. 160.
[14]. HR al Bukhari, no. 3641 dan Muslim, no. 1037 (174), dari Mu’awiyah Radhiyallahu anhu.
[15]. HR Muslim no. 145, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[16]. HR Ahmad (II/177, 222), Ibnu Wadhdhah no. 168. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad (VI/207 no. 6650). Lihat juga Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajas-Salaf, hlm. 125.
[17]. HR Abu Ja’far ath Thahawi dalam Syarah Musykilil Aatsaar (II/170 no. 689), al Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis-Sunnah no. 173, dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu. Hadits ini shahih li ghairihi, karena ada beberapa syawahidnya. Lihat Syarah Musykilil Aatsaar (II/170-171) dan Silsilatul- Ahaadiits ash-Shahiihah no. 1273.
[18]. HR at Tirmidzi no. 2630. Beliau berkata,"Hadits ini hasan shahih." Dari Sahabat ‘Amr bin ‘Auf Radhiyallahu anhu.
[19]. Sunan at-Tirmidzi: Kitaabul Fitan no. 2229. Lihat Silsilatul-Ahaadiits ash-Shahiihah karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albaniy rahimahullah (I/539 no. 270) dan Ahlul-Hadiits Humuth-Thaa-ifah al-Manshuurah, karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al Madkhali.
[20]. Lihat Siyar A’laamin-Nubalaa’ (X/60).
[21]. Al Fishal fil-Milal wal Ahwaa’ wan-Nihal (II/271), Daarul Jiil, Beirut.
[22]. Lihat Tafsiir Ibni Katsiir (I/419, cet. Darus Salam), Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal Jamaa’ah (I/79 no. 74).
[23]. Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal Jamaa’ah (I/71 no. 49 dan 50).
[24]. Tahqiq dan takhrij Syaikh al Albani rahimahullah.
[25]. Lihat kitab Shariihus-Sunnah oleh Imam ath Thabary rahimahullah.
[26]. Majmuu’ Fataawaa (XV/157-158) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[27]. Miftaah Daaris Sa’aadah (I/476), ta’liq dan takhrij Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, Dar Ibni ‘Affan, Th. 1416 H.
[28]. At Tashfiyah wat-Tarbiyah wa Aatsaaruhuma fii Isti’naafil-Hayaatil-Islaamiyyah, oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid al-Halabi, hlm. 12.
[29]. Termasuk di dalam hal ini, membantah orang-orang yang menyelisihi al-haq, sebagaimana hal itu telah jelas.
[30]. Lihat Tafsiir Taisiirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil-Mannaan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as Sa’di t (wafat th. 1376 H) hlm. 295, Cet. Mu-assasah ar Risalah, Th. 1423 H, dan hlm. 339, Cet. Maktabah al Ma’arif.
[31]. Makna hikmah banyak sekali, begitu pula definisinya. Apabila kata hikmah disebutkan sesudah al Qur`an, artinya adalah as Sunnah. Adapun definisi hikmah adalah mencakupاْلإِصَابَةُ فِي اْلأَقْوَالِ وَاْلأَفْعَالِ، وَوَضْعِ كُلِّ شَيْءٍ فِي مَوْضِعِهِ (benar dalam berkata dan berbuat, dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya). Lihat al Hikmah fid-Da’wah Ilallaahi Ta’aala, karya Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al Qahthani, Cet. III, Th. 1417 H. 
[32]. Ini yang dikatakan “hikmah” dalam dakwah, yaitu berdakwah mengikuti contoh Rasulullah n dalam mengajak manusia ke jalan Allah berdasarkan al Qur`an dan as Sunnah.
[33]. Ad-Durar al Ghaaliyah fii Aadabid-Da’wah wad-Daa’iyah, oleh al ‘Allamah Syaikh ‘Abdul Hamid Baadais (wafat th. 1359 H), ta’liq oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdil Hamid, Cet. Daarul Manaar, hlm. 25-27.
[34]. al Baqarah/2 ayat 130, Ali ‘Imran/3 ayat 68, 95, an Nisaa`/4 ayat 125, an Nahl/16 ayat 123. 
[35]. Lihat juga QS al Anbiyaa'/21 ayat 25.
[36]. HR al Bukhari no. 1395, 1458, 1496, 4347, 7372 dan Muslim no. 19 (29).
[37]. Disadur secara ringkas dari Manhajul-Anbiyaa’ fid-Da’wah Ilallaah fiihil-Hikmah wal ‘Aql, oleh Dr. Rabi’ bin Hadi al Madkhaliy, hlm. 123-132 dan at-Tashfiyah wat-Tarbiyah wa Aatsaaruhuma fii Isti’naafil-Hayaatil-Islaamiyyah, oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan al Halabi al Atsari, hlm. 71-80.


Disalin dari: http://almanhaj.or.id/content/3490/slash/0/dakwah-salafiyyah-adalah-dakwah-ahlus-sunnah/
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif