Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Rabu, 29 Januari 2014

Jangan Ganggu Orang Saleh!


Jangan Ganggu Orang Saleh!

Allah Taala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi kafir.” (QS. Al-Hajj: 38)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Allah Ta’ala berfirman:
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ“Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan terus menerus hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan yang sunnah hingga Aku mencintai dia. Jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang dia mendengar dengannya, dan pandangannya yang dia memandang dengannya, dan tangannya yang dia menyentuh dengannya, dan kakinya yang dia berjalan dengannya. Jikalau dia meminta kepada-Ku niscaya pasti akan Kuberi, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya pasti akan Kulindungi.”(HR. Al-Bukhari no. 6502)
Jundab Al-Qasri radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمْ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ مَنْ يَطْلُبْهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يُدْرِكْهُ ثُمَّ يَكُبَّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ“Barangsiapa yang shalat subuh, maka dia berada dalam jaminan Allah. Oleh karena itu jangan sampai Allah menuntut kalian karena kalian mengganggu siapa yang Dia jamin. Karena siapa saja yang Allah menuntutnya dengan sesuatu karena jaminan-Nya, maka Allah pasti akan menemukannya dan menelungkupkannya di ataswajahnya di dalam neraka jahannam.” (HR. Muslim no. 1051)

Penjelasan ringkas:Orang-orang saleh merupakan wali-wali Allah, hal itu karena orang-orang saleh adalah orang-orang yang beriman lagi bertakwa kepada Allah. Sementara Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya,“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63)
Mereka adalah orang-orang yang mengerjakan semua kewajiban yang Allah bebankan atas mereka dan menjauhi semua larangan-Nya. Bahkan tidak cukup sampai di situ, mereka juga menyempurnakan tingkat perwalian mereka dengan mengerjakan amalan-amalan yang sunnah serta meninggalkan amalan-amalan yang makruh, yang karenanya Allah Ta’ala mencintai mereka. Dan tatkala Allah Ta’ala telah mencintai mereka, maka Allah akan memberikan kepada mereka taufik yang bersifat khusus. Yang dengan taufik ini, dia tidak akan mendengar kecuali ucapan yang baik, tidak melihat kecuali apa yang halal bagi dia untuk melihatnya, tidak menyentuh apa yang bukan haknya, dan tidak melangkah kecuali menuju tempat-tempat ketaatan.
Bahkan yang tidak kalah lebih hebat daripada itu, Allah Ta’ala telah berjanji akan mengabulkan setiap doanya dan melindungi dia jika dia meminta perlindungan kepada-Nya dari sesuatu.
Karena besarnya kecintaan Allah kepada orang-orang saleh yang merupakan wali-Nya, maka Dia senantiasa membela mereka dari gangguan orang-orang yang mengganggu mereka. Bahkan Dia telah menyatakan perang kepada siapa saja yang mencoba untuk mengganggu para wali-Nya. Dan di antara bentuk ‘perang’ kepada para pengganggu wali-Nya adalah Allah memfonis mereka sebagai para pengkhianat dan kafir serta Allah akan menyerat mereka di atas wajah mereka lalu melemparkan mereka semua ke dalam neraka jahannam, wal ‘iyadzu billah.
Karenanya, hendaknya orang-orang yang senang mengganggu para ulama harus waspada dari ancaman ini. Hendaknya mereka menahan lisan-lisan mereka dan tangan-tangan mereka dari mengganggu para ulama. Karena sungguh, celaan kepada mereka secara tidak langsung merupakan celaan kepada ilmu yang mereka sandang, dan celaan kepada ilmu yang mereka sandang secara tidak langsung merupakan celaan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai orang yang telah mewariskan ilmu tersebut kepada mereka.
Dan sungguh di zaman ini banyak sekali orang-orang yang berani menantang Allah Ta’ala untuk berperang dengan mencela para wali-Nya. Mereka menyifati para ulama ahlussunnah dengan sifat-sifat tercela guna menjauhkan umat dari ulama mereka. Mereka menyatakan bahwa para ulama ahlussunnah adalah budak penguasa, mereka adalah orang-orang yang ketinggalan zaman, mereka adalah orang yang tidak memahami fiqhul waqi’ (realita), mereka hanya pantas berfatwa dalam masalah ibadah adapun dalam masalah jihad maka mereka belum pantas dimintai fatwa, mereka adalah mata-mata penguasa di dalam barisan kaum muslimin, dan seterusnya dari tuduhan-tuduhan kotor yang keluar dari mulut-mulut mereka.
Termasuk di dalamnya adalah mencela orang-orang saleh yang konsisten dengan agamanya serta menuduh mereka dengan tuduhan dusta. Mereka menyatakan bahwa orang yang berjenggot bagaikan kambing, yang bercadar bagaikan setan, yang tidak isbal dikatakan kebanjiran, yang berjubah dikatakan mirip wanita, dan seterusnya. Dan gelar terbaru di zaman ini kepada setiap orang yang konsisten kepada agamanya adalah teroris. Sungguh gelar ini tidaklah muncul dengan sendirinya, akan tetapi muncul sebagai akibat adanya sebagian kaum muslimin yang mencoreng agama Islam dengan melakukan aksi terorisme dengan mengatasnamakan jihad. Demi Allah, mereka akan menanggung dosa pada hari kiamat karena telah merusak citra Islam dan mereka juga akan mendapatkan setiap dosa dari setiap orang yang menuduh muslim yang baik sebagai teroris akibat perbuatan mereka. Wal ‘yadzu billah.

Sumber : Di Sini

Minggu, 26 Januari 2014

Alam Jin Dan Misterinya


Pada zaman sekarang pembahasan masalah ghaib masih ada yang menganggap tidak ilmiah dan mistik. Ada juga aliran rasional yang menganggap semua hal yang gaib adalah tidak masuk akal dan semua teks yang berkaitan dengan hal ghaib dianggap kiasan dan ditakwilkan.
Maka dari itu sangat penting untuk mendudukan secara benar dan meluruskan pemahaman masyarakat tentang alam ghaib. Karena tidak beriman orang yang menolak adanya ghaib sebagaimana firman Allah di awal surat Al-Baqarah :
“(yaitu) mereka yang berimankepada yang ghaib” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 3)
Image
Sedangkan orang yang percaya pada yang ghaib namun dengan pemahaman dan persangkaan yang salah tidak sesuai dengan petunjuk Allah juga bisa terjatuh pada syirik.
Image
> SUKA DUKANYA BEKERJA SAMA DENGAN JIN
>BAGAIMANA JIN MEMASUKI TUBUH MANUSIA?
>DIAMANAKAH JIN TINGGAL?
>APA PERLU MEMBAHAS MASALAH GHAIB?
>JIN QORIN
>CARA DUKUN MEMASUKKAN JIN KE DALAM TUBUH MANUSIA
>APA YANG  DI PERBUAT BILA ADA ULAR DI RUMAH KITA ?
>PERANGKAP SETAN
>APAKAH SIHIR ITU ADA ?
>BAGAIMANA CARA KERJA SIHIR ?
>ISIM DAN RAJAH
>APAKAH BISA JIN MENIKAHI MANUSIA?
>APAKAH MAKANAN JIN?
>APA BEDA JIN SYAITHAN DAN IBLIS?
>MENGENAL MAKHLUK JIN
>APAKAH JIN DAPAT DILIHAT?
>BAGAIMANA DUKUN BISA MERAMAL ?
>CARA MERUKYAH DIRI SENDIRI 
>Bagaimana Trik atau cara para dukun untuk mendapatkan bantuan dari jin , di antara salah satunya adalah... (naudzubillahi mindzalik, dengarkan sendiri penjelasannya).........
>Temukan jawabannya di bawah ini !
silahkan klik judul dan selamat mendengarkan , semoga tausyiahnya bisa menambah akan wawasan kita tentang adanya jin berikut kroni-krononya .

Jumat, 24 Januari 2014

Indahnya Cinta Kepada Allah

  1. Cinta kepada Allah  itu indah, bahkan itulah keindahan yang paling diinginkan oleh hati dan jiwa manusia. Lebih dari itu, hati manusia tidak mungkin merasa bahagia, tenang dan damai jika hati itu tidak mengenal, mencintai dan menghambakan diri kepada Allah  semata.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan, dan kebaikan bagi hati manusia kecuali (setelah) dia menjadikan Allah (sebagai) sembahannya satu-satunya, puncak dari tujuannya dan Zat yang paling dicintainya melebihi segala sesuatu (yang ada di dunia ini)”[1].
Allah  menggambarkan agungnya keindahan ini yang menghiasi hati hamba-hamba-Nya yang beriman dengan iman yang sempurna, yaitu para Shahabat , Dia  berfirman:
{وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ}
“Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah (seperti perhiasan) dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS al-Hujuraat:7).
Artinya : Allah  Dialah memberikan taufik kepadamu sehingga kamu mencintai keimanan, serta Dia menjadikan rasa cinta kepada-Nya indah di dalam hatimu dan paling kamu cintai melebihi segala sesuatu yang ada di dunia ini, maka dengan itu kamu semakin bersemangat melakukan segala perbuatan yang menumbuhkan dan menyempurnakan imanmu kepada-Nya[2].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Allah  menjadikan hamba-hamba-Nya yang beriman cinta kepada keimanan, yaitu (dengan) menumbuhkan dalam hati mereka rasa cinta kepada-Nya…Maka dalam ayat ini Allah  mejelaskan bahwa Dia menumbuhkan di dalam hati hamba-hamba-Nya yang beriman dua hal; rasa cinta kepada-Nya dan indahnya rasa cinta kepada-Nya, yang ini semakin memotivasi (mereka) untuk semakin mencintai-Nya, serta Dia menumbuhkan di dalam hati mereka kebencian terhadap hal-hal yang bertentangan dengan keimanan, yaitu kekafiran, kefasikan dan perbuatan maksiat…”[3].
Dalam hadits yang shahih, Rasulullah  berdoa kepada Allah  memohon keindahan ini:
« اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ »
“Ya Allah, hiasilah (diri) kami dengan perhiasan (keindahan) iman, serta jadikanlah kami sebagai orang-orang yang (selalu) mendapat petunjuk (dari-Mu) dan memberi petnjuk (kepada orang lain)”[4].
Allah  Maha Indah serta Maha Mencintai dan dicintai hamba-hamba-Nya yang shaleh
Untuk memahami indahnya cinta kepada Allah , yang keindahan ini dianugerahkan-Nya kepada hamba-hamba yang dipilih-Nya, maka marilah kita pahami dan renungkan dua nama Allah  yang termasuk al-Asma-ul husna (nama-nama Allah  yang maha indah), yaitu nama-Nya al-Jamiil (Yang Maha Indah) dan al-Waduud (Yang Maha Mencintai dan dicintai hamba-hamba-Nya yang shaleh).
1- Nama Allah  al-Jamiil artinya: Allah  Maha Indah semua perbuatan-Nya dan Maha Sempurna semua sifat-Nya[5].
Nama Allah  ini menunjukkan sempurnanya keindahan Allah  pada semua nama, sifat, zat dan perbuatan-Nya[6].
Sempurnanya keindahan inilah yang menjadikan seorang hamba yang mengenal Allah  akan mencintai-Nya dan menjadikan kecintaan tersebut sebagai keindahan yang paling didambakan oleh hatinya melebihi segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allah dengan nama-nama-Nya (Yang Maha Indah), sifat-sifat-Nya (Yang Maha Sempurna) dan perbuatan-perbuatan-Nya Yang Maha Agung) maka dia pasti akan mencintai-Nya”[7].
Di tempat lain, beliau berkata: “Kecintaan itu memiliki dua (sebab) yang membangkitkannya, (yaitu) keindahan dan pengagungan, dan Allah  memiliki kesempurnaan yang mutlak pada semua itu, karena Dia Maha Indah dan mencintai keindahan, bahkan semua keindahan adalah milik-Nya, dan semua pengagungan (bersumber) dari-Nya, sehingga tidak ada sesuatupun yang berhak untuk dicintai dari semua segi karena zatnya kecuali Allah ”[8].
2- Nama Allah  al-Waduud artinya: Allah  Maha Mencintai hamba-hamba-Nya yang beriman dan merekapun mencintai-Nya[9].
Imam Ibnul Atsir dan Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa nama Allah  al-Waduud bisa berarti al-mauduud (yang dicintai), artinya Allah  dicintai dalam hati para kekasih-Nya (hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya). Juga bisa berarti al-waadd (yang mencintai), artinya Allah  mencintai hamba-hamba-Nya yang shaleh[10].
Maka makna al-Waduud adalah bahwa Allah mencintai para Nabi dan Rasul-Nya, serta orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dan merekapun mencintai-Nya. Bahkan mereka mencintai-Nya lebih dari segala sesuatu (yang ada di dunia), sehingga hati mereka dipenuhi dengan kecintaan kepada-Nya, lidah mereka selalu mengucapkan pujian/sanjungan bagi-Nya dan jiwa mereka selalu tertuju kepada-Nya dalam kecintaan, keikhlasan dan kembali kepada-Nya dalam semua keadaan”[11].
Bahkan kandungan makna nama-Nya yang maha indah ini menunjukkan bahwa Allah  menyeru hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mencintai-Nya, karena kecintaan kepada-Nya adalah sumber kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan yang hakiki bagi jiwa manusia.
Dia  mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dan menjadikan-Nya lebih mereka cintai dari segala sesuatu yang ada di dunia ini, karena semua sebab yang memotivasi manusia untuk mencintai sesuatu di dunia ini, maka Allah  memiliki semua itu secara sempurna, bahkan kemahasempurnaan-Nya melebihi semua kesempurnaan yang bisa dijangkau oleh pikiran manusia.
Rasulullah  menggambarkan hal ini dalam sebuah doa beliau yang terkenal:
لا أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَما أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“(Ya Allah), aku tidak mampu menghitung/membatasi pujian/sanjungan terhadap-Mu, Engkau adalah sebagaimana (pujian dan sanjungan) yang Engkau peruntukkan bagi diri-Mu sendiri”[12].
Maka oleh karena itu, Allah  Dialah satu-satunya Zat yang berhak dicintai dan dipuji dengan sepenuh hati, ditinjau dari semua pertimbangan dan sudut pandang, serta Dialah  semata-mata yang berhak untuk disembah dan diibadahi.
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di menjelaskan faidah penting ini dalam ucapan beliau: “al-Waduud berarti bahwa Allah mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan (memperkenalkan kepada mereka) sifat-sifat-Nya yang maha indah, berbagai karunia-Nya yang sangat luas, kelembutan-Nya yang tersembunyi dan bemacam-macam nikmat-Nya yang tampak maupun tidak. Maka Dialah al-Waduud yang berarti al-waaddu (yang mencintai) dan (juga) berartial-mauduud (yang dicintai). Dialah yang mencintai para wali dan hamba yang dipilih-Nya, dan merekapun mencintai-Nya, maka Dialah yang mencintai mereka dan menjadikan dalam hati mereka kecintaan kepada-Nya. Lalu ketika mereka mencintai-Nya Diapun mencintai (membalas cinta) mereka dengan kecintaan lain (yang lebih sempurna) sebagai balasan (kebaikan) atas kecintaan (tulus) mereka (kepada-Nya).
Maka karunia/kebaikan semua kembali kepada-Nya, karena Dialah yang memudahkan segala sebab untuk menjadikan hamba-hamba-Nya cinta kepada-Nya, Dialah yang mengajak dan menarik hati mereka untuk mencintai-Nya. Dialah yang mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan menyebutkan (dalam al-Qur’an) sifat-sifat-Nya yang maha luas, agung dan indah, yang ini semua akan menarik hati-hati yang suci dan jiwa-jiwa yang lurus. Karena sesungguhnya hati dan jiwa yang bersih secara fitrah akan mencintai (sifat-sifat) kesempurnaan.
Dan Allah  memiliki (sifat-sifat) kesempurnaan yang lengkap dan tidak terbatas. Masing-masing sifat tersebut memiliki keistimewaan dalam (menyempurnakan) penghambaan diri (seorang hamba) dan menarik hati (hamba-hamba-Nya) untuk (mencintai)-Nya. Kemudian Dia mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan berbagai macam nikmat dan karunia-Nya yang agung, yang dengan itu Allah menciptakan, menghidupkan, memperbaiki keadaan dan menyempurnakan semua urusan mereka. Bahkan dengan itu Allah menyempurnakan (pemenuhan) kebutuhan-kebutuhan pokok, memudahkan urusan-urusan, menghilangkan semua kesulitan dan kesusahan, menetapkan hukum-hukum syariat dan memudahkan mereka menjalankannya, serta menunjukkan jalan yang lurus kepada mereka…
Maka semua yang ada di dunia dari hal-hal yang dicintai oleh hati dan jiwa manusia, yang lahir maupun batin, adalah (bersumber) dari kebaikan dan kedermawanan-Nya, untuk mengajak hamba-hamba-Nya agar mencintai-Nya.
Sungguh hati manusia secara fitrah akan mencintai pihak yang (selalu) berbuat baik kepadanya. Maka kebaikan apa yang lebih agung dari kebaikan (yang Allah  limpahkan kepada hamba-hamba-Nya)? Kebaikan ini tidak sanggup untuk dihitung jenis dan macamnya, apalagi satuan-satuannya. Padahal setiap nikmat (dari Allah ) mengharuskan bagi hamba untuk hati mereka dipenuhi dengan kecintaan, rasa syukur, pujian dan sanjungan kepada-Nya”[13].
Agungnya kedudukan cinta kepada Allah
Cinta kepada Allah  ruh (inti) Islam, pusat poros agama, serta landasan utama kebahagiaan dan keselamatan (di dunia dan akhirat)[14].
Bahkan inilah ruh keimanan, hakikat tauhid, inti penghambaan diri dan landasan pendekatan diri (kepada-Nya)[15].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya cinta kepada Allah , merasa bahagia (ketika mendekatkan diri) dengan-Nya, merasa rindu untuk berjumpa dengan-Nya, dan ridha kepada-Nya adalah landasan (utama) agama Islam, landasan amal dan niat dalm Islam. Sebagaimana pengetahuan tentang Allah (ma’rifatullah) dan ilmu tentang nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya adalah (ilmu) yang paling agung (di antara) semua ilmu agama. Maka mengenal Allah adalah ilmu yang paling agung, mengharapkan wajah-Nya adalah tujuan yang paling mulia, beribadah kepada-Nya adalah amal yang paling tinggi, serta menyanjung dan memuji-Nya dengan nama-nama-Nya (yang maha indah) dan sifat-sifat-Nya (yang maha sempurna) adalah ucapan yang paling utama…
Maka cinta kepada Allah  bahkan menjadikan-Nya paling dicintai oleh seorang hamba lebih dari segala sesuatu secara mutlak adalah termasuk kewajiban agama yang paling utama, landasannya yang paling besar dan penopangnya yang paling mulia.
Maka barangsiapa yang mencintai makhluk (bersama Allah ) seperti dia mencintai-Nya maka ini termasuk (perbuatan) syirik (menyekutukan Allah  dengan makhluk) yang tidak diampuni pelakunya oleh-Nya dan tidak diterima-Nya satu amalpun darinya (kecuali dengan dia bertobat dari perbuatan tersebut). Allah  berfirman:
{ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ }
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (QS al-Baqarah: 165)”[16].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah :
{وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ}
“Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Mencintai hamba-hamba-Nya” (QS al-Buruuj: 14).
Beliau berkata: “Dialah (Allah ) yang dicintai para wali-Nya (hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya) dengan kecintaan yang tidak serupa (tidak ada bandingannya) dengan apapun (di dunia ini). Sebagaimana Dia tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya dalam sifat-sifat keagungan, keindahan, (kesempurnaan) makna dan perbuatan-perbuatan-Nya, maka kecintaan kepada-Nya di hati hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya sesuai dengan itu semua, (yaitu) tidak sesuatupun dari bentuk-bentuk kecintaan yang menyamainya.
Oleh karena itu, kecintaan kepada-Nya adalah landasan pokok peribadatan (kepada-Nya), dan kecintaan ini mendahalui dan melebihi semua kecintaan (lainnya). (Bahkan) jika kecintaan-kecintaan lain itu tidak mengikuti/mendukung kecintaan kepada-Nya maka semua itu akan menjadi sikasaan (bencana) bagi seorang hamba”[17].
Cinta kepada Allah  dan mendekatkan diri kepada-Nya adalah kenikmatan tertinggi di dunia
Gambaran tentang agungnya keindahan cinta kepada Allah  dan kenikmatan beribadah serta mendekatkan diri kepada-Nya terungkap dalam beberapa pernyataan dari para ulama Ahlus sunnah yang telah merasakan keindahan dan kenikmatan tersebut.
Salah seorang di antara mereka ada yang berkata: “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini”, maka ada yang bertanya: “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?”, Ulama ini menjawab: “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya”[18].
Ulama salaf yang lain berkata: “Seandainya para raja dan pangeran mengetahui (kenikmatan hidup) yang kami rasakan (dengan mencintai Allah  dan mendekatkan diri kepada-Nya), niscaya mereka akan berusaha merebut kenikmatan tersebut dari kami dengan pedang-pedang mereka”[19].
Demikian juga ucapan yang populer dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti” [20].
Imam Ibnul Qayyim memaparkan tingginya kenikmatan dan keindahan ini dalam penuturan beliau: “Cinta kepada Allah , mengenal-Nya (dengan memahami kandungan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna), selalu berzikir kepada-Nya, merasa tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, mengesakan-Nya dalam mencintai, takut, berharap, berserah diri dan mendekatkan diri (kepada-Nya), dengan menjadikan semua itu satu-satunya yang menguasai pikiran, tekad dan keinginan seorang hamba, inilah surga dunia (yang sebenarnya) dan kenikmatan yang tiada taranya (jika dibandingkan dengan) kenikmatan (dunia). Inilah penyejuk hati hamba-hamba yang mencintai (Allah ) dan (kebahagiaan) hidup orang-orang yang mengenal-Nya.
Seorang hamba akan menjadi penyejuk (penghibur) hati bagi manusia sesuai dengan begaimana hamba tersebut merasa sejuk hatinya dengan (mendekatkan diri kepada) Allah . Maka barangsiapa yang merasa sejuk hatinya dengan (mendekatkan diri kepada) Allah maka semua orang akan merasa sejuk hati mereka bersamanya, dan barangsiapa yang tidak merasa sejuk hatinya dengan (mendekatkan diri kepada) Allah maka jiwanya akan terputus (tercurah sepenuhnya) kepada dunia dengan penuh penyesalan dan kesedihan”[21].
Gambaran yang disebutkan di atas tidaklah berlebihan dan mengherankan, karena dalam al-Qur-an dan hadits-hadits Rasulullah  sendiri, iman, cinta dan ibadah kepada Allah  dinyatakan sebagai sesuatu yang sangat indah dan nikmat. Bahkan dalam ayat yang kami sebutkan di awal tulisan ini, iman yang sempurna di dalam hati para Shahabat Rasulullah  digambarkan seperti perhiasan yang sangat indah.
Coba renungkan hadits Rasulullah  berikut ini: Dari Anas bin Malik  bahwa Rasulullah  bersabda: “Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman): menjadikan Allah dan rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena Allah, dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api”[22].
Arti “manisnya iman” dalam hadits ini adalah merasakan kenikmatan (ketika melaksanakan) ketaatan (kepada Allah ), tabah menghadapi segala kesulitan dalam agama dan lebih mengutamakan semua itu di atas semua perhiasan dunia[23].
Dalam hadits lain, Rasulullah  bersabda: “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah  sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad  sebagai rasulnya”[24].
Imam an-Nawawi – semoga Allah  merahmatinya – ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah , dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah , tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut (secara nyata)”[25].
Oleh karena itulah, Rasulullah  menggambarkan keindahan shalat, yang merupakan ibadah dan saat berjumpa hamba-hamba Allah  yang beriman dengan kekasih mereka yang maha mulia, Allah , sebagai kebahagiaan hati dan keindahan jiwa yang tiada taranya. Dari Anas bin Malik  bahwa Rasulullah  bersabda: “Allah menjadikan qurratul ‘ain(penyejuk/penghibur hati) bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat”[26].
Dalam hadits lain, Rasulullah  bersabda kepada Bilal :
“Wahai Bilal, senangkanlah (hati) kami dengan (melaksanakan) shalat”[27].
Kesimpulannya, indahnya rasa cinta kepada Allah  menjadikan segala bentuk ibadah dan ketaatan kepada-Nya menjadi indah dan nikmat, karena rasa nikmat terhadap sesuatu mengikuti rasa cinta kepada sesuatu itu.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Kenikmatan itu mengikuti rasa cinta, semakin kuat  rasa cinta kepada sesuatu maka semakin besar pula kenikmatan (ketika dekat dengannya) dan semakin berkurang kenikmatan dengan kurangnya rasa cinta. Semakin besar rasa cinta dan rindu kepada sesuatu maka kenikmatan ketika mendapatkannya semakin sempurna (pula)”[28].
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya orang mencintai (Allah ) dia akan merasakan nikmat dengan melayani (beribadah) kepada kekasihnya (Allah ) dan melakukan ketaatan kepada-Nya. Semakin kuat rasa cinta (kepada Allah ) maka kenikmatan (dengan) beribadah dan taat (kepada-Nya) semakin sempurna. Maka hendaknya seorang hamba menimbang keimanan dan rasa cintanya kepada Allah dengan timbangan ini, dan hendaknya dia melihat apakah dia merasakan nikmat ketika melayani (beribadah kepada) kekasihnya (Allah ), atau (justru) dia merasa berat dan melakukannya dengan (rasa) jenuh dan bosan?”[29].
Belomba-lomba dalam kebaikan, bukti indahnya cinta kepada Allah
Inilah sebabnya mengapa hamba-hamba Allah  yang shaleh dalam ayat-ayat al-Qur-an disifati dengan sifat mulia; selalu bersegera dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Ini dikarenakan mereka merasakan ibadah dan amal shaleh sebagai kebutuhan utama bahkan sebagai sumber kebahagiaan hati dan kedamaian jiwa mereka yang sesungguhnya.
Allah  memuji dan menyifati para Nabi-Nya u dalam firman-Nya:
{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera (berlomba-lomba) dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah)” (QS al-Anbiyaa’: 90).
Dalam ayat lain, Dia  berfirman:
{إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لا يُشْرِكُونَ. وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ}
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena kepada Rabb mereka (Allah ). Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Rabb mereka (dengan sesuatu apapun). Dan orang-orang yang memberikan (bersedekah) apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. Mereka itulah orang-orang (yang selalu) bersegera dan berlomba-lomba dalam (melakukan) kebaikan-kebaikan” (QS al-MU’minuun: 57-61).
Bahkan inilah bentuk motivasi dari Allah  kepada hamba-hamba-Nya untuk meraih kedekatan dan kemuliaan di sisi-Nya. Allah  berfirman:
{وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ}
“Dan bersegeralah (berlomba-lombalah) kamu untuk (meraih) pengampunan dari Rabbmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa” (QS Ali ‘Imraan: 133).
Dalam ayat lain, Allah  berfirman:
{فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ}
“Maka berlomba-lombalah kamu (dalam melakukan) kebaikan” (QS al-Baqarah: 148 dan al-Maidah: 48).
Juga dalam firman-Nya:
{وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ}
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang-orang (yang beriman) berlomba-lomba (untuk meraihnya)” (QS al-Muthaffifiin: 26).
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Maha suci (Allah ) yang memperlihatkan kepada hamba-hamba-Nya (yang shaleh) surga-Nya (di dunia) sebelum (mereka) bertemu dengan-Nya (di akhirat kelak), dan Dia membukakan untuk mereka pintu-pintu surga-Nya di negeri (tempat) beramal (dunia), sehingga mereka bisa merasakan kesejukan dan keharumannya, yang itu (semua) menjadikan mereka (termotivasi untuk) mencurahkan (semua) kemampuan mereka untuk meraihnya dan berlomba-lomba mendapatkannya”[30].
Motivator cinta kepada Allah
Allah  Dialah satu-satunya Zat yang pantas untuk dicintai dari semua pertimbangan dan sudut pandang[31], karena semua sebab yang menjadikan seorang manusia mencintai sesuatu/orang lain maka semua itu secara sempurna ada pada Allah .
Di antara kandungan makna nama Allah  al-Waduud (Maha Mencintai dan dicintai hamba-hamba-Nya yang shaleh) adalah bahwa Dialah yang memberi taufik kepada hamba-hamba-Nya yang beriman kepada sebab-sebab yang memudahkan mereka untuk mencintai-Nya, bahkan menjadikan-Nya lebih mereka cintai dari segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Karunia/kebaikan semua kembali kepada Allah, karena Dialah yang memudahkan segala sebab untuk menjadikan hamba-hamba-Nya cinta kepada-Nya, Dialah yang mengajak dan menarik hati mereka untuk mencintai-Nya. Dialah yang mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan menyebutkan (dalam al-Qur’an) sifat-sifat-Nya yang maha luas, agung dan indah, yang ini semua akan menarik hati-hati yang suci dan jiwa-jiwa yang lurus. Karena sesungguhnya hati dan jiwa yang bersih secara fitrah akan mencintai (sifat-sifat) kesempurnaan”[32].
Secara umum, faktor dan sebab utama yang menjadikan manusia mencintai sesuatu/orang lain kembali kepada dua hal, yaitu:
-          Keindahan dan kesempurnaan yang ada sesuatu/orang itu
-          Kebaikan dan kasih sayang yang bersumber dari sesuatu/orang itu
Telah kami nukil di atas penjelasan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di bahwa “sesungguhnya hati dan jiwa yang bersih secara fitrah akan mencintai  kesempurnaan” dan “sesungguhnya hati manusia secara fitrah akan mencintai pihak yang (selalu) berbuat baik kepadanya”[33].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Rasa cinta ditinjau dari faktor yang membangkitkannya terbagi menjadi dua:
- Yang pertama: cinta yang timbul dari  (faktor) kebaikan, menyaksikan banyaknya nikmat dan anugerah (yang dilimpahkan), karena sesungguhnya hati manusia secara tabiat mencintai pihak yang (selalu) berbuat kebaikan padanya dan membenci pihak yang (selalu) berlaku buruk padanya.
- (Yang kedua): (cinta yang timbul dari faktor) kesempurnaan dan keindahan. Jika terkumpul faktor kebaikan dan (banyaknya) limpahan nikmat dengan faktor kesempurnaan dan keindahan, maka tidak akan berpaling dari mencintai zat yang demikian keadaannya (terkumpul padanya dua faktor tersebut) kecuali hati yang paling buruk, rendah dan hina serta paling jauh dari semua kebaikan, karena sesungguhnya Allah menjadikan fitrah pada hati manusia untuk mencintai pihak yang berbuat kebaikan (padanya) dan sempurna dalam sifat-sifat dan tingkah lakunya”[34].
Berikut ini penjelasan tentang kedua faktor tersebut dalam menumbuhkan kecintaan kepada Allah :
1. Faktor kebaikan, kasih sayang dan banyaknya limpahan nikmat
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak ada satupun yang kebaikannya lebih besar dibandingkan Allah , karena sungguh kebaikan-Nya kepada hamba-Nya (tercurah) di setiap waktu dan (tarikan) nafas (hamba tersebut). Hamba itu selalu mendapatkan limpahan kebaikan-Nya dalam semua keadaannya, sehingga tidak ada cara (tidak mungkin) baginya untuk menghitung (secara persis) jenis-jenis kebaikan Allah  tersebut, apalagi macam-macam dan satuan-satuannya”[35].
Allah  berfirman:
{وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ}
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa bencana, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan” (QS an-Nahl: 53).
Artinya: Hanya kepada-Nyalah kamu berdoa dan menundukkan diri memohon pertolongan, karena kamu mengetahui bahwa tidak ada yang mampu menghilangkan bahaya dan bencana kecuali Dia  semata-mata. Maka Zat yang maha tunggal dalam memberikan apa yang kamu minta dan mencegah apa yang kamu tidak sukai, Dialah satu-satunya yang pantas untuk dicintai dan diibadahi tanpa disekutukan[36].
Kebaikan, nikmat dan kasih sayang yang Allah  limpahkan kepada manusia, terlebih lagi kepada hamba-hamba-Nya yang beriman sungguh tiada terhitung dan tiada terkira, melebihi semua kebaikan yang diberikan oleh siapapun di kalangan makhluk. Karena kebaikan dan nikmatnya untuk lahir dan batin manusia. Bahkan nikmat dan taufik-Nya bagi manusia untuk mengenal dan mengikuti jalan Islam dan sunnah Rasulullah  adalah anugerah terbesar dan paling sempurna bagi manusia, karena inilah sebab kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat dan tidak ada yang mampu memberikan semua ini kecuali hanya Dia  semata-mata.
Allah  berfirman tentang ucapan penghuni surga:
{وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ}
“Mereka (penghuni surga) berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada kami kepada (jalan menuju surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Rabb kami, membawa kebenaran”. Dan diserukan kepada mereka: “Itulah surga yang telah diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan” (QS al-A’raaf: 43).
Termasuk kebaikan dan kasih sayang yang paling sempurna menurut pandangan manusia adalah kebaikan dan kasih sayang orang tuanya kepadanya, terutama ibunya. Akan tetapi, betapapun besarnya kebaikan dan kasih sayang tersebut, tetap saja hanya pada batasan yang mampu dilakukan manusia. Karena tentu orang tuanya tidak mampu memberikan rezki, mencegah penyakit atau bencana dari diri anaknya. Belum lagi kebaikan berupa taufik untuk menempuh jalan Islam yang lurus.
Oleh karena itu, wajar jika Rasulullah  bersabda: “Sungguh Allah lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu kepada anaknya”[37].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Seandainya tidak ada kebaikan dan limpahan nikmat (dari) Allah yang (seharusnya) menjadi sebab hamba-hamba-Nya mencintai-Nya kecuali (dengan) Dia menciptakan langit-langit dan bumi, serta (semua) yang ada di dunia dan akhirat, (semua) untuk mereka, kemudian Dia memuliakan mereka (dengan) mengutus kepada mereka para Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya, mensyariatkan agama-Nya dan mengizinkan bagi mereka untuk bermunajat (berkomunikasi) dengan-Nya di setiap waktu yang mereka inginkan.
(Bahkan) dengan satu kebaikan yang mereka kerjakan Dia menuliskan (pahala) bagi mereka sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, (bahkan) sampai berlipat-lipat kali yang banyak. (Sementara) untuk satu keburukan (yang mereka kerjakan) Dia menuliskan bagi mereka (hanya) satu dosa, lalu jika mereka bertaubat maka Dia menghapuskan dosa tersebut dan menggantikannya dengan satu kebaikan.
Seandainya dosa salah seorang di antara hamba-hamba-Nya mencapai (sepenuh) awan di langit kemudian dia memohon ampun kepada-Nya maka Dia akan mengampuninya. Seandainya hamba tersebut berjumpa Allah (meninggal dunia) dengan (membawa) dosa-dosa sepenuh bumi, tapi dia membawa tauhid (mengesakan-Nya dalam beribadah) dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu maka Dia akan memberikan pengampunan sepenuh bumi (pula) bagi hamba tersebut.
Dia yang mensyariatkan bagi mereka taubat yang menggugurkan dosa-dosa, lalu Dia (juga) yang memberi taufik kepada mereka untuk melakukannya, kemudian Dia menerima taubat dari mereka. Dan DIa mensyariatkan (ibadah) haji yang menggugurkan dosa-dosa yang terdahulu, Dialah yang memberi taufik kepada mereka untuk mengerjakannya dan dengan itu Dia menggugurkan dosa-dosa mereka.
Demikian pula semua amal ibadah dan ketaatan (lainnya), Dialah yang memerintahkan mereka untuk mengerjakannya, Dia menciptakan mereka untuk beribadah kepada-Nya, mensyariatkan ibadah itu untuk mereka dan memberikan balasan pahala penegakkan ibadah itu.
Maka dari Dialah sebab, dari-Nya balasan (pahala), dan dari-Nyalah taufik (kemudahan dan pertolongan untuk bisa mengerjakan segala kebaikan). Dari-Nya (segala) nikmat di awal dan akhir, mereka yang selalu mendapat kebaikan darinya seluruhnya dari awal sampai akhir. Dia yang menganugerahkan kepada hamba-Nya harta (rizki) dan Dia menyeru (hamba-Nya): beribadahlah kepada-Ku (bersedekahlah) dengan harta ini maka Aku akan menerimanya darimu. Maka hamba tersebut adalah milik-Nya, harta itu juga milik-Nya, dan dari-Nya pahala (untuk sedekah tersebut, sehingga Dialah Yang Maha Pemberi (anugerah kebaikan) dari awal sampai akhir.
Maka bagaimana mungkin tidak akan dicintai Zat yang demikian keadaan (sifat-sifat kebaikan)-Nya? Bagaimana mungkin seorang hamba tidak merasa malu untuk memalingkan rasa cintanya kepada selain-Nya? Siapakah yang lebih pantas untuk dipuji, disanjung dan dicintai selain Allah? Dan siapakah yang lebih banyak kepemurahan, kedermawanan dan kebaikannya dari pada Allah? Maka maha suci Allah, segala puji bagi-Nya, tidak ada sembahan yang benar kecuali Dia yang maha perkasa lagi maha bijaksana”[38].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Allah mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan berbagai macam nikmat dan karunia-Nya yang agung, yang dengan itu Allah menciptakan, menghidupkan, memperbaiki keadaan dan menyempurnakan semua urusan mereka. Bahkan dengan itu Allah menyempurnakan (pemenuhan) kebutuhan-kebutuhan pokok, memudahkan urusan-urusan, menghilangkan semua kesulitan dan kesusahan, menetapkan hukum-hukum syariat dan memudahkan mereka menjalankannya, serta menunjukkan jalan yang lurus kepada mereka…
Maka semua yang ada di dunia dari hal-hal yang dicintai oleh hati dan jiwa manusia, yang lahir maupun batin, adalah (bersumber) dari kebaikan dan kedermawanan-Nya, untuk mengajak hamba-hamba-Nya agar mencintai-Nya.
Sungguh hati manusia secara fitrah akan mencintai pihak yang (selalu) berbuat baik kepadanya. Maka kebaikan apa yang lebih agung dari kebaikan (yang Allah  limpahkan kepada hamba-hamba-Nya)? Kebaikan ini tidak sanggup untuk dihitung jenis dan macamnya, apalagi satuan-satuannya. Padahal setiap nikmat (dari Allah ) mengharuskan bagi hamba untuk hati mereka dipenuhi dengan kecintaan, rasa syukur, pujian dan sanjungan kepada-Nya”[39].
2. Faktor kesempurnaan dan keindahan
Semua manusia yang berakal sehat tentu mencintai keindahan dan kesempurnaan. Semakin indah dan sempurna sesuatu dalam penilaian manusia maka sesuatu itu tentu semaikn dicintainya. Misalnya saja: pemandangan yang indah, kendaraan mewah atau barang elektronik yang canggih. Semakin indah dan sempurna benda-benda tersebut maka akan semakin disukai manusia dan berlomba-lomba dicarinya.
Kalau keindahan dan kesempurnaan yang ada pada makhluk saja bisa menjadikan manusia yang mengenalnya mencintainya, padahal bagaimanapun tingginya keindahan dan kesempurnaan yang ada pada makhluk, tetap saja semua itu terbatas, maka bagaimana pula dengan keindahan yang maha sempurna dan kesempurnaan yang tidak terbatas yang ada pada Allah ? Dialah yang maha indah dan sempurna pada Zat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya. Maka tentu seorang hamba yang mengenal kemahaindahan dan kemahasempurnaan ini akan mencintai-Nya bahkan menjadikan-Nya paling dicintai-Nya lebih dari segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Kecintaan itu memiliki dua (sebab) yang membangkitkannya, (yaitu) keindahan dan pengagungan, dan Allah  memiliki kesempurnaan yang mutlak pada semua itu, karena Dia Maha Indah dan mencintai keindahan, bahkan semua keindahan adalah milik-Nya, dan semua pengagungan (bersumber) dari-Nya, sehingga tidak ada sesuatupun yang berhak untuk dicintai dari semua segi karena zatnya kecuali Allah ”[40].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Maka karunia/kebaikan semua kembali kepada-Nya, karena Dialah yang memudahkan segala sebab untuk menjadikan hamba-hamba-Nya cinta kepada-Nya, Dialah yang mengajak dan menarik hati mereka untuk mencintai-Nya. Dialah yang mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan menyebutkan (dalam al-Qur’an) sifat-sifat-Nya yang maha luas, agung dan indah, yang ini semua akan menarik hati-hati yang suci dan jiwa-jiwa yang lurus. Karena sesungguhnya hati dan jiwa yang bersih secara fitrah akan mencintai (sifat-sifat) kesempurnaan.
Dan Allah  memiliki (sifat-sifat) kesempurnaan yang lengkap dan tidak terbatas. Masing-masing sifat tersebut memiliki keistimewaan dalam (menyempurnakan) penghambaan diri (seorang hamba) dan menarik hati (hamba-hamba-Nya) untuk (mencintai)-Nya”[41].
Sebagai gambaran tentang sempurnanya kemahaindahan Allah  yang pasti menjadikan orang yang mengenalnya akan mencintai-Nya dan menjadikan-Nya paling dicintai-Nya lebih dari segala sesuatu yang ada di dunia ini, cobalah kita cermati dan renungkan hadits berikut ini:
Dari Shuhaib bin Sinan , Rasulullah  bersabda: “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah  Berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka cintai dari pada melihat (wajah) Allah ”. Kemudian Rasulullah  membaca firman Allah:
{لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah ). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya” (QS Yuunus:26)[42].

Benarlah ucapan imam Ibnul Qayyim: “Barangsiapa yang mengenal Allah dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya maka dia pasti akan mencintai-Nya”[43].
Di tempat lain beliau berkata: “Kalau kesempurnaan itu dicintai (manusia) karena zatnya, maka seharusnya Allah  Dialah yang dicintai (manusia) karena (kemahasempurnaan pada) zat dan sifat-sifat-Nya. Hal ini disebabkan karena Allah tidak ada sesuatupun yang lebih sempurna dari pada Dia, semua nama, sifat dan perbuatan-Nya menunjukkan kesempurnaan. Maka Dialah yang dicintai dan dipuji dalam semua perbuatan-Nya dan semua yang diperintahkan-Nya, karena tidak ada kesia-siaan dalam semua perbuatan-Nya dan tidak ada kesalahan dalam segala perintah-Nya. Semua perbuatan-Nya tidak lepas dari hikmah, kemaslahatan, keadilan, karunia dan rahmat (bagi hamba-hamba-Nya), dan masing-masing dari semua hal itu mengharuskan (manusia untuk) memuji, menyanjung dan mencintai-Nya. Semua firman-Nya benar dan adil, semua balasan-Nya karunia dan keadilan. Kalau Dia memberi (kepada hamba-Nya) maka (semua itu) dengan karunia, rahmat dan nikmat-Nya, kalau Dia tidak memberi atau menghukum (hamba-Nya yang berhak mendapat hukuman) maka (semua itu) dengan keadilan dan hikmah-Nya”[44].
Sebagai kesimpulan tentang dua sebab besar yang merupakan motivator cinta kepada Allah , adalah sebagaimana ucapan imam Ibnul Qayyim: “Jika terkumpul faktor kebaikan dan (banyaknya) limpahan nikmat dengan faktor kesempurnaan dan keindahan, maka tidak akan berpaling dari mencintai zat yang demikian keadaannya (terkumpul padanya dua faktor tersebut) kecuali hati yang paling buruk, rendah dan hina serta paling jauh dari semua kebaikan, karena sesungguhnya Allah menjadikan fitrah pada hati manusia untuk mencintai pihak yang berbuat kebaikan (padanya) dan sempurna dalam sifat-sifat dan tingkah lakunya”[45].
Penutup
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk bersungguh-sungguh berusaha dan memohon taufik dari Allah  agar Dia memudahkan kita meraih kedudukan yang mulia ini, dengan rahmat dan karunia-Nya.
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa agung dari Rasulullah :
“(Ya Allah) aku memohon kepada-Mu kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu dan kecintaan kepada amal perbuatan yang mendekatkan diriku kepada kecintaan kepada-Mu”[46].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 12 Jumadal akhir 1434 H
Abdullah bin Taslim al-Buthon

[1] Kitab “Igaatsatul lahfaan min masha-yidisy syaithaan” (1/26).
[2] Lihat kitab “Fathul Qadiir” (5/86).
[3] Kitab “Syifa-ul ‘aliil” (hal. 57).
[4] HR Imam Ahmad (4/264), an-Nasa-i (3/54 dan 3/55), Ibnu Hibban dan al-Hakim (no. 1900), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam kitab “Zhilaalul jannah fii takhriijis sunnah” (no. 424).
[5] Lihat kitab “an-Nihayah fi gariibil hadits wal atsar” (1/812).
[6] Lihat “Fiqhul asma-i husna” (hal. 291).
[7] Kitab “Madaarijus saalikin” (3/17).
[8] Kitab “al-Jawabul kaafi” (hal. 164).
[9] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 388).
[10] Lihat kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadiitsi wal atsar” (5/363) dan “Madaarijus saalikiin” (3/28).
[11] Keterangan syaikh ‘Abdur Rahman as- Sa’di dalam kitab “Tafsiiru asma-illahil husna” (hal. 87).
[12] HSR Muslim (no. 486).
[13] Kitab “Fathur Rahiimil Malikil ‘Allaam” (hal. 55-56).
[14] Ucapan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 61).
[15] Ucapan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di dalam kitab “Fathur Rahiimil Malikil ‘Allaam” (hal. 57).
[16] KItab “Igaatsatul lahfaan” (2/195-196).
[17] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 919).
[18] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/72).
[19] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 70).
[20] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 69).
[21] Kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 70).
[22] HSR al-Bukhari (no. 16 dan 21) dan Muslim (no. 43).
[23] Lihat kitab “Syarhu shahihhi Muslim” (2/13) dan “Fathul Baari” (1/61).
[24] HSR Muslim (no. 34).
[25] Kitab “Syarh shahih Muslim” (2/2).
[26] HR Ahmad (3/128) dan an-Nasa-i (7/61), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[27] HR Abu Daud (2/715) dan Ahmad (5/364), dinyatakan shahih oleh syaikh Al Albani.
[28] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 53).
[29] Kitab “Thariiqul hijratain” (hal. 474).
[30] Kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 70).
[31] Lihat kitab “al-Jawaabul kaafi” (hal. 276).
[32] Kitab “Fathur Rahiimil Malikil ‘Allaam” (hal. 56).
[33] Hal 3-4 dalam makalah ini.
[34] Kitab “Thariiqul hijratain” (hal. 349 dan 352).
[35] Kitab “Thariiqul hijratain” (hal. 349).
[36] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 442).
[37] HSR al-Bukhari (no. 5653) dan Muslim (no. 2754).
[38] Kitab “Thariiqul hijratain” (hal. 350-351).
[39] Kitab “Fathur Rahiimil Malikil ‘Allaam” (hal. 56).
[40] Kitab “al-Jawabul kaafi” (hal. 164).
[41] Kitab “Fathur Rahiimil Malikil ‘Allaam” (hal. 55).
[42] HSR Muslim dalam “Shahih Muslim” (no. 181).
[43] Kitab “Madaarijus saalikin” (3/17).
[44] Kitab “Thariiqul hijratain” (hal. 352).
[45] Kitab “Thariiqul hijratain” (hal. 352).
[46] HR at-Tirmidzi (no. 3235), dinyatakan shahih oleh imam al-Bukhari, at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.
Sumber Di Sini
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif