Hadits ke-9, halaman 47 sampai 51
Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr -radhiyallahu 'anhu-, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apa-apa yang aku larang atas kalian, maka jauhilah! Dan apa-apa yang aku perintahkan atas kalian, maka
lakukanlah semampu kalian! Karena sesungguhnya sesuatu yang membinasakan orangorang sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan dan penyelisihan mereka terhadap Nabi-Nabi mereka". HR Al-Bukhari (7288), Muslim (1337), dan lain-lain.
1- Asy-Syaikhan (Al-Bukhari dan Muslim) telah sepakat mengeluarkan hadits ini (dalam kedua kitab Shahih mereka). Dan hadits dengan lafazh seperti ini terdapat dalam Shahih Muslim, dalam Kitab Fadhail (2357). Dan tentang sebab datangnya hadits ini, juga diterangkan dalam Shahih Muslim pula dalam Kitab Al-Hajj (1337), yang berasal dari Abu Hurairah, beliau berkata,Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkhutbah kepada kami, beliau bersabda, "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan ibadah haji atas kalian, maka berhajilah!". Kemudian ada seorang sahabat berkata, "Apakah
setiap tahun wahai Rasulullah?". Maka Rasulullah pun terdiam. Hingga seorang tersebut bertanya hingga tiga kali. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika aku berkata "Ya", pastilah akan menjadi wajib (atas kalian), dan kalian tidak akan
mampu". Kemudian beliau bersabda, "Biarkanlah aku dengan apa-apa yang aku tinggalkan untuk kalian! Karena sesungguhnya sesuatu yang membinasakan orang- orang sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan dan penyelisihan mereka terhadap
para Nabi mereka. Maka jika aku perintahkan sesuatu atas kalian, lakukanlah semampu kalian! Dan jika aku melarang sesuatu atas kalian, tinggalkanlah!".
2- Sabdanya "Apa-apa yang aku larang atas kalian, maka jauhilah!
Dan apa-apa yang aku perintahkan atas kalian,maka lakukanlah semampu kalian!", terdapat taqyiid (pengkhususan/ pengikat) terhadap perintah melakukan sesuatu dengan kemampuan. Berbeda halnya dengan pelarangan (yakni; ia tidak terikat dengan kemampuan). Hal itu disebabkan karena pelarangan termasuk ke dalam bab meninggalkan sesuatu (yakni; tidak melakukan apapun).
Maka, setiap orang pasti mampu untuk meninggalkan sesuatu dan tidak berbuat apa-apa. Adapun perintah, ia terkait dengan kemampuan. Karena perintah maknanya adalah pembebanan
seseorang untuk berbuat/melakukan sesuatu. Sehingga, perbuatan itu mungkin dapat dilakukan, dan mungkin saja tidak dapat, dilakukan. Maka, orang yang diperintah hanya dapat melakukan sesuatu yang ia mampu. Sebagai contoh, tatkala dilarang untuk meminum khamr (minuman keras yang memabukkan), maka (setiap orang) mampu untuk meninggalkannya (karena hanya diam saja dan tidak berbuat apapun, Pent). Namun tatkala diperintah untuk melakukan shalat, maka setiap orang melakukannya sesuai dengan kadar kemampuannya. Jika ia mampu untuk berdiri, maka ia (wajib) berdiri. Jika ia tidak mampu berdiri, maka dengan duduk.
Jika tidak mampu duduk, ia melakukannya dengan berbaring.
Dan bukti kongkrit lain yang lebih memperjelas masalah ini adalah; jika seandainya dikatakan kepada seseorang, "Jangan Anda masuk dari pintu ini!". Maka orang itu jelas bisa melakukannya. Karena ia hanya meninggalkannya saja (yakni; hanya diam saja dan tidak berbuat apapun, Pent). Namun jika dikatakan kepadanya, "Angkatlah batu besar ini!", maka ada kemungkinan ia mampu melakukannya, dan ada kemungkinan ia pun tidak mampu.
3- Meninggalkan hal-hal yang dilarang (dalam agama) hukum asalnya tetap berlaku dalam segala keadaan, tidak ada yang dikecualikan darinya. Kecuali jika dalam keadaan darurat.
Contohnya, memakan bangkai untuk bertahan hidup. Atau meminum sedikit khamr (minuman keras yang memabukkan) karena tersedak makanan (dan tidak didapatkan air,
Pent).
4- Pelarangan yang wajib ditinggalkan sama sekali adalah pengharaman (dalam agama).
Adapun jika pelarangan tersebut hukumnya makruh, maka ia boleh dilakukan, namun lebih baik ditinggalkan.
5- Segala sesuatu yang diperintahkan (dalam agama), maka wajib dilakukan oleh mukallaf (Orang yang telah berusia baligh/dewasa, yang telah wajib atasnya melakukan segala perintah agama dan
wajib meninggalkan larangan agama, Pent).
sesuai dengan kadar kemampuannya. Karena Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Maka, jika seseorang tidak mampu untuk melakukan perintah Allah secara sempurna, ia boleh melakukan secara yang ia mampu di bawah kesempurnaan itu. Maka, jika seseorang tidak mampu melakukan shalat dengan berdiri, ia boleh melakukannya dengan duduk. Jika seseorang tidak mampu melakukan kewajiban secara sempurna, ia melakukannya dengan apa yang ia mampu. Jika ia tidak memiliki air yang cukup untuk berwudhu secara sempurna, maka ia berwudhu dengan apa yang ia miliki dari air tersebut dan selebihnya ber-tayammum. Jika seseorang tidak mampu
mengeluarkan zakat fithri sejumlah yang disyariatkan, maka ia keluarkan sebagiannya yang ia miliki.
6- Sabdanya "Karena sesungguhnya sesuatu yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan dan penyelisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka".
Pertanyaan yang terlarang yang dimaksud dalam hadits adalah pertanyaan terhadap sesuatu di masa nabi mereka, yang dengan pertanyaan tersebut menyebabkan diharamkannya sesuatu yang ditanyakannya itu.
Atau pertanyaan yang menyebabkan diwajibkannya sesuatu yang ditanyakannya itu. Yang seluruhnya menyebabkan kesulitan
yang sangat besar, yang terkadang tidak mampu dilakukan. Seperti melakukan ibadah haji setiap tahun. Dan yang terlarang setelah masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pertanyaan yang memberat-beratkan dan menyibukkan dari hal-hal yang lebih
penting.
7- Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata, sebagaimana dalam kitab Jami'ul Uluumi wal Hikam (1/248-249):
"Dan dalam masalah ini, orang-orang telah terbagi menjadi beberapa kelompok; di antara mereka ada yang mengikuti para ahli hadits dan benar-benar menutup pintu pertanyaan,
hingga benar-benar sedikit sekali pemahaman dan ilmu mereka. Mereka hanya memahami sebatas apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya gariskan. Hingga mereka hanya sekedar membawa ilmu, namun tidak berilmu.
Di antara mereka ada yang termasuk ahli fiqih kalangan ahli ra'yu (banyak memutuskan perkara agama berdasarkan pendapatnya, Pent) yang sangat berluas-luas dalam melahirkan permasalahan/ pertanyaan sebelum terjadinya permasalahan tersebut.
Baik permasalahan yang sering terjadi maupun yang tidak terjadi. Mereka menyibukkan diri dengan mencari-cari jawaban dari permasalahan-permasalahan yang mereka buat-buat itu.
Bahkan memperbanyak perdebatan di dalamnya. Terkadang pula melahirkan permusuhan dan pertentangan hati, sehingga justru terjadi perselisihan dan kebencian. Terlebih lagi diiringi dengan niat untuk saling mengalahkan, atau mencari ketenaran dan agar
dipandang manusia. Maka tentunya hal ini dicela oleh para ulama rabbaniyyun (Yakni; para ulama yang sebenarnya dan hakiki, yang benar-benar menerapkan dan mendakwahkan ilmu mereka berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sesuai dengan manhaj/metode yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu A'lahi Wassalam dan para sahabatnya, Pent.).
Dan As- Sunnah telah menunjukkan akan keburukan dan keharamannya.
Adapun para Ahli fiqih dari kalangan ahli hadits yang benar-benar menerapkan hadits, maka mayoritas kesungguhan mereka adalah membahas dan mencari makna Al-Qur'an kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan apa-apa yang menafsirkannya dari sunnah-sunnah
yang shahihah dan perkataan para sahabat dan tabi'in (orang-orang yang mengikuti mereka) dengan baik. Mereka juga mempelajari Sunnah (hadits-hadits) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, memilah yang shahih dari yang dha'if. Mereka memperdalam ilmu hadits tersebut dan benar-benar berusaha memahami maknanya.
Mereka juga mempelajari maksud-maksud dari perkataan para sahabat dan tabi'in (orangorang yang mengikuti mereka) dengan baik dalam berbagai bidang ilmu Islam, seperti; tafsir, hadits, permasalahan halal dan haram, pokok-pokok sunnah, zuhud, permasalahan akhlak dan hati, dan lain-lainnya. Inilah metode dan jalan yang ditempuh oleh Imam Ahmad dan para ulama lainnya dari kalangan ulama hadits yang rabbaniyyun. Sungguh
dalam hal ini terdapat kesibukan yang luar biasa, yang sudah mencukupkan seseorang dari menyibukkan dengan hal-hal yang sengaja dibuat-buat oleh akal-akalan semata, yang terkadang sama sekali tidak bermanfaat dan tidak pula akan terjadi. Yang terjadi dari hal yang demikian hanyalah perdebatan sengit dan permusuhan, memperbanyak "katanya demikian" dan "dikatakan demikian". Dan Imam Ahmad, seringkali jika ditanya tentang
permasalahan yang tidak/belum terjadi, beliau menjawab, "Jauhkan kami dari permasalahan-permasalahan yang diada-adakan/dibuat-buat!"."
Sampai perkataan beliau, "Dan barangsiapa yang menempuh jalan menuntut ilmu sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan (di atas), ia akan mampu memahami dan menjawab mayoritas permasalahanpermasalahan baru/ kontemporer (yang bermunculan). Karena pokok-pokok
permasalahannya sudah terdapat dalam dasar-dasar ilmu yang telah mereka pelajari. Dan dalam menempuh jalan ini, harus mengikuti jalan para ulama yang jelas dan disepakati keilmuan, keahlian dan petunjuk mereka. Seperti Asy-Syafi'i, Ahmad, Ishaq, Abu 'Ubaid,
dan para ulama yang menempuh jalan mereka. Karena barangsiapa yang mengaku telah menempuh jalan ini, namun tidak sesuai dengan jalan yang ditempuh mereka, ia akan terjerumus ke dalam kehancuran dan kebinasaan. Ia pun telah mengambil sesuatu yang
seharusnya tidak boleh diambil. Ia juga telah meninggalkan perbuatan yang semestinya ia lakukan. Dan kunci keberhasilan semuanya itu adalah ia benar-benar menghendaki wajah Allah, dan hanya bertujuan untuk ber-taqarrub kepada Allah. Dengan terus mempelajari apa-apa yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Dan tetap menempuh jalannya. Mengamalkan serta mendakwahkan manusia kepadanya. Maka, barangsiapa yang demikian keadaannya, ia akan diberi taufik oleh Allah, dimudahkan dan diluruskan jalannya, ditunjuki-Nya, diajarkan oleh-Nya sesuatu yang belum pernah ia mengetahui sebelumnya. Dan ia akan termasuk golongan para ulama yang terpuji, seperti yang difirmankan Allah Ta'ala,
…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama… [Fathir: 28].
Dan ia akan termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya".
Sampai perkataan beliau, "Kesimpulannya, barangsiapa yang melakukan apa-apa yang diperintah oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ia tidak melakukan apa-apa yang dilarang sebagaimana
kandungan makna hadits ini, dan ia hanya menyibukkan dengan mengamalkan hadits ini tanpa tersibukkan dengan hal lainnya, maka ia akan selamat di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa yang menyelisihi jalan ini, serta menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang dia anggap baik hanya menurut pikiran dan perasaannya semata, maka ia akan terjerumus ke dalam sesuatu yang telah diwanti-wanti oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia
akan menyerupai keadaan Ahlul Kitab yang binasa dengan sebab banyaknya pertanyaan dan penyelisihan mereka terhadap para Nabi mereka, serta ketidakpatuhan mereka terhadap para Rasul mereka".
8- Pelajaran dan faidah dari hadits:
a. Wajibnya meninggalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
b. Wajibnya melakukan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
c. Waspada terhadap apa-apa yang dapat menyebabkan dan menjerumuskan seseorang ke dalam kebinasaan Ahlul Kitab.
d. Tidak wajib atas seseorang melakukan sesuatu yang berada di atas/ di luar kemampuannya.
e. Orang yang tidak mampu melakukan sebagian perintah (agama), maka cukup baginya melakukan apa yang ia mampu melakukannya.
f. Membatasi diri dari permasalahan-permasalahan yang diperlukan saja, dan tidak boleh mempersulit dan membebani diri dengan mengada-adakan permasalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar