Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Jumat, 17 Januari 2014

Sudah Jujurkah Kecintaan Kita kepada Allah?

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):
“Katakanlah (wahai Muhammad), Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31)
Setiap muslim pasti mengaku cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Cinta tidak cukup hanya sekedar pengakuan lisan namun perlu bukti nyata untuk mengetahui kejujuran cinta tersebut.
Al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah dan yang lainnya mengatakan bahwa ada suatu kaum yang mengaku cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’alapun menguji mereka dengan diturunkannya ayat ke-31 dari surah Ali Imran ini. (Tafsir Ibnu Katsir) .
Ittiba’ (Mengikuti) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Bukti Kejujuran Cinta Seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala
Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada umat manusia bahwa jika mereka benar-benar mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, maka mereka harus berittiba’ (mengikuti) beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menurut al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah, ayat ini sebagai hakim yang menghukumi (memutuskan) bahwa setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala,padahal dia tidak berada di atas jalan dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia adalah orang yang dusta dalam pengakuannya, sampai dia mengikuti syariat dan agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua perkataan, perbuatan, dan segenap keadaannya.
Perwujudan Ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Untuk mewujudkan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seseorang harus merealisasikan dua hal berikut:
Pertama, mengikuti agama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu dengan memeluk agama Islam secara tulus dan hati yang lapang. Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengaku cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan merekapun mengaku kekasih Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” (Al-Maidah: 18)
Namun pengakuan ini tidaklah bermanfaat karena mereka tidak mau beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang Yahudi menjadi kaum yang terlaknat, sementara orang Nasrani menjadi kaum yang tersesat dari jalan yang lurus.
Kedua, mengikuti sunnah (ajaran) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu dengan berpegang teguh dan menjalankan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh aspek kehidupan beragama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Maka wajib atas kalian untuk menjalankan sunnahku dan sunnah al-Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegangteguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud, no. 4607, Ahmad, no. 17145, dan selainnya)
Berakidah, berakhlak, beribadah, dan bermuamalah, semuanya dijalankan sesuai dengan yang telah dicontohkan dan dibimbingkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak berakidah dengan keyakinan yang menyelisihi akidah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.Demikian pula tidak beribadah dan beramal dengan suatu amal ibadah yang tidak diajarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seorang yang jujur dalam mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia tidak akan mengada-adakan perkara baru dalam agama ini yang tidak ada tuntunannya dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi salaf, baik dalam hal akidah maupun cara beribadah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan bagian dari urusan (agama) kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim, no. 1718)
Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Wajib atasmu untuk bertakwa kepada Allah dan istiqamah, ber-ittiba’-lah (ikutilah Rasulullah) dan janganlah mengada-adakan perkara baru yang tidak ada tuntunannya dalam agama ini.” (Sunan ad-Darimi 1/53, al-Ibanah al-Kubra 1/no. 200. Lihat Haqqun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) .
Buah Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Pada ayat ke-31 dari surah Ali Imran ini, Allah subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan keutamaan orang yang mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ia akan dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan diampuni dosa-dosanya. Sungguh ini merupakan kemurahan Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-Nya. 
Pengakuan cinta seorang hamba kepada Rabb-nya yang dibuktikan dengan sikap ittiba’ kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,membuahkan hasil yang jauh lebih baik. Tidak sekedar mendapatkan kecintaan dari Allahsubhanahu wa ta’ala, namun juga ampunan dari-Nya atas segala dosanya.
Di samping itu, orang yang benar dalam ittiba’-nya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dijamin mendapatkan hidayah (petunjuk) sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Dan ikutilah dia (Rasulullah), supaya kalian mendapat petunjuk.” (Al-A’raf: 158)
Rahmat dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala pun telah ditetapkan bagi orang-orang yang jujur dalam ittiba’-nya tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
“Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami. (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi.” (Al-A’raf: 156-157)
Dan di akhir ayat ke-157 dari surah Al-A’raf, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa merekalah yang akan meraih keberuntungan.
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-A’raf: 157)
Umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dijamin masuk surga selama mereka mau mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjalankan perintah beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda (artinya):
“Seluruh umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?” Beliau menjawab, “Barang siapa yang menaatiku, ia akan masuk surga, dan barang siapa yang bermaksiat kepadaku, ialah orang yang enggan (masuk surga).” (HR. al-Bukhari no. 7280) 
Akibat Enggan Mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah mengajak umat manusia untuk meniti jalan yang lurus agar mereka meraih keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Namun ternyata tidak sedikit dari umatnya yang enggan mengikuti seruan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamini. Kita perhatikan bagaimana permisalan diri beliau dengan umat manusia sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya):
“Permisalan diriku seperti orang yang menyalakan api. Ketika api itu telah menyinari semua yang ada di sekelilingnya, berdatanganlah serangga-serangga padanya dan mereka pun berjatuhan ke dalam api tersebut. Orang itu pun berusaha menghalangi serangga-serangga itu dari api, namun mereka tidak menghiraukannya sehingga mereka pun banyak terjatuh ke dalam api itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah permisalan diriku dan diri kalian, aku memegangi ikat-ikat pinggang kalian agar kalian selamat dari api neraka. Jauhilah api neraka! Jauhilah api neraka! Akan tetapi kalian tidak menghiraukanku sehingga kalian pun berjatuhan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim no. 2284)
Itulah akibat bagi orang yang tidak menghiraukan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan enggan mengikuti apa yang telah dituntunkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masih banyak dalil yang menunjukkan tentang hal ini, namun cukuplah hadits di atas menjadi peringatanS
Para Rasul pun Membenarkan Syariat Nabi Muhammad Shollallahu a'laihiwassalam
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (An-Nisa`: 64)
Setiap umat dan generasi wajib menaati dan mengikuti ajaran yang dibawa oleh nabi dan rasul yang diutus di tengah-tengah mereka. Namun, begitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus sebagai nabi dan rasul terakhir, maka seandainya para nabi dan rasul sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup maka pasti akan beriman dan mengikuti syariat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepada kalian seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” Allah berfirman, “Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab, “Kami mengakui.” Allah berfirman, “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.” (Ali Imran: 81)
Ayat ini menjelaskan bahwa para nabi telah berjanji kepada Allah subhanahu wa ta’ala, jika Allah subhanahu wa ta’ala mengutus seorang rasul setelah mereka, niscaya para nabi itu akan beriman kepadanya dan membenarkan risalah yang dibawa rasul tersebut. Perjanjian ini pun juga berlaku bagi umat dari setiap nabi tersebut. Yang demikian itu karena Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan kepada para nabi agar mereka saling mengimani dan membenarkan risalah, karena syariat dan ajaran yang mereka bawa semuanya dari sisi Allahsubhanahu wa ta’ala, dan setiap ajaran yang datang dari-Nya wajib untuk dibenarkan dan diimani.
Nabi dan rasul terakhir adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan hal yang sudah diketahui oleh para nabi sebelum beliau, sehingga kalau seandainya mereka masih hidup dan menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta risalahnya, pasti mereka akan beriman dan mengikuti risalah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menolong dan membela beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah imam para nabi, sayyid (pemuka), dan panutan mereka. Sehingga ayat ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan tingginya kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan besarnya kemuliaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan dengan para nabi yang lain. (Lihat Taisirul Karimirrahman).
Para nabi adalah orang yang paling mulia di tengah-tengah kaumnya karena mereka telah mendapatkan keutamaan dari Allah subhanahu wa ta’ala berupa ilmu dan cahaya kenabian. Namun kemuliaan yang dimiliki oleh para nabi tersebut tidaklah menghalangi mereka untuk membenarkan risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tunduk terhadap syariat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa, jika seandainya para setelah diutusnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka masih hidup.
Dengan berdasarkan wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampun bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا، مَا وَسِعَهُ إِلا أَنْ يَتَّبِعَنِي
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Nabi Musa masih hidup pasti dia akan mengikutiku.” (HR. Ahmad 3/387, lihat Irwa`ul Ghalil no. 1589)
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik.
            Wallahu a’lam bish shawab..
Penulis: Ustadz Abu Abdillah hafizhahullah
Sumber = Di Sini

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif