Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Jumat, 31 Mei 2013

Semua Minta Dalil, Terlalu Picik Memahami Agama!

Semua Minta Dalil, Terlalu Picik Memahami Agama!

Masih terheran-heran mendengar seorang yang mengucapkan: “Semua minta dalil, terlalu picik memahami agama”
Masih merasa sangat aneh ketika seorang dimintai dalil, ia malah mengucapkan: “Imam Fulan berkata…” atau berkata: “Habib fulan berkata…” atau berkata: “Tapi kyaiku Fulan berpendapat…”
Masih geleng-geleng kepala, ketika sudah menyebutkan ayat-ayat suci al Quran dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai dalil dalam sebuah permasalahan, malah diucapkan: “Sombong, sok pinter, takabbur, merasa benar sendiri, minta dihormati”
Ada lagi yang mengatakan: “Dalil-dalil terus, pakai perasaan dong, pakai akal dong”
Dan mungkin saudaraku seiman…juga pernah mendengar ucapan-ucapan yang senada dengan di atas…
Mungkin yang bersikap seperti di atas dan mengucapkan ucapan di atas belum tahu bagaimana pentingnya berpegang kepada Al Quran dan Sunnah serta pemahaman para shahabat radhiyallahju ‘anhum. Dan semoga sikap serta penyataan di atas, tidak didasari atas penolakan terhadap ayat Al Quran atau hadits dengan pemahaman para shahabat radhiyallahu ‘anhum.
Saudaraku seiman…mari bandingkan ucapan dan pernyataan di atas dengan perkataan-perkataan berikut:
1. Abu Darda radhiyallahu ‘anhu berkata:
 ( لَنْ تضل مَا أَخَذْتَ بالأَثَر)
“Kamu tidak akan sesat selama mengambil Al Atsar (dalil dari Al Quran dan hadits ataupun perkataan para shahabat radhiyallahu ‘anhum). Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah di dalam kitab Al Ibanah.
2. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata kepada siapa yang bertanya kepada tentang sebuah permasalahan, lalu orang tersebut mengucapkan kepadanya: “Sesungguhnya bapakmu (yaitu Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu-pen) telah melarang itu”, (maka Abdullah bin Umar menjawab-pen):
( أأَمْرُ رسول الله- صلى الله عليه وعلى آله وسلَّم- أَحَق أَنْ يتبعَ ، أَو أَمرُ أَبي؟!)
“Apakah perkataan Rasulullah shallallah ‘alaihi wasallam yang pali patut diikuti atau perintah bapakku?!”. Lihat kitab Zaad Al Ma’ad
Dan beliau adalah seorang shahabat yang sangat kuat dan tegas mengingkari bid’ah dan sangat semangat mengikuti dan menegakkan sunnah, beliau pernah mendengar seseorang bersin kemudian ia mengucapkan: “Alhamdulillah wa ash shalatu wassalam ‘ala rasulillah”, maka Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:
(ما هَكذا علمنا رَسولُ اللهِ- صلى الله عليه وعلى آله وسلم- بل قال : « إِذا عَطَسَ أَحَدُكُمْ ؛ فَلْيَحْمد اللهَ » ولم يَقلْ : وليُصل عَلَى رَسُولِ اللهِ)
“Bukan seperti itu yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kami, tetapi beliau bersabda: “Jika salah satu dari kalian bersin, maka ucapkanlah Alhamdulillah”, dan beliau tidak mengucapkan: “Hendaklah kalian bershalawat atas Rasulullah”. HR. Tirmidzi dengan sanad yang hasan.
3. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bagi siapa yang menentang sunnah dengan perkataan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma:
 (يُوشكُ أَنْ تَنزلَ عَليكُم حِجارة من السماءِ ؛ أَقولُ لَكُم : قالَ رسولُ الله- صلى الله عليه وعلى آله وسلمَّ- وتقُولونَ : قالَ أَبو بكر وعُمر )  رواه عبد الرزاق في : « المصنف » بسند صحيح .
“Hampir diturunkan atas kalian bebatuan dari langit, (ketika) aku mengucapkan untuk kalian: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda…” dan kalian (malah) mengucapkan: “Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma.” Diriwayatkan Abdurrazzaq di dalam kitab Al Mushannaf dengan sanad yang shahih.
4. Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata:
 (كانوا يَقولون : ما دامَ عَلَى الأَثَر ؛ فَهُوَ عَلَى الطَريقِ).
“Mereka (para shahabat-pen) menyatakan: “Selama sesuai dengan atsar, maka ia  di atas jalan (yang benar-pen).” Diriwayatkan oleh Al Laalakai di dalam kitab Syarah Ushul Itiqadi Ahl As Sunnah wa Al Jama’ah.
5. Al Auza’I rahimahullah berkata:
 (عَلَيْكَ بآثارِ مَنْ سَلف وإِنْ رَفَضَكَ الناس ، وإِيَّاك وآراءَ الرجال وإِنْ زَخْرَفُوها لكَ بالقَول ؛ فإِنَ الأمْرَ يَنْجلي وأَنتَ عَلى طريقٍ مُستقيم)  
“Ambillah riwayat-riwayat orang salaf (terdahulu dari para shahabat, tabi’ie dan tabi’ut tabi’ie-pent) walu orang-orang menolakmu dan jauhilah pendapat orang-orang, meski mereka menghiasinya dengan perkataan, sesungguhnya perkara (yang benar-pen) akan terlihat jelas dan kamu masih di atas jalan yang lurus.” Diriwayatkan oleh Al Khathib di dalam kitab Syarafu Ahl Al Hadits
6. Abdullah bin Al Mubarak rahimahullah berkata:
( لِيَكُنِ الذي تَعْتَمدُ عَليه الأَثَر ، وَخُذْ مِن الرَّأْيِ مَا يُفسّر لكَ الحديث)
“Hendaklah yang kamu sandarkan adalah padanya atsar  dan ambillah dari pendapat yang menafsirkan untukmu hadits”. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi di dalam Sunan Al Kubra.
7. Asy Syafi’ie rahimahullah berkata:
 (كلُّ مَسْأَلَة تَكلّمْتُ فيها بخلافِ السنة ؛ فَأنا راجعٌ عنها ؛ في حَياتي وبَعْدَ ممَاتي)  أخرجهما الخطيب في « الفقيه والمتفقه »
“Setiap permasalahan yang aku telah berbicara di dalamnya berbeda dengan sunnah, maka aku akan kembali darinya, (baik) di dalam kehidupan dan kematianku.” Diriwayatkan oleh Al Khatib di dalam kitab Al Faqih wa Al Mutafaqqih.
8. Ar Rab’I bin Sulaiman meriwayatkan:
روى الشافعي يوما حديثا ، فقال له رجلٌ : أتأخذ بهذا يا أبا عبد الله ؛ فقال : (مَتى ما رَوَيتُ عَن رَسُولِ اللهِ- صلى الله عليه وعلى آله وسلم- حَديثا صحيحا ؛ فَلم آخذْ بهِ ؛ فأشهْدكُم أَن عَقلي قَدْ ذهَب) 
“Suatu hari Asy Syafi’I meriwayatkan sebuha hadits, lalu ada seorang yang berkata kepada beliau: “Apakah engkau menjadikannya (sebagai sandaran-pen) wahai Abu Abdillah (kunyah imam Asy Syafi’i)?”, beliau menjawab: “Kapan saja aku meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah hadits shahih, lalu aku tidak mengambilnya, maka saksikanlah bahwa akalku telah lenyap”. Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah di dalam kitab Al Ibanah.
9. Nuh Al Jami’ rahimahullah berkata: “Aku pernah bertanya kepada Abu Hanifah rahimahullah: “Apa pendapatmu tentang apa yang dibuat-buat orang-orang berupa pembicaraan di dalam Al A’radh dan Al Ajsam?’, beliau menjawab:
 (مقالاتُ الفَلاسفة ، عَليكَ بالأَثرِ وطريقةِ السلفِ ، وإِياكَ وكل محدثة ؛ فإِنها بدعة)
“(ini adalah) ucapan-ucapan kaum filsafat, ambillah atsar dan jalannya para salaf, dan jauhilah setiap yang diada-adakn, karena sesungguhnya ia adalah bid’ah.” Diriwayatkan oleh Al Khathib di dalam kitab Al Faqih wa Al Mutafaqqih.
Ditulis oleh Ahmad Zainuddin
Ahad, 22 Rabiul Awwal 1434H, Dammam KSA.
Di salin dari Sini

Kamis, 30 Mei 2013

PERJANJIAN DENGAN ALLAH DAN NABINYA

PERJANJIAN DENGAN ALLAH DAN NABINYA

Al Qur'an Online

KITAB TAUHID   BAB 63 HAL 263 - 268

Firman Allah Subhanahu wa-ta'ala  :
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila
kamu berjanji, dan janganlah kamu membatalkan
sumpah-sumpah (mu) itu sesudah mengukuhkannya,
sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu
(terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. An Nahl: 91).

Buraidah Radhiyallahu ‘anhu berkata: 
“Apabila Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam
mengangkat komandan pasukan perang atau batalyon,
beliau menyampaikan pesan kepadanya agar selalu
bertakwa kepada Allah, dan berlaku baik kepada kaum
muslimin yang bersamanya, kemudian beliau bersabda:
“Seranglah mereka dengan “Asma" Allah, demi di
jalan Allah), perangilah orang-orang yang kafir kepada
Allah, seranglah dan janganlah kamu menggelapkan
harta rampasan perang, jangan mengkhianati perjanjian,
jangan mencincang korban yang terbunuh, dan jangan
membunuh anak-anak. Apabila kamu menjumpai musuhmusuhmu
dari kalangan orang-orang musyrik, maka
ajaklah mereka kepada tiga hal: mana saja yang mereka
setujui, maka terimalah dan hentikanlah penyerangan
terhadap mereka.

Ajaklah mereka kepada agama Islam; jika mereka
menerima maka terimalah mereka, kemudian ajaklah
mereka berhijrah dari daerah mereka ke daerah orangorang
muhajirin, dan beritahu mereka jika mereka mau
melakukannya maka bagi mereka hak dan kewajiban
sama seperti hak dan kewajiban orang-orang muhajirin,
Tetapi, jika mereka menolak untuk berhijrah dari
daerah mereka, maka beritahu mereka, bahwa mereka
akan mendapat perlakuan seperti orang-orang badui
dari kalangan Islam, berlaku bagi mereka hukum Allah,
tetapi mereka tidak mendapatkan bagian dari hasil
rampasan perang dan fai, kecuali jika mereka mau
bergabung untuk berjihad dijalan Allah bersama orangorang
Islam.
Dan jika mereka menolak hal tersebut, maka
mintalah dari mereka jizyah (121), kalau mereka menerima
maka terimalah dan hentikan penyerangan terhadap
mereka. Tetapi jika semua itu ditolak maka mohonlah
pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka.
---------------------------------------------
(121) Jizyah adalah uang yang diambil dari orang-orang kafir
sebagai tanda ketundukan mereka kepada negara Islam
dan sebagai ganti perlindungan Negara Islam atas jiwa
dan harta mereka.

Dan jika kamu telah mengepung kubu pertahanan
mereka, kemudian mereka menghendaki darimu agar
kamu membuat untuk mereka perjanjian Allah dan Rasul-
Nya, maka janganlah kamu buatkan untuk mereka
perjanjian Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi buatlah
untuk mereka perjanjian dirimu sendiri dan perjanjian
sahabat-sahabatmu, karena sesungguhnya melanggar
perjanjianmu sendiri dan sahabat-sahabatmu itu lebih 
ringan resikonya dari pada melanggar perjanjian Allah
dan Rasul-Nya.

Dan jika kamu telah mengepung kubu pertahanan
musuhmu, kemudian mereka menghendaki agar kamu
mengeluarkan mereka atas dasar hukum Allah, maka
janganlah kamu mengeluarkan mereka atas dasar hukum
Allah, tetapi keluarkanlah mereka atas dasar hukum
yang kamu ijtihadkan, karena sesungguhnya kamu tidak
mengetahui apakah tindakanmu sesuai dengan hukum
Allah atau tidak.” (HR. Muslim).

Kandungan bab ini:

1. Perbedaan antara perjanjian Allah dan perjanjian
Nabi-Nya dengan perjanjian kaum muslimin.

2. Petunjuk Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam
 untuk memilih salah satu
pilihan yang paling ringan resikonya dari dua
pilihan yang ada.

3. Etika dalam berjihad, yaitu supaya menyeru
dengan mengucapkan: “bismillah fi sabilillah”.

4. Perintah untuk memerangi orang-orang yang
kafir kepada Allah.

5. Perintah untuk senantiasa memohon pertolongan
Allah dalam memerangi orang-orang kafir.

6. Perbedaan antara hukum Allah dan hukum hasil
ijtihad para ulama.

7. Disyariatkan bagi seorang komandan dalam
kondisi yang diperlukan seperti yang tersebut
dalam hadits, untuk berijtihad dalam menentukan
hukum tertentu, walaupun ia tidak tahu apakah
ijtihadnya sesuai dengan hukum Allah atau
tidak?

Rabu, 29 Mei 2013

Keutamaan Mencari Nafkah Halal dan Tidak Menjadi Beban Orang Lain

Keutamaan Mencari Nafkah Halal dan Tidak Menjadi Beban Orang Lain

بسم الله الرحمن الرحيم
عَنِ الْمِقْدَامِ رَضِي اللَّهم عَنْه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ)) رواه البخاري.
     Dari al-Miqdam Radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah  bersabda: “Tidaklah seorang (hamba) memakan makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangannya (sendiri), dan sungguh Nabi Dawud  makan dari hasil usaha tangannya (sendiri)”[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan bekerja mencari nafkah yang halal dan berusaha memenuhi kebutuhan diri dan keluarga dengan usaha sendiri. Bahkan ini termasuk sifat-sifat yang dimiliki oleh para Nabi  dan orang-orang yang shaleh. Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Nabi Zakariya  adalah seorang tukang kayu”[2].
Dalam biografi imam besar Ahlus sunnah dari generasi Tabi’ut tabi’in, imam Abdullah bin al-Mubarak engkau mengeksport barang-barang dagangan dari negeri Khurasan ke tanah haram/Mekkah (untuk dijual), bagaimana ini?”. Maka Abdullah bin al-Mubarak menjawab: “Sesungguhnya aku melakukan (semua) itu hanya untuk menjaga mukaku (dari kehinaan meminta-minta), memuliakan kehormatanku (agar tidak menjadi beban bagi orang lain), dan menggunakannya untuk membantuku dalam ketaatan kepada Allah” Lalu al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Wahai Abdullah bin al-Mubarak, alangkah mulianya tujuanmu itu jika semuanya benar-benar terbukti”[3].
Beberapa faidah penting dari hadits di atas:
- Termasuk sifat mulia yang dimiliki oleh para Nabi  dan orang-orang yang shaleh adalah mencari nafkah yang halal dengan usaha mereka sendiri, dan ini tidak melalaikan mereka dari amal shaleh lainnya, seperti berdakwah di jalan Allah  dan memuntut ilmu agama.
- Usaha yang halal dalam mencari rezki tidak bertentangan dengan sifat zuhud, selama usaha tersebut tidak melalaikan manusia dari mengingat Allah . Allah  berfirman memuji hamba-hamba-Nya yang shaleh:
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ}
“laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS an-Nuur:37).
Imam Ibnu Katsir berkata: “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan/dilalaikan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli (berbisnis) dan meraih keuntungan (besar) dari mengingat (beribadah) kepada Rabb mereka (Allah) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezki kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan) di sisi Allah  adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di tangan mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi Allah adalah kekal abadi”[4].
- Bekerja dengan usaha yang halal, meskipun dipandang hina oleh manusia, lebih baik dan mulia daripada meminta-minta dan menjadi beban bagi orang lain[5]. Rasulullah  bersabda: “Sungguh jika salah seorang dari kalian mengambil tali, lalu pergi ke gunung (untuk mencari kayu bakar), kemudian dia pulang dengan memikul seikat kayu bakar di punggungnya lalu dijual, sehingga dengan itu Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), maka ini lebih baik dari pada dia meminta-minta kepada manusia, diberi atau ditolak”[6].
- Mulianya sifat ‘iffah (selalu menjaga kehormatan diri dengan tidak meminta-minta) serta tercelanya sifat meminta-minta dan menjadi beban bagi orang lain. Inilah sifat mulia yang ada pada para shahabat Rasulullah , sebagaimana firman Allah :
{لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا}
“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu (keadaan mereka) menyangka mereka orang kaya karena mereka memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak” (QS al-Baqarah: 273).
- Keutamaan berdagang (berniaga) yang halal, dan inilah pekerjaan yang disukai dan dianjurkan oleh Rasulullah  dan para shahabat y, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang shahih[7]. Adapun hadits “Sembilan persepuluh (90 %) rezki adalah dari perniagaan”, maka ini adalah hadits yang lemah, sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh al-Albani[8].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Jakarta, 8 Jumadal ula 1434 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni


[1] HSR al-Bukhari (no. 1966).
[2] HSR Muslim (no. 2379).
[3] Kitab “Tahdzibul kamal” (16/20) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (8/387).
[4] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/390).
[5] Lihat kitab “Bahjatun naazhiriin” (1/598).
[6] HSR al-Bukhari (no. 1402) dan (no. 1410).
[7] HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (23/300, no. 674) dan dinyatakan jayyid (baik/shahih) oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaa-ditsish shahiihah” (no. 2929).
[8] Dalam “Silsilatul ahaa-ditsidh dha’iifah” (no. 3402).

Sumber ; http://manisnyaiman.com/keutamaan-mencari-nafkah-halal-dan-tidak-menjadi-beban-orang-lain/

Selasa, 28 Mei 2013

Meraih Kebahagiaan Hakiki


Meraih Kebahagiaan Hakiki



Tak ada orang yang ingin hidupnya tidak bahagia. Semua orang ingin bahagia. Namun hanya sedikit yang mengerti arti bahagia yang sesungguhnya. Hidup bahagia merupakan idaman setiap orang, bahkan menjadi simbol keberhasilan sebuah kehidupan.
Tidak sedikit manusia yang mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Menggantungkan cita-cita menjulang setinggi langit dengan puncak tujuan tersebut adalah bagaimana hidup bahagia.
Hidup bahagia merupakan cita-cita tertinggi setiap orang baik yang mukmin atau yang kafir kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Apabila kebahagian itu terletak pada harta benda yang bertumpuk-tumpuk, maka mereka telah mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Akan tetapi tidak dia dapati dan sia-sia pengorbanannya.

Apabila kebahagian itu terletak pada ketinggian pangkat dan jabatan, maka mereka telah siap mengorbankan apa saja yang dituntutnya, begitu juga teryata mereka tidak mendapatkannya. Apabila kebahagian itu terletak pada ketenaran nama, maka mereka telah berusaha untuk meraihnya dengan apapun juga dan mereka tidak dapati. Demikianlah gambaran cita-cita hidup ingin kebahagiaan.
Apakah tercela orang-orang yang menginginkan demikian? Apakah salah bila seseorang bercita-cita untuk bahagia dalam hidup? Dan lalu apakah hakikat hidup bahagia itu? Pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan jawaban agar setiap orang tidak putus asa ketika dia berusaha menjalani pengorbanan hidup tersebut.

Hakikat Hidup Bahagia
Mendefinisikan hidup bahagia sangatlah mudah untuk diungkapkan dengan kata-kata dan sangat mudah untuk disusun dalam bentuk kalimat. Dalam kenyataannya telah banyak orang yang tampil untuk mendefinisikannya sesuai dengan sisi pandang masing-masing, akan tetapi mereka belum menemukan titik terang.
Ahli ekonomi mendefinisikannya sesuai dengan bidang dan tujuan ilmu perekonomian. Ahli kesenian mendefinisikannya sesuai dengan ilmu kesenian. Ahli jiwa akan mendefinisikannya sesuai dengan ilmu jiwa tersebut. Mari kita melihat bimbingan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam tentang hidup bahagia.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Kamu tidak akan menemukan satu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling cinta-mencinta kepada orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka dan keluarga-keluarga mereka. Merekalah orang-orang yang telah dicatat dalam hati-hati mereka keimanan dan diberikan pertolongan, memasukkan mereka kedalam surga yang mengalir dari bawahnya sungai-sungai dan kekal di dalamnya. Allah meridhai mereka dan mereka ridha kepada Allah. Ketahuilah mereka adalah (hizb) pasukan Allah dan ketahuilah bahwa pasukan Allah itu pasti menang".(Al-Mujadilah:22)
Dari ayat ini jelas bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan orang-orang yang bahagia dan mendapatkan kemenangan di dunia dan di akhirat. Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir dan orang-orang yang menjunjung tinggi makna al-wala’ (berloyalitas) dan al-bara’ (kebencian) sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

As-Sa’di dalam tafsir beliau mengatakan: “Orang-orang yang memiliki sifat ini adalah orang-orang yang telah dicatat di dalam hati-hati mereka keimanan. Artinya Allah mengokohkan dalam dirinya keimanan dan menahannya sehingga tidak goncang dan terpengaruh sedikitpun dengan syubhat dan keraguan. Dialah yang telah dikuatkan oleh Allah dengan pertolongn-Nya yaitu menguatkanya dengan wahyu-Nya, ilmu dari-Nya, pertolongan dan dengan segala kebaikan.
Merekalah orang-orang yang mendapatkan kebagian dalam hidup di negeri dunia dan akan mendapatkan segala macam nikmat di dalam surga dimana di dalamnya terdapat segala apa yang diinginkan oleh setiap jiwa dan menyejukkan hatinya dan segala apa yang diinginkan dan mereka juga akan mendapatkan nikmat yang paling utama dan besar yaitu mendapatkan keridhaan Allah dan tidak akan mendapatkan kemurkaan selama - lamanya dan mereka ridha dengan apa yang diberikan oleh Rabb mereka dari segala macam kemuliaan, pahala yang banyak, kewibawaan yang tinggi dan derajat yang tinggi. Hal ini dikarenakan mereka tidak melihat yang lebih dari apa yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala”.

Abdurrahman As-Sa’di dalam mukadimah risalah beliau Al-Wasailul Mufiidah lil hayati As-Sa’idah hal. 5 mengatakan: “Sesungguhnya ketenangan dan ketenteraman hati dan hilangnya kegundahgulanaan darinya itulah yang dicari oleh setiap orang. Karena dengan dasar itulah akan didapati kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki”.

Allah berfirman:
“Barang siapa yang melakukan amal shalih dari kalangan laki-laki dan perempuan dan dia dalam keadaan beriman maka Kami akan memberikan kehidupan yang baik dan membalas mereka dengan ganjaran pahala yang lebih baik dikarenakan apa yang telah di lakukannya”.(An-Nahl: 97)
As-Sa’di dalam Al-Wasailul Mufiidah lil hayati As-Sa’idah halaman 9 mengatakan: “Allah memberitahukan dan menjanjikan kepada siapa saja yang menghimpun antara iman dan amal shalih yaitu dengan kehidupan yang bahagia dalam negeri dunia ini dan membalasnya dengan pahala di dunia dan akhirat”.
Dari kedua dalil ini kita bisa menyimpulkan bahwa kebahagian hidup itu terletak pada dua perkara yang sangat mendasar : Kebagusan jiwa yang di landasi oleh iman yang benar dan kebagusan amal seseorang yang dilandasi oleh ikhlas dan sesuai dengan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Kebahagian Yang Hakiki dengan Aqidah
Orang yang beriman kepada Allah dan mewujudkan keimanannya tersebut dalam amal mereka adalah orang yang bahagia di dalam hidup. Merekalah yang apabila mendapatkan ujian hidup merasa bahagia dengannya karena mengetahui bahwa semuanya datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dan di belakang kejadian ini ada hikmah-hikmah yang belum terbetik pada dirinya yang dirahasiakan oleh Allah sehingga menjadikan dia bersabar menerimanya. Dan apabila mereka mendapatkan kesenangan, mereka bahagia dengannya karena mereka mengetahui bahwa semuanya itu datang dari Allah yang mengharuskan dia bersyukur kepada-Nya.
Alangkah bahagianya hidup kalau dalam setiap waktunya selalu dalam kebaikan. Bukankah sabar itu merupakan kebaikan? Dan bukankah bersyukur itu merupakan kebaikan? Di antara sabar dan syukur ini orang-orang yang beriman berlabuh dengan bahtera imannya dalam mengarungi lautan hidup. 

Allah berfirman;
"Jika kalian bersyukur (atas nikmat-nikmat-Ku ), niscaya Aku akan benar-benar menambahnya kepada kalian dan jika kalian mengkufurinya maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”.(Ibrahim: 7)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"Dan tidaklah seseorang di berikan satu pemberian lebih baik dan lebih luas dari pada kesabaran”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim )

Kesabaran itu adalah Cahaya
Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Kami menemukan kebahagian hidup bersama kesabaran”. ( HR. Al-Bukhari)
Mari kita mendengar herannya Rasululah terhadap kehidupan orang-orang yang beriman di mana mereka selalu dalam kebaikan siang dan malam:
"Sungguh sangat mengherankan urusannya orang yang beriman dimana semua urusannya adalah baik dan yang demikian itu tidak didapati kecuali oleh orang yang beriman. Kalau dia mendapatkan kesenangan dia bersyukur maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya dan kalau dia ditimpa mudharat mereka bersabar maka itu merupakan satu kebaikan baginya”.

As-Sa’di rahimahullah mengatakan: ”Rasulullah memberitakan bahwa seorang yang beriman kepada Allah berlipat-lipat ganjaran kebaikan dan buahnya dalam setiap keadaan yang dilaluinya baik itu senang atau duka. Dari itu kamu menemukan bila dua orang ditimpa oleh dua hal tersebut kamu akan mendapatkan perbedaan yang jauh pada dua orang tersebut, yang demikian itu disebabkan karena perbedaan tingkat kimanan yang ada pada mereka berdua”. (Lihat Kitab Al-Wasailul Mufiidah lil hayati As-Sa’idah halaman 12).

Dalam meraih kebahagiaan dalam hidup manusia terbagi menjadi tiga golongan.
Pertama, orang yang mengetahui jalan tersebut dan dia berusaha untuk menempuhnya walaupun harus menghadapi resiko yang sangat dahsyat. Dia mengorbankan segala apa yang diminta oleh perjuangan tersebut walaupun harus mengorbankan nyawa. Dia mempertahankan diri dalam amukan badai kehidupan dan berusaha menggandeng tangan keluarganya untuk bersama-sama dalam menyelamatkan diri. Yang menjadi syi’arnya adalah firman Allah;
"Hai orang-orang yang beriman jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka".(At-Tahrim: 6)
Karena perjuangan yang gigih tersebut, Allah mencatatnya termasuk kedalam barisan orang-orang yang tidak merugi dalam hidup dan selalu mendapat kemenangan di dunia dan di akhirat sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat Al- ‘Ashr 1-3 dan surat Al-Mujadalah 22. Mereka itulah orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan merekalah pemilik kehidupan yang hakiki.

Kedua, orang yang mengetahui jalan kebahagian yang hakiki tersebut namun dikarenakan kelemahan iman yang ada pada dirinya menyebabkan dia menempuh jalan yang lain dengan cara menghinakan dirinya di hadapan hawa nafsu. Mendapatkan kegagalan demi kegagalan ketika bertarung melawannya. Mereka adalah orang-orang yang lebih memilih kebahagian yang semu daripada harus meraih kebahagian yang hakiki di dunia dan di akhirat kelak. Menanggalkan baju ketakwaannya, mahkota keyakinannya dan menggugurkan ilmu yang ada pada dirinya. Mereka adalah barisan orang-orang yang lemah imannya.

Ketiga, orang yang sama sekali tidak mengetahui jalan kebahagiaan tersebut sehingga harus berjalan di atas duri-duri yang tajam dan menyangka kalau yang demikian itu merupakan kebahagian yang hakiki. Mereka siap melelang agamanya dengan kehidupan dunia yang fana’ dan siap terjun ke dalam kubangan api yang sangat dahsyat. Orang yang seperti inilah yang dimaksud oleh Allah dalm surat Al-‘Ashr ayat 2 yaitu “Orang-orang yang pasti merugi” dan yang disebutkan oleh Allah dalam surat Al-Mujadalah ayat 19 yaitu “ Partainya syaithon yang pasti akan merugi dan gagal”. Dan mereka itulah yang dimaksud oleh Rasulullah dalam sabda beliau: Di pagi hari seseorang menjadi mukmin dan di sore harinya menjadi kafir dan di sore harinya mukmin maka di pagi harinya dia kafir dan dia melelang agamanya dengan harga dunia.

Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dalam hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, Di antaranya adalah kebahagian hidup dan kemuliaannya ada bersama keteguhan berpegang dengan agama dan bersegera mewujudkannya dalam bentuk amal shalih dan tidak bolehnya seseorang untuk menunda amal yang pada akhirnya dia terjatuh dalam perangkap syaithan yaitu merasa aman dari balasan tipu daya Allah subhanahu wa ta’ala. Hidup harus bertarung dengan fitnah sehingga dengannya ada yang harus menemukan kegagalan dirinya dan terjatuh pada kehinaan di mata Alllah dan di mata makhluk-Nya.
Wallahu A'lam.

(Dikutip dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=1)


Senin, 27 Mei 2013

Tauhid Rahasia Kebahagiaan Dunia dan Akhirat

Siapa yang tidak menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat? Kita semua tentu menginginkannya. Hanya yang perlu untuk kita pertanyakan bagaimana cara untuk meraih keduanya. Sementara, kita yakini bersama bahwa Islam adalah agama yang ajarannya universal (menyeluruh). Islam satu-satunya agama yang mendapatkan legitimasi (pengakuan) dari Sang Pemiliknya yaitu Allah 'azza wa jalla.

Islam adalah agama yang rahmatan lil alamiin. Tidak didapatkan satu ajaran pun dalam Islam yang merugikan para pemeluknya, tidak ditemukan satu prinsip pun dalam Islam yang mencelakakan para penganutnya. Tetapi pada kenyataannya banyak kalangan yang hanya menitikberatkan perhatiannya pada dunia dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Padahal Allah telah mengingatkan kita dengan firman-Nya,

"Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridloannya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (Al-Hadid: 20).

"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang mereka telah usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (Huud: 15-16).

Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, petunjuk Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam adalah sebaik-baik petunjuk. Siapa yang mengambilnya ia akan bahagia dan yang meninggalkannya akan celaka. Allah berfirman,
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nuur: 63).
Terbukti generasi yang bersamanya, yakni generasi para sahabat meraih gelar terbaik umat ini, karena mereka mengambil petunjuknya. Itulah mereka para sahabat yang telah berhasil meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Bagaimana tidak, sedang mereka mendapatkan bimbingan tauhid selama kurang lebih 13 tahun hingga akhirnya mereka memiliki landasan yang kokoh dalam kehidupannya.

Oleh karena itu, tauhid itulah sebagai landasan yang menghantarkan seseorang kepada kebahagiaan yang sebenarnya. Sebab mentauhidkan Allah adalah tujuan diciptakannya manusia. Allah berfirman,

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (Adz Dzariyaat: 56).
Ibnu Katsir berkata: makna "ya'buduun" dalam ayat ini adalah "yuwahhiduun" (mentauhidkan Allah). Al-Imam Al-Baghawi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan: "Setiap perintah beribadah dalam Al Qur'an maka maknanya adalah tauhid."

Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, bagaimana tidak dikatakan bahwa tauhid sebagai landasan yang akan menghantarkan seseorang kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, sedangkan Allah meridhai ahli tauhid. Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya Allah meridhai kalian tiga perkara: kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan jangan bercerai berai, dan memberikan nasihat kepada orang yang Allah jadikan pemimpin atas urusan-urusan kalian." (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Itulah tauhid. Tauhid adalah jalan untuk mendapatkan dua kebahagiaan tersebut, sebab dengan menegakkan tauhid berarti menegakkan keadilan yang paling adil. Sementara tujuan Allah mengutus rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya adalah supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Allah berfirman,

"Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyatam dan telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan." (Al-Hadiid: 25).
Tauhid sebagai landasan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat karena keamanan serta petunjuk di dunia dan akhirat hanya akan dicapai oleh para ahli tauhid. Allah berfirman,

"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Al-An'aam: 82).
Ibnu Katsir mengatakan pada ayat ini: "Yaitu mereka yang memurnikan ibadahnya untuk Allah saja dan tidak berbuat kesyirikan dengan sesuatu apapun, mereka mendapatkan keamanan pada hari kiamat dan petunjuk di dunia dan akhirat."
Jadi memang tauhidlah yang akan menghantarkan kepada kebahagiaan yang hakiki. Karena khilafah di muka bumi serta kehidupan yang damai, aman, dan sentosa berbangsa dan bernegara hanya akan diraih melalui tauhid. Allah berfirman,

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang sholih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi. Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhainya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, semula mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (An-Nuur: 55).

Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, ahli tauhid mereka orang-orang yang akan mendapatkan jaminan surga dari Allah. Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam bersabda,
"Barangsiapa yang bertemu Allah dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, ia akan masuk surga. Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Nya dalam keadaan menyekutukan-Nya, ia akan masuk neraka." (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah).

Ahli tauhid mereka orang-orang yang akan berbahagia dengan syafa'atnya Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam . Abu Hurairah bertanya kepada Nabi shallallahu ?alaihi wasallam , "Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa'atmu?" Beliau menjawab, "Orang yang mengatakan 'Lailaha ilallah' ikhlas dari lubuk hatinya." (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Ahli tauhid mereka orang-orang yang terjaga dan terpelihara darah dan hartanya. Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam bersabda, "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak untuk diibadahi secara benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah, menegakkan sholat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukannya, mereka terjaga dariku darahnya dan hartanya kecuali dengan hak-hak Islam, dan perhitungannya atas Allah." (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).

Demikianlah para pembaca -kaum muslimin- tauhid adalah rahasia kebahagiaan dunia dan akhirat, karena yang pertama kali diwajibkan atas seorang hamba adalah tauhid. Allah berfirman,
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Ilah yang hak melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (Al-Anbiyaa: 25).
Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam berkata kepada sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman
"Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari Ahli Kitab. Jika Engkau mendatanginya maka serukanlah kepada mereka supaya mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah -yang berhak untuk diibadahi- kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah..." (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu).
Imam Al-Hafizh Al-Hakami mengatakan, "Kewajiban pertama atas hamba, mengenal Ar-Rahmaan (Allah) dengan tauhid." Dan tauhid juga yang menjadi kewajiban terakhir atas seorang hamba, ketika menjelang kematiannya Abu Thalib, Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam datang menemuinya dan berkata,
"Wahai paman, ucapkanlah 'Lailaha ilallah', kalimat yang menjadi hujjah untukmu di sisi Allah..." (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Sa'id ibnul Musayyab dari bapaknya (Musayyab)).

Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam juga bersabda,
"Barangsiapa yang akhir ucapannya 'Lailaha ilallah', ia akan masuk surga."
Semoga Allah memberikan taufiq kepada yang dicintai dan diridhainya. Amin ya Mujibas sailiin.

(Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Hamzah Yusuf dari Bulletin al Wala wal Bara Edisi ke-7 Tahun ke-1 / 24 Januari 2003 M / 21 Dzulqa'dah 1423 H. Judul asli Tauhid Rahasia Kebahagiaan Dunia dan Akhirat)

Sabtu, 25 Mei 2013

LARANGAN BANYAK BERSUMPAH

Al Qur'an Online

KITAB TAUHID   BAB 62 HAL 259 - 262

LARANGAN BANYAK BERSUMPAH

Firman Allah Subhanahu wa-ta'ala :
“Dan jagalah sumpahmu.” (QS. Al Maidah: 89).

Abu Hurairah  berkata: “Aku mendengar
Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Sumpah itu dapat melariskan barang dagangan
namun dapat menghapus keberkahan usaha.” (HR.
Bukhari dan Muslim).

Diriwayatkan dari Salman Radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallambersabda:
“Tiga orang yang mereka itu tidak diajak bicara dan
tidak disucikan oleh Allah (pada hari kiamat), dan
mereka menerima adzab yang pedih, yaitu: orang yang
sudah beruban (tua) yang berzina, orang miskin yang
sombong, dan orang yang menjadikan Allah sebagai
barang dagangannya, ia tidak membeli atau menjual
kecuali dengan bersumpah.” (HR. Thabrani dengan
sanad yang shahih).

Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim dari
Imran bin Husain Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: 
Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Sebaik-baik umatku adalah mereka yang hidup
pada masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian
generasi berikutnya lagi” – Imran berkata: “Aku tidak
ingat lagi apakah Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam 
menyebutkan generasi setelah masa beliau dua kali atau tiga?
” – “Kemudian akan ada setelah masa kalian orang-orang 
yang memberikan kesaksian sebelum ia diminta, mereka
berkhianat dan tidak dapat dipercaya, mereka bernadzar
tapi tidak memenuhi nadzarnya, dan badan mereka
tampak gemuk-gemuk”.

Diriwayatkan pula dalam shahih Bukhari dan
Muslim, dari Ibnu Mas’ud 
bahwa Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam
bersabda:“Sebaik-baik manusia adalah mereka yang hidup
pada masaku, kemudian generasi yang datang
berikutnya, kemudian generasi yang datang berikutnya
lagi, kemudian akan datang orang-orang dimana di
antara mereka kesaksiannya mendahului sumpahnya,
dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.”

Ibrahim (An Nakhai) berkata: “Mereka memukuli
kami karena kesaksian atau sumpah (yang kami lakukan)
ketika kami masih kecil”.

Kandungan bab ini:

1. Adanya wasiat dari Allah untuk menjaga
sumpah.

2. Penjelasan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam 
bahwa sumpah itu dapat
melariskan barang dagangan, tapi ia juga dapat
menghapus keberkahan usaha itu.

3. Ancaman berat bagi orang yang selalu
bersumpah, baik ketika menjual atau membeli.

4. Peringatan bahwa dosa itu bisa menjadi besar
walaupun faktor yang mendorong untuk
melakukannya itu kecil (119).
-----------------------------------------------------
(119) Seperti orang yang sudah beruban (tua) yang berzina,
atau orang melarat yang congkak, semestinya mereka
tidak melakukan perbuatan dosa ini, karena faktor yang
mendorong mereka untuk berbuat demikian adalah
lemah atau kecil.

5. Larangan dan celaan bagi orang yang bersumpah
tanpa diminta.

6. Pujian Rasulullah untuk ketiga generasi atau
keempat generasi (sebagaimana tersebut dalam
suatu hadits), dan memberitakan apa yang akan
terjadi selanjutnya.

7. Larangan dan celaan bagi orang yang
memberikan kesaksian tanpa diminta.

8. Orang-orang salaf (terdahulu) memukul anakanak
kecil karena memberikan kesaksian atau
bersumpah (120).
-------------------------------------------------------
(120) Hal tersebut dilakukan oleh orang-orang salaf untuk
mendidik anak-anak agar tidak gampang bersaksi dan
menyatakan sumpah, yang akhirnya akan menjadi suatu
kebiasaan; kalau sudah menjadi kebiasaan, dengan
ringan ia akan bersaksi atau bersumpah sampai dalam
masalah yang tidak patut baginya untuk bersumpah. Dan
banyak bersumpah itu dilarang, karena perbuatan ini
menunjukkan suatu sikap meremehkan dan tidak
mengagungkan nama Allah.

Jumat, 24 Mei 2013

Cara Sujud yang Benar

SECARA umum, tata cara sujud yang benar telah disebutkan dalam hadis berikut:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk bersujud dengan bertumpu pada tujuh anggota badan: Dahi –dan beliau berisyarat dengan menyentuhkan tangan ke hidung beliau–, dua telapak tangan, dua lutut, dan ujung-ujung dua kaki.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadis, tujuh anggota sujud dapat kita rinci:

a. Dahi dan mencakup hidung
b. Dua telapak tangan
c. Dua lutut
d. Dua ujung-ujung kaki.

Adapun bentuk sujud yang sempurna secara rinci dijelaskan sebagai berikut:


1. Menempelkan Dahi dan Hidung di Lantai
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menempelkan dahi dan hidungnya ke lantai…” (HR. Abu Daud, Turmudzi dan dishahihkan Al Albani dalam Sifat Shalat, Hal. 141)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah, sebagaimana dia menempelkan dahinya ke tanah.” (HR. Ad Daruqutni dan At Thabrani dan dishahihkan Al Albani dalam Sifat Shalat, Hal. 142)
Hadis ini menunjukkan, menempelkan hidung ketika sujud hukumnya wajib.
2. Meletakkan Kedua Tangan di Lantai dan Sejajar dengan Pundak atau Telinga
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangannya (ketika sujud) sejajar dengan pundaknya.” (HR. Abu Daud, Turmudzi dan dishahihkan Al Albani dalam Sifat Shalat, Hal. 141)
Dan terkadang “Beliau  meletakkan tangannya sejajar dengan telinga.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i dengan sanad shahih sebagaimana disebutkan Al Albani dalam Sifat Shalat, Hal. 141)
3. Merapatkan Jari-jari Tangan dan Menghadapkannya ke Arah Kiblat

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merapatkan jari-jari tangan ketika sujud.” (HR. Ibn Khuzaimah dan Al Baihaqi dan dishahihkan Al Albani)
“Beliau menghadapkan jari-jarinya ke arah kiblat.” (HR. Al Baihaqi dengan sanad shahih, sebagaimana keterangan Syaikh Al Albani dalam Sifat Shalat)
Ibn Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menghadapkan anggota tubuhnya ke arah kiblat ketika shalat. Sampai beliau menghadapkan jari jempolnya ke arah kiblat.” (HR. Ibn Sa’d dan dishaihkan Al Albani dalam Sifat Shalat, Hal. 142)
4. Mengangkat Kedua Lengan dan Membentangkan Keduanya Sehingga Jauh dari Lambung

“Beliau tidak meletakkan lengannya di lantai.” (HR. Al Bukhari dan Abu Daud)
“Beliau mengangkat kedua lengannya dan melebarkannya sehingga jauh dari lambungnya, sampai kelihatan ketiak beliau yang putih dari belakang.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
“Beliau melebarkan lengannya, sehingga anak kambing bisa lewat di bawah lengan beliau.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh dalam merenggangkan kedua lengannya kekita sujud, sampai ada sebagian sahabat yang mengatakan, “Sungguh kami merasa kasihan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau sangat keras ketika membentangkan kedua lengannya pada saat sujud.” (HR. Abu Daud dan Ibn Majah dengan sanad hasan sebagaimana keterangan Syaikh Al Albani dalam Sifat Shalat)
sujud1.gif
Catatan:
Membentangkan kedua lengan ketika sujud dianjurkan jika tidak mengganggu orang lain yang berada di sampingnya. Jika mengganggu orang lain, misalnya ketika shalat berjamaah, maka tidak boleh membentangkan tangan, namun tetap harus mengangkat siku agar tidak menempel dengan lantai. Karena menempelkan siku ketika sujud termasuk tata cara sujud yang dilarang.
5. Menempelkan Kedua Lutut di Lantai

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami diperintahkan untuk bersujud dengan bertumpu pada tujuh anggota badan:….salah satunya bertumpu pada kedua lutut.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Catatan:
Kedua lutut dirapatkan ataukah direnggangkan?
Tidak terdapat keterangan tentang masalah ini. Oleh karena itu, posisi lutut ketika sujud sebaiknya di sesuaikan dengan kondisi yang paling nyaman menurut orang yang shalat. Jika dia merasa nyaman dengan merenggangkan lutut, maka sebaiknya direnggangkan dan sebaliknya, jika dia merasa nyaman dengan kondisi dirapatkan kedua lututnya, maka sebaiknya dirapatkan.
Syaikh Ibn Al Utsaimin mengatakan, “Hukum asal (gerakan shalat) adalah meletakkan anggota badan sesuai dengan kondisi asli tubuh sampai ada dalil yang menyelisihinya.” (Asy Syarhul Mumthi’, 1:574)
6. Bersikap I’tidal Ketika Sujud

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud “i’tidal ketika sujud” adalah merenggangkan antara betis dengan paha, dan meregangkan antara perut dengan paha, masing-masing kurang lebih 90 derajat. Namun tidak boleh berlebihan ketika meregangkan betis dengan paha, sehingga lebih dari 90 derajat.(Asy Syarhul Mumthi’, 1:579)
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Bersikaplah I’tidal ketika sujud.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Humaid radhiallahu ‘anhu, beliau menceritakan tata cara shalatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: …Ketika beliau sujud, beliau renggangkan kedua pahanya, tanpa sedikit pun menyentuhkan paha dengan perut beliau. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh As Syaukani dalam Nailul Authar)
As Syaukani mengatakan: Hadis ini dalil dianjurkannya meregangkan kedua paha ketika sujud dan mengangkat perut sehingga tidak menyentuh paha. Dan tidak ada perselisihan ulama tentang anjuran ini. (Nailul Authar, 2:286)
7. Meletakkan Ujung-ujung Kaki dan Ditekuk Sehingga Ujung-ujungnya Menghadap Kiblat

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan dua lututnya dan ujung kedua kakinya di tanah.” (HR. Al Baihaqi dengan sanad shahih, dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan dishahihkan Al Albani)
“Beliau menegakkan kedua telapak kakinya.” (HR. Al Baihaqi dengan sanad shahih dan dishahihkan Al Albani) Dan “Beliau memerintahkan (umatnya) untuk melakukannya.” (HR. At Turmudzi, Al Hakim dan dishahihkan Al Albani)
“Beliau menghadapkan punggung kakinya dan ujung-ujung jari kaki ke arah kiblat.” (HR. Al Bukhari dan Abu Daud)
8. Merapatkan Tumit

“Beliau merapatkan kedua tumitnya (ketika sujud).” (HR. At Thahawi dan Ibn Khuzaimah dan dishahihkan Al Albani)
9. Melaksanakan Gerakan Sujud Sebagaimana di Atas dengan Sungguh-sungguh

Karena demikianlah sunnah yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Agar shalat kita bisa sempurna maka sunnah yang mulia ini harus kita jaga.
Oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
 KESALAHAN POSISI SAAT BERSUJUD 
JANGAN LAKUKAN SUJUD seperti dalam gambar di bawah ini yaitu dengan menempelkan siku ke tanah/lantai , karena posisi seperti itu menyerupai anjing yang membentangkan kedua kaki depannya .





"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif