Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Jumat, 30 Januari 2015

Ruqyah yang Sesuai Syariat





TATA CARA RUQYAH YANG BENAR

Ruqyah bukan pengobatan alternatif. Justru seharusnya menjadi pilihan pertama pengobatan tatkala seorang muslim tertimpa penyakit. Sebagai sarana penyembuhan, ruqyah tidak boleh diremehkan keberadaannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya meruqyah termasuk amalan yang utama. Meruqyah termasuk kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih. Para nabi dan orang shalih senantiasa menangkis setan-setan dari anak Adam dengan apa yang diperintahkan Allah dan RasulNya”. [1]

Karena demikian pentingnya penyembuhan dengan ruqyah ini, maka setiap kaum Muslimin semestinya mengetahui tata cara yang benar, agar saat melakukan ruqyah tidak menyimpang dari kaidah syar’i. 

Tata cara meruqyah adalah sebagai berikut: 

1. Keyakinan bahwa kesembuhan datang hanya dari Allah.

2. Ruqyah harus dengan Al Qur’an, hadits atau dengan nama dan sifat Allah, dengan bahasa Arab atau bahasa yang dapat dipahami.

3. Mengikhlaskan niat dan menghadapkan diri kepada Allah saat membaca dan berdoa.

4. Membaca Surat Al Fatihah dan meniup anggota tubuh yang sakit. Demikian juga membaca surat Al Falaq, An Naas, Al Ikhlash, Al Kafirun. Dan seluruh Al Qur’an, pada dasarnya dapat digunakan untuk meruqyah. Akan tetapi ayat-ayat yang disebutkan dalil-dalilnya, tentu akan lebih berpengaruh.

5. Menghayati makna yang terkandung dalam bacaan Al Qur’an dan doa yang sedang dibaca. 

6. Orang yang meruqyah hendaknya memperdengarkan bacaan ruqyahnya, baik yang berupa ayat Al Qur’an maupun doa-doa dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Supaya penderita belajar dan merasa nyaman bahwa ruqyah yang dibacakan sesuai dengan syariat.

7. Meniup pada tubuh orang yang sakit di tengah-tengah pembacaan ruqyah. Masalah ini, menurut Syaikh Al Utsaimin mengandung kelonggaran. Caranya, dengan tiupan yang lembut tanpa keluar air ludah. ‘Aisyah pernah ditanya tentang tiupan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam meruqyah. Ia menjawab: “Seperti tiupan orang yang makan kismis, tidak ada air ludahnya (yang keluar)”. (HR Muslim, kitab As Salam, 14/182). Atau tiupan tersebut disertai keluarnya sedikit air ludah sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Alaqah bin Shahhar As Salithi, tatkala ia meruqyah seseorang yang gila, ia mengatakan: “Maka aku membacakan Al Fatihah padanya selama tiga hari, pagi dan sore. Setiap kali aku menyelesaikannya, aku kumpulkan air liurku dan aku ludahkan. Dia seolah-olah lepas dari sebuah ikatan”. [HR Abu Dawud, 4/3901 dan Al Fathu Ar Rabbani, 17/184]. 

8. Jika meniupkan ke dalam media yang berisi air atau lainnya, tidak masalah. Untuk media yang paling baik ditiup adalah minyak zaitun. Disebutkan dalam hadits Malik bin Rabi’ah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

كُلُوْا الزَيْتَ وَ ادَّهِنُوا بِهِ فَإنَهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَة

"Makanlah minyak zaitun , dan olesi tubuh dengannya. Sebab ia berasal dari tumbuhan yang penuh berkah".[2] 

9. Mengusap orang yang sakit dengan tangan kanan. Ini berdasarkan hadits ‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah, tatkala dihadapkan pada seseorang yang mengeluh kesakitan, Beliau mengusapnya dengan tangan kanan…”. [HR Muslim, Syarah An Nawawi (14/180].

Imam An Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk mengusap orang yang sakit dengan tangan kanan dan mendoakannya. Banyak riwayat yang shahih tentang itu yang telah aku himpun dalam kitab Al Adzkar”. Dan menurut Syaikh Al ‘Utsaimin berkata, tindakan yang dilakukan sebagian orang saat meruqyah dengan memegangi telapak tangan orang yang sakit atau anggota tubuh tertentu untuk dibacakan kepadanya, (maka) tidak ada dasarnya sama sekali. 

10. Bagi orang yang meruqyah diri sendiri, letakkan tangan di tempat yang dikeluhkan seraya mengatakan بِسْمِ الله (Bismillah, 3 kali).

أعُوذُ بِالله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ وَ أحَاذِرُ 

"Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaanNya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti".[3] 

Dalam riwayat lain disebutkan “Dalam setiap usapan”. Doa tersebut diulangi sampai tujuh kali. 
Atau membaca :

بِسْمِ الله أعُوذُ بِعزَِّةِ الله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ مِنْ وَجْعِيْ هَذَا 

"Aku berlindung kepada keperkasaan Allah dan kekuasaanNya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dari rasa sakitku ini".[4]

Apabila rasa sakit terdapat di seluruh tubuh, caranya dengan meniup dua telapak tangan dan mengusapkan ke wajah si sakit dengan keduanya.[5]

11. Bila penyakit terdapat di salah satu bagian tubuh, kepala, kaki atau tangan misalnya, maka dibacakan pada tempat tersebut. Disebutkan dalam hadits Muhammad bin Hathib Al Jumahi dari ibunya, Ummu Jamil binti Al Jalal, ia berkata: Aku datang bersamamu dari Habasyah. Tatkala engkau telah sampai di Madinah semalam atau dua malam, aku hendak memasak untukmu, tetapi kayu bakar habis. Aku pun keluar untuk mencarinya. Kemudian bejana tersentuh tanganku dan berguling menimpa lenganmu. Maka aku membawamu ke hadapan Nabi. Aku berkata: “Kupertaruhkan engkau dengan ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, ini Muhammad bin Hathib”. Beliau meludah di mulutmu dan mengusap kepalamu serta mendoakanmu. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam masih meludahi kedua tanganmu seraya membaca doa: 

أَذْهِبْ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

"Hilangkan penyakit ini wahai Penguasa manusia. Sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan kecuali penyembuhanMu, obat yang tidak meninggalkan penyakit"[6].

Dia (Ummu Jamil) berkata: “Tidaklah aku berdiri bersamamu dari sisi Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, kecuali tanganmu telah sembuh”. 

12. Apabila penyakit berada di sekujur badan, atau lokasinya tidak jelas, seperti gila, dada sempit atau keluhan pada mata, maka cara mengobatinya dengan membacakan ruqyah di hadapan penderita. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam meruqyah orang yang mengeluhkan rasa sakit. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah, dari Ubay bin K’ab , ia berkata: “Dia bergegas untuk membawanya dan mendudukkannya di hadapan Beliau Shallallahu 'alaihi wa salla,m . Maka aku mendengar Beliau membentenginya (ta’widz) dengan surat Al Fatihah”.[7] 

Apakah ruqyah hanya berlaku untuk penyakit-penyakit yang disebutkan dalam nash atau penyakit secara umum? Dalam hadits-hadits yang membicarakan terapi ruqyah, penyakit yang disinggung adalah pengaruh mata yang jahat (‘ain), penyebaran bisa racun (humah) dan penyakit namlah (humah). Berkaitan dengan masalah ini, Imam An Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim: “Maksudnya, ruqyah bukan berarti hanya dibolehkan pada tiga penyakit tersebut. Namun maksudnya bahwa Beliau ditanya tentang tiga hal itu, dan Beliau membolehkannya. Andai ditanya tentang yang lain, maka akan mengizinkannya pula. Sebab Beliau sudah memberi isyarat buat selain mereka, dan Beliau pun pernah meruqyah untuk selain tiga keluhan tadi”. (Shahih Muslim, 14/185, kitab As Salam, bab Istihbab Ar Ruqyah Minal ‘Ain Wan Namlah). 
Demikian sekilas cara ruqyah. Mudah-mudahan bermanfaat. (Red).

Maraji` :
1. Risalatun Fi Ahkami Ar Ruqa Wa At Tamaim Wa Shifatu Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah, karya Abu Mu’adz Muhammad bin Ibrahim. Dikoreksi Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Jibrin.
2. Kaifa Tu’aliju Maridhaka Bi Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah, karya Abdullah bin Muhammad As Sadhan, Pengantar Syaikh Abdullah Al Mani’, Dr Abdullah Jibrin, Dr. Nashir Al ‘Aql dan Dr. Muhammad Al Khumayyis, Cet X, Rabi’ul Akhir, Tahun 1426H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______

Footnote
[1]. Dinukil dari Kaifa Tu’aliju Maridhaka Bi Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah, hlm. 41.
[2]. Hadits hasan, Shahihul Jami’ (2/4498).
[3]. HR Muslim, kitab As Salam (14/189). 
[4]. Shahihul Jami’, no. 346.
[5]. Fathul Bari (21/323). Cara ini dikatakan oleh Az Zuhri merupakan cara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam meniup. 
[6]. Al Fathu Ar Rabbani (17/182) dan Mawaridu Azh Zham-an, no. 1415-1416.
[7]. Al Fathu Ar Rabbani (17/183). 
[8]. Namlah adalah luka-luka yang menjalar di sisi badan dan anggota tubuh lainnya

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif