Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Minggu, 11 Agustus 2013

Ambisi Terhadap Kedudukan dan Kekuasaan


 Ambisi seseorang terhadap kedudukan lebih membinasakan daripada ambisi seseorang terhadap harta. Karena, mencari kedudukan duniawi, kekuasaan dan kepemimpinan atas manusia, ketinggian di muka bumi, lebih membahayakan terhadap seorang hamba daripada bahaya ambisi harta. Kerusakannya lebih besar sementara zuhud dalam perkara tersebut lebih sulit, karena harta saja akan dikorbankan demi mencari kepemimpinan dan kedudukan.

Ambisi kedudukan itu juga ada dua macam:
Pertama, mencari kedudukan dengan kekuasaan dan materi (harta benda).
Ini sangat berbahaya. Pada umumnya hal ini menghalangi seseorang untuk mendapatkan kebaikan akhirat dan kemuliaannya. Allah l berfirman:
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83)
Teramat sedikit orang yang berambisi untuk mendapatkan kepemimpinan di dunia dengan mencari kekuasaan, lalu mendapatkan taufiq dari Allah l. Yang terjadi, bahkan ia akan dibiarkan mengurusi dirinya sendiri (tidak Allah l bantu). Sebagaimana Nabi n katakan kepada Abdurrahman bin Samurah z:
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberinya karena engkau mencarinya engkau akan dibiarkan mengurusi sendiri (tidak Allah l bantu). Tetapi jika engkau diberinya tanpa mencarinya maka engkau akan dibantu (Allah l) dalam mengurusinya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sebagian ulama mengatakan:
مَا حَرِصَ أَحَدٌ عَلَى وِلَايَةٍ فَعَدَلَ فِيْهَا
“Tidaklah seseorang berambisi kepada kepemimpinan lalu ia (bisa) berbuat adil dalam kepemimpinannya.”
Dahulu Yazid bin Abdullah bin Mauhab termasuk seorang hakim yang adil dan shalih. Beliau mengatakan: “Barangsiapa yang cinta harta dan kedudukan serta takut akan musibah, maka ia tidak akan bisa adil.” Dalam Shahih Al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah z, dari Nabi n, beliau bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ
“Kalian bakal berambisi terhadap kepemimpinan dan itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat. Maka senikmat-nikmat kepemimpinan adalah saat seseorang menyusu darinya (menjabat), dan secelaka-celakanya adalah saat orang melepaskan penyusuannya (mati).”
Dalam Shahih Al-Bukhari juga, dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari z, bahwa ada dua orang mengatakan kepada Nabi n: “Wahai Rasulullah, jadikan kami sebagai pemimpin.” Maka beliau menjawab:
إِنَّا لَا نُوَلِّي أَمْرَنَا هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرِصَ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya kami tidak akan memberikan kepemimpinan kami ini kepada seseorang yang memintanya atau berambisi terhadapnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ketahuilah bahwa ambisi terhadap kedudukan menimbulkan kerusakan besar sebelum ia mendapatkan kedudukan itu, yaitu dalam usahanya mencari kedudukan itu. Demikian juga setelahnya, yaitu dengan ambisinya yang besar di mana terjatuh di dalamnya para pemilik kekuasaan berupa kezaliman, kesombongan, dan kerusakan-kerusakan lainnya.
Abu Bakr Al-Ajurri t telah membuat sebuah karya –beliau termasuk ulama rabbani pada awal abad ke-4 H– dalam bab akhlak dan adab para ulama. Karyanya tersebut termasuk karya yang teragung dalam pembahasan ini. Barangsiapa yang memerhatikannya, dari kitab itu dia akan mengetahui metode ulama salaf dan metode yang diadakan setelah mereka yang menyelisihi jalan para ulama salaf. Dalam kitab itu, beliau t memberikan penjelasan sifat-sifat seorang ulama yang jahat dengan sifat-sifat yang panjang (penjelasannya).
Di antaranya beliau mengatakan: “Dia (ulama tersebut) telah tergoda dengan cinta pujian dan kedudukan di tengah para pecinta dunia. Ia berhias dengan ilmu sebagaimana berhiasnya dengan pakaian yang indah demi dunianya. Tetapi ia tidak menghiasi ilmunya dengan mengamalkannya… –sampai ucapannya– … akhlak ini dan yang semacamnya mendominasi qalbu orang yang tidak memanfaatkan ilmunya. Ketika ia mendekat kepada akhlak ini, di saat yang sama, jiwanya cenderung kepada cinta kedudukan sehingga ia cinta bermajelis dengan anak-anak raja dan anak-anak dunia serta merasa suka untuk larut dengan (gaya hidup) mereka dalam hal kemewahan hidup berupa pemandangan yang indah, kendaraan yang nyaman, pembantu yang menyenangkan, pakaian yang lembut, kasur yang empuk, makanan yang mengundang nafsu, ingin pintunya selalu terbuka, ucapannya didengar, dan perintahnya ditaati. Tetapi ia tidak akan mendapat jalan menuju kepadanya melainkan dari jalur kehakiman (menjadi seorang hakim). Sehingga ia pun berusaha untuk menjadi hakim. Namun ia tidak mungkin mendapatkannya kecuali dengan mengorbankan agamanya, sehingga ia pun merendah-rendah di hadapan para raja dan bawahannya. Ia pun melayani mereka dengan dirinya, memuliakan mereka dengan hartanya. Akhirnya ia mendiamkan perbuatan-perbuatan jelek yang nampak baginya ketika ia masuk istana dan rumah mereka. Sehingga hal-hal jelek yang mereka lakukan nampak baik. Ia mencari-carikan alasan untuk melegitimasi kesalahan-kesalahan mereka, demi menampakkan sikap baiknya terhadap mereka. Ketika ia berbuat demikian dalam waktu yang cukup lama dan kehancuran telah menguat pada dirinya, mereka pun mengangkatnya sebagai hakim. Ia laksana disembelih tanpa pisau, sehingga ia berutang budi kepada mereka, yang membuatnya harus membalas budi tersebut. Akhirnya ia menyiksa dirinya. (Ia berusaha) agar tidak membuat mereka marah terhadapnya sehingga mencopotnya dari jabatannya. Ia tidak menoleh kepada kemurkaan Rabbnya, sehingga ia mengambil harta anak yatim, janda, fakir dan miskin juga harta wakaf untuk para mujahidin dan orang-orang mulia di tanah suci, serta harta-harta lain yang manfaatnya kembali kepada seluruh muslimin. Ia juga (merekayasa untuk) membuat rela pencatat, penjaga, dan pembantunya, maka ia pun makan yang haram.
Maka, semakin banyak orang yang mendoakan kejelekan baginya. Sungguh celaka orang yang ilmunya mewariskan akhlak yang semacam ini. Ilmu yang semacam inilah yang Nabi n dahulu berlindung kepada Allah l darinya. Beliau n juga memerintahkan agar seseorang minta perlindungan darinya. Nabi n bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَاباً يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ
“Sekeras-kerasnya manusia siksaannya pada hari kiamat adalah seorang yang berilmu tapi ilmunya tidak bermanfaat untuknya.” (HR. Asy-Syihab dalam Musnad-nya)
Dahulu Nabi n berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, qalbu yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak merasa puas, dan doa yang tidak didengar.” (Shahih, HR. Muslim)
Dahulu beliau n juga berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, dan berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Ibnu Hibban)
Ini semuanya dari penjelasan Al-Imam Abu Bakr Al-Ajurri t, yang beliau hidup pada akhir-akhir tahun 300-an H. Kerusakan setelah itu semakin bertambah, lebih dari apa yang kami sebutkan berkali-kali lipat. La haula wala quwwata illa billah.
Di antara kehancuran yang tersembunyi akibat ambisi terhadap kedudukan adalah mencari kekuasaan dan berambisi dengannya. Ini adalah perkara yang cukup samar. Tidak ada yang memahaminya kecuali para ulama yang begitu kenal dengan Allah l dan begitu mencintai-Nya. Yang dimusuhi orang karena ketaatan mereka kepada Allah l oleh orang-orang bodoh yang hendak menyaingi Rububiyyah Allah l dan uluhiyyah-Nya, padahal mereka hina dan rendah kedudukannya di hadapan Allah l serta di hadapan orang-orang yang dekat dengan-Nya. Sebagaimana dikatakan Al-Hasan t: “Sesungguhnya walaupun kaki-kaki bighal bergemeritik di belakang mereka dan keledai berbaris rapi di belakang mereka, namun kerendahan maksiat tetap berada pada leher-leher mereka. Allah l menolak kecuali untuk merendahkan orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya.”
Perlu diketahui bahwa cinta kedudukan dan ambisi dalam hal pemerintahan dan pengaturan manusia, bila hanya bertujuan agar berkedudukan lebih tinggi dari orang lain serta merasa besar di hadapan mereka, hendak menampakkan butuhnya manusia kepadanya, serta rendahnya mereka di hadapannya saat mereka mencari kebutuhan mereka, maka ini sendiri berarti hendak menyaingi Allah l dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah-Nya. Dengan itu, terkadang ia mengondisikan suatu perkara yang membuat orang-orang butuh kepadanya, agar mereka terpaksa mengangkat dan menampakkan kebutuhan mereka kepadanya. Sehingga ia akan merasa besar dan sombong di hadapan mereka. Padahal sikap seperti ini tidak pantas kecuali bagi Allah l, yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah l berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” (Al-An’am: 42)
“Kami tidaklah mengutus seseorang nabi pun kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.” (Al-A’raf: 94)
Perkara-perkara ini lebih sulit dan lebih berbahaya dari sekadar perbuatan zalim. Lebih parah dan lebih pahit dari kesyirikan, sementara kesyirikan itu adalah sebesar-besar kezaliman di sisi Allah l.
Di antara bentuk ambisi kekuasaan ini adalah seorang yang cinta kedudukan dan kekuasaan, merasa suka untuk dipuji karena perbuatan-perbuatannya, disanjung karenanya, dan meminta atau membuat orang memujinya, serta menyakiti orang yang tidak mau menyambutnya. Padahal bisa jadi perbuatannya tersebut lebih pantas untuk dicela daripada dipuji. Terkadang juga dia menampilkan sesuatu yang baik, dan senang untuk dipuji serta bermaksud dalam batinnya niat merusak, senang untuk disanjung-sanjung. Ini masuk dalam firman Allah l:
“Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Ali ‘Imran: 188)
Oleh karena itu, para ulama dahulu melarang orang untuk memuji mereka atas amal-amal mereka dan perbuatan baik mereka kepada manusia. Mereka juga memerintahkan agar orang-orang memuji Allah l satu-satu-Nya, karena segala kenikmatan berasal dari-Nya.
Dari sini pula khalifah para rasul dahulu dan para pengikut mereka dari kalangan pemimpin dan para hakim yang adil, tidak mengajak untuk mengagungkan diri mereka sama sekali. Bahkan mereka mengajak untuk mengagungkan Allah l saja. Dari sini pula, para rasul bersabar dalam berdakwah kepada Allah l dan dalam menerapkan perintah Allah l. Mereka siap menanggung beban berat dari reaksi makhluk kepada mereka disebabkan hal itu. Sementara mereka tetap sabar dan ridha dengan itu. Karena, seseorang yang cinta terkadang merasakan gangguan yang menimpanya sebagai sebuah nikmat demi keridhaan yang dia cintai.
Sebagian orang shalih mengatakan: “Aku berharap seandainya jasadku dipotong-potong dengan gunting agar makhluk ini taat kepada Allah l.” (Syarh Hadits Ma Dzi’bani Jai’ani dengan sedikit diringkas)
http://asysyariah.com/ambisi-terhadap-kedudukan-dan-kekuasaan.html

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif