Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Kamis, 06 Maret 2014

Hidup Bahagia dengan Bertauhid

Kebahagian hidup adalah dambaan setiap insan yang hidup di atas muka bumi ini, merupakan tuntutan dalam sebuah masyarakat, serta sebuah pondasi dasar untuk sebuah negeri.
Upaya manusia dalam mencapai kebahagiaan sangatlah beraneka ragam, juga berbagai pandangan manusia dalam makna kebahagian adalah sulit dijumlah.
Namun, banyak kaum muslimin yang lalai bahwa sumber kebahagian dan keamanan itu semuanya berakar dan bercabang dari keimanan kepada Allah dan menauhidkan-Nya.
Allah telah mengingatkan dalam MuhkâmKitab-Nya,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan yang beriman (bertauhid), sesungguhnya Kami akan memberi kehidupan yang baik (indah, bahagia) kepadanya dan sesungguhnya Kami akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa-apa yang telah mereka kerjakan.”[An-Nahl: 97]
Kebahagian hidup dengan tauhid ini adalah suatu nikmat Allah yang banyak dilalaikan oleh manusia. Nabi Yusuf ‘alaihis salâm mengingatkan sebagaimana dalam firman Allah,
وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ مَا كَانَ لَنَا أَنْ نُشْرِكَ بِاللَّهِ مِنْ شَيْءٍ ذَلِكَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ عَلَيْنَا وَعَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ
“Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku, yaitu Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub. Tiadalah kami (para Nabi) patut mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya), tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur (kepada-Nya).” [Yûsuf: 38]
Bahkan, banyak manusia tidak mengetahui bahwa menauhidkan Allah dalam ibadah adalah nikmat Allah yang paling besar untuk seorang hamba. Oleh karena itu, dalam surah An-Nahl -dikenal juga dengan nama surah An-Ni’âm ‘penyebutan nikmat-nikmat Allah’- nikmat yang paling pertama disebut adalah nikmat diutusnya para rasul dengan membawa tauhid. Allah berfirman,
يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنْذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: ‘Hendaknya kalian memperingatkan bahwasanya tiada ilah (sembahan) yang berhak diibadahi, kecuali Aku, maka hendaklah kalian bertakwa kepada-Ku.’.” [An-Nahl: 2]
Sungguh, dalam memurnikan ibadah kepada Allah, terdapat kebebasan bagi hamba akan perbudakan terhadap dirinya sendiri dan kepada syaithan. Dengan tauhid, seorang hamba terbebas dari ketergantungan dan mengharap kepada makhluk, dari takut terhadap mereka, serta dari beramal untuk mereka. Orang yang bertauhid hanya bergantung kepada Allah serta takut dan mengharap hanya kepada-Nya. Inilah hakikat kebahagian abadi dan kemuliaan sejati.
Tauhid -sebagaimana yang ulama sebutkan- adalah seseorang mengucapkan syahadat La Ilâha Illallâh ‘tiada ilah (sembahan) yang berhak diibadahi, kecuali Allah’ dan Nabi Muhammad adalah rasul Allah, dengan meyakini makna dan menjalankan konsekuensinya. Tauhid bukanlah sekadar mengakui bahwa Allah Yang Mencipta, Memberi Rezeki, Menghidupkan dan Mematikan, … dan seterusnya di antara berbagai makna penetapan keesaan Allah dalam perciptaan, perbuatan, dan pengaturan serta kekuasaan-Nya. Melainkan, yang dimaksud dengan tauhid adalah penetapan bahwa ibadah hanyalah untuk Allah. Sehingga, seorang hamba tidaklah berdoa, bernadzar, menyembelih, mendirikan shalat, berzakat, menunaikan puasa dan haji, kecuali kepada Allah, serta tidak mengharap dan tidak takut, kecuali hanya kepada-Nya. Tiada suatu ibadah pun yang dilakukan oleh orang yang bertauhid, kecuali murni hanya untuk Allah saja, tiada sekutu dan serikat bagi-Nya.
Tauhid adalah keimanan, sedang tidak akan ada suatu keimanan tanpa tauhid.
Berikut kami akan menjelaskan beberapa keutamaan orang yang bertauhid dan memurnikan ibadahnya hanya untuk Allah agar seorang hamba merenungi keindahan dan kebahagian hidup dengan bertauhid.
Pertama: tauhid adalah fitrah manusia yang mencocoki dasar dan tujuan penciptaan makhluk. Allah berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” [Adz-Dzâriyât: 56]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan bahwa Allah ‘Azza wa Jallaberfirman dalam hadits Qudsi,
وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ، وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ، وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا
“… dan sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku sebagai orang-orang hanif ‘cenderung kepada tauhid, meninggalkan kesyirikan’. Sesungguhnya para syaithan mendatangi mereka lalu menyesatkan mereka dari agama mereka, mengharamkan hal-hal yang dihalalkan untuk mereka dan memerintah mereka untuk berbuat kesyirikan terhadap-Ku, suatu hal yang Aku tidak menurunkan keterangan tentangnya ….” [Diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Iyâdh bin Himâr Al-Mujâsya’iy radhiyallâhu ‘anhu]
Kedua: tauhid adalah sumber keamanan dan jaminan hidayah bagi seorang hamba. Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan,
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat hidayah.” [Al-An’âm: 82]
Ketiga: karena tauhid merupakan pokok kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia, Allah mengutus para nabi dan rasul dengan misi tauhid ini. Allah Ta’âlâ berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus rasul pada setiap umat (untuk menyerukan),‘Beribadahlah kepada Allah (semata) dan jauhilah thaghut (segala sesuatu yang diibadahi selain Allah).’. [An-Nahl: 36]
Keempat: tauhid adalah hal yang mengukuhkan seorang hamba dalam kehidupannya di dunia, di alam kubur, dan di akhirat. Allah Jalla Jalâluhu berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu (kalimat tauhid) dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” [Ibrahîm: 27]
Kelima: tauhid adalah perintah pertama dalam Al-Qur`an. Demikianlah disebutkan dalam firman Allah Subhânahu wa Ta’âla,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai manusia, beribadahlah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” [Al-Baqarah: 21]
Keenam: tauhid adalah syarat untuk keamanan suatu negeri. Bahkan, tidak akan tercipta keamanan dalam suatu negeri tanpa membersihkan segala jenis kesyirikan dan memurnikan ibadah hanya kepada Allah. Inilah yang tertanam dalam diri Nabi Ibrahim ‘alaihis salâm sehingga, pada awal merintis Makkah, beliau berdoa kepada Allah untuk keamanan Makkah sebagaimana yang Allah ‘Azza wa Jalla terangkan dalam firman-Nya,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ.رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, ‘Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri (Makkah) ini sebagai negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Wahai Rabb-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia.’.” [Ibrahîm: 35-36]
Ketujuh: tauhid adalah syarat kejayaan umat Islam. Allah mengingatkan dalam firman-Nya,
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan berkuasa orang-orang sebelum mereka, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka, serta Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang fasik.”[An-Nûr: 55]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan bahwa syarat kejayaan dan kekukuhan umat ini adalah dengan memurnikan ibadah hanya untuk Allah sebagaimana dalam sabda beliau,
بَشِّرْ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ، وَالتَّمْكِينِ فِي الْبِلَادِ، وَالنَّصْرِ، وَالرِّفْعَةِ فِي الدِّينِ، وَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ بِعَمَلِ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا، فَلَيْسَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيبٌ
“Berilah kabar gembira kepada umat ini dengan kejayaan, kekukuhan di negeri-negeri, pertolongan, dan ketinggian dalam agama. Barangsiapa di antara mereka yang beramal akhirat untuk dunia, tidaklah ada bagian untuknya di akhirat.”[Diriwayatkan oleh Ahmad, Abdullah bin Ahmad dalam Zawâ`id Al-Musnad, Ibnu Hibbân, Al-Hâkim, dan Al-Baihaqy dari Ubay bin Ka’ b radhiyallâhu ‘anhu. Dishahihkan oleh Al-Albâny dalam Ahkâmul Janâ`iz]
Kedelapan: karena pentingnya tauhid dalam kehidupan dan jaminan kesejahteraan untuk keturunan, Nabi Ya’qub ‘alaihis salâm, pada akhir hayatnya, menekankan masalah ini kepada keturunannya sebagaimana yang diterangkan dalam firman Allah Rabbul ‘Âlamîn,
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, tatkala ia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apa yang kalian sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Rabb-mu dan Rabb nenek moyangmu, yakni Ibrahim, Ismail dan Ishaq: Sembahan Yang Maha Satu dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’.” [Al-Baqarah: 133]
Kesembilan: hidup dengan menauhidkan Allah adalah penunaian hak Allah terhadap diri seorang hamba. Dari Mu’âdz bin Jabal radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata, “Saya pernah membonceng pada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam di atas seekor keledai, lalu beliau bersabda kepadaku, ‘Wahai Mu’âdz, tahukah engkau apa hak Allah terhadap para hamba dan apa hak para hamba atas Allah?’ Saya menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan,
حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً
‘Hak Allah terhadap para hamba ialah mereka beribadah kepada-Nya semata dan tidak berbuat syirik sedikit pun terhadap-Nya, sedang hak para hamba atas Allah adalah bahwa Allah tidak akan mengadzab orang yang tidak berbuat syirik sedikit pun terhadap-Nya.’.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim]
Kesepuluh: tauhid adalah jaminan bagi seorang hamba untuk dimasukkan ke dalam surga Allah. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُوْلُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ، وَالْجَنَّةَ حَقٌّ وَالنَّارَ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ
“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tiada sembahan yang benar, kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan rasul-Nya, serta (bersaksi) bahwa Isa adalah hamba Allah dan rasul-Nya dan kalimat-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam serta ruh dari-Nya, dan bahwa surga adalah benar adanya juga neraka adalah benar adanya, Allah pasti memasukkan dia ke dalam surga betapapun amal yang telah dia perbuat.”[Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari ‘Ubâdah bin Ash-Shâmit radhiyallâhu ‘anhu]
Juga Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Lâ Ilâha Illallâh dalam keadaan mengharapkan wajah Allah dengan hal tersebut.”[Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari hadits ‘Itbân bin Malik radhiyallâhu ‘anhu]
Kesebelas: tauhid adalah sebab pengampunan dosa yang terkuat. Allah Jallat ‘Azhamatuhu memerintah kepada Nabi-Nya untuk memohon ampunan setelah tugas tentang mengetahui tauhid,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada ilah ‘sembahan’ (yang berhak diibadahi), kecuali Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu serta bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.”[Muhammad: 19]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Allah Ta’âlâ telah berfirman dalam hadits Qudsi,
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
‘‘Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, tetapi engkau mati dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikitpun terhadap-Ku, niscaya Aku memberikan ampunan sepenuh bumi pula kepadamu.”[Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan selainnya dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu. Dihasankan karena jalur lain pendukungnya oleh Al-Albâny dalam Ash-Shahîhahno. 123]
Kedua belas: orang-orang yang bertauhid, bila dimasukkan ke dalam neraka karena dosa, tidak akan kekal di dalam neraka dan pasti akan dimasukkan ke dalam surga. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيرَةٍ مِنْ خَيْرٍ، وَيَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ بُرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ، وَيَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ
“Akan keluar dari api neraka, orang yang berucap ‘Lâ Ilâha Illallâh’, sedang dalam hatinya terdapat kebaikan seberat jelai. Akan keluar dari api neraka, orang yang berucap ‘Lâ Ilâha Illallâh’, sedang dalam hatinya terdapat kebaikan seberat gandum. Akan keluar dari api neraka, orang yang berucap ‘Lâ Ilâha Illallâh’, sedang dalam hatinya terdapat kebaikan seberat dzarrah.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu]
Ketiga belas: syafa’at, yang merupakan kemuliaan dari Allah untuk hamba pada hari kiamat, hanya diberikan kepada orang-orang yang bertauhid. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
لَا يَمْلِكُونَ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنِ اتَّخَذَ عِنْدَ الرَّحْمَنِ عَهْدًا
“Mereka tidak berhak mendapat syafa’at, kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi (Allah) Yang Maha Pemurah.” [Maryam: 87]
Kata perjanjian dalam ayat di atas ditafsirkan oleh sejumlah ahli tafsir dengan kalimat Lâ Ilâha Illallâh. [Bacalah: Tafsir Ibnu JarîrTafsir Ibnu Kâtsir, dan Zâdul Masîr karya Ibnul Jauzy]
Ketika Abu Hurairah bertanya tentang manusia yang paling bergembira mendapatkan syafa’at Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab,
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ مَنْ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، خَالِصًا مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ
“Manusia yang berbahagia mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat adalah orang yang berucap ‘Lâ Ilâha Illallâh’ dengan keikhlasan dari dirinya.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry]
Keempat belas: tauhid adalah puncak segala kebenaran. Demikianlah yang disebutkan oleh Abu Shalih, ‘Ikrimah, dan selainnya dari kalangan ulama tafsir salaf yang menafsirkan kata yang benar pada firman Allah Ta’âlâ,
يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلَائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَقَالَ صَوَابًا
“Pada hari ketika ruh (Jibril, manusia) dan para malaikat berdiri bershaf-shaf. Mereka tidak berkata-kata, kecuali orang yang telah diberi izin oleh (Allah) Yang Maha Pemurah kepadanya, dan ia mengucapkan kata yang benar.” [An-Naba`: 38]
Kelima belas: tauhid adalah penyelamat hamba dari bahaya dan kesulitan, serta memberi jalan keluar bagi seorang hamba menuju kebaikannya. Perhatikanlah Nabi Yunus ‘alaihis salâm yang diselamatkan dari perut ikan lantaran kalimat tauhid dalam doanya sebagaimana yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Nabi Yunus) ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya) maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap (dalam perut ikan), ‘Bahwa tidak ada ilah ‘(sembahan’ selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku tergolong sebagai orang-orang zhalim.’.” [Al-Anbiyâ`: 87]
Keenam belas: amalan shalih apapun yang dilakukan tidak akan diterima tanpa dasar tauhid. Allah telah menjelaskan,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak diperintah, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya sebagai orang-orang yang hanif (cenderung kepada tauhid, meninggalkan kesyirikan), serta agar mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus.” [Al-Bayyinah: 5]
Juga dalam firman-Nya, Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan amalan pelaku syirik akbar,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan kami menghadapi segala amalan yang mereka kerjakan, lalu kami menjadikan amalan itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [Al-Furqân: 23]
Ketujuh belas: karena tauhid, kitab-kitab suci diturunkan oleh Allah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ. أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ إِنَّنِي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ
Alif lâm râ. (Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah), Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, agar kalian tidak menyembah, kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira dari-Nya kepada kalian.”[Hûd: 1-2]
Banyak lagi keutamaan tauhid yang belum bisa disebutkan di sini. Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang bertauhid, selalu membela tauhid, serta selalu berada di atas tauhid di kehidupan dunia dan akhirat. Amin Yâ Mujîbas Sâ`ilîn.

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif