Siapa yang tidak menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat? Kita semua tentu menginginkannya. Hanya yang perlu untuk kita pertanyakan bagaimana cara untuk meraih keduanya. Sementara, kita yakini bersama bahwa Islam adalah agama yang ajarannya universal (menyeluruh). Islam satu-satunya agama yang mendapatkan legitimasi (pengakuan) dari Sang Pemiliknya yaitu Allah 'azza wa jalla. Islam adalah agama yang rahmatan lil alamiin. Tidak didapatkan satu ajaran pun dalam Islam yang merugikan para pemeluknya, tidak ditemukan satu prinsip pun dalam Islam yang mencelakakan para penganutnya. Tetapi pada kenyataannya banyak kalangan yang hanya menitikberatkan perhatiannya pada dunia dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Padahal Allah telah mengingatkan kita dengan firman-Nya, "Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridloannya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (Al-Hadid: 20). "Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang mereka telah usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (Huud: 15-16). Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, petunjuk Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam adalah sebaik-baik petunjuk. Siapa yang mengambilnya ia akan bahagia dan yang meninggalkannya akan celaka. Allah berfirman, "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nuur: 63). Terbukti generasi yang bersamanya, yakni generasi para sahabat meraih gelar terbaik umat ini, karena mereka mengambil petunjuknya. Itulah mereka para sahabat yang telah berhasil meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Bagaimana tidak, sedang mereka mendapatkan bimbingan tauhid selama kurang lebih 13 tahun hingga akhirnya mereka memiliki landasan yang kokoh dalam kehidupannya. Oleh karena itu, tauhid itulah sebagai landasan yang menghantarkan seseorang kepada kebahagiaan yang sebenarnya. Sebab mentauhidkan Allah adalah tujuan diciptakannya manusia. Allah berfirman, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (Adz Dzariyaat: 56). Ibnu Katsir berkata: makna "ya'buduun" dalam ayat ini adalah "yuwahhiduun" (mentauhidkan Allah). Al-Imam Al-Baghawi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan: "Setiap perintah beribadah dalam Al Qur'an maka maknanya adalah tauhid." Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, bagaimana tidak dikatakan bahwa tauhid sebagai landasan yang akan menghantarkan seseorang kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, sedangkan Allah meridhai ahli tauhid. Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah meridhai kalian tiga perkara: kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan jangan bercerai berai, dan memberikan nasihat kepada orang yang Allah jadikan pemimpin atas urusan-urusan kalian." (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Itulah tauhid. Tauhid adalah jalan untuk mendapatkan dua kebahagiaan tersebut, sebab dengan menegakkan tauhid berarti menegakkan keadilan yang paling adil. Sementara tujuan Allah mengutus rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya adalah supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Allah berfirman, "Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyatam dan telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan." (Al-Hadiid: 25). Tauhid sebagai landasan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat karena keamanan serta petunjuk di dunia dan akhirat hanya akan dicapai oleh para ahli tauhid. Allah berfirman, "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Al-An'aam: 82). Ibnu Katsir mengatakan pada ayat ini: "Yaitu mereka yang memurnikan ibadahnya untuk Allah saja dan tidak berbuat kesyirikan dengan sesuatu apapun, mereka mendapatkan keamanan pada hari kiamat dan petunjuk di dunia dan akhirat." Jadi memang tauhidlah yang akan menghantarkan kepada kebahagiaan yang hakiki. Karena khilafah di muka bumi serta kehidupan yang damai, aman, dan sentosa berbangsa dan bernegara hanya akan diraih melalui tauhid. Allah berfirman, "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang sholih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi. Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhainya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, semula mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (An-Nuur: 55). Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, ahli tauhid mereka orang-orang yang akan mendapatkan jaminan surga dari Allah. Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang bertemu Allah dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, ia akan masuk surga. Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Nya dalam keadaan menyekutukan-Nya, ia akan masuk neraka." (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah). Ahli tauhid mereka orang-orang yang akan berbahagia dengan syafa'atnya Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam . Abu Hurairah bertanya kepada Nabi shallallahu ?alaihi wasallam , "Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa'atmu?" Beliau menjawab, "Orang yang mengatakan 'Lailaha ilallah' ikhlas dari lubuk hatinya." (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah). Ahli tauhid mereka orang-orang yang terjaga dan terpelihara darah dan hartanya. Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam bersabda, "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak untuk diibadahi secara benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah, menegakkan sholat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukannya, mereka terjaga dariku darahnya dan hartanya kecuali dengan hak-hak Islam, dan perhitungannya atas Allah." (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar). Demikianlah para pembaca -kaum muslimin- tauhid adalah rahasia kebahagiaan dunia dan akhirat, karena yang pertama kali diwajibkan atas seorang hamba adalah tauhid. Allah berfirman, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Ilah yang hak melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (Al-Anbiyaa: 25). Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam berkata kepada sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman "Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari Ahli Kitab. Jika Engkau mendatanginya maka serukanlah kepada mereka supaya mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah -yang berhak untuk diibadahi- kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah..." (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu). Imam Al-Hafizh Al-Hakami mengatakan, "Kewajiban pertama atas hamba, mengenal Ar-Rahmaan (Allah) dengan tauhid." Dan tauhid juga yang menjadi kewajiban terakhir atas seorang hamba, ketika menjelang kematiannya Abu Thalib, Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam datang menemuinya dan berkata, "Wahai paman, ucapkanlah 'Lailaha ilallah', kalimat yang menjadi hujjah untukmu di sisi Allah..." (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Sa'id ibnul Musayyab dari bapaknya (Musayyab)). Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam juga bersabda, "Barangsiapa yang akhir ucapannya 'Lailaha ilallah', ia akan masuk surga." Semoga Allah memberikan taufiq kepada yang dicintai dan diridhainya. Amin ya Mujibas sailiin. (Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Hamzah Yusuf dari Bulletin al Wala wal Bara Edisi ke-7 Tahun ke-1 / 24 Januari 2003 M / 21 Dzulqa'dah 1423 H. Judul asli Tauhid Rahasia Kebahagiaan Dunia dan Akhirat) |
Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla
- Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.
Bukti Cinta
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)
Senin, 27 Mei 2013
Tauhid Rahasia Kebahagiaan Dunia dan Akhirat
Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!
☛ Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)
☛ Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)
☛ Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,
1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)
5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)
6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)
7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)
8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)
9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)
☛ Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,
1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)
3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).
Selengkapnya klik DI SINI
Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar