Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Sabtu, 12 Mei 2012

Beriman Butuh Takut, Bermaksiat Perlu Malu


Fiqhislam.com - Tergelitik oleh tulisan Ilham Khoiri di Kompas berjudul, “Irshad Manji yang Saya Tahu(Kompas.com, Senin, 7 Mei 2012)
Tulisan serupa dengan nada “membela” juga pernah ditulis di media yang sama dengan judul “Berpikir Kritis Irshad Manji”,  Minggu, 4 Mei 2008.
Dengan sangat menarik, Ilham Khoiri memperkenalkan penulis buku, "The Trouble with Islam Today: A Wake-Up Call for Honesty and Change"  yang ditertibkan dengan judul, "Beriman Tanpa Rasa Takut” ini sebagai seorang wanita yang pernah trauma sekolah di madrasah. Ilham Khoiri  bahkan menjelaskan, Irshad pernah memilih keluar dari madrasah, dan meneruskan berlajar tentang Islam dari berbagai sumber, terutama perpustakaan. Irshad juga mendatangkan guru bahasa Arab, yang membantu dia memahami Al-Quran dalam bahasa aslinya.
"Saya memilih tetap menjadi Muslim dan menjalani ajaran Islam," paparnya menirukan Irshad.
Catatan lain dari Ilham Khoiri mengatakan, “Irshad berterus terang, tujuan hidupnya adalah meyakinkan umat Islam, terutama kaum muda, bahwa kita bisa berpikir sekaligus beriman.
Dalam pujian lain pada Irshad Manji, penulis Kompas ini juga mengatakan, “Dia bercerita dengan jernih, jujur, dan terkadang diselipi humor. Kami berbincang banyak soal selama sekitar dua jam: Soal Islam, iman, tradisi konservatif kaum muslim, pentingnya ijtihad, kebebasan berpikir, juga tentang demokrasi.
Iman dan Rasa Takut
Umumnya para pembela Irshad Manji dan kaum liberal bertumpu pada  pernghargaan terhadap kebebasan berpikir, perbedaan berpendapat, dan menumbuhkan sikap dialog. Dan itulah bahasa-bahasa umum yang dikembangkan di kalangan Barat, yang menjadikan demokrasi sebagai “agama” mereka.
Mempertemukan iman kepada Allah, cinta, dan kebebasan berpikir”, begitulah kiria-kira harapan penulis yang juga pegiat lesbian yang hari-hari ini begitu dibela media massa nasional dan TV swasta kita.
Baik, mari kita jawab harapan Irshad itu.
Dalam Islam dikenal rukun Iman. Dan Iman kepada Allah merupakan suatu keyakinan yang sangat mendasar. Tanpa adanya iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala, seorang tidak akan beriman kepada yang lain, seperti beriman kepada malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul Allah dan hari kiamat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا (١٣٦)
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab Allah yang diturunkan sebelumnya, Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." (QS: An Nisa : 136)
Pertanyaannya, dalam Al-Quran Surat Al-A’raf:80-84, juga  Surat Hud ayat 82, Allah Subhanahu Wata’ala dengan tegas melarang perbuatan kaum Luth (homoseksual atau lesbian).  Tapi bagaimana mungkin seseorang mengaku pegian lesbian, masih menyebut diri beriman? Sementara ia masih melakukan perbuatan-perbuatan yang paling dibenci Allah SWT?
Dalam Islam juga dikenal istilah khauf (rasa takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala) untuk menggiring hamba-hambaNya menuju ilmu dan amal agar mereka mendapatkan kedekatan dengan Allah. Khauf (rasa takut) inilah yang mencegah diri dari perbuatan maksiat dan mengikatnya dengan bentuk-bentuk ketaatan.
Rasa takut kepada Allah SWT yang tertanam dalam diri setiap hamba Dalam proses menuju keimanan,  ada tiga pokok ibadah yang tidak boleh lepas dan ditinggalkan oleh manusia. Pertama hati selalu berzikir, kedua, lidah yang selalu menyampaikan nasihat dan kebenaran, ketiga, tubuh sebagai pelaksana dari amal-amal shalih untuk mencapai keridhaan dan menghadirkan cinta-Nya.
Selain itu, menurut bahasa, Iman artinya percaya (yakin) terhadap sesuatu. Iman menurut istilah adalah pengakuan di dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dikerjakan dengan anggota badan. Sebagaimana hadits Nabi, لايمان معرفة بالقلب و قول باللسا ن و عمل بالاركان (رواه الطبران)
Artinya : “Iman adalah pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota badan.” (HR Thabrani)
Sedang iman  kepada Allah Subhanahu Wata’ala membutuhkan tiga unsur anggota badan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya; hati, lisan dan anggota badan. Oleh karena itu, apabila ada seseorang yang mengaku beriman kepada Allah Subhanahu Wata’a hanya dalam hati, lisan, hati dan lisan atau anggota badan saja, maka orang tersebut belum bisa dikatakan orang yang beriman alias batal keimanannya.
Pertanyaanya, apakah layak disebut beriman, seseorang yang lisannya mengaku beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala, sedang tubuhnya memilih melanggar dan tidak mau berhenti pada kemaksiatan?
Dalam banyak bukunya, Irshad Manji mengaku tetap beriman, namun perbuatannya tetap lebih memilih bermaksiat dengan menuruti hawa nafsunya dalam memilih sebagai seorang lesbian. Iman apa sesungguhnya yang ia pakai?
Dalam al-Quran, Allah berfirman dengan tegas;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah, Rasul-Nya, dan kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kufur (mengingkari) Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, dan hari akhir, maka ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS: anNisaa’: 136).
Karenanya, jika ada orang mengaku beriman, sedang perbuatannya tak mencirikan bagimana layaknya orang beriman, sesungguhnya semua amal-amalnya tertolak.
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah (wahai Muhammad) jika kalian mencintai Allah maka ikutilah Aku niscaya Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS: Ali ‘Imron:31)
Irshad Manji berkeliling dunia seolah ingin mengajarkan pada banyak orang, bahwa menjadi lesbian, di saat yang sama bisa disebut beriman.  Apa landasan yang ia pakai dan dia gunakan?
Rosulullah bersabda: “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan tanpa petunjuk kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR: Muslim)
Empat Syarat Berilmu
Dalam tulisan lain, Kompas juga mengakui, Irshad belajar Islam sendiri dan mempelajari Al-Quran secara otodidak. Sesungguhnya, bukanlah sebuah masalah orang belajar sendirian. Yang menjadi masalah, ia belajar tentang hal-hal penting dalam agama Islam di, sementara di tengah keterbatasannya dan kejahilan ilmunya itu, ia justru mengkampanyekan di banyak orang untuk mencari pengikut.
Islam melarang belajar tanpa guru, khususnya belajar masalah berkaitan dengan syariah.
Imam Malik Bin Anas berkata: “Tidak boleh mengambil ilmu dari empat orang:
1). Orang yang bodoh walaupun hafalannya banyak (bagaikan orang yang berilmu),
2). Ahlul bid’ah yang menyeru kepada kesesatannya,
3). Orang yang terbiasa berdusta ketika berbicara dengan manusia walaupun dia tidak berdusta ketika menyampaikan ilmunya, dan
4). Orang yang sholeh, mulia dan rajin beribadah jika dia tidak hafal (dan faham) apa yang akan disampaikan.
(Siyar ‘Alamun Nubala’: 8/61)
Nabi Muhammad mengingatkan: “Barangsiapa yang belajar ilmu hikmah (spiritual) tanpa guru, berarti ia telah menunjuk setan menjadi Gurunya.
Karenanya, Imam Al-Khotib Al-Baghdadi mengatakan, “Seyogyanya bagi para penuntut ilmu untuk belajar kepada ulama yang ma’ruf akan agama dan amanahnya.” (Al-Faqif Wal Mutafaqqif: 2/96).
Itulah kehati-hatian Islam dalam memandang ilmu dan hokum-hukum Allah Subhanahu Wata’ala.
Masalahnya, bagaimana mungkin seorang yang belajar agama dan syariah Islam secara otodidak, tanpa seorang guru (Kompas bahkan menyebutnya belajar Islam hanya melalui perpustakaan) tanpa melalui orang-orang alim (ulama), tetapi ia kemudian merasa lebih tau dari para alim-ulama –bahkan—dari Al-Quran itu sendiri. Pantaskah orang seperti ini mengajari orang tentang hakekat iman?
Ijtihad dan syarat Mujtahid
Hal yang sering disematkan media dan para wartawan pembela paham liberal kepada orang seperti Irshad Manji adalah julukan sebagai “seorang yang telah melakukan ‘Ijtihad”.
Ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna “badal al wus” wal mahud” (pengerahan daya kemampuan),  dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang sukar dan berat.
Ibnu Hazm mengatakan; “Ijtihad dalam syariat ialah pencurahan kemampuan dalam mendapatkan hukum suatu kasus di mana hukum itu tidak dapat diperoleh.
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Ijtihad diberlakukan dalam berbagai bidang, mencakup akidah, mu’amalah (fiqih), dan falsafat.
Hanya saja yang menjadi masalah penting, tidak semua orang, secara tiba-tiba bisa disebut mujtahid atau telah melakukan ijtihad.
Sekurang-kurangnya menurut pakar fikih ada 8 persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid. (Prof. Dr. Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan 7 syarat penting) di antaranya: Mengetahui segala Ayat dan Sunnah yang berhubungan dengan hokum (Islam), Mengetahui masalah-masalah yang telah di ijma`kan oleh para ahlinya, mengetahui Nasakh Mansukh, mengetahui dengan sempurna bahasa Arab dan ilmu-ilmunya dengan mendalam (nahwu,  sharaf, bayan, ma`anie dan badie), mengetahui Ushul Fiqih, mengetahui Asrarusysyari`ah (Rahasia-rahasia Tasyri`), mengetahui Qawa`idil Fiqhi (qaedah-qaedah fiqih yang kulliyah yang diistinbathkan dari dalil-dalil Kully dan maksud-maksud Syara').
Namun Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat:
Pertama; mengetahui dan menguasai ilmu syara’ (syariah), mampu melihat yang zhanni di dalam hal-hal yang syara ‘dan mendahulukan yang wajib.
Kedua; adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah).
Menurut Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila mempunyai dua sifat: Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh, Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari`at tersebut.
Dalam Jurnal Perempuan (edisi khusus Lesbian, 2008) seorang aktifis feminis  membanggakannya sosok Irshad Manji sebagai seorang ”lesbian” yang gigih melakukan “ijtihad”. Dalam artikel berjudul, “Irshad Manji, Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad” jurnal menulis,”Manji sangat layak menjadi inspirasi  kalangan Islam khususnya perempuan di Indonesia.”
Pertanyaannya, apakah pantas seorang yang dalam bukunya banyak “menghina”, Nabi dan perintah Allah Subhanahu Wata’a, bahkan di saat yang sama ia masih mempraktikkan perbuatan yang dilarang Allah disebut seorang mujtahid atau orang yang layak melakukan ijtihad?
Akhirul kalam, pesan ini saya sampaikan kepada media, penulis dan para wartawan yang membela mati-matian –bahkan ikut mengundang—orang-orang seperti Irshad Manji mengkampanyekan kekeliruannya.
Ingatlah,  bahwa isyarat atau ucapan yang kita berikan kepada orang yang akan berbuat maksiat, dihukumi sebagai maksiat pula.
ان الإعانة علي المعصية ولو بكلمة او اشارة معصية
Sesungguhnya membantu kemaksiatan itu termasuk dihukumi perbuatan maksiat,meskipun hanya dengan satu ucapan atau satu isyarat.” (Bidayatul Hidayah, hal.3)
Irshad bukanlah seorang ulama, pakar fikih, atau orang yang ahli dalam Islam, yang patut kita jadikan rujukan.  Sebaliknya, dengan paham demokrasi,  Barat menyanjungnya, seolah-olah dia tokoh panutan yang layak mengajari umat Islam tentang cinta, iman dan keyakinan.
Yang menyedihkan, orang-orang yang butuh pengobatan secara serius seperti Irshad justu didatangkan oleh lembaga-lembaga bernama pers dan media massa untuk menceramahi 200 juta penduduk Muslim yang sehat perlilaku dan pikirannya.
Sebuah hadits Nabi mengatakan;
من أَعاَنَ عَلَى مَعْصِيَةٍ وَلَوْ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ كاَنَ شَرِيْكاً فِيْهاَ
Barangsiapa yang menolong kemaksiatan walaupun hanya dengan setengah kalimat, maka ia telah terlibat dalam maksiat tersebut.” Allahu a'alam bish shawab.
 
AF Maulana, penulis masalah keagamaan

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif