Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Senin, 28 Mei 2012

BATAS AURAT WANITA


Batas aurat wanita adalah wajah dan telapak tangan sebagaimana disebutkan dalam hadits:


Hadis riwayat Aisyah r.a, bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah dengan pakaian yang tipis, lantas Rasulullah berpaling darinya dan berkata, “Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haid (akil balig) maka tidak ada yang layak terlihat kecuali ini,” sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan. (HR Abu Daud dan Baihaqi).

SYARAT-SYARAT PAKAIAN MUSLIMAH
Pada dasarnya seluruh bahan, model, dan bentuk pakaian boleh dipakai, asalkan memenuhi syarat-syarat berikut.


1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
2. Tidak tipis dan transparan.
3. Longgar dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk dan bentuk tubuh (tidak ketat).
4. Bukan pakaian laki-laki atau menyerupai pakaian laki-laki.
5. Tidak berwarna dan bermotif terlalu menyolok. Sebab, pakaian yang menyolok akan mengundang perhatian laki-laki. Dengan alasan ini pula, maka membunyikan (menggemerincingkan) perhiasan yang dipakai tidak diperbolehkan walaupun itu tersembunyi di balik pakaian.

KESALAHAN DALAM BERPAKAIAN
Berikut digambarkan beberapa kesalahan wanita muslimah dalam berpakaian:




                                                                                                  Berikut gambaran bagaimana cara berpakaian yang benar bagi seorang muslimah:

Sumber: alikhwan.wordpress.com

Apa Yang Kita Cari Di Dunia Ini?


Dalam kajian para filosofi manusia menjadi salah satu obyek kajian tersendiri, filsafat manusia. Diantara yang dibahas adalah tujuan hidup manusia. Sebut saja Aristoteles, seorang filosofi yang sudah tak asing lagi, dari Yunani. Konsep tujuan hidup manusia menurut Aristoteles terkenal dalam karyanya Ethika Nicomachea.  Yaitu, “Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Orang yang sudah bahagia tidak memerlukan apa-apa lagi pada satu sisi, dan pada sisi lain tidak masuk akal jika ia masih ingin mencari sesuatu yang lain. Hidup manusia akan semakin bermutu manakala semakin dapat mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya. Dengan mencapai tujuan hidup, manusia akan mencapai dirinya secara penuh, sehingga mencapai mutu yang terbuka bagi dirinya”.


Secara sederhana pernyataan filsuf legendaris tersebut sejalan dengan  fitrah manusia. Dimana manusia lebih cenderung (baca mencari) kebahagiaan dan cenderung menghindari kesedihan atau kesusahaan. Jika memang mencari kebahagiaan adalah fitrah dan tujuan hidup manusia. Lantas pertanyaannya kebahagiaan seperti apa? Kemudian apakah semata-mata hanya mencari kebahagiaan? 


Banyak orang menafsirkan dan memaknai kebahagiaan disini. Salah satu yang sering dianggap dapat mewujudkan kebahagiaan secara mutlak adalah jika mendapatkan kekuasaan, harta, dan wanita. Karena itu tak jarang kita melihat sekian banyak orang berlomba-lomba mendapatkan keitga hal yang mendasar tersebut. Pada akhirnya terjebak dalam gaya hidup hedonis bahkan menjadi hamba dunia.
Islam mempunyai konsep yang lebih sempurna dan jelas tentang tujuan hidup manusia ini. Allah swt berfirman dalam Al Quran “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (Adz Dzariaat [51] : 56).


Ini adalah hal yang paling mendasar dalam konsep Islam tentang tujuan hidup manusia. Tidak lain manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah swt. Sebagai Sang Pencipta maka Allah mempunyai hak yang absolut terhadap hambanya. 
Menurut Ibnu Abas dalam tafsir Ibnu Katsir, kalimat “Liya’buduun” dalam ayat tersebut bermakna “ menghinakan diri kepada Allah dan mengagungkan-Nya”. Dengan begitu ibadah disini mempunyai cakupan arti yang luas. Tidak hanya sebatas ibadah yang kita kenal. Yaitu, shalat, zakat, shaum, dan haji. Secara sederhana dapat kita pahami, segala sesuatu yang diniatkan lillahi ta’la dan tidak melanggar syariat maka ia bernilai ibadah, inysa Allah.


Yang sangat menarik di sini ternyata ibadah tidak hanya bekerja secara sepihak. Akan tetapi mempunyai timbal balik bagi manusia itu sendiri. Ibadah bukan hanya semata-mata kewajiban kita sebagai seorang hamba kepada Sang Penciptanya. Ibadah mempunyai efek psikis yang menjadi tujuan hidup dalam kacamata filsafat, yaitu kebahagiaan.
Jika kita benar-benar telah ikhlas dan benar-benar memahami hakikat ibadah itu sendiri. Kita akan merasakan kebahagiaan setiap kali kita selesai menunaikan ibadah. Artinya ibadah apapun itu bukan semata-mata gerak tubuh dalam ritual khusus. Juga bukan semata menunaikan kewajiban. Rasulullah saw bersabda, “Berdirilah Bilal, maka nyamankan kami dengan sholat” (H.R Abu Dawud). Dalam riwayat lain “Wahai Bilal dirikanlah sholat (maksudnya kumandangkanlah adzhan untuk panggilan sholat wajib) nyamankan kami dengannya (dengan shalat)."


Dari hadis tersebut jelas menggambarkan bahwasanya sholat (ibadah) membawa kenyamanan bagi yang menunaikannya. Bahkan ketika ia meniggalkannya maka ia akan merasa sedih. Sebaliknya ketika ia menunaikannya ia akan merasa bahagia.  Wallahu a’lam bis showab. 


Oleh : Agustiar Nur Akbar 
Penulis adalah mahasiswa Indonesia yang kini tengah menimba ilmu di Kairo, Mesir.


Selasa, 22 Mei 2012

Kemana Menyekolahkan Anak ?

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” [Ar-Rum : 7]


Ayat diatas merupakan peringatan keras bagi orang yang hanya mementingkan urusan dunia sedangkan urusan akhiratnya dilupakan. Contohnya pada bulan-bulan ini, sebagian besar orang tua menyerahkan pendidikan anaknya kepada lembaga pendidikan yang berorientasi dunia belaka, sedangkan masalah aqidah, manhaj, adab dan keselamatan di dunia dan akhirat diabaikan.


Perhatian mereka hanya berfokus kepada sekolah yang bisa mengantarkan anaknya menjadi cerdas dan cepat dalam pekerjaan. Prinsip ini bukan hanya ada pada orang awam saja, tetapi tokoh agama dan da’i yang menggebu-gebu membela Islam lebih senang menyekolahkan anaknya pada lembaga pendidikan umum yang tidak jelas aqidah dan manhajnya daripada menyekolahkan anaknya di pesantren yang dikelola menurut Sunnah.


Bahkan mereka ragu dan was-was bila anaknya masuk pesantren karena tidak diterima di sekolah umum. Mereka khawatir masa depan anaknya suram, tidak bertitelkan sarjana, tidak diterima sebagai pegawai negeri, tidak bisa mencari rezeki, dan alasan lainnya


Inilah kondisi umat Islam pada umumnya, bahkan ada yang sampai hati memarahi anaknya dan tidak memberi nafkah kepada anaknya bila mereka putus kuliah karena ingin mencari ilmu Dienul Islam di pesantren, lantaran dianggapnya durhaka kepada orang tua. Mereka tidak mau bertanya mengapa anaknya keluar dari bangku kuliah. Bahkan bila hal itu terjadi pada putrinya, maka diusir dari rumah, apalagi jika memakai cadar atau hijab muslimah dituduhnya mengikuti aliran keras dan semisalnya, karena orang tua merasa hina dan malu kepada tetangga dan temannya.


Selanjutnya, agar kita tidak dikuasai oleh hawa nafsu yang selalu sesat dan menyesatkan, khususnya menghadapi keberadaan umat Islam berkenaan dengan dunia pendidikan, mari kita pelajari keterangan ayat diatas sesuai dengan pemahaman ulama Sunnah dan mari kita telaah bagaimana seharusnya kita mendidik anak, agar menjadi anak yang shalih, bermanfaat untuk dirinya, orang tua dan umat.


TAFSIR AYAT SECARA UMUM
Memahami ayat menurut pemahaman ulama Salaf sangat penting bagi setiap umat Islam yang ingin bersatu dan tidak berpecah-belah, karena ahli bid’ah, orang musyrik, dan harakiyyin umumnya mereka tidak berselisih tentang berdalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, akan tetapi berselisih tentang rujukan memahaminya oleh karena itu, di antara ushul Ahli Sunnah –sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ahmad rahimahullah- yang pertama ialah berpegang teguh kepada ilmu dan pemahaman shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[Lihat Ushulus Sunnah oleh Imam Ahmad hal25, Tahqiq Al-Walid An-Nase]


Adapun sebagian ulama Sunnah menafsirkan ayat ini sebagai berikut.


Ibnu Jarir rahimahullah berkata : “Allah mengkhabarkan orang yang mendustakan kebenaran berita Allah itu tahu, bahwa bangsa Romawi diberi kemampuan oleh Allah untuk mengalahkan kerajaan Persia, karena mereka memiliki kekuatan duniawi dan pengaturan ekonomi yang baik, akan tetapi bangsa ini lupa tidak memikirkan keselamatan dirinya besok pada hari kiamat” [Tafsir Ath-Thabari 21/16]


Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Umumnya manusia tidak memiliki ilmu melainkan ilmu duniawi. Memang mereka maju dalam bidang usaha, akan tetapi hati mereka tertutup, tidak bisa mempelajari ilmu Dienul Islam untuk kebahagiaan akhirat mereka” [Tafsir Ibnu Katsir 3/428]


Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata : “Adapun orang yang mengandalkan akalnya belaka serta sibuk dengan ilmu duniawi sehingga mereka berani berfatwa dan mengajar umat, mereka itu tergolong firman Allah di dalam surat Ar-Rum ayat 7. Itu semua karena ambisi kenikmatan duniawi. Seandainya mereka bersedia hidup sederhana dan mengingat urusan akhiratnya, mau menasihati diri dan umat, tentu mereka akan berpegang kepada wahyui Ilahi yuang diturunkan kepada Rasul-Nya” [Tafsir Ibnu Rajab Al-Hanbali 1/420]


Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata : “Pikiran mereka hanya terpusat kepada urusan dunia sehingga lupa urusan akhiratnya. Mereka tidak berharap masuk surga dan tidak takut neraka. Inilah tanda kehancuran mereka, bahkan dengan otaknya mereka bingung dan gila. Usaha mereka memang menakjubkan seperti membuat atom, listrik, angkutan darat, laut dan udara. Sungguh menakjubkan pikiran mereka, seolah-olah tidak ada manusia yang mampu menandinginya, sehingga orang lain menurut pandangan mereka adalah hina.


Akan tetapi ingatlah ! Mereka itu orang yang paling bodoh dalam urusan akhirat dan tidak tahu bahwa kepandaiannya akan merusak dirinya. Yang tahu kehancuran mereka adalah insan yang beriman dan berilmu. Mereka itu bingung karena menyesatkan dirinya sendiri. Itulah hukuman Allah bagi orang yang melalaikan urusan akhiratnya, akan dilalaikan oleh Allah Azza wa Jalla dan tergolong orang fasik. Andaikan mereka mau berpikir bahwa semua itu adalah pemberian Allah Azza wa Jalla dan kenikmatan itu disertai dengan iman, tentu hidup mereka bahagia. Akan tetapi lantaran dasarnya yang salah, mengingkari karunia Allah, tidaklah kemajuan urusan dunia mereka melainkan untuk merusak dirinya sendiri” [Taisir Karimir Rahman 4/75]


Selaku orang tua yang mendapat hidayah dari Allah Jalla Jalaluhu tentu akan dapat mengambil faedah dari ayat diatas beserta keterangannya untuk menentukan sikap, ke mana anak disekolahkan? Dan agar menyadari bahwa kebahagiaan hidup bukanlah sebagaiman yang dibayangkan oleh orang secara umum dan bukan yang diimpikan oleh orang kafir yang tidak mau mengenal melainkan ilmu urusan dunia belaka


PENJABARAN MAKNA AYAT
Surat Ar-Rum ayat 7, ini mendapat perhatian serius oleh ulama Sunnah. Karena itu, marilah kita menelaah fatwa mereka, agar kita dapat mengambil faedah untuk meluruskan tujuan hidup dan selamat dari siksa-Nya.


Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Mereka itu hanya pandai mencari rezeki, seperti kapan bercocok tanam, kapan mengetam dan cara menimbunnya, dan pandai membangun gedung yang mewah. Akan tetapi, mereka itu bodoh dalam urusan akhiratnya” [Tafsir Ath-Thabari 21/23]


Hasan bin Ali rahimahullah berkata : “Karena kepandaian dalam urusan dunia, dia mampu menimbang dirham di atas kukunya dan tahu berat timbangannya, akan tetapi dia tidak pandai mengerjakan shalat” [Ad-Durrul Mantsur 6/483]


Mujahid rahimahullah berkata : “Orang kafir itu gembira karena perkembangan urusan duniawinya, akan tetapi mereka ingkar siksa kubur” [Tafsir Al-Qurthubi 15/235]


Qatadah rahimahullah berkata : “Mereka hanya pandai dalam urusan perdagangan dan produksi serta cara memasarkannya” [Ad-Durrul Mantsur 6/483]


Adh-Dhahak rahimahullah berkata : “Mereka hanya pandai membangun istana, membuat saluran sungai, dan ilmu bercocok tanam” [Tafsir Al-Qurthubi 14/7]


Ibnu Khalaweh rahimahullah berkata : “Mereka itu pandai mengatur strategi hidup, akan tetapi ilmu dien dan beramal shalih mereka lupakannya” [Tafsir Al-Qurthubi 14/7]


Ikrimah rahimahullah berkata : “Mereka itu pemahat dan pembuat pelita” [Tafsir Ath-Thabari 21/16]


Abul Abbas Al-Mubarrid rahimahullah berkata : “Kerajaan Persia itu pandai mengatur waktunya, pada saat angin kencang mereka beristirahat kerja, pada saat mendung tiba mereka berburu dan mengail, bila hujan tiba mereka menimbun air untuk minum dan bermain-main, bila matahari terang mereka bekerja untuk memenuhi hajatnya” [Tafsir Al-Qurthubi 14/7]


Imam Syaukani rahimahullah berkata : “Mereka itu hanya mengetahui yang zhahir berupa kehidupan yang batil. Sedangkan nikmat yang kekal dan murni untuk hari akhiratnya tidaklah mereka mau mempelajarinya, bahkan mereka melupakannya” [Fathul Qadir, surat Ar-Rum : 7]


Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata : “Ada yang berpendapat : ‘Mereka itu dibisiki oleh setan untuk mengurusi urusan dunia saja” [Tafsir Al-Qurthubi 14/7]


Imam Ibnu Jarir rahimahullah berkata : “Ada yang berpendapat : ‘Mereka di dalam ayat ini adalah para dukun peramal yang memperoleh bisikan dari setan yang mencuri pendengaran dari langit untuk membohongi manusia” [Tafsir Ath-Thabari 21/23]


Sekian banyak keterangan yang disampaikan oleh ulama Sunnah ini menjelaskan konsep hidup orang kafir yang anti ilmu Dienul Islam dan beramal shalih, tidak percaya adanya hari pembalasan. Hidup mereka bagaikan hewan, waktunya hanya untuk mencari kesenangan dunia dan makan. Na’udzu billahi min dzalik.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.


“….Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka” [Muhammad : 12]


Umat Islam yang dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla hendaknya menjauhi sifat orang kafir, dan tidak mengukur kebahagiaan semata-mata karena urusan dunia. Akan tetapi, orang yang berbahagia ialah orang yang mendahulukan dirinya dan keluarganya mempelajari ilmu iman dan taqwa sebagaimana dijelaskan di dalam surat Al-Ashr, bahwa manusia yang beruntung ialah orang yang beriman, beramal shalih, saling berwasiat kepada kebenaran dan kesabaran.


Musibah yang paling besar di dunia ini, sebagaimana yang kita saksikan, bukanlah karena dilanda kemiskinan harta, akan tetapi karena miskin ilmu Sunnah. Betapa banyak orang kaya tanpa ilmu dien, kekayaannya merusak dirinya, anak dan keluarganya, bahkan merusak ekonomi masyarakat awam serta membendung jalan yang haq. Inikah kebahagian hidup? Memang sedikit orang yang menyadari atas kerugian dirinya dan keluarga bila mereka dilanda kemiskinan aqidah dan ibadah, akan tetapi mereka merasa rugi bila dilanda krisis ekonomi dan kesakitan dibadannya.


Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :”Ulama berkata : ‘Termasuk bencana besar, bila kamu melihat seseorang itu cerdas, tanggap, dan teliti ketika dilanda musibah urusan duniawinya, akan tetapi tidak merasa rugi bila kena musibah agamanya”. [Tafsir Al-Qurthubi 14/8]


ILMU DAN MACAMNYA
Perlu kita bahas ilmu ini karena erat hubungannya dengan pendidikan anak


Al-Allamah Ar-Raghib Al-Ashfahani rahimahullah berkata : “Ilmu ialah mengetahui hakikat sesuatu, hal ini ada dua macam : (1). Mengetahui wujudnya sesuatu. (2). Menghukumi sesuatu itu ada atau tidak ada. Sedangkan dalil yang pertama seperti yang tercantum di dalam surat Al-Anfal ayat 60 dan dalil yang kedua tercantum di dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10” [Mufradat Al-Fadhil Qur’an : 580]


Al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata :”Ilmu menurut bahasa adalah lawan dari jahil, yaitu mengetahui sesuatu dengan pasti. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama ialah : Ma’rifat (mengenal sesuatu). Ada lagi yang berpendapat bahwa ilmu itu lebih jelas daripada sekedar dikenal. Adapun yang kami maksudkan di sini ialah ilmu syar’i yang Allah Azza wa Jalla turunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi keterangan dan petunjuk, dan ilmu wahyu inilah ilmu yang terpuji sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah baik, maka dimudahkan memahami Dienul Islam” [HR Bukhari : 29] [Kitabul Ilmi oleh Ibnu Utsaimin hal. 13]


Adapun macam ilmu sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Allamah Ar-Raghib Al-Ashfahani rahimahullah ada dua ilmu nazhari (teori) dan amali (praktek). Maka ilmu nazhari bila sudah diketahui, itu sudah sempurna, seperti ilmu tentang wujudnya alam. Sedangkan ilmu amali, tidaklah diketahui dengan sempurna kecuali bila telah diamalkan, seperti amal ibadah. Adapun pembagian yang lain : ilmu ada yang aqli (bersumber dari akal, yang diperoleh dengan percobaan yang berulang-ulang) dan ada yang sam’i (bersumber dari wahyu Ilahi yang cepat diperoleh dengan pasti tanpa ada percobaan dan keraguan). [Lihat Mufradat Al-Fadhil Qur’an : 580]


Syaikh Abdurrahman bin Sa’di rahimahullah berkata : “Ilmu dibagi menjadi dua :


1). Ilmu yang bermanfaat, yang dapat menjernihkan jiwa, mendidik akhlak yang mulia, dan memperbaiki aqidah, sehingga dapat menghasilkan amal yang shalih dan membuahkan kebaikan yang banyak. Ilmu ini adalah ilmu syari’at Islam dan penunjangnya, seperti bahasa Arab.


2). Ilmu yang tidak mendidik akhlak, tidak memperbaiki akal, dan tidak memperbaiki aqidah. Ilmu ini dipelajari hanya untuk mencari faedah duniawi belaka, itulah ilmu yang dihasilkan oleh manusia dengan beraneka ragam bentuknya,. Jika ilmu ini didasari dengan iman dan landasan Dienul Islam maka menjadilah ilmu duniawiyyah diniyyah. Akan tetapi, bila tidak digunakan untuk membela agama Islam, ilmu itu hanya ilmu dunia belaka, tidak mulia, bahkan berakhir dengan kehinaan, dan boleh jadi akan merusak dirinya sendiri, seperti ilmu membuat senjata dan lainnya, dan boleh jadi mereka sombong dan menghina orang lain termasuk menghina ilmu wahyu yang diturunkan kepada para utusan Allah Azza wa Jalla, sebagaimana yang dijelaskan di dalam surat Ghafir ayat 83”. [Al-Mu’in Ala Tahshili Adabil Ilmi wa Akhlaqi Muta’allimin oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di : 37,38]


Dari keterangan diatas, dapat kita simpulkan bahwa ilmu dibagi menjadi beberapa bagian. Ditinjau dari segi hakikat dan hukumnya ada dua : (1). Mengetahui hakekat benda, (2). Mengetahui hukum adanya sesuatu dan tidak adanya. Jika ditinjau dari sumbernya ada dua pula : (1). Aqli, (2). Sam’i. Dan jika ditinjau dari faedahnya ada tiga : (1). Ilmu yang pasti berfaedah ialah ilmu syari’at Islam, (2). Ilmu duniawi yang dilandasi syari’at Islam dan digunakan untuk khidmah Islam maka bermanfaat pula, dan (3). Ilmu duniawi yang tidak dilandasi iman dan tidak dipergunakan untuk khidmah Islam maka ilmu ini adakan merusak dirinya. Mudah-mudahan keterangan ini menambah wawasan wali murid, di mana hendaknya mereka menyekolahkan anaknya.


HUKUM MENUNTUT ILMU
Setelah kita memahami makna ilmu dan berbagai macam pembagiannya, perlu pula kita mengetahui hukum menuntutnya. Mempelajari hukum sesuatu sangatlah penting, karena berakibat baik atau buruk bagi setiap mukallaf yang melakukan perbuatan atau meninggalkannya. Menurut kami –Wallahu a’lam- setelah menelaah beberapa kitab, maka dapat kami simpulkan bahwa hukum mempelajari ilmu sebagai berikut.


Menuntut Ilmu Syari’at Islam
1). Menuntut ilmu syar’i yang berkenaan dengan kewajiban menjalankan ibadah bagi setiap mukallaf –seperti tahuid- dan yang berhubungan dengan ibadah sehari-hari –semisal wudhu, shalat, dan lainnya-, maka hukumnya fardhu ‘ain, karena syarat diterimanya ibadah harus ikhlas dan sesuai dengan Sunnah, tentunya cara memperolehnya disesuaikan dengan kemampuannya sebagaimana keterangan surat Al-Baqarah : 286


Menuntut ilmu syar’i ini pun tidak semuanya harus dipelajari segera dalam waktu yang sama, karena ada amal ibadah yang diwajibkan untuk orang yang mampu saja, seperti mengeluarkan zakat, haji, dan lainnya, maka saat akan menjalankan ibadah tersebut hendaknya mempelajari ilmunya. Sebagaimana keterangan Ibnu Utsaimin rahimahullah dan lainnya.


2). Menuntut ilmu syar’i yang hukumnya fardhu kifayah ; Maksudnya bukan setiap orang muslim harus mengilmuinya, akan tetapi diwajibkan bagi ahlinya seperti membahas ilmu ushul dan furu’nya dan juga yang berkenaan dengan ijtihadiyyah.


Karena pentingnya kewajiban menuntut ilmu dien, maka sampai dalam kondisi perang pun hendaknya ada yang tafaqquh fiddin.


“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” [At-Taubah : 122]


Menuntut Ilmu Duniawi
1). Hukumnya tidaklah wajib ‘ain untuk setiap kaum muslimin, karena tidak ada dalil yang mewajibkannya, dan karena istilah ilmu di dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah apabila muthlaq maka yang dimaksudkan adalah ilmu syari’at Islam, bukan ilmu duniawi.


2). Kadang kala wajib kifayah pada saat tertentu, seperti ketika akan memasuki medan pertempuran dan lainnya.
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Dapat kami simpulkan bahwa ilmu syar’i adalah ilmu yang terpuji, sungguh mulia bagi yang menuntutnya. Akan tetapi, saya tidak mengingkari ilmu lain yang berfaedah, namun ilmu selain syar’i ini berfaedah apabila memiliki dua hal : (1). Jika membantu taat kepada Allah Azza wa Jalla, dan (2). Bila menolong agama Allah dan berfaedah untuk kaum muslimin. Bahkan kadang kala ilmu ini wajib dipelajari apabila masuk di dalam firman-Nya.


“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang..” [Al-Anfal : 60] [Kiatbul Ilmi oleh Ibnu Utsaimin hal. 13-14]


3). Jika ilmu itu menuju kepada kejahatan maka haram menuntutnya.
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Adapun ilmu selain syar’i boleh jadi sebagai wasilah menuju kepada kebaikan atau jalan menuju kepada kejahatan, maka hukumnya sesuai dengan jalan yang menuju kepadanya” [Kitabul Ilmi oleh Ibnu Utsaimin hal. 14]


TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN ANAK
Ketahuilah bahwa Allah Azza wa Jalla menjadikan manusia pada umumnya lahir karena pernikahan laki-laki dan perempuan, dan anak yang lahir dalam keadaan fithrah, bersih dari dosa. Anak itu ditakdirkan oleh Allah Azza wa Jalla menjadi shalih atau maksiat karena pendidikan.


Ketahuilah bahwa sebelum anak bergaul dengan orang lain, terlebih dahulu bergaul dengan orang tuanya, karena itu Allah Azza wa Jalla mengamanatkan pendidikan anak ini kepada kedua orang tuanya.


“Hai orang-orang yang beriman, peliharalan dirimu dan keluargamu dari api neraka…” [At-Tahrim : 66]


Dan juga firman-Nya.


“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” [Asy-Syu’ara : 214]


Disebutkan di dalam riwayat yang shahih bahwa tatkala turun ayat ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil sanak kerabat dan keluarganya, bahkan beliau naik ke bukit Shafa memanggil khalayak ramai agar masing-masing menyelamatkan dirinya dari api neraka.


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.


“Tidaklah seorang anak lahir melainkan dalam keadaan fithrah, maka kedua orang tualah yang menjadikannya, menasranikannya, dan yang memajusikannya, sebagaimana binatang melahirkan anak yang selamat dari cacat, apakah kamu menganggap hidung, telinga, dan anggota binatang terpotong” [HR Muslim : 4803]


Dalil diatas menunjukkan bahwa yang bertanggung jawab dan yang paling utama atas pendidikan anak adalah orang tua, terutama pendidikan aqidah yang menyelamatkan manusia dari api neraka. Dan yang penting lagi, dalil diatas tidak menyinggung sedikitpun bahwa ilmu dunia lebih penting daripada ilmu syariat Islam. Dalil ini hendaknya menjadi pegangan orang tua pada saat menyekolahkan anaknya ketika dirinya berhalangan mendidiknya.


Karena pentingnya pendidikan anak ini, sampai umur dewasa pun orang tua hendaknya tetap memperhatikan pendidikan anaknya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengetuk pintu rumah sahabat Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan putrinya Fathimah Radhiyallahu ‘anha sambil menanyakan sudahkah mereka berdua menunaikan shalat? [HR Bukhari 1059 bersumber dari sahabat Ali Radhiyallahu ‘anhu]


Demikian juga para pengajar hendaknya memahami ajaran Islam yang benar sehingga tidak mengajarkan kepada anak didiknya ilmu duniawi yang merusak dien dan akhlak, karena semua tindakan akan dihisab pada hari kiamat.


Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.


“Kalian semua adalah pemimpin dan masing-masing bertanggung jawab atas yang dipimpin” [HR Bukhari 844]


KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU DIENUL ISLAM
Menuntut ilmu syar’i tidaklah sama dengan menuntut ilmu duniawi, karena ilmu syar’i bersumber dari wahyu Ilahi, pasti benar dan bermanfaat, baik di dunia dan akhirat kelak. Ilmu Islam bagaikan pelita yang menerangi ahlinya untuk membedakan yang haq dan yang batil, yang sunnah dan yang bid’ah dan pengantar menuju ke surga. Berbeda dengan ilmu hasil pikir manusia, belum tentu membawa kebahagiaan hidup.


Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan keutamaan menuntut ilmu dienul Islam sebagai berikut.


1). Ilmu dien adalah warisan para nabi. Mereka tidaklah mewariskan kepada umat melainkan mewariskan ilmu wahyu Allah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud : 3157


2) Ilmu dien itu kekal, tidak musnah, akan mengikuti ahlinya sampai meninggal dunia, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim : 3084


3). Ilmu dien itu tidak sulit menjaganya, karena tempatnya di hati, tidak membutuhkan peti atau kunci, bahkan ilmu itu yang menjaga dirinya, berbeda dengan harta benda, pemiliknya harus menjaganya.


4). Ahli ilmu dien memperoleh syuhada di atas yang haq, lihat surat Ali-Imran ; 18


5). Ahli ilmu dien termasuk waliyul amri yang wajib ditaati, lihat surat An-Nisaa : 59


6). Ahli ilmu dien penegak kebenaran sampai hari kiamat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Bersabda.


“Dan senantiasa umat ini penegak hukum Allah, tidaklah membahayakan kepada mereka orang yang menyelisihinya sampai datang keputusan Allah pada hari kiamat” [HR Bukhari : 69 bersumber dari sahabat Muawiyah Radhiyallahu ‘anhu]


7). Ahli ilmu dien diangkat derajatnya oleh Allah Azza wa Jalla. Lihat surat Al-Mujadilah : 11 [Kitabul Ilmu oleh Ibnu Utsaimin hal. 18-22]


Keutamaan menuntut ilmu syar’i sengaja kami bahas, agar orang tua tidak ragu lagi menyekolahkan anaknya kepada pesantren Salafi yang dikelola sedemikian rupa kurikulumnya dan diseleksi pengajarnya, dengan biaya yang bisa dijangkau, insya Allah akan mengantarkan anak menjadi ahli ibadah kepada Allah, birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua), dan menjadi da’i pembela kebenaran –bi-idznillah-, yang kelak orang tua akan memetik pahalanya walaupun telah meninggal dunia.


BAHAYA PENDIDIKAN SEKULER
Yang dimaksud pendidikan sekuler ialah pendidikan yang tidak memperhatikan ilmu dienul Islam, atau tidak berasaskan Islam.


Adapun bahayanya banyak sekali, bahaya pengajarnya, materinya, dan pergaulannya.


Bahaya Pengajar
Pada umumnya pengajarnya tidak mengenal aqidah yang benar, atau bodoh terhadap ajaran Islam, dan boleh jadi mereka orang kafir atau musyrik atau orang yang memusuhi Islam, itu semua karena latar belakang pendidikan mereka sebelumnya.


Perhatikan dosen yang mengajar di perguruan tinggi agama Islam dan lainnya. Tentu hal ini akan berbahaya bila penuntut ilmu tidak memiliki aqidah dan syari’at Islam yang benar. Penuntut ilmu (mahasiswa) yang memiliki pengetahuan yang haq pun segan menegur kesalahan pengajarnya karena khawatir tidak lulus. Adapun siswa uang kuat imannya, tentu tidaklah betah bergaul dengan mereka karena Allah Azza wa Jalla menanamkan iman di hati mereka. Lihat surat Al-Hujurat : 7


Bahaya Materinya
Boleh jadi materi yang diajarkan termasuk perkara yang dilarang menurut ajaran Islam karena berkenaan dengan aqidah dan akhlak, atau membahayakan jasmani dan rohaninya. Maka siswa yang tidak mengenal ajaran Islam yang kaffah tentu sulit untuk menghukumi materi itu boleh dipelajari atau tidak.


Bahaya Pergaulan
Biasanya, pendidikan umum tidak memperhatikan pergaulan siswa dan siswinya, mereka bercampur menjadi satu tanpa ada hijab (pembatas,-red) yang menghalanginya, bahkan pengajarnya campur laki-laki dan wanita. Padahal melihat wanita yang bukan mahramnya hukumnya haram (lihat surat An-Nur : 30-31), apalagi bergaul bebas bertatap muka, sentuh-menyentuh, berkhalwat, dan bepergian tanpa mahram. Tentu dosanya lebih besar daripada manfaat ilmu yang diperolehnya. Perhatikan sekolah kedokteran dan perkuliahan di jurusan lainnya, zina mata, telinga, mulut, tangan, dan kaki, setiap hari menjemputnya. Siapakah yang bertanggung jawab bila musibah telah menimpa? Siapakah yang bertanggung jawab di akhiratnya?


Adapun bahaya lain, mereka akan meninggalkan menuntut ilmu dienul Islam dan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla karena mereka sibuk dengan ilmu duniawinya. Bahkan, boleh jadi akan memerangi Islam dan ulamanya.


SYUBHAT DAN BANTAHAN
Diantara syubhat (keragu-raguan, red) yang tersebar di kalangan masyarakat, mereka menyekolahkan anak ke sekolah umum dan melalaikan pendidikan aqidah shahihah sebagai berikut.


1). Mengikuti Orang-Orang Pada Umumnya.
Jiwa orang awam seperti terkena virus, kaidah mereka “yang ditiru banyak orang itulah yang baik”. Jika anak tidak masuk sekolah umum maka tidaklah dinamakan bersekolah, itulah aqidah mereka. Oleh karena itu, mereka berebut supaya anaknya diterima di sekolah negeri atau sekolah swasta yang berstatus disamakan –minimlahnya yang diakui-. Padahal prinsip “umumnya” tidak menjamin baik, dan itulah kenyataannya.


“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah …” [Al-An’am : 116]


2). Khawatir Tidak Dapat Pekerjaan
Seharusnya orang Islam khawatir apabila dia dan anaknya tidak bisa menuntut ilmu dienul Islam dan tidak memiliki aqidah yang shahihah karena nikmat ini tidak semua orang meraihnya, berbeda dengan kenikmatan berupa rezeki, semua hamba-Nya –yang beriman ataupun kafir- dijamin pasti menerimanya (lihat surat Hud : 6), apalagi mereka mau menuntut ilmu dien dan bertaqwa, niscaya Allah Azza wa Jalla membuka rezekinya dari langit dan bumi (lihat surat Al-A’raf : 96) dan niscaya Allah mengangkat derajatnya (lihat surat Al-Mujadilah : 11).


3). Orang Islam Harus Kaya
Prinsip “orang Islam harus kaya” bukanlah tujuan hidup orang yang beriman, akan tetapi prinsipnya orang kafir. Tujuan hidup yang benar adalah beribadah kepada Allah Azza wa Jalla (lihat surat Adz-Dzariyat : 56). Agama Islam tidak melarang orang menjadi kaya, akan tetapi meninggalkan pendidikan Islam untuk mencari kekayaan adalah merusak aqidah dan moral (lihat surat At-Takatsur : 1) dan Al-Humazah : 1-2), bahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak khawatir apabila umatnya miskin, akan tetapi khawatir bila umatnya kaya


Dari Abu Ubaidah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.


“Maka demi Allah, tidaklah aku khawatir bila kamu itu fakir, akan tetapi aku khawatir bila kamu dilapangkan urusan duniawimu sebagaimana orang sebelummu, lalu kamu berlomba-lomba mengejarnya seperti mereka, lalu kamu hancur seperti mereka” [HR Bukhari 2924, Muslim 5261]


4). Kemunduran Kaum Muslimin Karena Faktor Ekonomi
Kami tidak mengigkari bahwa ekonomi penunjang kekuatan kaum muslimin sebagaimana kekuatan kaum muslimin sebagaimana disebutkan di dalam surat Al-Anfal : 60. Akan tetapi, semata-mata mengejar urusan dunia tanpa dilandasi aqidah yang benar, tidaklah memakmurkan Islam, justru sebaliknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kehancuran kaum muslimin karena umatnya ambisi dunia, bukan karena mengejar ilmu Sunnah.


Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.


“Apabila kamu senang jual beli dengan sistem ‘inah (membeli secara kredit lalu dijual tunai kepada penjual dengan harga lebih murah) dan kamu sibuk dengan memegang ekor sapimu dan kamu lebih menyukai kebunmu, dan kamu tinggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan pada dirimu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mencabut kehinaan ini sehingga kamu berpegang kepada agamamu” [HR Abu Dawud : 303, lihat Ash-Shahihah : 11]


Hadits ini menjawab syubhatnya hizbiyyin dan harakiyyin yang punya prinsip seperti di atas, mereka ingin mengajak umat untuk meraih izzah, tetapi dengan cara menghinakan umat


Akhirnya semoga kita semua senantiasa mendapat perlindungan dan hidayah-Nya.
  Oleh
Al-Ustadz Aunur Rofiq Ghufron


[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi I, Tahun VI/Sya'ban 1427/2006. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]

Senin, 21 Mei 2012

Keutamaan Ilmu Agama Di Atas Harta Dunia (1)


Berkata Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu kepada Kumail bin Ziyad:


يا كميلُ بن زياد! القلوبُ أوعيةٌ؛ فخيرها أوعاها؛ احفظْ ما أقول لك: الناسُ ثلاثةٌ؛ فعالمٌ ربَّانيٌّ، ومتعلِّمٌ على سبيل نجاةٍ، وهَمَجٌ رِعَاعٌ أتباعُ كلِّ ناعقٍ يميلون مع كلِّ رِيح؛ لم يستضيئوا بنور العلم ولم يلجَئوا إلى ركنٍ وثيقٍ؛
العلمُ خيرٌ من المال: العلمُ يحرِسُك وأنت تحرِسُ المالَ، العلمُ يزكُوْ على العمل والمالُ تنقُصُه النفقةُ، ومحبةُ العالم دينٌ يُدان بها، العلمُ يُكسِب العالمَ الطاعةَ في حياته وجميلَ الأُحْدُوْثَةِ بعد موته، وصنيعةُ المال تزول بزواله، مات خُزَّانُ الأموال وهم أحياءٌ، والعلماءُ باقُون ما بقي الدهرُ، أعيانُهم مفقودةٌ، وأمثالهُم في القلوب موجودةٌ.


"Wahai Kumail bin Ziyaad! Hati adalah wadah, maka hati yang paling baik adalah yang paling banyak menampung (kebaikan); hafalkanlah apa yang akan aku katakan kepadamu !


Manusia ada tiga (golongan): alim rabbani (ulama), penuntut ilmu yang berada di atas jalan keselamatan, dan orang awam yang mengikuti setiap orang yang berteriak (seruan), mereka condong sesuai dengan arah angin (kemanapun diarahkan) , tidak menerangi diri dengan cahaya ilmu, dan tidak berpegangan dengan pegangan yang kuat ".



Ilmu lebih baik daripada harta:

-Ilmu menjagamu, sedang harta engkau yang menjaganya.

-Ilmu bertambah terus dengan diamalkan, sedangkan harta berkurang setiap kali diinfaqkan .

-Mencintai orang yang berilmu (ulama) bagian dari agama, cinta yang mendekatkan diri kepada Allah.

-Ilmu menjadikan orang yang memilikinya menjadi seorang yang ditaati semasa hidupnya dan disebut dengan kebaikan setelah matinya.

-Apa yang dihasilkan oleh harta akan hilang bersama kemusnahannya.

-Orang yang menumpuk harta, (nama) mereka mati sedang dalam keadaan hidup (jasadnya), dan para ulama akan tetap ada selamanya; jasad mereka musnah, tapi sifat-sifat teladan mereka hidup di dalam hati-hati manusia.

Takhrij Atsar: 

Atsar yang sebenarnya panjang ini diriwayatkan oleh Abu Nu'aim Al-Ashfahaani dalam Hilyatul Auliya' (1/79), dan Al-Khathiib Al-Baghdaady dalam Taarikh Baghdaad (6/379).

Pada sanadnya, ada rawi yang dibicarakan oleh ulama tentang kelemahannya. Namun Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa kemasyhuran (dikenalnya) atsar ini diantara ulama sudah cukup (sebagai sandaran), sehingga tidak perlu melihat sanadnya. (Lihat I'laamul Muwaqqi'iin 2/195).

Penjelasan Atsar ini:

Di masa Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu darul khilafah (pusat pemerintahan) yang sebelumnya berada di Madinah, berpindah ke Kuufah, salah satu kota di Iraq. Disana beliau memiliki murid-murid yang mengambil ilmu dari beliau. Diantaranya adalah Kumail bin Ziyad An-Nakha'i Al-Kuufi rahimahullah, seorang tabi'in, meninggal tahun 82 H, yang telah dinilai tsiqah (terpercaya) oleh Ibnu Hajar Al-Asqalaniy, namun beliau dianggap memiliki paham tasyayyu' (keyakinan mengedepankan Ali di atas 'Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhuma). Beliau meriwayatkan hadist dari Umar bin Al-Khaththab, Ali bin Abu Thalib, Abu Hurairah, dan Abdullah bin Mas'uud radhiyallahu 'anhum. Diantara rawi yang meriwayatkan dari beliau: Abu Ishaq Al-Hamadaani, Sulaiman bin Mihraan Al-A'masy dan lain-lain.

"Wahai Kumail bin Ziyaad! Hati adalah wadah, maka hati yang paling baik adalah yang paling banyak menampung (kebaikan)"

Hati adalah wadah, yaitu tempat untuk menampung ilmu. Ini menunjukkan kedudukan dan peran hati dalam menimba ilmu agama, yaitu sebagai wadah. Ini adalah isyarat supaya seorang penuntut ilmu memperhatikan hatinya dan menjaga kebersihannya; supaya menjadi wadah yang baik bagi ilmu yang dia dapatkan.

Ibarat rumah apabila bersih, rapi, nyaman, tentu akan betah orang yang tinggal di dalamnya; sebaliknya rumah yang kotor dan berantakan, berkeliaran kecoak dan tikus, berbau dan lain-lain; tentunya orang tidak akan betah tinggal didalamnya.

Demikian pula hati sebagai tempat ilmu, apabila bersih akan menetap ilmu yang masuk, dan apabila kotor dengan kemaksiatan dan dosa maka ilmu tersebut tidak akan betah bertempat tinggal di hati tersebut. Semakin kotor hatinya semakin tidak betah padanya.

Oleh karena itu seorang penuntut ilmu hendaknya menjauhi dosa dan maksiat; baik maksiat dengan melihat, mendengar, berbicara, atau dosa dengan hati seperti membayangkan (sesuatu yang diharamkan) , hasad, sombong dan lain-lain. Apabila melakukan dosa maka hendaknya dia segera membersihkan hati dengan memperbanyak istighfar dan bertaubat. Yang demikian itu, supaya dia dimudahkan oleh Allah untuk menerima ilmu agama, menghafalnya, dan memahaminya. Tidak mungkin seseorang bisa menggapai ilmu agama yang bermanfaat hanya dengan menghadiri majelis ilmu, membaca, menghafal saja, tapi harus menjaga kebersihan wadahnya dengan meninggalkan kemaksiatan.

Inilah rahasia kuatnya hafalan para salaf dan para ulama, sebagaimana ditunjukkan oleh perkataan mereka sendiri.

Imam Asy-Syafi'iy rahimahullah mengatakan:

شَكَوْتُ إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ المعَاصي
وَأخْبَرَنِي بأَنَّ العِلْمَ نُورٌ ونورُ الله لا يهدى لعاصي
-Aku mengadu kepada Waki' (yaitu Waki' bin Al-Jarraah Ar-Ru'aasy, guru Imam Asy-Syafi'i) tentang buruknya hafalanku ; maka beliau menasehatiku supaya aku meninggalkan kemaksiatan

-Dan beliau mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya ; dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat.

Waki' bin Al-Jarraah rahimahullah juga pernah berkata kepada Ali bin Khasyram:

اسْتَعِنْ عَلَى الْحِفْظِ بِقِلَّةِ الذُّنُوْبِ
"Bantulah dirimu dalam menghafal dengan hanya memiliki sedikit dosa (mengurangi dosa)". (Atsar ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu'abul Iman 2/272 no: 1734 )

Sufyan bin 'Uyainah rahimahullah juga pernah ditanya: Bagaimana caramu mendapatkan hafalan (yang kuat)? Beliau berkata: بِتَرْكِ الْمَعَاصِيْ

"(Aku mendapatkan hafalan yang kuat) dengan meninggalkan kemaksiatan" (Atsar ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu'abul Iman 2/272 no: 1735)

" Hafalkanlah apa yang akan aku katakan kepadamu"

"Manusia ada tiga (golongan) "

Ini adalah hasil pengamatan Ali radhiyallahu 'anhu, bahwa manusia tidak keluar dari 3 golongan ini. Dan yang dimaksud dengan manusia disini –wallahu a'lam- adalah umat islam.

"Alim Rabbani (ulama) "

Ini adalah golongan pertama dan tertinggi tingkatannya, yaitu golongan alim rabbani, mereka adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya, dan mengajarkannya kepada orang lain secara bertahap (dari tingkat yang paling rendah, kemudian ilmu yang lebih tinggi dari sebelumnya). Seorang 'alim yang tidak mengamalkan; tidak dinamakan rabbani meskipun ia ajarkan ilmunya kepada orang lain. Dan seorang 'alim yang mengamalkan ilmunya apabila tidak diajarkan kepada orang lain juga tidak dinamakan rabbani.

"Penuntut ilmu yang berada di atas jalan keselamatan"

Golongan kedua adalah golongan para penuntut ilmu, yang mereka sedang menempuh jalan keselamatan. Penuntut ilmu agama yang memiliki niat yang benar dan mengamalkan dialah yang dimaksud oleh Amirul Mukminin radhiyallahu 'anhu.

"Dan orang awam yang mengikuti setiap orang yang berteriak (seruan), mereka condong sesuai dengan arah angin (kemanapun diarahkan) , tidak menerangi diri dengan cahaya ilmu, dan tidak berpegangan dengan pegangan yang kuat "

Ini adalah golongan ketiga, yaitu golongan orang-orang awam, mereka bukan orang alim, atau orang yang berusaha untuk menjadi orang alim (yaitu muta'allim). Keadaan mereka seperti yang beliau sifatkan, hamajun ri'aa', orang-orang yang dungu, mengikuti setiap orang yang berteriak , artinya setiap ada yang datang mengajak kepada sesuatu maka dia mengikutinya, tidak mempertimbangkan baik buruknya dan benar salahnya.

" mereka condong sesuai dengan arah angin" seperti pohon yang lemah, yang senantiasa mengikuti arah angin.

"tidak menerangi diri dengan cahaya ilmu dan tidak berpegangan dengan pegangan yang kuat " setelah menyebutkan keadaan golongan ketiga; beliau menyebutkan dua sebab kenapa mereka menjadi demikian, yang pertama karena tidak berusaha menyinari hatinya dengan cahaya ilmu, ridha dengan kejahilan, akibatnya menjadi orang yang tidak memiliki pendirian yang kuat. Berbeda dengan orang yang memiliki ilmu, dimana ia berjalan bersamanya ilmu yang ia miliki, Allah berfirman:

أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا ) الأنعام/122)

"Apakah orang yang dulunya mati (hatinya) kemudian Kami hidupkan, dan Kami berikan kepadanya cahaya (ilmu dan hidayah) yang dia berjalan dengan cahaya tersebut ditengah-tengah manusia, apakah sama dia dengan orang yang berada di dalam kegelapan-kegelapan (kesesatan) yang dia tidak bisa keluar darinya" (QS. Al-An'aam:122)

Yang kedua karena tidak mau bertanya kepada orang yang berilmu, sehingga akhirnya tersesat.

Golongan yang ketiga ini meski jumlahnya yang paling banyak, mereka adalah golongan yang paling rendah derajatnya disisi Allah. Bahkan kalau diperhatikan, tidaklah terjadi fitnah dan kekacauan di sebuah negeri kecuali berasal dari golongan yang ketiga ini.

Di dalam pembagian manusia menjadi tiga golongan tersebut, terdapat dorongan dan anjuran bagi kaum muslimin untuk menuntut ilmu agama, dan mengingatkan mereka supaya jangan menjadi orang yang jahil terhadap agama, sehingga mudah terpengaruh dengan kesesatan. (bersambung...)

Abdullah Roy

Keutamaan Ilmu Agama Di Atas Harta Dunia (2)

"Ilmu lebih baik daripada harta" 
Ini adalah kalimat yang global, sebelum beliau menyebutkan secara terperinci segi-segi kebaikan ilmu dibanding harta., yang demikian supaya pendengar menyiapkan dirinya untuk mendengar apa yang akan disampaikan.
Dan yang dimaksud dengan ilmu disini adalah ilmu agama, ilmu yang bermanfaat. Sedangkan harta disini adalah harta yang dicari bukan karena ketaatan kepada Allah tetapi hanya karena kesenangan dunia semata.

" Ilmu menjagamu, sedang harta engkau yang menjaganya"
Maksudnya adalah ilmu menjadi sebab Allah menjaga dirimu, menjagamu dari kebinasaan di dunia maupun akhirat.
Menjaga seseorang dari kebinasaan di akhirat, karena dengan ilmu agama seseorang bisa mengetahui perintah Allah sehingga dia bisa laksanakan, dan bisa mengetahui larangan Allah sehingga bisa dia jauhi. Dengan sebab ilmu ini Allah menyelamatkan dia dari hal-hal yang membuat murka Allah sehingga dia bisa selamat dari adzab neraka dan masuk ke dalam surga Allah.
Adapun menjaga seseorang dari kebinasaan di dunia, maka Allah akan menjaga seseorang dengan ilmu tersebut dimanapun dia berada. Diantara contoh penjagaan ilmu terhadap seseorang adalah kisah seseorang yang membunuh 100 orang seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا، فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ، فَأَتَاهُ فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا، فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لَا، فَقَتَلَهُ، فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً، ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ، فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ؟
"Dari Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Allah shallallahu 'alaihiwasallam bersabda: Dahulu kala di antara ummat sebelum kalian ada seseorang yang lelaki yng membunuh 99 orang, maka dia bertanya tentang orang yang paling 'alim di atas permukaan bumi, maka dia ditunjukkan kepada seorang ahli ibadah, maka diapun mendatanginya seraya berkata bahwa dia telah membunuh 99 orang , apakah dia masih diterima taubatnya? Maka ahli ibadah itupun menjawab: Tidak (diterima taubatnya); maka orang tersebut membunuh ahli ibadah itu sehingga genaplah menjadi 100. Kemudian dia bertanya lagi , siapa orang yang paling 'alim di permukaan bumi ? Maka ditunjukkan kepada seorang 'alim, dan diapun mengabarkan bahwa dia telah membunuh 100 orang, apakah taubatnya masih diterima? Maka 'alim tersebut mengatakan: Iya, apa yang menghalangi dia untuk diterima taubatnya?... (HR. Muslim)
Lihatlah bagaimana ilmu menjadi sebab terjaganya 'alim tersebut dari kebinasaan.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa ilmu menjaga pemiliknya dari kecelakaan dan musibah, karena seseorang pada asalnya tidak mungkin memasukkan dirinya dalam kebinasaan apabila dia memiliki akal, dan tidak mungkin dia menjerumuskan jiwanya dalam kehancuran kecuali apabila dia jahil. Contohnya seperti orang yang memakan makanan yang beracun, maka orang yang tahu makanan tersebut beracun akan menahan diri dan tidak mau memakannya, tapi orang yang tidak tahu akan memakannya dan teracuni karena kebodohannya
Dan orang yang mengenal Allah, perintah dan laranganNya, mengetahui musuh dan tipu dayanya dalam menyesatkan manusia, dengan ilmunya dia bisa selamat dari was-was syetan. Setiap kali syetan berusaha menyesatkan dia dari jalan Allah maka ilmu dan iman tersebut mengingatkan dia sehingga dia kembali kepada Allah. (Lihat Miftaah Daari As-Sa'aadah 1/128)
Sedangkan harta, maka pemiliknya setelah lelah dalam mencarinya maka dia juga harus lelah dalam menjaganya, siang dan malam dia dalam keadaan cemas, resah, dan gelisah memikirkan harta yang dia dapatkan, bagaimana supaya harta tersebut aman, bertambah terus dan tidak berkurang. Dimanapun dia letakkan harta tersebut dia merasa tidak aman, dan dia akan bertambah stres bila harta tersebut benar-benar hilang atau berkurang.
Allah ta'alaa berfirman:
فَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ
"Maka janganlah membuat kamu kagum harta dan anak-anak mereka, sesungguhnya Allah ingin mengadzab mereka dengannya di kehidupan dunia ini, dan menjadikan resah jiwa mereka, sedangkan mereka dalam keadaan kafir" (QS. At-Taubah : 55)
Dan di akhirat dia akan mendapat perhitungan yang panjang, dia akan ditanya tentang hartanya, dari mana dia dapatkan dan untuk apa dia dapatkan, sebagaimana hadist dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu 'anhu beliau berkata: Rasulullah shallallhu 'alaihiwasallam bersabda:
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ
"Tidak akan bergerak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga dia ditanya tentang umurnya untuk apa dia habiskan, dan tentang ilmunya; apa yang telah dia amalkan, tentang hartanya dari mana dia dapatkan dan untuk apa dia belanjakan, dan ditanya tentang jasadnya; untuk apa dia gunakan" (HR. At-Tirmidzy, dishahihkan Syeikh Al-Albany)
Jadi harta dunia bila dicari hanya karena kelezatan semata dan bukan karena Allah, maka akan menyusahkan pemiliknya di awal (ketika di mencari), di tengah (ketika dia menjaganya), dan di akhir kelak(ketika menghadapi hari perhitungan).

3 perkara tanda kebahagiaan seseorang = Apabila di beri kenikmatan bersyukur , apabila ditimpa musibah bersabar dan apabila terjatuh dalam perbuatan dosa beristiqfar (bertobat).

3 perkara tanda kebahagiaan seseorang = Apabila di beri kenikmatan bersyukur , apabila ditimpa musibah bersabar dan apabila terjatuh dalam perbuatan dosa beristiqfar (bertobat).

Minggu, 20 Mei 2012

CARA MENGHITUNG TASBIH DENGAN JARI

Abdullah bin ‘Amr berkata: “Saya melihat Rasulullah s.a.w menghitung tasbih dengan melipatkan jari-jarinya menggunakan tangan kanannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1/235) dan At-Tirmidzi, ia menghasankannya.)

Jumat, 18 Mei 2012

BEGINI GAN KUBURAN YANG NYUNNAH DAN SYAR’I (PICS)



Inilah kuburan yg benar2 syar’i dan dicontohkan sesuai dengan aqidah Ahlus Sunnah. Tanpa dibangun / dikeramik, ditulisi, ditinggikan kecuali hanya sejengkal, dan tanpa disembah atau diagungkan. Mudah2an calon rumah kita seperti ini semua, tdk seperti kebanyakan kuburan yg ada di sekeliling  kita.
Padahal kuburan yg ada di foto ini adalah kuburannya orang2 yang memiliki keutamaan di sisi Allah, yaitu kuburannya para Shahabat Nabi radhiyallahu anhum di Baqi’, Madinah. Kuburannya tidak lebih bagus dari kuburannya pak RT atau pak Lurah atau Kyai di tempat kita. Seperti inilah yang dapat membuat Islam bertambah Kejayaannya. Subhanallah
Dari Abu Al-Hayyaj Al-Asadi dia berkata: Ali bin Abu Thalib berkata kepadaku:
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“Maukah kamu aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutusku? Hendaklah kamu jangan meninggalkan gambar-gambar kecuali kamu hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan kecuali kamu ratakan.” (HR. Muslim no. 969)
Fadhalah bin Ubaid radhiallahu anhu berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا
“Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk meratakannya (kuburan).” (HR. Muslim no. 968)
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma dia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengapur kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya.” (HR. Muslim no. 970)
Al-Imam At-Tirmidzi dan yang lain meriwayatkan dengan sanad yang shahih dengan tambahan lafadz:وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ“dan ditulisi.”
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menerangkan: “Ketahuilah bahwa kaum muslimin yang dahulu dan akan datang, yang awal dan akhir, sejak zaman sahabat sampai waktu kita ini, telah bersepakat bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya… termasuk perkara bid’ah, yang telah ada larangan dan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas para pelakunya.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat salah satu di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat. Perawi berkata dari Thawus: ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dibangun atau dicat’.”
Beliau rahimahullahu juga berkata: “Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata pula: “Aku membenci ini berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar…”
Asy-Syaikh Sulaiman Alu Syaikh rahimahullahu berkata: “Al-Imam Nawawi rahimahullahu menegaskan dalam Syarh Al-Muhadzdzab akan haramnya membangun kuburan secara mutlak. Juga beliau sebutkan semisalnya dalam Syarh Shahih Muslim.”
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu.
“Bahwa Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahiihnya no. 2160 dan al Baihaqi III/410, hadits ini sanadnya hasan)
Dari Sufyan at Tamar, dia berkata,
“Aku melihat makam Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam dibuat gundukkan seperti punuk” (HR. al Bukhari III/198-199 dan al Baihaqi IV/3)
Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya Zaadul Ma’aad, “Dan makam beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam digunduki tanah seperti punuk yang berada di tanah lapang merah. Tidak ada bangunan dan tidak juga diplester. Demikian itu pula makam kedua sahabatnya (Abu Bakar dan Umar)”
Hal tsb menunjukkan bhw kuburan Nabi tidaklah dibangun seperti bangunan sekarang ini pada awalnya. Jadi dibangunnya kuburan Nabi bukanlah hujjah yg dpt dipakai, kecuali jika yg membangunannya tsb adalah para shahabat nabi dan atas ijma mrk. Wallahu a’lam.
Syaikh Albani ditanya :
“Kuburan Nabi saw ada di dalam Masjid beliau, yang dapat disaksikan hingga saat ini. Kalau memang hal ini dilarang, lalu mengapa beliau dikuburkan disitu ?
Jawabannya:
…Keadaan yang kita saksikan pada jaman sekarang ini tidak seperti yang terjadi pada jaman sahabat. Setelah beliau wafat, mereka menguburkannya didalam biliknya yang letaknya bersebelahan dengan masjid, dipisahkan oleh dinding yang ada pintunya. Beliau biasa masuk masjid lewat pintu itu.
Hal ini telah disepakati oleh semua ulama, dan tidak ada
pertentangan diantara mereka. Para sahabat mengubur jasad beliau didalam biliknya, agar nantinya orang-orang sesudah mereka tidak menggunakan kuburan beliau sebagai tempat untuk shalat, seperti yang sudah kita terangkan dalam hadits ‘Aisyah dibagian muka. Tapi apa yang terjadi dikemudian hari di luar perhitungan mereka. Pada tahun
88 Hijriah, Al Walid bin Abdul Malik merehab masjid Nabi dan
memperluas masjid hingga kekamar ‘Aisyah. Berarti kuburan beliau masuk ke dalam area masjid. Sementara pada saat itu sudah tidak ada satu sahabatpun yang masih hidup, sehingga dapat menentang tindakan Al Walid ini seperti yang diragukan oleh sebagian manusia.
Al Hafizh Muhamad Abdul-Hady menjelaskan didalam bukunya Ash-Sharimul Manky: “Bilik Rasulullah masuk dalam masjid pada jaman Al Walid bin Abdul Malik, setelah semua sahabat beliau di Madinah meninggal. Sahabat terakhir yang meninggal adalah Jabir bin Abdullah. Ia meninggal pada jaman Abdul Malik, yang meninggal pada tahun 78
Hijriah. Sementara Al Walid menjadi khalifah pada tahun 86
Hijriah, dan meninggal pada tahun 96 Hijriah. Rehabilitasi masjid dan memasukkan bilik beliau kedalam masjid, dilakukan antara tahun-tahun itu.
Abu Zaid Umar bin Syabbah An Numairy berkata di dalam buku karangannya Akhbarul-Madinah: “Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi gubernur Madinah pada tahun 91 Hijriah, ia meribohkan masjid lalu membangunnya lagi dengan menggunakan batu-batu yang diukir, atapnya terbuat dari jenis kayu yang bagus. Bilik istri-istri Nabi saw dirobohkan pula lalu dimasukkan kedalam masjid. Berarti kuburan beliau juga masuk kedalam masjid.”
Dari penjelasan ini jelaslah sudah bahwa kuburan beliau masuk menjadi bagian dari masjid nabawi, ketika di Madinah sudah tidak ada seorang sahabatpun. Hal ini ternyata berlainan dengan tujuan saat mereka menguburkan jasad Rasulullah di dalam biliknya.
Maka setiap orang muslim yang mengetahui hakikat ini, tidak boleh berhujjah dengan sesuatu yang terjadi sesudah meninggalnya para sahabat. Sebab hal ini bertentangan dengan hadits-hadits shahih dan pengertian yang diserap para sahabat serta pendapat para imam.
Hal ini juga bertentangan dengan apa yang dilakukan Umar dan Utsman ketika meluaskan masjid Nabawi tersebut. Mereka berdua tidak memasukkan kuburan beliau ke dalam masjid.
Maka dapat kita putuskan, perbuatan Al Walid adalah salah. Kalaupun ia terdesak untuk meluaskan masjid Nabawi, toh ia bisa meluaskan dari sisi lain sehingga tidak mengusik kuburan beliau. Umat bin Khattab pernah mengisyaratkan segi kesalahan semacam ini. Ketika meluaskan masjid, ia mengadakan perluasan di sisi lain dan tidak mengusik kuburan beliau. Ia berkata: “Tidak ada alasan untuk
berbuat seperti itu.” Umar memberi peringatan agar tidak merobohkan masjid, lalu memasukkan kuburan beliau ke dalam masjid.
Karena tidak ingin bertentangan dengan hadits dan kebiasaan khulafa’urrasyidin, maka orang-orang Islam sesudah itu sangat berhati-hati dalam meluaskan masjid Nabawi. Mereka mengurangi kontroversi sebisa mungkin. Dalam hal ini An-Nawawi menjelaskan di dalam Syarh Muslim: “Ketika para sahabat yang masih hidup dan tabi’in merasa perlu untuk meluaskan masjid Nabawi karena banyaknya
jumlah kaum muslimin, maka perkuasan masjid itu mencapai rumah Ummahatul-Mukminin, termasuk bilik ‘Aisyah, tempat dikuburkannya Rasulullah dan juga kuburan dua sahabat beliau, Abubakar dan Umar.
Mereka membuat dinding pemisah yang tinggi disekeliling kuburan, bentuknya melingkar. Sehingga kuburan tidak langsung nampak sebagai bagian dari masjid. Dan orang-orangpun tidak shalat ke arah kuburan itu, sehingga merekapun tidak terseret pada hal-hal yang
dilarang.
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Rajab yang menukil dari l-Qurthuby, menjelaskan: “Ketika bilik beliau masuk ke dalam masjid, maka
pintunya di kunci, lalu disekelilingnya dibangun pagar tembok yang tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar rumah beliau tidak dipergunakan untuk acara-acara peringatan dan kuburan beliau dijadikan patung sesembahan.”
Dapat kami katakan: Memang sangat disayangkan bangunan tersebut sudah didirikan sejak berabad-abad di atas kuburan Nabi saw. Disana ada kubah menjulang tinggi berwarna hijau, kuburan beliau dikelilingi jendela-jendela yang terbuat dari bahan tembaga, berbagai hiasan dan tabir. Padahal semua itu tidak diridhai oleh orang yang dikuburkan disitu, yaitu Rasulullah saw. Bahkan ketika kami berkunjung kesana, kami lihat disamping tembok sebelah utara terdapat mihrab kecil. Ini merupakan isyarat bahwa tempat itu dikhususkan untuk shalat dibelakang kuburan . Kami benar-benar heran. Bagaimana bisa terjadi paganisme yang sangat mencolok ini
dibiarkan begitu saja oleh suatu negara yang mengagung-agungkan masalah tauhid ?
Namun begitu kami mengakui secara jujur, selama disana kami tidak meliahat seorangpun mendirikan shalat didalam mihrab itu. Para penjaga yang sudah ditugaskan disana mengawasi secara ketat agar mencegah manusia yang datang kesana dan melakukan suatu yang bertentangan dengan syariat disekitar kuburan Nabi saw. Ini merupakan suatu yang perlu disyukuri atas sikap pemerintah Saudi.
Tetapi ini belum cukup dan tidak memberikan jalan keluar yang tuntas. Tentang hal ini sudah lama kami katakan di dalam buku Ahkamul Jana’ iz wa Bida’uha: “Seharusnya masjid Nabawi dikembalikan ke jamannya semula, yaitu dengan membuat tabir pemisah antara kuburan dengan masjid, berupa tembok yang membentang dari uatara ke
selatan. Sehingga setiap orang yang masuk ke masjid tidak dikejar oleh macam-macam pertentangan yang tidak diridhai pendirinya. Kami merasa yakin, ini merupakan kewajiban pemerintah Saudi, kalau ia masih ingin menjaga tauhid yang benar. Andaikata ada rencana perluasan kembali, maka bisa melebar kesebelah barat atau sisi lainnya. Tapi ketika diadakan perbaikan lagi, ternyata masjid Nabawi tidak dikembalikan ke bentuknya yang pertama pada jaman sahabat.”
[Oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, diambil dari
Buku "Peringatan ! Menggunakan Kuburan Sebagai Masjid" Bab. IV/Hal.50-83]
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif