Kalau mengenal Allah I sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian.
Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allah I yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam problema hidup.
Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah I tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah I kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah I sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya?
Maka dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat mengenal Allah I dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal.
Mengenal Allah I ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah I, mengenal Rububiyah Allah I, mengenal Uluhiyah Allah I, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah I.
Keempat cara ini telah disebutkan Allah I di dalam Al-Qur`an dan di dalam As-Sunnah baik secara global maupun terperinci.
Ibnul Qayyim dalam Al-Fawaid (hal. 29), mengatakan: “Allah I mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al-Qur`an dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah I dan yang kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah U seperti dalam firman-Nya:
Juga dalam firman-Nya yang lain:
Yaitu beriman bahwa Allah I itu ada. Dan adanya Allah I telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syariat.
Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah I yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah I di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah I dan meminta sesuatu, lalu Allah I mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah I di dalam Al-Qur`an:
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah I dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syariat, kita menyakini bahwa syariat Allah I yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syariat itu datang dari sisi Dzat yang Maha Bijaksana. (Lihat Syarah Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 41-45)
Rububiyah Allah I adalah mengesakan Allah I dalam tiga perkara yaitu penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 14)
Maknanya, menyakini bahwa Allah I adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala manfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah I.
Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah I dalam hal ini. Allah I mengatakan:
Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah I ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah I dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.
Dalam masalah rububiyah Allah I, sebagian orang kafir jahiliyah tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan demikian hanyalah Allah I semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu apa tujuan mereka menyembah ’tuhan’ yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?
Allah I telah menceritakan di dalam Al Qur`an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah I dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah:
Kedua, agar mereka memberikan syafaat (pembelaan) di sisi Allah I. Allah I berfirman:
Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah I telah dijelaskan Allah I dalam beberapa firman-Nya:
Demikianlah Allah I menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid rububiyah Allah I. Sekedar keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga Rasulullah r mengumumkan peperangan melawan mereka.
Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah I, ada yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan manfaat, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat.
Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allah I.
Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allah I. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah I semata dan tidak kepada selain-Nya.
Uluhiyah Allah I adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah I, seperti berdoa, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah I dan Rasulullah r.
Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah I termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah I.
Allah I berfirman di dalam Al-Qur`an:
Rasulullah r telah membimbing Ibnu ‘Abbas c dengan sabda beliau:
Allah berfirman:
“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (An-Nisa`: 36)
Allah berfirman:
“Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (Al Baqarah: 21)
Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allah I dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah I. Karena, semuanya itu hanyalah milik Allah I semata.
Rasulullah r bersabda: “Allah berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ya. Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” (Shahih, HR. Muslim dari Anas bin Malik z)
Rasulullah r bersabda: “Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Aku tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barangsiapa melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (Shahih, HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Contoh konkret penyimpangan uluhiyah Allah I di antaranya ketika seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.
Ibnul Qayyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allah I.”
Maksudnya, kita beriman bahwa Allah I memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah I memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah I memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman Allah I:
Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah I sesuai dengan apa yang dimaukan Allah I dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya sedikitpun. Al-Imam Asy-Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama dan sifat-sifat Allah I sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah I dan apa-apa yang datang dari Allah I dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah I. Aku beriman kepada Rasulullah r dan apa-apa yang datang dari Rasulullah r sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah r.” (Lihat Syarah Lum’atul I’tiqad, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 36)
Ketika berbicara tentang sifat dan nama-nama Allah I yang menyimpang dari yang dimaukan Allah I dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah I tanpa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah I berfirman:
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar