Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla
- Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.
Bukti Cinta
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)
Selasa, 22 Mei 2012
Kemana Menyekolahkan Anak ?
Ayat diatas merupakan peringatan keras bagi orang yang hanya mementingkan urusan dunia sedangkan urusan akhiratnya dilupakan. Contohnya pada bulan-bulan ini, sebagian besar orang tua menyerahkan pendidikan anaknya kepada lembaga pendidikan yang berorientasi dunia belaka, sedangkan masalah aqidah, manhaj, adab dan keselamatan di dunia dan akhirat diabaikan.
Perhatian mereka hanya berfokus kepada sekolah yang bisa mengantarkan anaknya menjadi cerdas dan cepat dalam pekerjaan. Prinsip ini bukan hanya ada pada orang awam saja, tetapi tokoh agama dan da’i yang menggebu-gebu membela Islam lebih senang menyekolahkan anaknya pada lembaga pendidikan umum yang tidak jelas aqidah dan manhajnya daripada menyekolahkan anaknya di pesantren yang dikelola menurut Sunnah.
Bahkan mereka ragu dan was-was bila anaknya masuk pesantren karena tidak diterima di sekolah umum. Mereka khawatir masa depan anaknya suram, tidak bertitelkan sarjana, tidak diterima sebagai pegawai negeri, tidak bisa mencari rezeki, dan alasan lainnya
Inilah kondisi umat Islam pada umumnya, bahkan ada yang sampai hati memarahi anaknya dan tidak memberi nafkah kepada anaknya bila mereka putus kuliah karena ingin mencari ilmu Dienul Islam di pesantren, lantaran dianggapnya durhaka kepada orang tua. Mereka tidak mau bertanya mengapa anaknya keluar dari bangku kuliah. Bahkan bila hal itu terjadi pada putrinya, maka diusir dari rumah, apalagi jika memakai cadar atau hijab muslimah dituduhnya mengikuti aliran keras dan semisalnya, karena orang tua merasa hina dan malu kepada tetangga dan temannya.
Selanjutnya, agar kita tidak dikuasai oleh hawa nafsu yang selalu sesat dan menyesatkan, khususnya menghadapi keberadaan umat Islam berkenaan dengan dunia pendidikan, mari kita pelajari keterangan ayat diatas sesuai dengan pemahaman ulama Sunnah dan mari kita telaah bagaimana seharusnya kita mendidik anak, agar menjadi anak yang shalih, bermanfaat untuk dirinya, orang tua dan umat.
TAFSIR AYAT SECARA UMUM
Memahami ayat menurut pemahaman ulama Salaf sangat penting bagi setiap umat Islam yang ingin bersatu dan tidak berpecah-belah, karena ahli bid’ah, orang musyrik, dan harakiyyin umumnya mereka tidak berselisih tentang berdalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, akan tetapi berselisih tentang rujukan memahaminya oleh karena itu, di antara ushul Ahli Sunnah –sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ahmad rahimahullah- yang pertama ialah berpegang teguh kepada ilmu dan pemahaman shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[Lihat Ushulus Sunnah oleh Imam Ahmad hal25, Tahqiq Al-Walid An-Nase]
Adapun sebagian ulama Sunnah menafsirkan ayat ini sebagai berikut.
Ibnu Jarir rahimahullah berkata : “Allah mengkhabarkan orang yang mendustakan kebenaran berita Allah itu tahu, bahwa bangsa Romawi diberi kemampuan oleh Allah untuk mengalahkan kerajaan Persia, karena mereka memiliki kekuatan duniawi dan pengaturan ekonomi yang baik, akan tetapi bangsa ini lupa tidak memikirkan keselamatan dirinya besok pada hari kiamat” [Tafsir Ath-Thabari 21/16]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Umumnya manusia tidak memiliki ilmu melainkan ilmu duniawi. Memang mereka maju dalam bidang usaha, akan tetapi hati mereka tertutup, tidak bisa mempelajari ilmu Dienul Islam untuk kebahagiaan akhirat mereka” [Tafsir Ibnu Katsir 3/428]
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata : “Adapun orang yang mengandalkan akalnya belaka serta sibuk dengan ilmu duniawi sehingga mereka berani berfatwa dan mengajar umat, mereka itu tergolong firman Allah di dalam surat Ar-Rum ayat 7. Itu semua karena ambisi kenikmatan duniawi. Seandainya mereka bersedia hidup sederhana dan mengingat urusan akhiratnya, mau menasihati diri dan umat, tentu mereka akan berpegang kepada wahyui Ilahi yuang diturunkan kepada Rasul-Nya” [Tafsir Ibnu Rajab Al-Hanbali 1/420]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata : “Pikiran mereka hanya terpusat kepada urusan dunia sehingga lupa urusan akhiratnya. Mereka tidak berharap masuk surga dan tidak takut neraka. Inilah tanda kehancuran mereka, bahkan dengan otaknya mereka bingung dan gila. Usaha mereka memang menakjubkan seperti membuat atom, listrik, angkutan darat, laut dan udara. Sungguh menakjubkan pikiran mereka, seolah-olah tidak ada manusia yang mampu menandinginya, sehingga orang lain menurut pandangan mereka adalah hina.
Akan tetapi ingatlah ! Mereka itu orang yang paling bodoh dalam urusan akhirat dan tidak tahu bahwa kepandaiannya akan merusak dirinya. Yang tahu kehancuran mereka adalah insan yang beriman dan berilmu. Mereka itu bingung karena menyesatkan dirinya sendiri. Itulah hukuman Allah bagi orang yang melalaikan urusan akhiratnya, akan dilalaikan oleh Allah Azza wa Jalla dan tergolong orang fasik. Andaikan mereka mau berpikir bahwa semua itu adalah pemberian Allah Azza wa Jalla dan kenikmatan itu disertai dengan iman, tentu hidup mereka bahagia. Akan tetapi lantaran dasarnya yang salah, mengingkari karunia Allah, tidaklah kemajuan urusan dunia mereka melainkan untuk merusak dirinya sendiri” [Taisir Karimir Rahman 4/75]
Selaku orang tua yang mendapat hidayah dari Allah Jalla Jalaluhu tentu akan dapat mengambil faedah dari ayat diatas beserta keterangannya untuk menentukan sikap, ke mana anak disekolahkan? Dan agar menyadari bahwa kebahagiaan hidup bukanlah sebagaiman yang dibayangkan oleh orang secara umum dan bukan yang diimpikan oleh orang kafir yang tidak mau mengenal melainkan ilmu urusan dunia belaka
PENJABARAN MAKNA AYAT
Surat Ar-Rum ayat 7, ini mendapat perhatian serius oleh ulama Sunnah. Karena itu, marilah kita menelaah fatwa mereka, agar kita dapat mengambil faedah untuk meluruskan tujuan hidup dan selamat dari siksa-Nya.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Mereka itu hanya pandai mencari rezeki, seperti kapan bercocok tanam, kapan mengetam dan cara menimbunnya, dan pandai membangun gedung yang mewah. Akan tetapi, mereka itu bodoh dalam urusan akhiratnya” [Tafsir Ath-Thabari 21/23]
Hasan bin Ali rahimahullah berkata : “Karena kepandaian dalam urusan dunia, dia mampu menimbang dirham di atas kukunya dan tahu berat timbangannya, akan tetapi dia tidak pandai mengerjakan shalat” [Ad-Durrul Mantsur 6/483]
Mujahid rahimahullah berkata : “Orang kafir itu gembira karena perkembangan urusan duniawinya, akan tetapi mereka ingkar siksa kubur” [Tafsir Al-Qurthubi 15/235]
Qatadah rahimahullah berkata : “Mereka hanya pandai dalam urusan perdagangan dan produksi serta cara memasarkannya” [Ad-Durrul Mantsur 6/483]
Adh-Dhahak rahimahullah berkata : “Mereka hanya pandai membangun istana, membuat saluran sungai, dan ilmu bercocok tanam” [Tafsir Al-Qurthubi 14/7]
Ibnu Khalaweh rahimahullah berkata : “Mereka itu pandai mengatur strategi hidup, akan tetapi ilmu dien dan beramal shalih mereka lupakannya” [Tafsir Al-Qurthubi 14/7]
Ikrimah rahimahullah berkata : “Mereka itu pemahat dan pembuat pelita” [Tafsir Ath-Thabari 21/16]
Abul Abbas Al-Mubarrid rahimahullah berkata : “Kerajaan Persia itu pandai mengatur waktunya, pada saat angin kencang mereka beristirahat kerja, pada saat mendung tiba mereka berburu dan mengail, bila hujan tiba mereka menimbun air untuk minum dan bermain-main, bila matahari terang mereka bekerja untuk memenuhi hajatnya” [Tafsir Al-Qurthubi 14/7]
Imam Syaukani rahimahullah berkata : “Mereka itu hanya mengetahui yang zhahir berupa kehidupan yang batil. Sedangkan nikmat yang kekal dan murni untuk hari akhiratnya tidaklah mereka mau mempelajarinya, bahkan mereka melupakannya” [Fathul Qadir, surat Ar-Rum : 7]
Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata : “Ada yang berpendapat : ‘Mereka itu dibisiki oleh setan untuk mengurusi urusan dunia saja” [Tafsir Al-Qurthubi 14/7]
Imam Ibnu Jarir rahimahullah berkata : “Ada yang berpendapat : ‘Mereka di dalam ayat ini adalah para dukun peramal yang memperoleh bisikan dari setan yang mencuri pendengaran dari langit untuk membohongi manusia” [Tafsir Ath-Thabari 21/23]
Sekian banyak keterangan yang disampaikan oleh ulama Sunnah ini menjelaskan konsep hidup orang kafir yang anti ilmu Dienul Islam dan beramal shalih, tidak percaya adanya hari pembalasan. Hidup mereka bagaikan hewan, waktunya hanya untuk mencari kesenangan dunia dan makan. Na’udzu billahi min dzalik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“….Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka” [Muhammad : 12]
Umat Islam yang dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla hendaknya menjauhi sifat orang kafir, dan tidak mengukur kebahagiaan semata-mata karena urusan dunia. Akan tetapi, orang yang berbahagia ialah orang yang mendahulukan dirinya dan keluarganya mempelajari ilmu iman dan taqwa sebagaimana dijelaskan di dalam surat Al-Ashr, bahwa manusia yang beruntung ialah orang yang beriman, beramal shalih, saling berwasiat kepada kebenaran dan kesabaran.
Musibah yang paling besar di dunia ini, sebagaimana yang kita saksikan, bukanlah karena dilanda kemiskinan harta, akan tetapi karena miskin ilmu Sunnah. Betapa banyak orang kaya tanpa ilmu dien, kekayaannya merusak dirinya, anak dan keluarganya, bahkan merusak ekonomi masyarakat awam serta membendung jalan yang haq. Inikah kebahagian hidup? Memang sedikit orang yang menyadari atas kerugian dirinya dan keluarga bila mereka dilanda kemiskinan aqidah dan ibadah, akan tetapi mereka merasa rugi bila dilanda krisis ekonomi dan kesakitan dibadannya.
Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :”Ulama berkata : ‘Termasuk bencana besar, bila kamu melihat seseorang itu cerdas, tanggap, dan teliti ketika dilanda musibah urusan duniawinya, akan tetapi tidak merasa rugi bila kena musibah agamanya”. [Tafsir Al-Qurthubi 14/8]
ILMU DAN MACAMNYA
Perlu kita bahas ilmu ini karena erat hubungannya dengan pendidikan anak
Al-Allamah Ar-Raghib Al-Ashfahani rahimahullah berkata : “Ilmu ialah mengetahui hakikat sesuatu, hal ini ada dua macam : (1). Mengetahui wujudnya sesuatu. (2). Menghukumi sesuatu itu ada atau tidak ada. Sedangkan dalil yang pertama seperti yang tercantum di dalam surat Al-Anfal ayat 60 dan dalil yang kedua tercantum di dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10” [Mufradat Al-Fadhil Qur’an : 580]
Al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata :”Ilmu menurut bahasa adalah lawan dari jahil, yaitu mengetahui sesuatu dengan pasti. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama ialah : Ma’rifat (mengenal sesuatu). Ada lagi yang berpendapat bahwa ilmu itu lebih jelas daripada sekedar dikenal. Adapun yang kami maksudkan di sini ialah ilmu syar’i yang Allah Azza wa Jalla turunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi keterangan dan petunjuk, dan ilmu wahyu inilah ilmu yang terpuji sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah baik, maka dimudahkan memahami Dienul Islam” [HR Bukhari : 29] [Kitabul Ilmi oleh Ibnu Utsaimin hal. 13]
Adapun macam ilmu sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Allamah Ar-Raghib Al-Ashfahani rahimahullah ada dua ilmu nazhari (teori) dan amali (praktek). Maka ilmu nazhari bila sudah diketahui, itu sudah sempurna, seperti ilmu tentang wujudnya alam. Sedangkan ilmu amali, tidaklah diketahui dengan sempurna kecuali bila telah diamalkan, seperti amal ibadah. Adapun pembagian yang lain : ilmu ada yang aqli (bersumber dari akal, yang diperoleh dengan percobaan yang berulang-ulang) dan ada yang sam’i (bersumber dari wahyu Ilahi yang cepat diperoleh dengan pasti tanpa ada percobaan dan keraguan). [Lihat Mufradat Al-Fadhil Qur’an : 580]
Syaikh Abdurrahman bin Sa’di rahimahullah berkata : “Ilmu dibagi menjadi dua :
1). Ilmu yang bermanfaat, yang dapat menjernihkan jiwa, mendidik akhlak yang mulia, dan memperbaiki aqidah, sehingga dapat menghasilkan amal yang shalih dan membuahkan kebaikan yang banyak. Ilmu ini adalah ilmu syari’at Islam dan penunjangnya, seperti bahasa Arab.
2). Ilmu yang tidak mendidik akhlak, tidak memperbaiki akal, dan tidak memperbaiki aqidah. Ilmu ini dipelajari hanya untuk mencari faedah duniawi belaka, itulah ilmu yang dihasilkan oleh manusia dengan beraneka ragam bentuknya,. Jika ilmu ini didasari dengan iman dan landasan Dienul Islam maka menjadilah ilmu duniawiyyah diniyyah. Akan tetapi, bila tidak digunakan untuk membela agama Islam, ilmu itu hanya ilmu dunia belaka, tidak mulia, bahkan berakhir dengan kehinaan, dan boleh jadi akan merusak dirinya sendiri, seperti ilmu membuat senjata dan lainnya, dan boleh jadi mereka sombong dan menghina orang lain termasuk menghina ilmu wahyu yang diturunkan kepada para utusan Allah Azza wa Jalla, sebagaimana yang dijelaskan di dalam surat Ghafir ayat 83”. [Al-Mu’in Ala Tahshili Adabil Ilmi wa Akhlaqi Muta’allimin oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di : 37,38]
Dari keterangan diatas, dapat kita simpulkan bahwa ilmu dibagi menjadi beberapa bagian. Ditinjau dari segi hakikat dan hukumnya ada dua : (1). Mengetahui hakekat benda, (2). Mengetahui hukum adanya sesuatu dan tidak adanya. Jika ditinjau dari sumbernya ada dua pula : (1). Aqli, (2). Sam’i. Dan jika ditinjau dari faedahnya ada tiga : (1). Ilmu yang pasti berfaedah ialah ilmu syari’at Islam, (2). Ilmu duniawi yang dilandasi syari’at Islam dan digunakan untuk khidmah Islam maka bermanfaat pula, dan (3). Ilmu duniawi yang tidak dilandasi iman dan tidak dipergunakan untuk khidmah Islam maka ilmu ini adakan merusak dirinya. Mudah-mudahan keterangan ini menambah wawasan wali murid, di mana hendaknya mereka menyekolahkan anaknya.
HUKUM MENUNTUT ILMU
Setelah kita memahami makna ilmu dan berbagai macam pembagiannya, perlu pula kita mengetahui hukum menuntutnya. Mempelajari hukum sesuatu sangatlah penting, karena berakibat baik atau buruk bagi setiap mukallaf yang melakukan perbuatan atau meninggalkannya. Menurut kami –Wallahu a’lam- setelah menelaah beberapa kitab, maka dapat kami simpulkan bahwa hukum mempelajari ilmu sebagai berikut.
Menuntut Ilmu Syari’at Islam
1). Menuntut ilmu syar’i yang berkenaan dengan kewajiban menjalankan ibadah bagi setiap mukallaf –seperti tahuid- dan yang berhubungan dengan ibadah sehari-hari –semisal wudhu, shalat, dan lainnya-, maka hukumnya fardhu ‘ain, karena syarat diterimanya ibadah harus ikhlas dan sesuai dengan Sunnah, tentunya cara memperolehnya disesuaikan dengan kemampuannya sebagaimana keterangan surat Al-Baqarah : 286
Menuntut ilmu syar’i ini pun tidak semuanya harus dipelajari segera dalam waktu yang sama, karena ada amal ibadah yang diwajibkan untuk orang yang mampu saja, seperti mengeluarkan zakat, haji, dan lainnya, maka saat akan menjalankan ibadah tersebut hendaknya mempelajari ilmunya. Sebagaimana keterangan Ibnu Utsaimin rahimahullah dan lainnya.
2). Menuntut ilmu syar’i yang hukumnya fardhu kifayah ; Maksudnya bukan setiap orang muslim harus mengilmuinya, akan tetapi diwajibkan bagi ahlinya seperti membahas ilmu ushul dan furu’nya dan juga yang berkenaan dengan ijtihadiyyah.
Karena pentingnya kewajiban menuntut ilmu dien, maka sampai dalam kondisi perang pun hendaknya ada yang tafaqquh fiddin.
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” [At-Taubah : 122]
Menuntut Ilmu Duniawi
1). Hukumnya tidaklah wajib ‘ain untuk setiap kaum muslimin, karena tidak ada dalil yang mewajibkannya, dan karena istilah ilmu di dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah apabila muthlaq maka yang dimaksudkan adalah ilmu syari’at Islam, bukan ilmu duniawi.
2). Kadang kala wajib kifayah pada saat tertentu, seperti ketika akan memasuki medan pertempuran dan lainnya.
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Dapat kami simpulkan bahwa ilmu syar’i adalah ilmu yang terpuji, sungguh mulia bagi yang menuntutnya. Akan tetapi, saya tidak mengingkari ilmu lain yang berfaedah, namun ilmu selain syar’i ini berfaedah apabila memiliki dua hal : (1). Jika membantu taat kepada Allah Azza wa Jalla, dan (2). Bila menolong agama Allah dan berfaedah untuk kaum muslimin. Bahkan kadang kala ilmu ini wajib dipelajari apabila masuk di dalam firman-Nya.
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang..” [Al-Anfal : 60] [Kiatbul Ilmi oleh Ibnu Utsaimin hal. 13-14]
3). Jika ilmu itu menuju kepada kejahatan maka haram menuntutnya.
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Adapun ilmu selain syar’i boleh jadi sebagai wasilah menuju kepada kebaikan atau jalan menuju kepada kejahatan, maka hukumnya sesuai dengan jalan yang menuju kepadanya” [Kitabul Ilmi oleh Ibnu Utsaimin hal. 14]
TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN ANAK
Ketahuilah bahwa Allah Azza wa Jalla menjadikan manusia pada umumnya lahir karena pernikahan laki-laki dan perempuan, dan anak yang lahir dalam keadaan fithrah, bersih dari dosa. Anak itu ditakdirkan oleh Allah Azza wa Jalla menjadi shalih atau maksiat karena pendidikan.
Ketahuilah bahwa sebelum anak bergaul dengan orang lain, terlebih dahulu bergaul dengan orang tuanya, karena itu Allah Azza wa Jalla mengamanatkan pendidikan anak ini kepada kedua orang tuanya.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalan dirimu dan keluargamu dari api neraka…” [At-Tahrim : 66]
Dan juga firman-Nya.
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” [Asy-Syu’ara : 214]
Disebutkan di dalam riwayat yang shahih bahwa tatkala turun ayat ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil sanak kerabat dan keluarganya, bahkan beliau naik ke bukit Shafa memanggil khalayak ramai agar masing-masing menyelamatkan dirinya dari api neraka.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Tidaklah seorang anak lahir melainkan dalam keadaan fithrah, maka kedua orang tualah yang menjadikannya, menasranikannya, dan yang memajusikannya, sebagaimana binatang melahirkan anak yang selamat dari cacat, apakah kamu menganggap hidung, telinga, dan anggota binatang terpotong” [HR Muslim : 4803]
Dalil diatas menunjukkan bahwa yang bertanggung jawab dan yang paling utama atas pendidikan anak adalah orang tua, terutama pendidikan aqidah yang menyelamatkan manusia dari api neraka. Dan yang penting lagi, dalil diatas tidak menyinggung sedikitpun bahwa ilmu dunia lebih penting daripada ilmu syariat Islam. Dalil ini hendaknya menjadi pegangan orang tua pada saat menyekolahkan anaknya ketika dirinya berhalangan mendidiknya.
Karena pentingnya pendidikan anak ini, sampai umur dewasa pun orang tua hendaknya tetap memperhatikan pendidikan anaknya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengetuk pintu rumah sahabat Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan putrinya Fathimah Radhiyallahu ‘anha sambil menanyakan sudahkah mereka berdua menunaikan shalat? [HR Bukhari 1059 bersumber dari sahabat Ali Radhiyallahu ‘anhu]
Demikian juga para pengajar hendaknya memahami ajaran Islam yang benar sehingga tidak mengajarkan kepada anak didiknya ilmu duniawi yang merusak dien dan akhlak, karena semua tindakan akan dihisab pada hari kiamat.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Kalian semua adalah pemimpin dan masing-masing bertanggung jawab atas yang dipimpin” [HR Bukhari 844]
KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU DIENUL ISLAM
Menuntut ilmu syar’i tidaklah sama dengan menuntut ilmu duniawi, karena ilmu syar’i bersumber dari wahyu Ilahi, pasti benar dan bermanfaat, baik di dunia dan akhirat kelak. Ilmu Islam bagaikan pelita yang menerangi ahlinya untuk membedakan yang haq dan yang batil, yang sunnah dan yang bid’ah dan pengantar menuju ke surga. Berbeda dengan ilmu hasil pikir manusia, belum tentu membawa kebahagiaan hidup.
Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan keutamaan menuntut ilmu dienul Islam sebagai berikut.
1). Ilmu dien adalah warisan para nabi. Mereka tidaklah mewariskan kepada umat melainkan mewariskan ilmu wahyu Allah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud : 3157
2) Ilmu dien itu kekal, tidak musnah, akan mengikuti ahlinya sampai meninggal dunia, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim : 3084
3). Ilmu dien itu tidak sulit menjaganya, karena tempatnya di hati, tidak membutuhkan peti atau kunci, bahkan ilmu itu yang menjaga dirinya, berbeda dengan harta benda, pemiliknya harus menjaganya.
4). Ahli ilmu dien memperoleh syuhada di atas yang haq, lihat surat Ali-Imran ; 18
5). Ahli ilmu dien termasuk waliyul amri yang wajib ditaati, lihat surat An-Nisaa : 59
6). Ahli ilmu dien penegak kebenaran sampai hari kiamat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Bersabda.
“Dan senantiasa umat ini penegak hukum Allah, tidaklah membahayakan kepada mereka orang yang menyelisihinya sampai datang keputusan Allah pada hari kiamat” [HR Bukhari : 69 bersumber dari sahabat Muawiyah Radhiyallahu ‘anhu]
7). Ahli ilmu dien diangkat derajatnya oleh Allah Azza wa Jalla. Lihat surat Al-Mujadilah : 11 [Kitabul Ilmu oleh Ibnu Utsaimin hal. 18-22]
Keutamaan menuntut ilmu syar’i sengaja kami bahas, agar orang tua tidak ragu lagi menyekolahkan anaknya kepada pesantren Salafi yang dikelola sedemikian rupa kurikulumnya dan diseleksi pengajarnya, dengan biaya yang bisa dijangkau, insya Allah akan mengantarkan anak menjadi ahli ibadah kepada Allah, birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua), dan menjadi da’i pembela kebenaran –bi-idznillah-, yang kelak orang tua akan memetik pahalanya walaupun telah meninggal dunia.
BAHAYA PENDIDIKAN SEKULER
Yang dimaksud pendidikan sekuler ialah pendidikan yang tidak memperhatikan ilmu dienul Islam, atau tidak berasaskan Islam.
Adapun bahayanya banyak sekali, bahaya pengajarnya, materinya, dan pergaulannya.
Bahaya Pengajar
Pada umumnya pengajarnya tidak mengenal aqidah yang benar, atau bodoh terhadap ajaran Islam, dan boleh jadi mereka orang kafir atau musyrik atau orang yang memusuhi Islam, itu semua karena latar belakang pendidikan mereka sebelumnya.
Perhatikan dosen yang mengajar di perguruan tinggi agama Islam dan lainnya. Tentu hal ini akan berbahaya bila penuntut ilmu tidak memiliki aqidah dan syari’at Islam yang benar. Penuntut ilmu (mahasiswa) yang memiliki pengetahuan yang haq pun segan menegur kesalahan pengajarnya karena khawatir tidak lulus. Adapun siswa uang kuat imannya, tentu tidaklah betah bergaul dengan mereka karena Allah Azza wa Jalla menanamkan iman di hati mereka. Lihat surat Al-Hujurat : 7
Bahaya Materinya
Boleh jadi materi yang diajarkan termasuk perkara yang dilarang menurut ajaran Islam karena berkenaan dengan aqidah dan akhlak, atau membahayakan jasmani dan rohaninya. Maka siswa yang tidak mengenal ajaran Islam yang kaffah tentu sulit untuk menghukumi materi itu boleh dipelajari atau tidak.
Bahaya Pergaulan
Biasanya, pendidikan umum tidak memperhatikan pergaulan siswa dan siswinya, mereka bercampur menjadi satu tanpa ada hijab (pembatas,-red) yang menghalanginya, bahkan pengajarnya campur laki-laki dan wanita. Padahal melihat wanita yang bukan mahramnya hukumnya haram (lihat surat An-Nur : 30-31), apalagi bergaul bebas bertatap muka, sentuh-menyentuh, berkhalwat, dan bepergian tanpa mahram. Tentu dosanya lebih besar daripada manfaat ilmu yang diperolehnya. Perhatikan sekolah kedokteran dan perkuliahan di jurusan lainnya, zina mata, telinga, mulut, tangan, dan kaki, setiap hari menjemputnya. Siapakah yang bertanggung jawab bila musibah telah menimpa? Siapakah yang bertanggung jawab di akhiratnya?
Adapun bahaya lain, mereka akan meninggalkan menuntut ilmu dienul Islam dan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla karena mereka sibuk dengan ilmu duniawinya. Bahkan, boleh jadi akan memerangi Islam dan ulamanya.
SYUBHAT DAN BANTAHAN
Diantara syubhat (keragu-raguan, red) yang tersebar di kalangan masyarakat, mereka menyekolahkan anak ke sekolah umum dan melalaikan pendidikan aqidah shahihah sebagai berikut.
1). Mengikuti Orang-Orang Pada Umumnya.
Jiwa orang awam seperti terkena virus, kaidah mereka “yang ditiru banyak orang itulah yang baik”. Jika anak tidak masuk sekolah umum maka tidaklah dinamakan bersekolah, itulah aqidah mereka. Oleh karena itu, mereka berebut supaya anaknya diterima di sekolah negeri atau sekolah swasta yang berstatus disamakan –minimlahnya yang diakui-. Padahal prinsip “umumnya” tidak menjamin baik, dan itulah kenyataannya.
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah …” [Al-An’am : 116]
2). Khawatir Tidak Dapat Pekerjaan
Seharusnya orang Islam khawatir apabila dia dan anaknya tidak bisa menuntut ilmu dienul Islam dan tidak memiliki aqidah yang shahihah karena nikmat ini tidak semua orang meraihnya, berbeda dengan kenikmatan berupa rezeki, semua hamba-Nya –yang beriman ataupun kafir- dijamin pasti menerimanya (lihat surat Hud : 6), apalagi mereka mau menuntut ilmu dien dan bertaqwa, niscaya Allah Azza wa Jalla membuka rezekinya dari langit dan bumi (lihat surat Al-A’raf : 96) dan niscaya Allah mengangkat derajatnya (lihat surat Al-Mujadilah : 11).
3). Orang Islam Harus Kaya
Prinsip “orang Islam harus kaya” bukanlah tujuan hidup orang yang beriman, akan tetapi prinsipnya orang kafir. Tujuan hidup yang benar adalah beribadah kepada Allah Azza wa Jalla (lihat surat Adz-Dzariyat : 56). Agama Islam tidak melarang orang menjadi kaya, akan tetapi meninggalkan pendidikan Islam untuk mencari kekayaan adalah merusak aqidah dan moral (lihat surat At-Takatsur : 1) dan Al-Humazah : 1-2), bahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak khawatir apabila umatnya miskin, akan tetapi khawatir bila umatnya kaya
Dari Abu Ubaidah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Maka demi Allah, tidaklah aku khawatir bila kamu itu fakir, akan tetapi aku khawatir bila kamu dilapangkan urusan duniawimu sebagaimana orang sebelummu, lalu kamu berlomba-lomba mengejarnya seperti mereka, lalu kamu hancur seperti mereka” [HR Bukhari 2924, Muslim 5261]
4). Kemunduran Kaum Muslimin Karena Faktor Ekonomi
Kami tidak mengigkari bahwa ekonomi penunjang kekuatan kaum muslimin sebagaimana kekuatan kaum muslimin sebagaimana disebutkan di dalam surat Al-Anfal : 60. Akan tetapi, semata-mata mengejar urusan dunia tanpa dilandasi aqidah yang benar, tidaklah memakmurkan Islam, justru sebaliknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kehancuran kaum muslimin karena umatnya ambisi dunia, bukan karena mengejar ilmu Sunnah.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Apabila kamu senang jual beli dengan sistem ‘inah (membeli secara kredit lalu dijual tunai kepada penjual dengan harga lebih murah) dan kamu sibuk dengan memegang ekor sapimu dan kamu lebih menyukai kebunmu, dan kamu tinggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan pada dirimu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mencabut kehinaan ini sehingga kamu berpegang kepada agamamu” [HR Abu Dawud : 303, lihat Ash-Shahihah : 11]
Hadits ini menjawab syubhatnya hizbiyyin dan harakiyyin yang punya prinsip seperti di atas, mereka ingin mengajak umat untuk meraih izzah, tetapi dengan cara menghinakan umat
Akhirnya semoga kita semua senantiasa mendapat perlindungan dan hidayah-Nya.
Oleh
Al-Ustadz Aunur Rofiq Ghufron
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi I, Tahun VI/Sya'ban 1427/2006. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!
☛ Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)
☛ Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)
☛ Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,
1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)
5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)
6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)
7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)
8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)
9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)
☛ Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,
1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)
3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).
Selengkapnya klik DI SINI
Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar