Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Sabtu, 07 Juni 2014

SYEIKH ALBANI DI HUJAT

SYEIKH ALBANI DAN SHAHIHAIN
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ana mau tanya benar gak sih syaikh nashirudin al albani mendhoifkan hadist2 shohih dari bukhori dan muslim? tolong dijelaskan yang rinci agar tidak terjadi fitnah bagi ulama ahlus sunnah.

Jawaban Ustadz:
Sebenarnya kurang pas jika saya diminta menjawab pertanyaan ini, karena masih banyak yang lebih berkompeten menjawabnya. Namun barangkali karena kesibukan para ustadz, dan karena permasalahannya sudah banyak dibahas, serta mudahnya memperoleh referensi dan konsultasi dari para ustadz, saya beranikan untuk berpartisipasi menjawabnya. Wabillahittaufiq.
Kedudukan Sahih Bukhari dan Muslim
Para ulama Ahlusunnah sepakat bahwa Kitab Sahih Bukhari dan Muslim (Sahihain) adalah kitab hadits yang paling sahih. Imam Nawawi berkata, “Para ulama -rahimahumullah- sepakat bahwa kitab yang paling sahih setelah Al Quran adalah Ash Sahihain Bukhari dan Muslim, dan umat telah menerima keduanya.” (Lihat Muqaddimah Syarah Muslim 1/14).
Perlu diketahui juga bahwa hadits-hadits dalam Sahihain bukanlah sembarang hadits sahih, tapi hadits sahih pilihan yang dipilih dari ribuan hadits sahih. Dalam Sahihain, al-Bukhari dan Muslim (Syaikhain) memberlakukan syarat yang sangat ketat, yang bahkan tidak mereka syaratkan dalam kitab-kitab mereka yang lain. Hadits-hadits ini mereka pilih dari ratusan ribu hadits, diiringi isti’anah kepada Allah, kemudian konsultasi dengan para pakar sekaliber ‘Ali bin Madini dan Abu Zur’ah ar-Razi.
Namun tidak berarti bahwa Sahihain terlepas dari kekurangan sama sekali. Tidak semua hadits ini disepakati kesahihannya. Sebagian kecil haditsnya diperselisihkan kesahihannya, bahkan oleh sebagian ulama hadits pada masa Bukhari dan Muslim. Karenanya Ibnu Shalah, yang menukil ijma’ atas penerimaan dua kitab ini, tidak menggeneralisir hukum ini untuk seluruh isi kitab. Beliau mengatakan: “Kecuali beberapa tempat yang dikritik Ad Daraquthni dan yang lain.” (Lihat Fathul Bari 1/505). Ibnu Taimiyyah berkata, “Di antara hadits sahih ada yang para ulama hadits sepakat menyikapinya dengan menerima dan percaya, seperti sebagian besar hadits Bukhari dan Muslim, karena semua ulama hadits memastikan sahihnya sebagian besar hadits dua kitab ini.” (Majmu’ Fatawa 18/17).
Sejak dulu sudah ada beberapa ulama yang mengkritik sebagian hadits Sahihain, maupun kitab Sahihain secara khusus, di antaranya Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ad Daraquthni, Abul Walid Al Baji, Ibnu ‘Abdil Hadi, Abu Mas’ud Ad Dimasyqi, Abu ‘Ali Al Ghassani, dan Ibnu Tamiyyah. Yang paling terkenal dengan kritiknya adalah Imam Ad Daraquthni yang mengkritik 110 hadits di Sahih Bukhari dan 132 hadits di Sahih Muslim.
Banyak juga ulama hadits yang berusaha menjawab berbagai kritik tersebut. An Nawawi berkata, “Dan telah terjawab semuanya atau sebagian besarnya.” Memang tidak semua terjawab dengan baik. Ibnu Hajar berkata: “Di antara kritikan tersebut ada yang jawabannya tidak kuat.” (Fathul Bari 1/505).
Intinya, sebagian besar hadits Sahihain disepakati kesahihannya. Sebagian kecil lagi diperselisihkan, tapi minimal hadits tersebut sahih menurut Syaikhain dan sebagian ulama hadits. Mengkritik sebagian hadits ini atau menghukuminya dengan dha’if bukanlah perkara baru dan sah-sah saja dilakukan oleh pakarnya, selama didasarkan pada aturan-aturan dalam disiplin ilmu hadits, bukan dengan hawa nafsu. Hal tersebut termasuk masalah ijtihadiah yang kita boleh berbeda pendapat di dalamnya.
Sikap Imam Al Albani Terhadap Sahihain
Sebagai seorang Imam Ahlusunnah pada zaman ini, Syaikh Al Albani selalu berusaha mengikuti jejak generasi awal umat Islam. Dalam ilmu hadits pun beliau tidak datang dengan kaidah-kaidah baru. Sikap beliau terhadap Sahihain bisa kita simak langsung dari pernyataan beliau berikut, “Dan Sahihain adalah kitab paling sahih setelah Kitabullah, dengan kesepakatan para ulama muslimin, dari kalangan ahli hadits dan yang lain. Keduanya istimewa dibanding kitab sunah yang lain karena tak tersaingi dalam menghimpun hadits-hadits paling sahih dan meninggalkan hadits-hadits lemah dan matan yang munkar. Mereka telah diberikan taufik yang tidak didapatkan oleh orang-orang yang berusaha mengikuti jejak mereka dalam menghimpun hadits-hadits sahih seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, dan sebagainya, sehingga diketahui secara umum bahwa jika suatu hadits diriwayatkan Syaikhain atau salah satunya, berarti hadits itu sahih.”
Beliau melanjutkan, “Tidak ada keraguan dalam hal ini, dan inilah kaidah asalnya menurut kami. Tapi ini tidak berarti bahwa setiap huruf atau kata dalam Sahihain memiliki kedudukan yang sama dengan huruf dan kata dalam Al Quran, dimana tidak mungkin ada kesalahan dari sebagian perawinya. Sama sekai tidak, karena kami tidak meyakini ada kitab yang ma’shum selain Kitabullah. Imam asy-Syafi’I berkata, ‘Allah enggan menyempurnakan kitab selain Kitab-Nya.’ Tidak mungkin ada seorang ulama pun yang bisa mengatakan demikian, jika ia mempelajari Sahihain dengan jeli dan teliti, tanpa fanatisme, dan dalam koridor aturan ilmiah yang baku, bukan mengikuti hawa nafsu, atau pemikiran yang jauh dari Islam dan kaidah para ulamanya.” (Muqaddimah Syarah ath-Thahawiyyah: 24).
Ustadz Yusuf Abu Ubaidah dalam kitab “Syaikh al-Albani Dihujat” menyebutkan bukti-bukti penghormatan Syaikh al-Albani terhadap Sahihain, antara lain:
(1) Meringkas Sahihain.
(2) Mendahulukan Sahihain sebelum kitab yang lain dalam takhrij.
(3) Memuji syarah Sahihain.
(4) Membela hadits-hadits Sahihain yang dihujat.

Silakan merujuk kitab ini, insya Allah Anda akan semakin bersyukur dengan nikmat hidayah kepada sunah.
Apakah Syaikh Al Albani Melemahkan Sebagian Hadits Sahihain ?
Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa Al Albani melemahkan sebagian hadits Sahihain, untuk menjelaskan bahwa beliau tidak paham kaidah ilmu hadits, membuat kaidah-kaidah baru, tidak hormat pada ulama salaf, dan sebagainya. Secara umum mereka mendasarkan tuduhan tersebut pada beberapa hal, yaitu:
Pertama, dalam mentakhrij hadits yang diriwayatkan salah satu Syaikhain atau keduanya, kadang beliau mengatakan “Sahih” atau “Sahih diriwayatkan Muslim” atau “Sahih Muttafaq ‘Alaih” dan kadang cukup mengatakan, “diriwayatkan Bukhari” atau “diriwayatkan Muslim” atau “Muttafaq ‘Alaih” tanpa mengatakan “sahih”. Menurut mereka, itu berarti bahwa jika tidak mengatakan “sahih”, seolah-olah Al Albani meragukan kesahihan hadits tersebut, dan ini tidak pernah dilakukan ulama hadits sebelumnya.
Kedua, bahwa Al Albani memang terus terang menghukumi dha’if beberapa hadits Sahihain, diantaranya:
Hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah ketika beliau dalam keadaan ihram.”
Al Albani mengatakan “Sungguh pasti bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah ketika beliau tidak dalam keadaan ihram” Kemudian beliau menukil perkataan Ibnu ‘Abdil Hadi, “Dan ini terhitung di antara kesalahan-kesalahan yang ada di Sahih (Bukhari).” (Muqaddimah Syarah Ath-Thahawiyyah: 23).
Hadits Abu Hurairah riwayat Bukhari:
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
“Barang siapa memusuhi seorang waliku, sungguh Aku telah mengumumkan perang baginya.”
Al Albani mengatakan, “Riwayat al-Bukhari, dan dalam sanadnya ada kelemahan, tetapi ia punya beberapa jalan sanad yang barangkali menguatkannya. Dan saya belum diberi kemudahan untuk mempelajari dan meneliti masalah ini.” (Lihat Muqaddimah Syarah ath-Thahawiyyah: 24).
Jawabannya: Adapun sebab pertama, kita katakan bahwa setiap orang paham sedikit saja tentang ilmu hadits tentu paham bahwa jika dikatakan, “diriwayatkan Bukhari”, atau “diriwayatkan Muslim”, atau “Muttafaq ‘Alaih”, itu berarti bahwa haditsnya sahih. Adapun jika dikatakan: “sahih”, atau “sahih diriwayatkan Muslim”, atau “sahih Muttafaq ‘alaih”, itu adalah penjelasan dan penegasan kesahihan hadits. Sama sekali tidak berarti bahwa jika kata “sahih” dihilangkan berarti tidak sahih. Yang terjadi hanyalah perbedaan ungkapan untuk makna yang sama. Metode ini juga bukan metode baru made in Al Albani, tapi sudah ada ulama sebelum beliau yang melakukannya, antara lain Al Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah, di mana beliau kadang mengatakan: “sahih”, “sahih diriwayatkan Muhammad (Bukhari)”, “sahih diriwayatkan Muslim”, atau “sahih Muttafaq ‘ala Shihhatih”, dan semisalnya. (Lihat Muqaddimah Syarah ath-Thahawiyyah: 25-26).
Adapun sebab yang kedua, secara umum bisa kita jawab dengan keterangan dalam pasal A bahwa sebagian kecil hadits Sahihain diperselisihkan kesahihannya, termasuk oleh sebagian ulama hadits pada masa Bukhari dan Muslim. Mengkritik sebagian hadits ini atau menghukuminya dengan dha’if bukanlah perkara baru yang dibawa Syaikh Al Albani, dan sah-sah saja dilakukan oleh ahli hadits, selama didasarkan pada aturan-aturan dalam disiplin ilmu hadits, bukan dengan hawa nafsu.
Mengenai hadits Ibnu ‘Abbas, hadits ini sangat kuat isnadnya. Oleh karena itu Syaikhain sepakat meriwayatkannya. Tapi matannya menyelisihi matan hadits sahih lain; yaitu hadits Maimunah yang diriwayatkan Muslim:
عَنْ مَيْمُونَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ
“Dari Maimunah binti Harits, bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya ketika beliau dalam keadaan halal (tidak ihram).”
Karena maknanya bertentangan dan sama-sama sahih, diperlukan penguat di luar kedua hadits ini. Para ulama lebih mengunggulkan hadits Maimunah karena beberapa hal:
Pertama, hadits Maimunah diriwayatkan dengan jalan sanad lebih banyak. Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Riwayat-riwayat dalam hukum ini berbeda-beda. Tapi riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya dalam keadaan halal datang dari jalan sanad yang banyak. Hadits Ibnu ‘Abbas sahih sanadnya, tapi kesalahan dari satu orang lebih mungkin dari kesalahan banyak orang.”
Kedua, hadits Maimunah diriwayatkan oleh shahibul qishah (pelaku kejadian), yaitu Maimunah sendiri dan Abu Rafi’ yang merupakan perantara pernikahan ini, sebagaimana diriwayatkan Ahmad dan at-Tirmidzi. Sa’id bin Musayyib mengatakan: “Ibnu ‘Abbas telah salah, lha wong Maimunah sendiri mengatakan: ‘Beliau menikahiku ketika dalam keadaan halal (tidak ihram).’”
Ketiga, hadits Ibnu ‘Abbas menyelisihi kaidah umum dalam hukum pernikahan, yaitu hadits Usman riwayat Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
“Orang yang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh melamar.”
Dengan demikian, meskipun hadits Ibnu ‘Abbas sahih sanadnya, kita perhatikan dari zhahir perkataan beberapa ulama di atas bahwa mereka menilainya syadz (menyelisihi yang lebih kuat). Sebagian ulama lagi berusaha memadukan makna dua hadits sahih yang tampak bertentangan ini. (Lihat Fathul Bari 9/207-208).
Adapun hadits Abu Hurairah, banyak ulama besar sebelum Al Albani yang menghukumi dha’if sanadnya, antara lain Adz Dzahabi, Ibnu Rajab dan Ibnu Hajar. Bahkan Adz Dzahabi mengatakan: “Hadits ini aneh sekali. Kalau bukan karena wibawa Sahih (Bukhari), tentu orang akan menganggapnya termasuk munkaratnya Khalid bin Mikhlad, karena matan ini tidak diriwayatkan kecuali dengan sanad ini, dan tidak diriwayatkan oleh selain Bukhari.” Tapi yang benar, hadits ini memliliki jalan sanad yang lain, sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar. (Lihat Muqaddimah Syarah ath-Thahawiyyah: 37-38).
Kemudian saksikanlah tawadhu’ dan objektivitas Imam Al Albani, di mana beliau mengatakan: “Karena itu saya sempat tidak bisa menghukumi sahih hadits ini dengan tegas, sampai saya dimudahkan untuk meneliti jalan sanadnya. Kemudian Allah memudahkannya untuk saya sejak beberapa tahun, maka jelaslah bagi saya bahwa hadits ini sahih dengan kumpulan jalan sanadnya.” (Lihat Muqaddimah Syarah ath-Thahawiyyah: 37-38).
Ironisnya, ternyata orang-orang yang membesar-besarkan masalah ini; yaitu bahwa Al Albani melemahkan hadits-hadits Sahihain dan membuat kaidah-kaidah baru, seperti Hasan As Saqqaf (Assegaf), Abdullah Al Ghumari, Abdul Fattah Abu Ghuddah, dan di Indonesia Ali Mustofa Yakub, ternyata melakukan hal yang sama, yang karena sebabnya, dengan zhalim mereka mencela Imam al-Albani. Hanya sayangnya mereka tidak melakukannya dengan ilmiah. Wallahul Musta’an. (Lihat Syaikh al-Albani Dihujat: 72-75, 158).
Kenapa Syaikh Al Albani ?
Di atas telah kita jelaskan bahwa celaan terhadap Syaikh Al Albani tersebut zhalim dan tidak proporsional. Yang kita pertanyakan, kenapa Al Albani yang dihujat dan diserang? Beberapa poin berikut barangkali bisa menjawabnya:
Pertama, barangkali ini menunjukkan keutamaan Syaikh Al Albani. Beliau laksana pohon yang tinggi, yang harus siap menghadapi angin kencang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya:
أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ
“Siapa yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab: “Para nabi, kemudian yang terbaik, kemudian yang terbaik setelahnya.” (HR. Tirmidzi, disahihkan Al Albani)
Kedua, inilah sunah pembawa kebenaran, sebagaimana dikatakan Waraqah bin Naufal kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ
“Tidak ada seorang pun yang datang dengan seperti apa yang engkau bawa, kecuali dimusuhi.” (Muttafaq ‘alaih)
Ketiga, karena Syaikh Al Albani adalah imam Ahlusunnah dan mujaddid (pembaharu-dengan maknanya yang sebenarnya) di abad ini. Beliau berada di shaf terdepan dalam mendakwahkan sunah dan menjelaskan kebatilan, terkadang dengan tegas dan tanpa tedeng aling-aling, sehingga membuat kewalahan para pengusung kebatilan.
Keempat, beliau adalah salah satu tokoh besar dakwah ahlussunnah, yang perkembangannya membuat banyak ahlul bid’ah kalang kabut. Jatuhnya ulama dakwah ahlussunnah h akan berpengaruh pada perkembangan dakwah. Jadi bukan hanya Al Albani yang diserang, tapi lebih penting dari itu dakwah yang beliau bawa.
Kelima, karena itu, tidak perlu heran jika setelah ini kita mendengar serangan-serangan lain terhadap Syaikh Al Albani (misalnya menuduhnya berakidah murji’ah) atau ulama yang lain. Alhamdulillah kebenaran itu jelas. Hendaknya kita senantiasa mendekat dari meja ilmu dan ulama, agar terus mendapat bimbingan mereka. Akhirnya kita berdoa, semoga Allah melimpahkan rahmatnya kepada Syaikh Al Albani, dan membimbing kita semua untuk teguh di atas kebenaran. Amin.
والله تعالى أعلم، وصلى الله على نبينا محمد، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.
Referensi:
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Darussalam.
Syarah al-’Aqidah ath-Thahawiyyah, takhrij Syaikh al-Albani, al-Maktab al-Islami.
Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, Maktabah al-Mutanabbi.
Al-Maktabah asy-Syamilah, Maktabah Shautiyyah Masjid Nabawi.
Mukhtashar Sahih al-Bukhari, al-Albani, al-Maktab al-Islami.
Al-Qamus al-Muhith, al-Fairuzabadi, Muassasah ar-Risalah.
Difa’an ‘anis Salafiyyah, ‘Amr ‘Abdul Mun’im, Maktabah ash-Shahabah.
Syaikh al-Albani Dihujat, Yusuf Abu Ubaidah, Pustaka Abdullah.
***

Penanya: Abu Ahmad Bangili
Dijawab Oleh: Ustadz Anas Burhanuddin, Lc.
(Mahasiswa S2 Universitas Islam Madinah)

S

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif