Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Jumat, 29 Agustus 2014

TAFSIR SURAT IQRO'

IQRA'

Tafsir Surat Iqro’ (1): Bacalah dan Bacalah!

Surat Iqro’ atau surat Al ‘Alaq adalah surat yang pertama kali diturunkan pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Surat tersebut adalah surat Makkiyyah. Di awal-awal surat berisi perintah membaca. Yang dengan membaca dapat diketahui perintah dan larangan Allah. Jadi manusia bukanlah dicipta begitu saja di dunia, namun ia juga diperintah dan dilarang. Itulah urgensi membaca, maka bacalah, bacalah!
Allah Ta’ala berfirman,
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq: 1-5).
Bacalah! Bacalah!
Surat ini adalah yang pertama kali turun pada Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Surat tersebut turun di awal-awal kenabian. Ketika itu beliau tidak tahu tulis menulis dan tidak mengerti tentang iman. Lantas Jibril datang dengan membawa risalah atau wahyu. Lalu Jibril memerintahkan nabi untuk membacanya. Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- enggan. Beliau berkata,
مَا أَنَا بِقَارِئٍ
Aku tidak bisa membaca.” (HR. Bukhari no. 3). Beliau terus mengatakan seperti itu sampai akhirnya beliau membacanya. Kemudian turunlah ayat,
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan“. Yang dimaksud menciptakan di sini adalah menciptakan makhluk secara umum. Tetapi yang dimaksudkan secara khusus di sini adalah manusia. Manusia diciptakan dari segumpal darah sebagaimana disebut dalam ayat selanjutnya,
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Manusia bukan hanya dicipta, namun ia juga diperintah dan dilarang. Untuk menjelaskan perintah dan larangan ini diutuslah Rasul dan diturunkanlah Al Kitab (Al Qur’an). Oleh karena itu, setelah menceritakan perintah untuk membaca disebutkan mengenai penciptaan manusia.
Bentuk Kasih Sayang Allah: Diajarkan Ilmu
Setelah itu, Allah memerintahkan,
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah.” Disebutkan bahwa Allah memiliki sifat pemurah yang luas dan karunianya yang besar pada makhluk-Nya. Di antara bentuk karunia Allah pada manusia -kata Syaikh As Sa’di rahimahullah- adalah Dia mengajarkan ilmu pada manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat selanjutnya,
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Kata Syaikh As Sa’di rahimahullah, “Manusia dikeluarkan dari perut ibunya ketika lahir tidak mengetahui apa-apa. Lalu Allah menjadikan baginya penglihatan dan pendengaran serta hati sebagai jalan untuk mendapatkan ilmu.” (Taisiri Al Karimir Rahman, hal. 930).
Allah mengajarkan pada manusia Al Qur’an dan mengajarkan padanya hikmah, yaitu ilmu. Allah mengajarkannya dengan qolam (pena) yang bisa membuat ilmunya semakin lekat. Allah pun mengutus Rasul supaya bisa menjelaskan pada mereka. Alhamdulillah, atas berbagai nikmat ini yang sulit dibalas dan disyukuri.
Al Qur’an Turun Sebagai Kasih Sayang pada Manusia
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Al Qur’an yang pertama kali turun adalah ayat-ayat ini. Inilah rahmat dan nikmat pertama yang Allah berikan pada para hamba. Dalam awal surat tersebut terdapat pelajaran bahwa manusia pertama tercipta dari ‘alaqoh (segumpal darah). Di antara bentuk kasih sayang Allah adalah ia mengajarkan pada manusia apa yang tidak mereka ketahui.”
Keutamaan Ilmu
Ibnu Katsir rahimahullah juga berkata, “Seseorang itu akan semakin mulia dengan ilmu diin yang ia miliki. Ilmu itulah yang membedakan bapak manusia, yaitu Adam dengan para malaikat. Ilmu ini terkadang di pikiran. Ilmu juga kadang di lisan. Ilmu juga terkadang di dalam tulisan tangan untuk menyalurkan apa yang dalam pikiran, lisan, maupun yang tergambarkan di pikiran.”
Keutamaan Selalu Mengikat Ilmu dengan Tulisan
Dalam atsar disebutkan,
قيدوا العلم بالكتابة
Ikatlah ilmu dengan tulisan.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrok 1: 106. Dihasankan oleh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 2026).
Dalam atsar lainnya juga disebutkan,
مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَكُنْ يَعْلَمُ
Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan dia ilmu yang ia tidak ketahui.” (HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliya’, 10: 15. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini maudhu’ atau palsu. Lihat As Silsilah Adh Dho’ifah no. 422)
Referensi:
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsiril Kalamil Mannan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.

Tafsir Surat Iqro’ (2): Sombong dengan Banyak Harta

Allah Ta’ala berfirman,
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى (6) أَنْ رَآَهُ اسْتَغْنَى (7) إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى (8)
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Rabbmulah kembali(mu).” (QS. Al ‘Alaq: 6-8).
Manusia Telah Melampaui Batas
Al Qurthubi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan thugyan (layathgho) dalam ayat adalah melampaui batas dalam bermaksiat. (Tafsir Al Qurthubi, 10: 75)
Dalam ayat di atas, Allah mengabarkan bahwa manusia begitu bangga dan sombong ketika melihat dirinyalah yang paling banyak harta. Lalu Allah memberikan ancaman dalam ayat selanjutnya yang artinya, “Sesungguhnya hanya kepada Rabbmulah kembali(mu).” Maksudnya adalah kita semua akan kembali pada Allah lalu kita akan dihisab. Kita akan ditanya dari mana harta kita dikumulkan. Kita pun akan ditanya ke mana harta kita dimanfaatkan. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Ahzhim, 7: 604.
Asy Syaukani mengatakan bahwa sesungguhnya manusia benar-benar telah melampaui batas sehingga menjadi sombong atas Rabbnya. Ada yang memaksudkan manusia dalam ayat ke-6 tersebut adalah Abu Jahl. Lihat Fathul Qodir, 5: 628.
Mengenai ayat ketujuh, Asy Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah manusia melihat dirinya serba cukup. Itulah mengapa disebut melampaui batas. Melihat dalam ayat tersebut bermakna mengetahui.
Mengenai anggapan bahwa yang dimaksud secara khusus tentang ayat yang kita kaji adalah Abu Jahl tidaklah tepat.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Manusia (yang dimaksud dalam ayat ke-6) bukanlah person tertentu. Bahkan yang dimaksud adalah jenis manusia. Setiap orang yang merasa karena dirinyalah sebab segala-galanya, dialah yang dikatakan melampaui batas. Thughyan yang dimaksud dalam ayat adalah melampaui batas. Jika seseorang merasa diri sudah cukup dan tidak butuh pada rahmat Allah, dialah orang yang sombong atau melampaui batas. Jika ia tidak merasa butuh lagi pada Allah dalam menghilangkan kesulitan, itulah yang dikatakan sombong. Jika seseorang merasa dirinya cukup dengan sehat yang ia miliki, maka ia lupa dulu pernah sakit. Jika ia merasa kenyang dengan sendirinya, maka ia lupa dulu pernah lapar. Jika ia merasa sudah cukup dengan menutupi diri dengan pakaian yang ia miliki, maka ia lupa jika dulu ia pernah tidak memiliki apa-apa untuk berpakaian. Jadi di antara sikap sombong manusia adalah ia merasa dirinya-lah sebab segala-galanya, bukan dari Allah. Namun orang mukmin berbeda dengan kondisi tadi. Orang mukmin selalu butuh pada Allah. Ia tidak pernah lepas dari kebutuhan pada-Nya walau sekejap mata. Ia benar-benar setiap waktu terus butuh pada Allah.” (Tafsir Al Qur’an Al Karim – Juz ‘Amma, hal. 264).
Dua Orang yang Tidak Pernah Puas
Ada dua orang yang tidak pernah puas yaitu pencari ilmu akhirat (ilmu diin) dan pencari dunia. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas,
مَنْهُومَانِ لاَ يَشْبَعَانِ : طَالِبُ عِلْمٍ وَطَالِبُ دُنْيَا
Ada dua orang yang begitu rakus dan tidak pernah merasa kenyang: (1) penuntut ilmu (agama) dan (2) pencari dunia.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrok 1: 92. Dishahihkan oleh Al Hakim dan disepakati oleh Imam Adz Dzahabi).
Karena memang demikian, orang yang saking gandrungnya tidak akan pernah puas sehingga terus mencari dunia dan dunia. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ ، وَلَنْ يَمْلأَ فَاهُ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 6439 dan Muslim no. 1048)
Sedangkan penuntut ilmu akan terus mencari ilmu dan ilmu setiap hari, setiap waktu dan di setiap tempat. Karena mengetahui bagaimanakah agung dan utamanya ilmu agama.
Masih berlanjut tafsir surat iqro’ dalam pertemuan lainnya, insya Allah.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Referensi:
Fathul Qodir, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani, terbitan Dar Ibni Hazm dan Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
Tafsir Al Qurthubi (Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Anshori, terbitan Darul Fikr, cetakan pertama, tahun 1428 H.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Tafsir Al Qur’an Al Karim – Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Tsuraya, cetakan ketiga, tahun 1424 H.

Tafsir Surat Iqro’(3) : Menjauhkan Orang Lain dari Kebenaran

Dalam tafsir surat Iqro’ kali ini dibicarakan tentang ancaman bagi orang yang mengajak orang lain untuk sesat dan menjauhkan dari kebenaran.
Allah Ta’ala berfirman,
أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى (9) عَبْدًا إِذَا صَلَّى (10) أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى (11) أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى (12) أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى (13) أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى (14) كَلَّا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعَنْ بِالنَّاصِيَةِ (15) نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ (16) فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ (17) سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ (18) كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ (19)
“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika mengerjakan shalat, bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran, atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya. (Yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah. Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Rabbmu).” (QS. Al ‘Alaq: 9-19)
Mengajak Orang Lain untuk Sesat

Setelah Allah memberikan berbagai macam nikmat, yang tidak mungkin ia membalas nikmat tersebut dan tidak mungkin ia mensyukurinya dengan sempurna. Lalu Allah karuniakan kekayaan dan keluasan rezeki. Akan tetapi, jika manusia melihat dirinya telah kaya, ia melampaui batas. Bahkan ia menghalang-halangi dari petunjuk. Ia lupa bahwa ia akan kembali pada Allah Ta’ala dan akan diberi balasan.
Ketika ia tidak mau menerima kebenaran itu sendiri, ia pun mengajak lainnya untuk meninggalkan petunjuk dan melarang untuk menunaikan shalat. Padahal shalat adalah sebaik-baik amalan iman.
Al huda atau petunjuk yang dimaksud dalam ayat yang dibahas adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.
Berpaling dari Kebenaran

Selanjutnya pada ayat, “Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?”
Maksud ayat, harusnya orang yang mendustakan kebenaran takut akan siksa Allah. Karena Allah melihat segala perbuatan dan tingkah laku manusia.
Jika Terus Menolak Kebenaran

Jika seseorang terus menerus menolak kebenaran, maka keadaannya sebagaimana yang disebut dalam ayat, Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya. (Yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.
Maksud ayat di atas, sesuai dengan hakekatnya, yaitu ubun-ubunnya akan ditarik sebagai siksaan untuknya.
Lalu ketika itu ia akan memannggil teman-teman yang semajelis dengannya untuk menolongnya, “Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah. Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Rabbmu).”
Yang dimaksud Zabaniyah adalah penjaga Jahannam, di mana penjaga tersebut akan menyiksa mereka. Inilah akibat bagi orang yang menolak kebenaran dan melarang orang lain untuk shalat. Kita selaku muslim diperintahkan untuk tidak mentaati mereka. Bersujudlah dan dekatkanlah diri pada Allah.
Abu Jahl yang Melarang Rasul dari Shalat

Ayat yang dibahas kali ini adalah ancaman bagi setiap orang yang menghalangi dari kebenaran dan juga melarang dari shalat. Namun ayat ini turun pada Abu Jahl yang melarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari shalat, ia pun menyakiti dan menghardik beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga bermanfaat. Berakhir sudah tafsir Surat Iqro’. Moga Allah memahamkan kita pada Al Qur’an dan terus rajin menerungkannya.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Referensi:

Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H, hal. 930-931
Disusun selesai Zhuhur, 5 Rabi’uts Tsani 1435 H di Panggang, Gunungkidul
Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif