Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Rabu, 02 April 2014

Memilih Pendidikan untuk Anak

Memilih Pendidikan Untuk Anak
Oleh : Abu Usamah Yahya Al Lijaziy
Memberikan pendidikan kepada anak adalah suatu kewajiban orang tua yang harus di laksanakan. Ini berdasarkan nash-nash secara umum dari Al Quran dan As Sunnah yang suci ataupun secara naluri insaniyah yang sudah seharusnya peduli akan hal tersebut. Namun perlu dingat bahwa memberi pendidikan untuk anak adalah bagaikan menorehkan tinta di atas lembaran kosong. Kalau kita menorehkannya dengan tinta berkualitas jelek, dengan asal-asalan, maka jangan harap akan mendapatkan hasil yang baik. Lain halnya jika kita menorehkannya dengan tinta emas dan dengan penuh kecermatan serta kehati-hatian, insya Allah kita akan mendapat hasil yang memuaskan.
Pada dasarnya pendidikan itu bermula dari rumah, yang mana dikenal dengan istilah Al Ummahaat madrasatul uula lil abnaa’. Yaitu para ibu adalah tempat pendidikan pertama untuk sang anak. Atau secara umum bahwa kedua orang tuanya merupakan sarana pendidikan pertama dan sangat menentukan bagi masa depan sang anak. Dalam hal ini terlebih dahulu dibutuhkan keshalihan kedua orang tua. Sebab keshalihan orang tua secara umum akan berpengaruh kepada anak-anaknya atau bahkan sampai anak cucunya. Kita bisa melihat kisah Khadir ketika beliau membangun kembali tembok bangunan yang hendak runtuh dengan tanpa meminta upah, sehingga Musa u menanyakan alasannya kenapa beliau tidak mengambil upah. Allah berfirman:
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang shalih, Maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu, dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.(Al Kahfi:82)
Ibnu Katsir berkata: “Ayat di atas menjadi dalil bahwa keshalihan seseorang berpengaruh kepada anak cucunya di dunia dan akhirat berkat ketaatan dan syafaatnya kepada mereka, maka mereka terangkat derajatnya di surga agar kedua orang tuanya senang dan berbahagia sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur`ân dan as-Sunnah”.[1]
Disamping itu Allah memerintahkan kepada setiap orang tua untuk senantiasa khawatir terhadap pendidikan dan masa depan anak-anaknya, agar nantinya anak-anaknya bisa menjadi orang yang bertakwa dengan senantiasa beramal shalih, beramar ma’ruf nahi mungkar dan rajin melakukan keta’atan lainnya, seperti dalam FirmanNya :
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya (mereka) meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.”(An Nisa 9)
Said bin Jubair meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: “Allah mengangkat derajat anak cucu seorang mukmin setara dengannya, meskipun amal perbuatan anak cucunya di bawahnya, agar kedua orang tuanya tenang dan bahagia. Kemudian beliau membaca firman Allah, yang artinya : “Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan. Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (At Thur: 21)[2]
Seiring dengan bertambahnya usia dari anak-anak kita tentunya mereka membutuhkan sarana untuk mengembangkan wawasannya serta pengenalan lingkungan. Dengan demikian proses pendidikan berlanjut ke lembaga-lembaga pendidikan formal ataupun non formal. Ini menjadi tugas kita sebagai orang tua untuk mencari lembaga pendidikan atau sekolah yang baik untuk anak demi masa depan dunia dan akhiratnya. Meskipun sekolah itu sebenarnya hanya sarana dan tempat singgah anak untuk menempuh ke jenjang-jenjang berikutnya, namun tidak jarang sekolah bisa lebih mewarnai prilaku dan tabiat buruk bagi anak. Oleh karena itu misi kita adalah memilih sekolah bagi anak dengan menggunakan kurikulum yang seiring dengan Syariat Islam. Dengan demikian, pendidikan akan menitikberatkan kepada keberhasilan akhiratnya yang itu adalah keberhasilan dan kebahagiaan yang hakiki sebagaimana yang terkandung pada ayat-ayat di atas.
Kita sendiri memahami kalau setiap orang tua memiliki pertimbangan tersendiri untuk memilih pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Terbaik menurut mereka memang memiliki definisi yang berbeda. Ada yang terbaik karena progaramnya, biayanya, fasilitasnya, atau berbagai kriteria lain. Namun, terlepas dari pilihan tersebut, hendaklah setiap orang tua mempertimbangkan siapa yang akan memberikan pengajaran pada anaknya. Terutama dengan memperhatikan agama dan akhlaknya yang baik dari para pendidik. Sebab seorang pendidik yang baik diharapkan akan mampu mencetak karakter baik kepada murid-muridnya.
Sebuah wasiat yang sangat berharga dari salaf kita: “Hendaklah penuntut ilmu mendahulukan pandangannya, istikharah kepada Allah untuk memilih kepada siapa dia berguru. Hendaklah dia memilih guru yang benar-benar ahli, benar-benar lembut dan terjaga kehormatannya. Hendaklah murid memilih guru yang paling bagus dalam mengajar dan paling bagus dalam memberikan pemahaman. Jangan dia berguru pada orang yang sedikit sifat wara’nya atau agamanya, atau tidak memiliki akhlak yang bagus.”
Sangat disayangkan fenomena di sekitar kita banyak orang awam yang hanya bermodal kantong tebal kurang tepat dalam memilih lembaga pendidikan. Mereka hanya berorientasi pada keberhasilan di dunia. Sehingga mereka hanya memilih sekolah favorit yang ternama dan bergengsi walaupun harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Sekolah mahal yang tidak berkurikulum sesuai Syariat Islam hanya dipakai sebagai alat pengangkat prestise orangtua. Hanya sekadar alat untuk menunjukkan bahwa orangtua mampu menyekolahkan anak di sekolah pilihan orang kaya. Bila sudah begini, janganlah terlalu berharap memiliki anak yang shalih dan berhasil dunia dan akhiratnya.
Memang hidayah itu milik Allah, namun hidayah itu tidak datang dengan sendirinya. Melainkan dia harus dikejar yang tentunya melewati jalan yang telah Allah dan Rasulullah terangkan kepada kita, dan bukan justru melewati jalan yang semakin menjauhkan dari hidayah tersebut. Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada kita dan anak cucu kita, dan semoga kita semua dimudahkan untuk bisa mendidik anak cucu kita menjadi anak-anak yang shalih dan bertakwa serta beragama di atas Al-Quran dan As-Sunnah. Memilih sekolah yang berkurikulum sesuai dengan Syariat Islam adalah salah satu ikhtiar kita untuk mendapatkan semua itu. Dan Allah lah tempat meminta pertolongan.
[1] Tafsir Ibnu Kasir Al Kahfi 82
[2] TAfsir Ibnu Katsir At Thur 21

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif