Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Rabu, 16 Mei 2012

SEJARAH ISTILAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH: MELURUSKAN PEMAHAMAN HABIB RIZIEQ SHIHAB (2)


Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.
Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghurabaa’ (orang asing).1
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyuun, karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka –di sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf.2
Penamaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah ada pada generasi pertama umat Islam pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in.3
Allah Ta’ala berfirman:
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
“Pada hari itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang berwajah hitam muram (kepada mereka dikatakan): ‘Mengapa kamu kafir setelah beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.’” (QS. Ali Imran: 106).
وقوله تعالى: { يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ } يعني: يوم القيامة، حين تبيض وجوه أهل السنة والجماعة، وتسودّ وجوه أهل البِدْعَة والفرقة، قاله ابن عباس، رضي الله عنهما4
Ibnu Abbas berkata, “Yakni pada hari kiamat, ketika menjadi putih wajah-wajah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan menjadi hitam wajah-wajah ahlul bid’ah dan perpecahan.”5  
Kemudian penggunaan istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama, di antaranya:
  1. Ayyub as-Sikhtiyani (wafat th. 131 H), ia berkata, “Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku.”6
  2. Sufyan ats-Tsaury (wafat th. 161 H) berkata, “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-ghurabaa’. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.7
  3. Fudhail bin Iyadh (wafat th. 187 H) berkata, “… Berkata Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan, dan perbuatan.”8
  4. Imam Ahmad bin Hanbal (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, As-Sunnah, “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi, ash-haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum, dari semenjak zaman para Sahabat hingga pada masa sekarang ini…”9
  5. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H), “… Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah pada hari Kiamat, maka itu merupakan agama yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwaAhlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa penghuni Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.”10
Faedah: Kami sengaja mencantumkan tahun hidup dan wafat ulama. Dan ini adalah kebiasaan Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas (semoga Allah menjaganya) dalam tulisannya. Dengan mencantumkan tahun hidup dan wafat ulama akan diketahui orang yang berbohong dalam sejarah. Akan diketahui juga orang-orang yang dijangkiti kebodohan dalam masalah sejarah -khususnya sejarah istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah-.
Dengan penjelasan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal umat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang Aqidah Ahlus Sunnah agar umat faham tentang aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlul Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya.
Dan ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah pertama kali dipakai oleh golongan Asy’ariyyah, padahal Asy’ariyyah muncul pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah.11
Pada hakikatnya, Asy’ariyyah tidak dapat dinisbatkan kepada Ahlus Sunnah, karena beberapa perbedaan prinsip yang mendasar, di antaranya:
  1. Golongan Asy’ariyyah menta’wil sifat-sifat Allah Ta’ala, sedangkan Ahlus Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti sifat istiwa, wajah, tangan, al-Qur’an Kalamullah, dan lainnya.
  2. Golongan Asy’ariyyah menyibukkan diri mereka dengan ilmu kalam, sedangkan ulama Ahlus Sunnah justru mencela ilmu kalam, sebagaimana penjelasan Imam asy-Syafi’i ketika mencela ilmu kalam.
  3. Golongan Asy’ariyyah menolak kabar-kabar yang shahih tentang sifat-sifat Allah, mereka menolaknya dengan akal dan qiyas (analogi) mereka.12
Sekilas tentang Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.
Asy’ariyyah.
Mereka adalah pengikut Abul Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari (wafat th. 324 H). Sebelumnya beliau menganut pemahaman Mu’tazilah selama 40 tahun, kemudian berpindah kepada paham Kullabiyyah yang menetapkan sebagian sifat-sifat Allah dan mentakwil sebagian yang lain. Setelah itu menjelang akhir hayatnya beliau kembali kepada pemahaman Salaf dan menulis kitab al-Ibanah dan Maqalaatul Islamiyyin. Dikedua kitab tersebut beliau menyebutkan bahwa beliau mengikuti pendapat Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal, dan pendapatnya mengikuti semua pendapat Imam Ahmad. Namun sayang para pengikutnya mengambil pemahaman beliau ketika menganut paham Kullabiyah dan menisbatkan pemahaman tersebut kepada beliau, sehingga mereka menamakan diri mereka dengan al-Asyaa’irah atau al-Asy’ariyyah. Sedangkan beliau sendiri berlepas diri dari mereka.13
Maturidiyyah.
Mereka dinisbatkan kepada Abu Manshur al-Maturidi as-Samarkand (wafat th. 332 H), imam mereka. Di antara pendapat bid’ah mereka adalah:
  1. Mereka menafikan sifat fi’liyyah bagi Allah. Sedangkan Ahlus Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
  2. Menafikan keyakinan bahwa kaum mukminin melihat Allah pada hari kiamat. Padahal keyakinan yang benar (keyakinan ahlus sunnah) adalah orang mukmin akan melihat Allah pada hari kiamat. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb (Allah) kalian, sebagaimana kalian melihat bulan pada malam bulan purnama, kalian tidak terhalang (tidak berdesak-desakan) ketika melihat-Nya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).14
  3. Mengingkari sebagian besar sifat-sifat Allah Ta’ala. Dan lain-lain.15
BANTAHAN KEPADA HABIB RIZIEQ SHIHAB.
Habib Rizieq berkata:
  1. Apalagi umat Islam dari kalangan Asy’ari dan Maturidi yang sudah 1200 tahun lebih secara representatif mewakili Ahlussunnah wal Jama’ah.
  2. 1000 tahun lebih yang disebut Ahlussunnah itu adalah Asy’ari dan Maturidi.

Bantahan.
Kelirulah Habib Rizieq yang mengatakan Asy’ari (Asy’ariyyah) dan Maturidi mewakili Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena yang mewakili Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah para Sahabat Rasulullah, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, para ulama dan orang-orang yang mengikuti mereka.
Asy’ariyyah dan Maturidi tidak dapat dinisbatkan kepada Ahlus Sunnah karena terdapat perbedaan antara Asy’ariyyah dan Maturidi dengan Ahlus Sunnah.
Wal hasil Asy’ari dan Maturidi bukan wakil Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena Asy-‘ari dan Maturidi berbeda/tidak sama dengan Ahlus Sunnah. Bagaimana mungkin suatu yang berbeda dikatakan sama.
Apalagi istilah Ahlus Sunnah wal jama’ah telah dikenal jauh sebelum timbul pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Pahamilah wahai Saudaraku!
Istilah Ahlus Sunnah telah dikenal pada masa Ibnu Abbas yang lahir tiga tahun sebelum hijrah dan meninggal dunia tahun 68 H. Jauh sebelum masa Abul Hasan al-Asy’ari (wafat 324 H) dan jauh sebelum masa Abu Manshur al-Maturidi (wafat 332 H).
(Bersambung, Insya Allah).
Disusun oleh Abu Aslam bin Syahmir bin Marbawi.
Footnote:
  1. Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, halaman 38.
  2. Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 35.
  3. Lihat buku “Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, halaman 19. Lihat juga buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, halaman 41.
  4. Lihat Maktabah Syamilah, Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Ma’idah ayat 106.
  5. Tafsiir Ibni Katsiir (II/92, cet. Daar Thayyibah) dan Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/79, no. 74). Lihat buku “Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 20. Lihat juga buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 42.
  6. Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 42.
  7. Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/71, no. 49 dan 50). Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 42.
  8. Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 42.
  9. Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 43.
  10. Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 43.
  11. Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 43-44.
  12. Lihat pembahasan tentang berbagai perbedaan pokok antara Ahlus Sunnah dengan Asy’ariyyah dalam kitab Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah wa Manhajil Asyaa’irah fii Tauhiidillahi Ta’aalaa oleh Khalid bin Abdil Lathif bin Muhammad Nur dalam 2 jilid, cet. I/Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyyah, th. 1416 H. Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 44.
  13. Al-Milal wan Nihal (hal. 94-103), Wasathiyyah Ahlus Sunnah bainal Firaq (hal. 297-299), dan Mu’jamul Bida’ (hal. 53). Lihat buku “Mulia dengan Manhaj Salaf” karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, halaman 519-520.
  14. HR. Al-Bukhari (no. 554) dan Muslim (no. 633 (211)). Lihat buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” halaman 218.
  15. Al-Maaturidiyyah Diraasatan wa Taqwiiman, karya Awadullah bin Dakhil al-Luhaibi al-Harbi, dan Mu’jamul Bida’ (hal 474). Lihat buku “Mulia dengan Manhaj Salaf” karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, halaman 521.
  16. sumber referensi ;  http://abunamira.wordpress.com/2012/05/06/sejarah-istilah-ahlus-sunnah-wal-jamaah-meluruskan-pemahaman-habib-rizieq-shihab/

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif