Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Selasa, 18 Februari 2014

As-Sunnah adalah Dasar Hukum Islam yang Tidak Boleh Ditinggalkan

Para pembaca rahimakumullah, sebelum kita masuk kepada pembahasan ini, perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan As-Sunnah di sini adalah setiap ucapan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sering disebut dengan hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
        Belakangan banyak bermunculan pihak-pihak yang berani menyatakan bahwa hewan buas tidak haram, dengan alasan bahwa yang diharamkan dalam Al-Qur`an hanya 4 macam saja, yaitu sebagaimana dalam surat Al-An’am: 145, “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.”
        Adapun selainnya maka berarti halal. Bahkan muncul pihak-pihak yang dengan tegas mengatakan bahwa anjing halal untuk dimakan. Tentu saja, alasan mereka adalah dalam rangka berpegang kepada teks ayat Al-Qur’an. Apabila ada makanan lain di luar 4 macam di atas yang dinyatakan haram juga, maka berarti menyalahi teks ayat di atas. Mereka adalah pihak-pihak yang mengklaim hanya berpegang kepada Al-Qur`an saja sebagai landasan satu-satunya dalam syari’at ini. Adapun As-Sunnah menurut mereka bukan landasan hukum syari’at. Atau setidaknya, jika ada hadits “bertentangan” dengan Al-Qur’an, maka hadits tersebut harus gugur.
        Hal ini mengingatkan kita akan berita yang pernah disampaikan oleh Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: Dari sahabat al-Miqdam bin Ma’dikaribradhiyallaahu ‘anhu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,“Ketahuilah sesungguhnya diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur`an) dan yang semisalnya (yakni As-Sunnah/Al-Hadits) bersamanya. Ketahuilah hampir tiba masanya seorang pria yang kenyang di atas singgasananya. Dia berkata: ‘Wajib atas kalian berpegang dengan Al-Qur`an ini (saja). Apa yang kalian dapatkan di dalamnya sesuatu yang halal, maka halalkanlah, dan apa yang kalian dapatkan di dalamnya sesuatu yang haram maka haramkanlah.’
        (Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda): “Ketahuilah, sesungguhnya tidak halal bagi kalian daging himar (keledai) jinak, tidak pula setiap hewan buas yang berkuku tajam, demikian pula barang temuan milik orang kafir mu’ahad.” (HR. Abu Dawud 4604)
        Dalam riwayat lain dengan lafazh:
“Padahal sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sama kedudukan dengan apa yang diharamkan oleh Allah.” (HR. at-Tirmidzi no. 2664, Ibnu Majah no. 12)
        Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaahu ta’ala berkata,  “Yakni apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sama kedudukannya dengan apa yang diharamkan dan dihalalkan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala.
        Dari sahabat al-’Irbadh bin Sariyah as-Sulami radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sungguh demi Allah, saya telah memberikan nasehat, saya telah menyampaikan perintah dan larangan tentang berbagai permasalahan, sesungguhnya (yang saya sampaikan itu) benar-benar sebanding dengan Al-Qur`an atau lebih banyak…” (HR. Abu Dawud no. 30350)
        Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa As-Sunnah juga sumber syari’at Islam di samping Al-Qur’an, tentunya dengan syarat As-Sunnah yang shahih atau hasan. Tidak ada satu hadits shahih pun yang maknanya bertentangan dengan ayat Al-Qur’an. As-Sunnah merupakan sumber hukum yang independen. Sebagaimana Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah, maka As-Sunnah juga merupakan wahyu dari Allah. Allah subhaanahu wa ta’alaberfirman, “Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepadamu.”(An-Nisa`: 113)
        Banyak ulama yang menjelaskan bahwa makna “Al-Hikmah” adalah As-Sunnah.
        Allah subhaanahu wa ta’ala menamakan sabda-sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai wahyu dalam firman-Nya, “Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)
        Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rahimahullaahuma berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda sambil mengisyaratkan jari beliau ke bibir beliau, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya tidaklah keluar darinya (yakni dari bibir beliau yang mulia) kecuali haq.” (HR. Abu Dawud no. 3646, Ahmad II/162)
        Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu juga meriwayatkan dari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Tidaklah aku bersabda kecuali kebenaran.” (HR. at-Tirmidzi no. 1990, Ahmad II/340)
        Al-Imam Hassan bin ‘Athiyyah rahimahullaahu ta’ala berkata, “Jibril turun kepada Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa As-Sunnah, sebagaimana ia (Jibril) turun kepada beliau dengan membawa Al-Qur`an.” (HR. ad-Darimi no. 587. Al-Hafizh Ibnu Hajarrahimahullaahu ta’ala berkata dalam Fathul Bari (XIII/291), “Sanadnya shahih.”)
Al-Qur’an Memerintahkan untuk Menaati dan Mengamalkan As-Sunnah sebagaimana Menaati dan Mengamalkan Al-Qur’an (Lihat dalil-dalilnya di Buletin Al Ilmu no. 19 dengan judul Jalan Menuju al-Jannah)
        Maka barang siapa berkeyakinan hanya mengamalkan Al-Qur’an saja dan tidak mau kepada As-Sunnah, maka sungguh dia telah mendustakan dan mengingkari Al-Qur’an itu sendiri. Jadi, tidak mungkin seseorang mengatakan mengikuti Al-Qur’an saja tanpa As-Sunnah, atau sebaliknya. Al-Qur’an dan As-Sunnah saling terkait dan tidak bisa lepas satu sama lain. Bahkan Allah ‘azza wa jalla mengancam orang-orang yang meninggalkan As-Sunnah. Allahsubhaanahu wa ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; (namun) jika kalian berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32)
        Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaahu ta’ala menjelaskan, “Kemudian Allah berfirman memerintahkan kepada semua manusia, baik umum maupun khusus, (Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; (namun) jika kalian berpaling) yakni jika kalian menyelisihi perintah beliau (maka sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir”) menunjukkan bahwa menyelisihi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam thariqah (metode pemahaman dan aplikasi agama) adalah kekufuran. Allah tidak mencintai orang yang bersifat demikian – meskipun ia mengaku mencintai Allah dan senantiasa bertaqarrub kepada-Nya – sampai benar-benar mau mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
        Ketika mengamalkan As-Sunnah tidak perlu melihat terlebih dahulu apakah hukum tersebut ada dalam Al-Qur’an ataukah tidak. Karena selama As-Sunnah itu shahih, pasti selaras dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Pada suatu hari, al-Imam Sa’id bin Jubair menyampaikan hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba ada seseorang yang berkata: “Di dalam Kitabullah (Al-Qur`an) ada yang berbeda dengan hadits ini.’ Maka Al-Imam Sa’id bin Jubair berkata, “Tidakkah kau perhatikan bahwa aku menyampaikan hadits ini dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam namun engkau berani mempertentangkannya dengan Kitabullah?! Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih mengerti tentang Kitabullah daripada kamu!” (HR. ad-Darimi no. 589)
        Suatu hari, tatkala sahabat yang mulia ‘Imran bin Hushain radhiyallaahu ‘anhumenyampaikan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang pria memprotes, “Berilah kami ayat-ayat Al-Qur`an saja!” Maka ‘Imran pun marah mendengarnya seraya mengatakan, “Sungguh kamu ini orang yang dungu/pandir! Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an perintah zakat, namun di manakah ketentuan pada tiap dua ratus dirham ada jatah lima dirham (yakni ketentuan 2,5%)? Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an perintah shalat, namun di manakah ketentuan Shalat Zhuhur atau ‘Ashr 4 rakaat? Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an perintah Thawaf, namun di manakah ketentuan thawaf di Ka’bah 7 kali dan Sa’i antara Shafa dan Marwah juga 7 kali?! Itulah hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur’an, dan ditafsirkan (diterangkan) oleh As-Sunnah.” (lihat Ahadits fi Dzammil Kalam wa Ahlihi II/81)
        Hadits (As-Sunnah) yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur’an. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling mengerti tentang Al-Qur’an dibandingkan siapapun. Tidak mungkin beliau bersabda tentang sesuatu yang bertentangan dengan firman Allah subhaanahu wa ta’ala. Sesungguhnya As-Sunnah berfungsi sebagai tafsir dan penjelas ayat-ayat Al-Qur’an. “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu (Muhammad) menerangkan pada umat manusia wahyu yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Al-Nahl: 44)
        Perlu diketahui, terkadang As-Sunnah menyebutkan hukum tersendiri yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Contohnya, dalam Al-Qur’an diharamkan menikahi dua wanita bersaudara (kakak beradik) secara bersamaan, maka As-Sunnah menambahkan hukum baru, yaitu mengharamkan pula menikah wanita dan bibinya secara bersamaan. Demikian pula As-Sunnah menyebutkan hukum jatah warisan bagi nenek adalah seperenam, yang hukum ini tidak ada penyebutannya dalam Al-Qur’an. Maka itu semua wajib kita imani, kita terima, dan kita amalkan.
        Ada dua orang pria dari kalangan Khawarij datang kepada khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz v, dua orang ini termasuk yang mengingkari syariat hukum rajam bagi pelaku zina (yang sudah menikah), dan keharaman menikahi wanita bersama bibinya sekaligus, dengan alasan bahwa hukum tersebut tidak ada dalam Al-Qur’an. Maka ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz bertanya kepada mereka berdua, “Berapa kali Allah mewajibkan shalat kepada kalian?” Mereka berdua menjawab, “Shalat lima waktu dalam sehari semalam.” Kemudian khalifah bertanya lagi tentang jumlah rakaatnya, yang kemudian dijawab oleh mereka, lalu Khalifah bertanya lagi tentang kadar dan nishab zakat, mereka pun menjawabnya.
        Lalu khalifah bertanya, “Apakah kalian berdua mendapatkan ketentuan hukum-hukum tersebut dalam Al-Qur’an? Dua orang tersebut menjawab, “Kami tidak mendapatinya  dalam Al-Qur’an.” Khalifah bertanya lagi, “Maka dari mana kalian mengetahui ketentuan hukumnya?” Kedunya menjawab, “Hal itu telah dipraktekkan oleh Rasulullah dan kaum muslimin.” Maka Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz lantas berkata, “Demikian pula ini (yakni hukum rajam bagi pelaku zina (yang sudah menikah), dan keharaman menikahi wanita bersama bibinya sekaligus juga dijelaskan dan diamalkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam) (lihat Al-MughniVII/115)
        Terkecuali apabila haditsnya adalah hadits yang dha’if (lemah) atau mau’dhu’ (palsu), maka kita tidak boleh mengimani dan tidak boleh mengamalkannya.
        Adapun yang wajib diimani, diterima, dan diamalkan adalah hadits-hadits (As-Sunnah) yang shahih periwayatannya dari Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
        Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Ahmad Alfian hafizhahullaahu ta’ala

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif