Munculnya fatwa Syekh rabi ttg ust. dzulqornain, menyibak banyak misteriyg brcokol dlm hati org2 yg memendam penyakit di hatinya, menguak kejahilan dan kedangkalan ilmu sebagian diantara mereka. Fenomena ini memunculkan kesan beragam pd diri masing2 org; tergantung tingkat pemahaman dan hidayah yg ada di hatinya.
Kita angkat sebagai contoh terkini dan masih segar dlm ingatan. Syekh rabi saat menilai ust. Dzul dlm sebuah fatwa beliau, akibat berita2 miring yg sampai kpd syekh ttg diri beliau dr Lukman ba abduh, cs. Nah, saat itu, banyak diantara salafiyyun tak menerima fatwa itu krn menimbangnya dengan kaedah2 ilmiah dan mencocockkannya dg kenyataan. Akhirnya, ketika sebagian yg tak menerimanya, karna tak sesuai realita dan kaedah ilmiah, maka org2 yg ta'ashshub dan fanatik kpd ust. lukman ba abduh dg serta merta dan membabi buta menuduh bahwa org yg tak menerima fatwa itu adalah golongan yg melecehkan ulama!!
Timbul sebuah pertanyaan, "Apakah menolak fatwa dan tak menerimanya adalah pelecehan dan penghinaan?" Tentu saja ini membutuhkan jawaban lurus ttg perkara ini.
Sekarang tiba saatnya kami utarakan jawabannya dlm beberapa poin berikut:
Pertama: fatwa adalah buah ijtihad yg dilakukan seorg alim dlm memberikan jawaban kpd seorg penanya. Sedang ijtihad seorang memiliki dua kemungkinan: mungkin salah mungkin benar. Jika ia salah, karena menyelisihi al-haqq atau realita yg ada, maka kita menolaknya dan tidak menerimanya, walaupun kita tetap menjaga adab dan sopan santun kpd mrk.
Jika fatwa itu benar, krn sesuai dg al-haqq beserta kaedah2 ilmu dan realita yg ada, maka kita terima dg lapang dada, bukan krn person ulamanya, tp karena ia adalah haqq (kebenaran).
Inilah manhaj yg pernah dinyatakan oleh imam Malik, imam Darul hijroh:
كل أحد يؤخذ من قوله ويترك إلا صاحب هذا القبر
"Setiap org boleh diambil pendapatnya dan ditinggalkan, kecuali penghuni kubur ini (yakni, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam)."
Ini menunjukkan kpd anda bahwa ulama yg berijtihad tidak slamanya fatwa atau pendapatnya hrs diterima. Diambil saat ia mengandung kebenaran dan ditolak saat ia mengandung kebatilan dan menyelisihi al haqq. Tak ada yg boleh dan hrs diambil ucapannya secara mutlak, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Krn itu tak boleh kita berpandangan bhw semua ucapan ulama hrs kita terima, tanpa mencocokkannya lg dg kaedah2 ilmiah dan realita, tanpa memeriksanya lg apakah ia haqq atau batil. Jika sikap ini terus kita pelihara, maka kita secara tak langsung telah mengangkat seorg ulama ma'shum dr kesalahan! sehingga ucapan dan perbuatannya pun diberlakukan sperti ucapan dan perbauatan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, tak boleh ditolak, siapa yg menolaknya, maka ia telah melecehkannya. Tidak, tidaklah demikian halnya. Menolak fatwa yg salah, bukanlah melecehkan ulama itu, bahkan memuliakannya, krn kita menempatkannya dlm posisi manusia yg bukan nabi.
Disinilah hrs kita pahami bahwa seorg muslim tak boleh berlebihan dlm memposisikan seorg ulama, sampai seakan ia seorg nabi yg mutlak diterima ucapan dan fatwanya! Ini adalah sikap ghuluw yg harus kita tinggalkn.
Kedua: para ulama dahulu juga berselisih fatwa. Nah, manakah yg kita harus terima? Apakah jika kita memegang salah satunya, berarti kita melecehkan yg lain?
Para ulama saat berselisih, maka kita memperhatikn mana diantara mrk sesuai dengan qowaid ilmiah dan realita yg ada. Tak boleh bagi seseorg fanatik kpd salah satunya. Layaknya manusia, mrk berdua kadang benar dan kadang salah, shingga sikap yg benar adalah mengikut kpd ulama yg didukung oleh qawaid ilmiah, sebab disitulah kebenaran insya Allah. Namun saat itu jg kita tak boleh memandang rendah ulama yg menyelisihi al haqq, bahkan mendoakn kebaikan bg mrk.
Nah, di saat kita meninggalkn salah satunya krn ia menyelisihi al haqq, maka bukan berarti kita melecehkn dan menghinakan mereka. Tak ada diantara manusia yg berakal menyatakan bhw itu adalah pelecehan, kecuali golongan naqishu aqlin wa din (org yg kurang akal dan agamanya).
Ketiga : fatwa ulama bukanlah wahyu yg harus disucikan dan disederajatkn dg al Qur'an dan sunnah, kecuali jika cocok dg keduanya berdasarkn qawaid ilmiah, nah barulah kita harus menerimanya. fatwa adalah ijtihad dan penggalian hukum dr al Qur'an dan sunnah.
Sebagian ikhwah (kawan2) kadang menyikapi fatwa layaknya menyikap al Qur'an dan sunnah, shingga menurutnya bhw fatwa ulama fulan harus diambil. Siapa yg tak mengambilnya, maka ia akan dicurigai, krn ulama fulan tak mungkin salah, karena ia adalah ulama yg ta'anni (berhati2). Kita katakan bhw bagaimana pun tingkat kehati2an seorg ulama, maka ia pasti prnh jatuh dlm kesalahan dalam fatwanya. Tak heran apabila ulama empat madzhab sj saling berselisih dalam menanggapi sebuah permasalahn agama. Mereka sebagaimana yg kita kenal saling menyanggah ijtihad ulama lainnya. Nah, apakah saat mrk berselisih, maka kita yg mencintai dan dekat dg imam malik –misalnya- akan menyatakan bahwa tak mungkin imam malik salah, ia dikenal seorg yg amat tinggi kehati2annya. Jelas kita tak akan menyatakan demikian.
Jangankan keempat imam itu, satu org saja diantara mrk kadang berubah pendapat di esok harinya. Nah, apakah saat ia berubah pendapat kita katakan bhw ia telah melecehkan dirinya sendiri?! Jelas tidak kita nyatakan demikian.
Salah satu diantara kesalahan manhaj berpikir sebagian ikhwah, ia menyangka bhw ulama tak mungkin salah. Lalu ia pun mendatangkan argumen yg amat lemah bahwa ulama fulan adalah ulama yg paling ta'anni (hati2), paling berilmu, spesialis prkara ini, tsiqoh lagi adil dan masih byk lg alasan2 lemah yg ia ajukan.
Kita katakan bhw bagaimana pun ta'anni-nya seorg ulama, bagaimana pun tingginya ilmu yg dimilikinya, bagiamana spesialinya, bagaimana pun tsiqoh dan adilnya, maka ia pasti biasa trjatuh dlm penilaian dan fatwa. krn faktor-faktor yg membuat ulama itu salah dlm fatwa adalah banyak macamnya:
- Adanya sifat2 kemanusian, berupa sifat lupa, lalai, marah, sakit dan lainnya.
- berita yg sampai kpdnya tak sesuai realita.
- Penggambaran berita tidak lengkap dan akurat.
- belum sampainya dalil dan hujjah kpdnya dlm suatu prkara yg ia fatwakan.
- Kadangnya salah dalam memahami keadaan yg ditanyakan kpdnya. Beritanya benar, namun ia salah dlm memahami.
- Menurutnya dalil dlm masalah itu tak ada atau ia menyangkanya dhoif (lemah), padahal kuat.
- Antara satu ulama dg ulama lainnya memiliki tingkat pemahaman dan keilmuan yg beragama dlm suatu prmasalahan.
- Samarnya suatu perkara di sisinya, sementara yg lain tahu dengan jelas.
- dan masih banyak lg faktor yg membuat mereka kadang salah dalam menghukumi suatu prkara.
Faktor-faktor trjadinya kesalahan ini disebutkan dan dijelaskan oleh syekhul Islam ibnu taimiah dlm risalah "Rof'ul Malaam". Barangsiapa yg mau mengetahuinya silakn rujuk risalah ini, bagus dlm babnya.
Dari sini kita telah memahami bahwa seorg ulama mungkin saja salah dlm fatwanya, shingga kita sebagai tholib (penuntut ilmu) jangan ghuluw (brlebihan) dlm menyikapi fatwa.
Manusia dalam menyikapi fatwa ulama bermacam-macam tipenya:
a. Ada yang menempatkan fatwa layaknya kedudukan Al-Qur'an dan Sunnah yang tak boleh disanggah, dikritik dan diselisihi, sehingga jenis manusia seperti ini senantiasa taqlid dan fanatik kepada ulama', sadar atau tidak. Orang yang menyelisihi fatwa yang ia usung, akan dianggapnya ahli bid'ah atau salah. Org seperti ini berlagak waro' dan berhati-hati, namun hakikatnya lancang dan jahil.
Tipe manusia ini tak mau mengerti apakah fatwa itu salah atau benar. Yang jelas, sdh ada fatwa. Menurutnya fatwa itu ibarat wahyu.
b. Ada yang meremehkan fatwa ulama dan menganggapnya sesuatu yang tak bernilai. Golongan ini menyamakan fatwa ulama dengan sampah yang boleh dibuang sesukanya.
c. Ada yang menyikapi fatwa itu dengan lurus. Ia menilai bahwa fatwa itu hasil ijtihad ulama, yang mungkin salah dan mungkin pula benar. Jika fatwanya salah, maka ia tak amalkan. Namun jika fatwanya benar, maka ia ambil dan jadikan sebagai penuntun dirinya, sebab ia menyadari bahwa ulama adalah pembimbing bagi umat. Golongan ini berpegang dengan manhaj yang pernah dituturkan oleh Imam Malik, "Setiap orang boleh diambil ucapannya dan ditinggalkan, kecuali pemilik kubur ini (yakni, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-). Inilah golongan yg benar dlm menyikapi fatwa.
Jadi, bagaimana pun cinta dan dekatnya kita kpd seorang ulama, maka janganlah menyeret kita untuk mengkultuskannya, dan menempatkannya melebihi posisinya sebagai ulama. Jgnlah diposisikn seprti seorg nabi yg wajib diterima semua fatwanya!!
Demikian yg perlu kami jelaskan dlm meluruskn sikap salah sebagian ikhwah kita saat mereka mendengar dan membaca fatwa. Kami brmohon kpd Allah dg sifat2-Nya yg mulia lg sempurna agar Ia memberikan taufiq kpd kita semua. Innahu Waliyyu dzalik wal Qodiru alaihi.
a. Ada yang menempatkan fatwa layaknya kedudukan Al-Qur'an dan Sunnah yang tak boleh disanggah, dikritik dan diselisihi, sehingga jenis manusia seperti ini senantiasa taqlid dan fanatik kepada ulama', sadar atau tidak. Orang yang menyelisihi fatwa yang ia usung, akan dianggapnya ahli bid'ah atau salah. Org seperti ini berlagak waro' dan berhati-hati, namun hakikatnya lancang dan jahil.
Tipe manusia ini tak mau mengerti apakah fatwa itu salah atau benar. Yang jelas, sdh ada fatwa. Menurutnya fatwa itu ibarat wahyu.
b. Ada yang meremehkan fatwa ulama dan menganggapnya sesuatu yang tak bernilai. Golongan ini menyamakan fatwa ulama dengan sampah yang boleh dibuang sesukanya.
c. Ada yang menyikapi fatwa itu dengan lurus. Ia menilai bahwa fatwa itu hasil ijtihad ulama, yang mungkin salah dan mungkin pula benar. Jika fatwanya salah, maka ia tak amalkan. Namun jika fatwanya benar, maka ia ambil dan jadikan sebagai penuntun dirinya, sebab ia menyadari bahwa ulama adalah pembimbing bagi umat. Golongan ini berpegang dengan manhaj yang pernah dituturkan oleh Imam Malik, "Setiap orang boleh diambil ucapannya dan ditinggalkan, kecuali pemilik kubur ini (yakni, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-). Inilah golongan yg benar dlm menyikapi fatwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar