Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Sabtu, 04 Januari 2014

Meninggalkan Fatwa, bukan Berarti Melecehkan Ulama

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Munculnya fatwa Syekh rabi ttg ust. dzulqornain, menyibak banyak misteriyg brcokol dlm hati org2 yg memendam penyakit di hatinya, menguak kejahilan dan kedangkalan ilmu sebagian diantara mereka. Fenomena ini memunculkan kesan beragam pd diri masing2 org; tergantung tingkat pemahaman dan hidayah yg ada di hatinya.

Kita angkat sebagai contoh terkini dan masih segar dlm ingatan. Syekh rabi saat menilai ust. Dzul dlm sebuah fatwa beliau, akibat berita2 miring yg sampai kpd syekh ttg diri beliau dr Lukman ba abduh, cs. Nah, saat itu, banyak diantara salafiyyun tak menerima fatwa itu krn menimbangnya dengan kaedah2 ilmiah dan mencocockkannya dg kenyataan. Akhirnya, ketika sebagian yg tak menerimanya, karna tak sesuai realita dan kaedah ilmiah, maka org2 yg ta'ashshub dan fanatik kpd ust. lukman ba abduh dg serta merta dan membabi buta menuduh bahwa org yg tak menerima fatwa itu adalah golongan yg melecehkan ulama!!
Timbul sebuah pertanyaan, "Apakah menolak fatwa dan tak menerimanya adalah pelecehan dan penghinaan?" Tentu saja ini membutuhkan jawaban lurus ttg perkara ini.
Sekarang tiba saatnya kami utarakan jawabannya dlm beberapa poin berikut:
Pertama: fatwa adalah buah ijtihad yg dilakukan seorg alim dlm memberikan jawaban kpd seorg penanya. Sedang ijtihad seorang memiliki dua kemungkinan: mungkin salah mungkin benar. Jika ia salah, karena menyelisihi al-haqq atau realita yg ada, maka kita menolaknya dan tidak menerimanya, walaupun kita tetap menjaga adab dan sopan santun kpd mrk.
Jika fatwa itu benar, krn sesuai dg al-haqq beserta kaedah2 ilmu dan realita yg ada, maka kita terima dg lapang dada, bukan krn person ulamanya, tp karena ia adalah haqq (kebenaran).
Inilah manhaj yg pernah dinyatakan oleh imam Malik, imam Darul hijroh:
كل أحد يؤخذ من قوله ويترك إلا صاحب هذا القبر
"Setiap org boleh diambil pendapatnya dan ditinggalkan, kecuali penghuni kubur ini (yakni, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam)."
Ini menunjukkan kpd anda bahwa ulama yg berijtihad tidak slamanya fatwa atau pendapatnya hrs diterima. Diambil saat ia mengandung kebenaran dan ditolak saat ia mengandung kebatilan dan menyelisihi al haqq. Tak ada yg boleh dan hrs diambil ucapannya secara mutlak, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Krn itu tak boleh kita berpandangan bhw semua ucapan ulama hrs kita terima, tanpa mencocokkannya lg dg kaedah2 ilmiah dan realita, tanpa memeriksanya lg apakah ia haqq atau batil. Jika sikap ini terus kita pelihara, maka kita secara tak langsung telah mengangkat seorg ulama ma'shum dr kesalahan! sehingga ucapan dan perbuatannya pun diberlakukan sperti ucapan dan perbauatan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, tak boleh ditolak, siapa yg menolaknya, maka ia telah melecehkannya. Tidak, tidaklah demikian halnya. Menolak fatwa yg salah, bukanlah melecehkan ulama itu, bahkan memuliakannya, krn kita menempatkannya dlm posisi manusia yg bukan nabi.
Disinilah hrs kita pahami bahwa seorg muslim tak boleh berlebihan dlm memposisikan seorg ulama, sampai seakan ia seorg nabi yg mutlak diterima ucapan dan fatwanya! Ini adalah sikap ghuluw yg harus kita tinggalkn.
Kedua: para ulama dahulu juga berselisih fatwa. Nah, manakah yg kita harus terima? Apakah jika kita memegang salah satunya, berarti kita melecehkan yg lain?
Para ulama saat berselisih, maka kita memperhatikn mana diantara mrk sesuai dengan qowaid ilmiah dan realita yg ada. Tak boleh bagi seseorg fanatik kpd salah satunya. Layaknya manusia, mrk berdua kadang benar dan kadang salah, shingga sikap yg benar adalah mengikut kpd ulama yg didukung oleh qawaid ilmiah, sebab disitulah kebenaran insya Allah. Namun saat itu jg kita tak boleh memandang rendah ulama yg menyelisihi al haqq, bahkan mendoakn kebaikan bg mrk.
Nah, di saat kita meninggalkn salah satunya krn ia menyelisihi al haqq, maka bukan berarti kita melecehkn dan menghinakan mereka. Tak ada diantara manusia yg berakal menyatakan bhw itu adalah pelecehan, kecuali golongan naqishu aqlin wa din (org yg kurang akal dan agamanya).
Ketiga : fatwa ulama bukanlah wahyu yg harus disucikan dan disederajatkn dg al Qur'an dan sunnah, kecuali jika cocok dg keduanya berdasarkn qawaid ilmiah, nah barulah kita harus menerimanya. fatwa adalah ijtihad dan penggalian hukum dr al Qur'an dan sunnah.
Sebagian ikhwah (kawan2) kadang menyikapi fatwa layaknya menyikap al Qur'an dan sunnah, shingga menurutnya bhw fatwa ulama fulan harus diambil. Siapa yg tak mengambilnya, maka ia akan dicurigai, krn ulama fulan tak mungkin salah, karena ia adalah ulama yg ta'anni (berhati2). Kita katakan bhw bagaimana pun tingkat kehati2an seorg ulama, maka ia pasti prnh jatuh dlm kesalahan dalam fatwanya. Tak heran apabila ulama empat madzhab sj saling berselisih dalam menanggapi sebuah permasalahn agama. Mereka sebagaimana yg kita kenal saling menyanggah ijtihad ulama lainnya. Nah, apakah saat mrk berselisih, maka kita yg mencintai dan dekat dg imam malik –misalnya- akan menyatakan bahwa tak mungkin imam malik salah, ia dikenal seorg yg amat tinggi kehati2annya. Jelas kita tak akan menyatakan demikian.
Jangankan keempat imam itu, satu org saja diantara mrk kadang berubah pendapat di esok harinya. Nah, apakah saat ia berubah pendapat kita katakan bhw ia telah melecehkan dirinya sendiri?! Jelas tidak kita nyatakan demikian.
Salah satu diantara kesalahan manhaj berpikir sebagian ikhwah, ia menyangka bhw ulama tak mungkin salah. Lalu ia pun mendatangkan argumen yg amat lemah bahwa ulama fulan adalah ulama yg paling ta'anni (hati2), paling berilmu, spesialis prkara ini, tsiqoh lagi adil dan masih byk lg alasan2 lemah yg ia ajukan.
Kita katakan bhw bagaimana pun ta'anni-nya seorg ulama, bagaimana pun tingginya ilmu yg dimilikinya, bagiamana spesialinya, bagaimana pun tsiqoh dan adilnya, maka ia pasti biasa trjatuh dlm penilaian dan fatwa. krn faktor-faktor yg membuat ulama itu salah dlm fatwa adalah banyak macamnya:
  1. Adanya sifat2 kemanusian, berupa sifat lupa, lalai, marah, sakit dan lainnya.
  2. berita yg sampai kpdnya tak sesuai realita.
  3. Penggambaran berita tidak lengkap dan akurat.
  4. belum sampainya dalil dan hujjah kpdnya dlm suatu prkara yg ia fatwakan.
  5. Kadangnya salah dalam memahami keadaan yg ditanyakan kpdnya. Beritanya benar, namun ia salah dlm memahami.
  6. Menurutnya dalil dlm masalah itu tak ada atau ia menyangkanya dhoif (lemah), padahal kuat.
  7. Antara satu ulama dg ulama lainnya memiliki tingkat pemahaman dan keilmuan yg beragama dlm suatu prmasalahan.
  8. Samarnya suatu perkara di sisinya, sementara yg lain tahu dengan jelas.
  9. dan masih banyak lg faktor yg membuat mereka kadang salah dalam menghukumi suatu prkara.
Faktor-faktor trjadinya kesalahan ini disebutkan dan dijelaskan oleh syekhul Islam ibnu taimiah dlm risalah "Rof'ul Malaam". Barangsiapa yg mau mengetahuinya silakn rujuk risalah ini, bagus dlm babnya.
Dari sini kita telah memahami bahwa seorg ulama mungkin saja salah dlm fatwanya, shingga kita sebagai tholib (penuntut ilmu) jangan ghuluw (brlebihan) dlm menyikapi fatwa.
Manusia dalam menyikapi fatwa ulama bermacam-macam tipenya:
a. Ada yang menempatkan fatwa layaknya kedudukan Al-Qur'an dan Sunnah yang tak boleh disanggah, dikritik dan diselisihi, sehingga jenis manusia seperti ini senantiasa taqlid dan fanatik kepada ulama', sadar atau tidak. Orang yang menyelisihi fatwa yang ia usung, akan dianggapnya ahli bid'ah atau salah. Org seperti ini berlagak waro' dan berhati-hati, namun hakikatnya lancang dan jahil.
Tipe manusia ini tak mau mengerti apakah fatwa itu salah atau benar. Yang jelas, sdh ada fatwa. Menurutnya fatwa itu ibarat wahyu.
b. Ada yang meremehkan fatwa ulama dan menganggapnya sesuatu yang tak bernilai. Golongan ini menyamakan fatwa ulama dengan sampah yang boleh dibuang sesukanya.
c. Ada yang menyikapi fatwa itu dengan lurus. Ia menilai bahwa fatwa itu hasil ijtihad ulama, yang mungkin salah dan mungkin pula benar. Jika fatwanya salah, maka ia tak amalkan. Namun jika fatwanya benar, maka ia ambil dan jadikan sebagai penuntun dirinya, sebab ia menyadari bahwa ulama adalah pembimbing bagi umat. Golongan ini berpegang dengan manhaj yang pernah dituturkan oleh Imam Malik, "Setiap orang boleh diambil ucapannya dan ditinggalkan, kecuali pemilik kubur ini (yakni, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-). Inilah golongan yg benar dlm menyikapi fatwa.
Jadi, bagaimana pun cinta dan dekatnya kita kpd seorang ulama, maka janganlah menyeret kita untuk mengkultuskannya,  dan menempatkannya melebihi posisinya sebagai ulama. Jgnlah diposisikn seprti seorg nabi yg wajib diterima semua fatwanya!!
Demikian yg perlu kami jelaskan dlm meluruskn sikap salah sebagian ikhwah kita saat mereka mendengar dan membaca fatwa. Kami brmohon kpd Allah dg sifat2-Nya yg mulia lg sempurna agar Ia memberikan taufiq kpd kita semua. Innahu Waliyyu dzalik wal Qodiru alaihi.


Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif