Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Senin, 11 Agustus 2014

Taklid, Budaya Jahiliyah

Allah Subhaanahu wata'aala, berfirman;
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan oleh Allah,” mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek  moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” (al-Baqarah: 170)
Penjelasan Mufradat Ayat
“Jika dikatakan kepada mereka.”
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud dengan kata “mereka” dalam ayat ini.
Sebagian mengatakan, “Yang dimaksud adalah bangsa Arab yang kafir.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyallohu anhu, “(Ayat ini) diturunkan tentang kaum Yahudi.”
Ath-Thabari t berkata, “Yang dimaksud adalah manusia secara umum yang terdapat dalam ayat sebelumnya (al-Baqarah: 168).” (Tafsir ath-Thabari, Tafsir al-Qurthubi)
“Mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah,” dengan ucapan dan perbuatan.
“Kami mendapati,” maknanya sama dengan kalimat وَجَدْنَا.
Penjelasan Ayat
Al-Allamah as-Sa’di rahimahullah, mengatakan, “Allah subhaanahu wata'aala, mengabarkan tentang keadaan kaum musyrikin tatkala mereka diperintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah subhaanahu wata'aala, kepada Rasul-Nya. Mereka pun membenci hal itu dan berkata, ‘Justru kami mengikuti apa yang kami dapatkan dari nenek moyang kami.’ Mereka merasa cukup dengan mengikuti nenek moyang mereka dan berpaling dari beriman kepada para nabi-Nya, padahal nenek moyang mereka adalah manusia yang paling bodoh dan yang paling keras kesesatannya. Ini adalah syubhat yang sangat lemah untuk menolak kebenaran. Ini juga merupakan dalil bahwa mereka telah berpaling dari kebenaran dan membencinya, serta sikap ketidakadilan mereka. Seandainya mereka diberi petunjuk dan memiliki niat yang baik, tentu kebenaranlah yang menjadi tujuannya. Barang siapa menjadikan kebenaran sebagai tujuannya dan membandingkan antara kebenaran dengan yang lainnya, pasti kebenaran itu akan menjadi jelas baginya. Dia pun akan mengikutinya jika bersikap adil.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Ath-Thabari rahimahullah, tatkala menjelaskan makna ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ mengatakan, “Beramallah dengan apa yang diturunkan oleh Allah subhaanahu wata'aala, dalam kitab-Nya kepada Rasul-Nya. Halalkanlah apa yang Dia halalkan, haramkanlah apa yang Dia haramkan. Jadikanlah beliau n sebagai imam yang kalian ikuti dan penuntun yang kalian ikuti hukum-hukumnya.” (Tafsir ath-Thabari, 3/43)
Beliau rahimahullah lalu berkata, “Wahai sekalian manusia, mengapa kalian mengikuti apa yang kalian dapati dari nenek moyang kalian dan meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Rabb kalian? Padahal nenek moyang kalian itu tidak memahami perintah Allah subhaanahu wata'aala, sedikit pun. Mereka juga tidak berada di jalan yang benar. Tidak pula mereka mendapat bimbingan petunjuk. Hal ini karena seseorang yang diikuti adalah orang yang memiliki pengetahuan terhadap sesuatu yang akan dimanfaatkan untuk dirinya. Orang yang jahil (bodoh, tidak mengetahui) tidak diikuti (dalam hal-hal yang tidak diketahuinya) melainkan oleh orang yang tidak memiliki akal dan pembeda.” (Tafsir ath-Thabari, 3/44)
Larangan Taklid
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan bahwa kekuatan lafadz yang terdapat pada ayat ini menjelaskan batilnya taklid, seperti halnya firman Allah subhaanahu wata'aala, :
Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Apakah mereka tetap akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? (al-Maidah: 104)
Ayat ini sangat berhubungan dengan ayat sebelumnya. Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah subhaanahu wata'aala, mengabarkan tentang kejahilan bangsa Arab terhadap apa yang mereka tetapkan dengan cara pandang mereka yang bodoh, yaitu al-bahirah, as-saibah, dan al-washilah1. Lalu mereka berhujjah bahwa itu adalah urusan yang mereka dapatkan dari nenek moyang mereka. Mereka pun mengikutinya sekaligus meninggalkan apa yang diturunkan oleh Allah subhaanahu wata'aala, kepada Rasul-Nya dan yang diperintahkan oleh agamanya. (Tafsir al-Qurthubi, 3/15—16)
Yang dimaksud dengan taklid adalah mengikuti ucapan seseorang tanpa mengetahui dalilnya. (Majmu’ al-Fatawa, 35/233, Mukhtashar ash-Shawa’iq al-Mursalah hlm. 621)
Jenis Taklid yang Tercela
Para ulama menyebutkan jenis-jenis taklid yang tercela sebagai berikut.
1. Berpaling dari apa yang diturunkan oleh Allah k dan memilih mengikuti nenek moyang.
Ibnul Qayyim t mengatakan, “Allah l mencela orang yang berpaling dari apa yang diturunkan-Nya lalu bertaklid kepada nenek moyang. Para ulama salaf dan imam yang empat akan bersepakat bahwa taklid semacam ini tercela dan haram.”
2. Taklid kepada orang yang bukan ahlinya dengan mengambil ucapannya.
Allah l berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (al-Isra: 36)
3. Taklid kepada ucapan yang menyelisihi firman Allah l dan Rasul-Nya, siapa pun dia.
Allah l berfirman:
ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu.” (al-A’raf: 3)
4. Taklid kepada seseorang setelah jelas kebenaran dan dalilnya.
5. Taklid seorang mujtahid yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan memiliki keluangan waktu untuk membahasnya.
6. Taklid kepada seorang mujtahid dalam seluruh pendapat dan ijtihadnya. (Ma’alim fi Ushulil Fiqhi, hlm. 498)
Perbedaan antara Taklid dan Ittiba’
Para ulama membedakan istilah taklid dengan ittiba’. Ittiba’ adalah beramal dengan dalil, sedangkan taklid adalah mengikuti perkataan seseorang tanpa hujjah.
Telah dinukil dari Abu Abdillah bin Khuwaiz Mandad al-Bashri al-Maliki bahwa beliau berkata, “Makna taklid dalam syariat adalah mengambil sebuah pendapat di mana orang yang berpendapat dengannya tidak membawa hujjah. Hal ini terlarang dalam syariat. Adapun ittiba’ adalah yang ditetapkan dengan hujjah.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Bar, 2/173, Ikhtiyarat Ibnil Qayyim al-Ushuliyah, Muhammad Ali Firqaus, 2/744—745)
Dia juga berkata pada bagian akhir kitabnya, “Setiap orang yang engkau ikuti ucapannya tanpa ada dalil yang mengharuskanmu untuk menerimanya, berarti engkau telah taklid kepadanya. Dan taklid di dalam agama Allah k tidak dibenarkan. Setiap orang yang mengharuskanmu untuk mengikuti ucapannya berdasarkan dalil, berarti engkau ber-ittiba’ kepadanya. Ittiba’ di dalam agama diperbolehkan, sedangkan taklid terlarang.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 2/173)
Al-Imam Abu Dawud t juga menukilkan ucapan al-Imam Ahmad t yang didengarnya dari beliau rahimahullah, “Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi n dan dari para sahabatnya. Adapun yang datang dari kalangan tabi’in setelah mereka, dia diberi pilihan.” (Ikhtiyarat Ibnil Qayyim al-Ushuliyah, 2/745)
Ibnul Qayyim t berkata tatkala menjelaskan kewajiban ber-ittiba’, “Sikap ittiba’ yang tulus kepada yang ma’shum (Rasulullah) shallallohu 'alaihi wasallam, berbeda dengan sikap membuang dan meninggalkan perkataan para ulama. Ittiba’ yang tulus adalah engkau tidak mendahulukan ucapan seseorang dan pendapatnya di atas apa yang datang dari beliau shallallahu 'alaihi wasallam, dalam keadaan apapun. Namun, hendaknya yang pertama kali engkau lihat adalah kesahihan sebuah hadits. Jika sahih, hal yang kedua adalah engkau perhatikan maknanya. Jika telah jelas bagimu, janganlah engkau berpaling darinya meskipun yang menyelisihimu adalah semua orang dari timur ke barat. Tidak mungkin umat bersepakat dalam menyelisihi apa yang dibawa oleh Nabi n. Pasti ada di kalangan umat ini yang sejalan dengan riwayat tersebut meskipun engkau tidak mengetahuinya. Maka dari itu, janganlah engkau menjadikan ketidaktahuanmu tentang orang yang sejalan dengannya sebagai hujjah untuk menolak apa yang datang dari Allah subhaanahu wata'aala, dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Hendaknya engkau tetap berpegang kepada nash. Janganlah engkau merasa lemah.” (Ikhtiyarat Ibnil Qayyim al-Ushuliyah, 2/743)
Adakah Taklid yang Diperbolehkan?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Yang menjadi sikap jumhur (mayoritas) umat ini bahwa ijtihad diperbolehkan secara global dan taklid diperbolehkan secara global. Mereka tidak mengharuskan setiap orang untuk berijtihad dan mengharamkan taklid. Mereka juga tidak mengharuskan setiap orang untuk bertaklid dan mengharamkan ijtihad. Ijtihad diperbolehkan bagi orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan taklid diperbolehkan bagi orang yang lemah/ tidak mampu berijtihad.” (Majmu’ al-Fatawa, 20/204)
Oleh karena itu, taklid diperbolehkan jika terpenuhi syarat-syarat berikut:
1. Ia jahil, tidak memiliki kemampuan untuk mengenal hukum Allah subhaanahu wata'aala, dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam.
2. Ia bertaklid kepada orang yang dikenal berilmu dan berijtihad, dari kalangan orang yang memiliki agama dan kesalehan.
3. Kebenaran belum tampak bagi orang yang taklid ini. Ia tidak mengetahui mana yang lebih kuat dari silang pendapat yang terjadi di kalangan ulama. Adapun jika telah tampak baginya kebenaran, tidak diperbolehkan lagi taklid baginya.
4. Dalam bertaklid ia tidak diperbolehkan menyelisihi nash/dalil syariat yang jelas atau ijma’ para ulama.
5. Tidak diperbolehkan bagi orang yang taklid untuk berpegang kepada pendapat satu imam dalam seluruh permasalahan. Hendaknya dia berusaha untuk mencari yang lebih mendekati kebenaran dan lebih mendekatkan dirinya kepada ketakwaan kepada Allah subhaanahu wata'aala, .
6. Tidak diperbolehkan bagi seorang muqallid (yang bertaklid) untuk berpindah dari satu pendapat ke pendapat lainnya dengan tujuan mencari pendapat yang lebih ringan dan lebih sejalan dengan hawa nafsunya. (Lihat Ma’alim fi Ushul al-Fiqh, hlm. 497—498)
Syaikhul Islam t berkata, “Adapun kewajiban untuk mengikuti seluruh ucapan seseorang tanpa menyebutkan dalil tentang kebenarannya, ini tidaklah benar. Bahkan, ini adalah kedudukan Rasul n yang tidak diperbolehkan selain hanya untuk beliau n.” (Majmu’ al-Fatawa, 35/121)
Wallahul muwaffiq.

Catatan Kaki:
1 Al-bahirah adalah unta betina yang telah beranak lalu dibelah telinganya, kemudian dilepaskan. Ia tidak boleh ditunggangi dan tidak boleh diambil air susunya karena air susunya dipersembahkan untuk berhala-berhala mereka. As-saibah adalah unta betina yang dilepaskan kemana pun maunya karena nadzar seseorang. Al-washilah adalah hewan yang melahirkan anak betina secara berturut-turut kemudian menjadi milik mereka. Namun, jika melahirkan jantan, menjadi milik sesembahan mereka.
 Sumber

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif