Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Selasa, 06 Agustus 2013

Tafsir QS. Ar-Ra'du : 11 Tentang Nasib

Tafsir QS. Ar-Ra'du : 11 Tentang Nasibkah


Kajian | Tafsir Ar Ra’ad: 11 berbicara tentang merubah 
nasib ..?
=============================

Ada (bahkan banyak) yang berceramah di atas mimbar 
dengan mengatakan: “Tuhan tidak bisa merubah nasibmu 
jika kamu sendiri tidak merubahnya”. 
Untuk mempertegas dakwahnya mereka menyandarkan 
dengan firman Allah:

إنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Dengan mengartikan مَا pada perkataan مَا بِقَوْمٍ dan مَا pada 
perkataan مَا بِأَنْفُسِهِمْ dengan makna nasib, sehingga makna 
lengkap ayat di atas adalah : "Sesungguhnya Allah tidak 
merubah nasib sesuatu kaum sehingga mereka merubah 
nasib mereka sendiri ".(Ar Ra’ad: 11)

PADAHAL

مَا dalam ayat di atas secara bahasa adalah isim maushul 
yang berarti sesuatu, apa saja. Dalam kamus belum kita 
jumpai “ma” bermakna nasib.

Apalagi kalau kita terjemahkan seperti di atas, 
sungguh bertentangan dengan kenyataannya. 
Ada terjadi dalam

Kehidupan kita sehari-hari, misalnya orang tidak berusaha 
apa-apa untuk mendapatkan lekayaan tetapi tiba-tiba dia 
menjadi orang yang kaya, tanpa diduga-duga, 
dia mendapat hadiah dari seseorang, 
warisan berlimpah dan lain-lain.

Sebaliknya, ada orang yang berusaha siang dan malam 
dengan kerja keras banting tulang tetapi Allah tidak 
menghendakinya kaya. dan lagi pula itu bertentangan 
dengan rukun iman yang ke-enam, percaya kepada qadha 
dan qadar datang dari Allah.

Ilmu-ilmu alquran mengatakan bahwa ada sebagian 
Ayat al-Qur’an adakalanya ditafsirkan dengan ayat lain.

Mari kita perhatikan ayat yang lain yang mirip dengan 
ayat ini, yaitu dalam Surat al-Anfal : 53

ذَلِكَ بِأَنَّ
 اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya : Yang demikian itu (siksaan Allah) adalah karena
 sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah 
sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya 
kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa 
yang ada pada diri mereka sendiri 
(dengan berbuat maksiat) dan sesungguhnya Allah Maha 
Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S. al-Anfal : 53)

“Yakni: Allah swt menganugerahkan ni’mat kepada 
penduduk Makkah dengan mengenyangkannya dari 
rasa lapar, memberi keamanan dari rasa takut, dan
 membangkitkan kepada mereka (Rasulullah) 
Muhammad saw . Kemudian mereka menerima ni’mat ini 
dengan meninggalkan syukur, mendustakan 
Rasulullah saw, dan mereka merubah apa yang ada pada
 diri mereka sendiri, sehingga Allah swt mencabut kembali 
ni’mat-Nya dan menimpakan azab atas mereka. 
Assidi berkata: (yang dimaksud) ni’mat Allah (di sini) adalah
 Muhammad saw. Allah memberikan ni’mat Rasulullah 
Muhammad atas kaum Quraisy, kemudian mereka 
memungkiri dan mendustakannya. Kemudian Allah 
memindahkannya kepada kaum Anshar. (Tafsir Khazin)

Tafsir Khazin mengatakan:

“Dan Firman Allah (sesungguhnya Allah tidak merubah 
sesuatu ............ dari suatu kaum); ayat ini ditujukan 
kepada ‘Amir bin Thufail dan Arbad bin Rabi’ah, 
yakni tidak merubah sesuatu dari kesehatan dan ni’mat 
yang telah diberikan kepada mereka, (sehingga mereka 
merubah apa yang ada pada mereka sendiri); yakni dari 
tingkah-tingkah yang baik kemudian mereka berma’siat 
kepada Tuhannya, dan mereka mendustakan 
ni’mat-ni’mat-Nya atas mereka, sehingga halal murka Allah
 kepada mereka”.(Tafsir Khazin juz 4 halaman 4).

Apabila kita sesuaikan dengan maksud ayat 53 
Surat al-Anfal di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa مَا 
pada perkataan مَا بِقَوْم adalah bermakna ni’mat, bukan 
berma’na nasib. Ini akan lebih jelas lagi apabila kita 
perhatikan ayat 11 Surat ar-Ra’d di atas secara lengkap,
 yaitu :

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ
 خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ
 لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى
 يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

Artinya : Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu 
mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, 
mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya 
Allah tidak merubah nikmat sesuatu kaum sehingga mereka
 merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri. 
dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap 
sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; 

dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Tafsir Jalalain mengatakan:
“(sesungguhnya Allah tidak merubah sesuatu ......... 
dari suatu kaum) Allah tidak mengambil kembali ni’mat-Nya 
dari mereka (sehingga mereka merubah apa yang ada 
pada mereka sendiri); yakni dari kelakuan-kelakuan yang 
baik dirubah menjadi kelakuan-kelakuan ma’siat”.
 (Tafsir Jalalain jilid II halaman 249).

KESIMPULAN
“Bahwasannya Allah tidak akan mengambil kembali ni’mat
 yang telah diberikan kepada seseorang kecuali jika orang
 itu sudah mendurhakai Allah, yakni tidak memakai ni’mat 
menurut semestinya sesuai dengan kehendak-Nya yang 
memberikan ni’mat itu”.

Untuk memperjelas tafsir ayat ini, Allah berfirman:

“Hal itu (terjadi) disebabkan karena Allah tidak merubah 
ni’mat yang telah diberikanNya kepada sesuatu kaum, 
kecuali jika kaum itu sudah merubah hal mereka sendiri 
(dari taat menjadi durhaka)”. (Al Anfal: 53)

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif