Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Jumat, 28 Februari 2014

Beberapa ciri ulama atau ustadz yang benar

Dengan nama Allah yang Mahapengasih Mahapenyayang.
Semoga kesejahteraan, rahmat, dan barakah Allah dilimpahkan kepada orang-orang yang beriman.
Ulama/ustadz adalah sebutan untuk orang yang sering mengajarkan ilmu agama Islam kepada manusia. Namun, sering kali masyarakat sembarang melabeli seseorang dengan sebutan ulama/ustadz (untuk selanjutnya akan saya sebut ulama saja), padahal tidak layak baginya sebutan itu karena yang disampaikannya dalam setiap kesempatan bercampur antara kebenaran dan kebatilan. Lah kalo kita yang awam kan bingung ini mana ustadz yang “beneran” mana yang “jadi-jadian”.
Saya akan pakai analogi sederhana untuk menjelaskan hal ini. Bayangkan kita adalah seorang anak TK dan di depan kita ada persamaan matematika 2 + 2 = 4. Kita bisa tahu arti persamaan itu setelah kita belajar salah satu hal paling dasar dari matematika, yaitu penjumlahan. Dan kita bisa mengatakan, “Ya persamaan itu benar!” setelah kita menguasai ilmu penjumlahan. Sekarang, tertulis pula persamaan matematika 2 + 2 = 22. Lantas kita menjadi bingung dan ragu apakah persamaan yang terakhir ini benar atau tidak. Yang jelas kita tidak mengerti apa itu 22 karena kita belum mempelajari ilmunya. Kemudian kita bertanya kepada kakak kita, katakanlah seorang mahasiswa jurusan matematika, tentang hal tersebut. Dia menjawab dengan perlahan-lahan menerangkan apa arti matematis dari 22 dan mengatakan bahwa persamaan itu benar karena nilai 2= 4, kemudian kita menyadari kedua persamaan memiliki makna yang sama dengan representasi yang berbeda. Kita tidak harus tahu dan hafal perpangkatan untuk menyatakan persamaan terakhir benar, yang penting adalah standar baku kebenaran telah didapat, dalam hal ini logika kita.
Begitu pula untuk mengetahui apakah yang disampaikan oleh seorang yang disebut ulama benar atau tidak. Kita perlu ilmu dasar dan kita perlu standar baku kebenaran. Kalo dalam Islam tidak ada standar baku ini, darimana kita bisa membedakan yang benar sama yang batil? Jadi pasti ada. Rasulullah menekankan standar baku ini selama beliau hidup sampai ketika malaikat maut sedang menjemputnya. Kita tentu tau, hal tersebut adalah berpeganglah kepada Al-Qur’aan dan As-Sunnah, niscaya kita tidak akan tersesat selama-lamanya.
Mungkin timbul pertanyaan di pikiran kita sekarang, “Bukannya semua ulama juga pake Al-Qur’aan dan As-Sunnah?” Iya, tapi apakah mereka mengartikan Al-Qur’aan sesuai dengan pemahaman Rasulullaah dan sahabatnya? Dan apakah setiap hadits yang mereka sebutkan adalah hadits yang telah mencapai derajat yang bisa diperhitungkan untuk menjadi dasar dari suatu hukum? Ini dia ilmu dasarnya. Kita perlu tau mana hadits yang bisa digunakan sebagai landasan kita beramal mana yang tidak. Begitu pula penafsiran Al-Qur’aan, kita harus tahu bahwa penafsiran Al-Qur’aan yang benar itu adalah penafsiran yang sesuai dengan pemahaman Rasulullaah dan orang-orang yang tau betul kapan suatu ayat Al-Qur’aan itu turun, dimana turunnya, dan pesan apa yang Allah ingin sampaikan melalui ayat tersebut. Orang-orang itu adalah para Sahabat. Jadi, penafsirannya kudu sesuai sama pemahaman Rasulullaah dan para sahabatnya.
Udah, simple kan? Tapi kayaknya segitu aja belum cukup deh. Baiklah, saya akan menjelaskan ciri-ciri yang bisa langsung kita lihat dengan mata dan kita dengar dengan telinga.
1.      Ulama yang benar selalu mengerjakan suatu amalan berdasarkan sunnah (seperti yang dicontohkan Rasulullaah)
Mereka membuka suatu majelis, ceramah, kajian, bahkan pada kata pengantar dalam buku-buku mereka seperti Rasulullaah membuka suatu majelis, yaitu dengan Khutbatul Hajah, dalam bahasa Arab tentunya. Berikut ini adalah teks dari Khutbatul Hajah.
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا.
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
أَمَّا بَعْدُ:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Artinya:
“Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menye-satkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-bena r takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali ‘Imran: 102)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan dari-pada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan menga-wasimu.” (QS. An-Nisaa’: 1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimuamalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapatkemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzaab: 70-71)
Amma ba’du:
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (as-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.”
Terdapat pelajaran penting dalam Khutbatul Hajah ini, seperti yang dilansir dalam artikel di sini.
Kemudian di akhir majelis tersebut ditutup oleh kafaratul majelis baik oleh ulama yang bersangkutan ataupun oleh pembawa acaranya. Berikut ini adalah teksnya yang terdapat di tengah-tengah hadits.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, ”Barangsiapa yang duduk di suatu majlis dan banyak salah, lalu sebelum beranjak dari majlis tersebut, ia mengucapkan,
سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنِتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
[Maha suci Engkau, Ya Allah. Dan dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan haq selain Engkau, aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu], melainkan diampuni baginya dosa yang terjadi di majlis itu.”(HR. at-Tirmidzi)
2.      Ketika menyampaikan suatu hadits, mereka menyebutkan matan hadits dan menyebutkan pula derajat beserta sanadnya.
Matan hadits adalah bunyi hadits tersebut dalam bahasa Arab. Setelah menyebutkan matannya, mereka menerjemahkannya ke dalam bahasa yang dimengerti oleh pendengarnya. Kemudian mereka menyebutkan derajat hadits tersebut apakah shahih, hasan, ahad, dha’if ataupun maudhu’ melalui penjelasan sanadnya, yaitu jalur periwatannya, dari siapa hadits tersebut didengar langsung dari Rasulullah hingga sampai kepada ulama pencatat hadits seperti Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Thabrani, dan lain-lainnya bisa dilihat di sini. Kita perlu mengerti ilmu hadits untuk mengetahui kebenaran yang hakiki.
3.      Tidak mendasari sesuatu dengan opini pribadi atau opini seorang kiyai atau opini siapapun selain Rasulullaah dan para sahabatnya.
Dalam suatu hadits Rasulullaah menjelaskan golongan yang satu-satunya akan selamat dari siksa api neraka, yaitu Al-Jamaah, ketika ditanya apakah Al-Jamaah itu, beliau Shalallaahu’alaihiwasallam menjawab:
ما أنا عليه وأصحابي
“(Yaitu) golongan yang menempuh jalanku dan jalan para sahabatku.” (HR. At Tirmidzi 2641, Al Hakim 1/128-129, Ibnu Wadh-dhoh dalam Al Bida’ wan Nahyu ‘Anha 15-16, Al Ajurri dalam Asy Syari’ah 16. Dihasankan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Al Bashoir hal. 74-75)
Jadi sudah tentunya ulama yang benar hanya melansir opini-opini dari Rasulullaah dan para sahabatnya saja. Seperti yang disuratkan dalam hadits di atas. Tidak dari orang lainnya, seperti opini murni seorang kiyai atau yang dianggap salih dan sebagainya. Adapun ulama “jadi-jadian” bisa kita jumpai mengambil opini dari orang-orang tersebut.
4.      Akhlaknya mulia
Mustahil seorang dipuja-puja di atas kebenaran sementara akhlaknya buruk. Kita bisa langsung sepakat untuk hal ini saya kira. Seorang yang benar tentu mulia akhlaknya.
Sebenarnya sih ada banyak ciri lainnya, tetapi saya kira untuk kita yang benar-benar masih awam empat hal ini sudah cukup untuk memfilter mana ulama yang pantas kita dengar perkataannya mana yang tidak.
Jangan kira alumni dari suatu akademi ternama katakanlah seperti yang banyak masyarakat ketahui Al-Azhar di Mesir atau universitas-universitas di Madinah sudah terjamin benar apa yang disampaikannya. Hati-hati. Betapa kagetnya saya ada seorang alumni dari Universitas Islam Madinah yang saya kenal jauh dari kebenaran. Jadi tidak sepantasnya kita jadikan almamater sebagai parameter kebenaran. Hapuskan anggapan “Oh dia itu alumni Al-Azhar, pasti bener” dan yang semisalnya. Ingat kembali standar baku yang sudah saya jelaskan.
Nah, untuk secara langsung mengetahui seperti apa contohnya ulama yang bener, di sini (klik kanan, save as) adalah contoh kajian seorang ustadz favorit saya, Al-Ustadz Firanda Andirja Rahimahullaah, seorang mahasiswa S3 di jurusan Aqidah di Universitas Islam Madinah. Saya menyukai pendekatan beliau ketika menjelaskan sesuatu, mungkin ada hubungannya dengan background beliau dulu ketika kuliah Teknik Kimia di UGM. Silakan jika anda ingin mengunjungi website beliau www.firanda.com.
Kalo memang kita masih belum dapat secara langsung membedakannya, saya sangat menyarankan kita semua untuk mendengarkan atau mendownload kajian dari www.radiomuslim.com, insyaa Allaah kru-nya tetap istiqamah menghadirkan ilmu Islam yang benar. Dan kalo ada yang pengen didiskusiin ke saya kalo ada yang ragu-ragu dan takut nanya langsung ke ulama yang bersangkutan juga silakan bisa menghubungi saya via email: iqbal.slf@gmail.com
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. Saya memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam tulisan ini, dan tentunya kepada Allah saya memohon ampun. Ayo kenali agama Islam yang benar, rasakan hati kita akan mencintainya melebihi apapun.
Ditulis oleh: Iqbal Novramadani (Noe)

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif