Di tengah sebagian kalangan, baru-baru ini terlihat perdebatan mengenai masalah kiblat. Terutama ketika Majelis Ulama Indonesia pada tahun ini mengeluarkan fatwa mengenai arah kiblat bahwa arahnya cukup ke barat saja tanpa mesti serong ke utara beberapa derajat. Melihat fatwa ini sebagian orang menyatakan tanda tidak setuju dengan fatwa tersebut. “Arah kiblat kita sekarang tidak menghadap persis ke ka’bah, malah arahnya ke Brasil dan bukan ke Ka’ bah”, ujarnya.
Pada edisi Buletin At Tauhid kali ini, kami ingin mengutarakan bagaimanakah pendapat para pakar fikih mengenai masalah ini. Tentu saja pendapat yang mereka bangun adalah berdasarkan dalil, bukan hanya sekedar akal-akalan atau logika semata yang kosong dari dalil. Semoga penjelasan kali ini dapat memberikan sedikit titik terang dari polemik yang ada. Hanya Allah yang beri taufik.
Menghadap Kiblat Merupakan Syarat Sah Shalat
Menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat, hal ini berdasarkan kesepakatan (ijma’) para ulama[1]. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat, baik dalam shalat wajib maupun shalat sunnah.”[2] Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada orang yang jelek shalatnya, “Jika engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu lalu menghadaplah ke kiblat, kemudian bertakbirlah.” (HR. Bukhari no. 6251 dan Muslim no. 912). An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini mengandung faedah yang amat banyak. Perlu diketahui bahwa hadits ini menerangkan mengenai kewajiban-kewajiban dalam shalat dan bukanlah sunnah.” Beliau melanjutkan, “Hadits ini menunjukkan tentang wajibnya thoharoh (bersuci), menghadap kiblat, takbirotul ihrom dan membaca Al Fatihah.”[3]
Yang Mendapat Udzur (Keringanan) Tidak Menghadap Kiblat
Kita sudah ketahui bersama bahwa menghadap kiblat adalah di antara syarat sah shalat. Namun ada beberapa keadaan yang dibolehkan seseorang tidak menghadap kiblat.
Pertama: Tidak mampu menghadap kiblat, seperti orang sakit sehingga tidak mampu mengarahkan badannya ke arah kiblat. “Bertakwalah pada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghobun: 16)
Kedua: Orang yang samar baginya arah kiblat, ia sudah berusaha mencari, namun ia shalat menghadap ke arah lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar, beliau berkata, “Ketika orang-orang shalat subuh di Quba’, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan berkata, “Sungguh, tadi malam telah turun ayat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau diperintahkan untuk menghadap ke arah Ka’bah. Maka orang-orang yang sedang shalat berputar menghadap Ka’bah, padahal pada saat itu wajah-wajah mereka sedang menghadap negeri Syam. Mereka kemudian berputar ke arah Ka’bah.” (HR. Bukhari no. 403 dan Muslim no. 526). Riwayat ini menunjukkan bahwa ketika di pertengahan shalat sudah diketahui arah kiblat sebenarnya, maka hendaklah ketika itu ia menghadap ke arah tersebut.
Ketiga: Keadaan sangat takut ketika menghadapi musuh atau semacamnya. Dalilnya adalah firman AllahTa’ala (yang artinya), “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al Baqarah: 239).
Keempat: Bagi musafir yang melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraan boleh baginya tidak menghadap kiblat ketika ada udzur saat itu. Ibnu ‘Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap arah yang dituju kendaraan dan juga beliau melaksanakan witir di atasnya. Dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atas kendaraan.” (HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 1652)
Cara Menghadap Kiblat Ketika Melihat Ka’bah Secara Langsung
Menghadap kiblat ada dua keadaan:
- ketika melihat ka’bah secara langsung,
- ketika tidak melihat ka’bah secara langsung.
Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang melihat ka’bah secara langsung, wajib baginya menghadap persis ke Ka’bah dan tidak boleh dia berijtihad untuk menghadap ke arah lain. Ibnu Qudamah Al Maqdisirahimahullah mengatakan, “Jika seseorang langsung melihat ka’bah, wajib baginya menghadap persi ke arah ka’bah. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan ulama mengenai hal ini. Ibnu ‘Aqil mengatakan,”Jika melenceng sebagian dari yang namanya Ka’bah, shalatnya tidak sah”.”[4]
Jika Tidak Melihat Ka’bah Secara Langsung
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah dikatakan bahwa para ulama berselisih pendapat bagi orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung karena tempat yang jauh dari Ka’bah. Yang mereka perselisihkan adalah apakah orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung wajib baginya menghadap persis ke ka’bah ataukah menghadap ke arahnya saja (melenceng sedikit tidak mengapa, pen).[5]
Pendapat ulama Hanafiyah, pendapat yang terkuat pada madzhab Malikiyah dan Hanabilah, juga hal ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i (sebagaimana dinukil dari Al Muzaniy), mereka mengatakan bahwa bagi orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah ka’bah (tidak mesti persis ke Ka’bah).
Dalil dari pendapat pertama ini adalah ayat (yang artinya), “Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144). Menurut pendapat pertama ini, mereka menafsirkan “syatro” dalam ayat tersebut dengan arah yaitu arah ka’bah. Jadi bukan yang dimaksud persis menghadap ke ka’bah namun cukup menghadap arahnya, yaitu cukup menghadap ke arah barat sudah dikatakan menghadap kiblat.
Para ulama tersebut juga berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditujukan pada penduduk Madinah, “Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah no. 1011 dan Tirmidzi no. 342. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih[6]). Hadits ini berlaku bagi penduduk Madinah, di mana arah kiblat mereka adalah antara timur dan barat. Maksudnya, bagi siapa saja yang tidak melihat ka’bah secara langsung, maka dia cukup menghadap ke arahnya saja. Seperti kita kaum muslimin di Indonesia berarti menghadap ke arah antara utara dan selatan, itulah arah kiblat. Jadi cukup kita menghadap ke arahnya saja (yaitu cukup ke arah barat) dan tidak mengapa melenceng atau tidak persis ke arah ka’bah.[7]
Ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah berkata, “Bergeser sedikit dari arah kiblat tidaklah mengapa kecuali jika seseorang berada di Masjidil Haram. Masjidil Haram adalah kiblat bagi orang yang shalat di sana yaitu langsung menghadap ke Ka’bah. Oleh karena itu, para ulama mengatakan: Barangsiapa memungkinkan menyaksikan Ka’bah, maka wajib baginya untuk menghadap langsung ke Ka’bah. Dan apabila seseorang yang hendak shalat di Masjidil Haram hanya menghadap ke arah Ka’bah dan tidak menghadap persis ke Ka’bah maka dia wajib mengulangi shalatnya karena shalat yang dia lakukan tidak sah. Hal ini berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)
Namun, apabila seseorang berada jauh dari Ka’bah dan tidak mungkin dia melihat (menyaksikan) Ka’bah secara langsung walaupun dia masih berada di kota Mekkah, maka wajib baginya untuk menghadap ke arah Ka’bah dan tidak mengapa kalau bergeser sedikit. Hal ini dapat dilihat pada sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk Madinah, “Arah antara timur dan barat adalah kiblat.” Dikatakan demikian karena penduduk Madinah menghadap kiblat ke arah selatan. Maka setiap arah yang antara Barat dan Timur maka bagi mereka adalah kiblatnya. Begitu juga dikatakan kepada orang yang shalat menghadap ke Barat (seperti yang berada di Indonesia, pen) bahwa arah yang berada antara selatan dan utara adalah kiblat.”[8]
Dari penjelasan ini dapat kita katakan:
- jika kita melihat ka’bah secara langsung, maka kita punya kewajiban untuk menghadap ke arah ka’bah persis, tanpa boleh melenceng;
- namun jika kita berada jauh dari Ka’bah, maka kita cukup menghadap ke arahnya saja,seperti di negeri kita cukup menghadap ke arah barat yaitu arah antara utara dan selatan.
Sekarang masalahnya, apakah boleh kita –yang berada di Indonesia- menghadap ke barat lalu bergeser sedikit ke arah utara? Jawabannya, selama itu tidak menyusahkan diri, maka itu tidak mengapa. Karena arah tadi juga arah kiblat. Bahkan kami katakan agar terlepas dari perselisihan ulama, cara tersebut mungkin lebih baik selama kita mampu melakukannya dan tidak menyusah-nyusahkan diri.
Namun jika merasa kesulitan mengubah posisi kiblat, karena masjid agak terlalu jauh untuk dimiringkan dan sangat sulit bahkan kondisi masjid malah menjadi sempit, selama itu masih antara arah utara dan selatan, maka posisi kiblat tersebut dianggap sah. Akan tetapi, jika mungkin kita mampu mengubah arah kiblat seperti pada masjid yang baru dibangun atau untuk tempat shalat kita di rumah, selama itu tidak ada kesulitan, maka lebih utama kita merubahnya.
Jika ada yang mengatakan, “Kami tetap ngotot, untuk meluruskan arah kiblat walaupun dengan penuh kesulitan.” Maka cukup kami kemukakan perkataan Ash Shon’ani, “Ada yang mengatakan bahwa kami akan pas-pasin arah kiblat persis ke ka’bah. Maka kami katakan bahwa hal ini terlalu menyusahkan diri dan seperti ini tidak ada dalil yang menuntunkannya bahkan hal ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat padahal mereka adalah sebaik-baik generasi umat ini.[9] Jadi yang benar, kita cukup menghadap arahnya saja, walau kita berada di daerah Mekkah dan sekitarnya (yaitu selama kita tidak melihat Ka’bah secara langsung).”[10]
Jadi intinya, jika memang penuh kesulitan untuk mengepas-ngepasin arah kiblat agar persis ke Ka’bah maka janganlah menyusahkan diri. Namun, jika memang memiliki kemudahan, ya silakan. Tetapi ingatlah bertakwalah kepada Allah semampu kalian.
Diperkuat Lagi dengan Fatwa MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terkait arah kiblat sebagai konsekuensi dari pergeseran lempeng bumi. Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (22/3), MUI menegaskan pergeseran tersebut tak mempengaruhi arah kiblat. Untuk itu, MUI mengingatkan umat Islam agar tak perlu bingung dengan arah kiblat. Terlebih, dengan mengubah bahkan membongkar masjid atau musholla agar mengarah ke kiblat.
Konferensi pers tersebut disampaikan oleh Ketua MUI Drs. H. Nazri Adlani, didampingi Sekretaris MUI Dr. H Amrullah Ahmad, Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub, MA, dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Drs. H. Aminudin Yakub, MA.
Tentang diktum dari fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat disebutkan, pertama, tentang ketentuan hukum. Dalam kententuan hukum tersebut disebutkan bahwa: (1) Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat ka’bah adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul ka’bah), (2) Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah (jihat al-Ka’bah), (3) Letak georafis Indonesia yang berada di bagian timur Ka’bah/Mekkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat.
Kedua, rekomendasi. MUI merekomendasikan agar bangunan masjid/mushalla di Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap kea rah barat, tidak perlu diubah, dibongkar, dan sebagainya.[11]
Fatwa MUI ini menindaklanjuti beredarnya informasi di tangah masyarakat mengenai adanya ketidakakuratan arah kiblat di sebagian masjid atau musala di Indonesia, berdasarkan temuan hasil penelitian dan pengukuran dengan menggunakan metode ukur satelit. Atas informasi tersebut masyarakat resah dan mempertanyakan hukum arah kiblat. Sehingga komisi fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang arah kiblat untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat, demikian tercantum dalam Fatwa yang ditanda tangani oleh Ketua Muhammad Anwar Ibrahim dan sekretaris Hasanudin itu.[12]
Demikian penjelasan dari redaksi At Tauhid mengenai arah kiblat. Semoga yang singkat ini bisa membuka wacana keilmiahan kaum muslimin sehingga bisa mengetahui manakah maksud para ulama dengan arah kiblat. Wallahu a’lam bish showab. “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah” (QS. Hud: 88). [Muhammad Abduh Tuasikal]
At Tauhid edisi VI/23
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
_____________
[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/303, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[2] Al Mughni, Ibnu Qudamah, 1/490, Darul Fikr, 1405.
[3] Lihat Al Minhaj Syarh Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 4/107, Dar Ihya’ At Turots, 1392.
[4] Al Mughni, 1/490.
[5] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/11816, Asy Syamilah.
[6] Dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholi dan Misykatul Mashobih bahwa hadits ini shohih.
[7] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/1119.
[8] Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, hal. 551, Darul Aqidah.
[9] Sebagaimana dijelaskan dalamm Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, fatwa no. 4254 bahwa dahulu para ulama juga bisa menentukan arah kiblat yang pas menghadap ka’bah sebelum adanya peralatan canggih seperti saat ini. Mereka dahulu mengukur arah kiblat dengan rasi bintang, terbit dan tenggelamnya rembulan, dan bisa pula dengan melihat waktu terbit dan tenggelamnya matahari, atau dengan memperhatikan fenomena-fenomena alam yang lainnya. Kami katakan, “Jadi jangan disangka bahwa perhitungan arah kiblat baru ada saat ini. Namun sejak dahulu sejak dikenalnya ilmu falak.”
[10] Subulus Salam Syarh Bulughul Marom, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani, 1/397, Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, 1427.
[11] Sumber: http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=147:fatwa-tentang-arah-kiblat&catid=1:berita-singkat&Itemid=50
[12] Sumber: http://www.sulut.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=2277
Tidak ada komentar:
Posting Komentar