Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Minggu, 07 September 2014

SALAFIYAH BUKAN HIZBIYAH

Oleh
Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah


Sebagian orang menyangka bahwa Salafiyah adalah kelompok hizbiyah seperti halnya Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Quthubiyah Sururiyah dan Jama’ah Tabligh, dan bahwasanya seorang salafi seperti halnya seorang ikhwani atau tablighi atau quthbi dari segi hukum dan pemahaman.

Mereka menyangka bahwasanya istilah Salafiyah adalah istilah yang baru muncul dalam kurun wajtu yang tidak lama. Ucapan ini sering muncul dari mulut para pentolan “jama’ah-jama’ah kontemporer” di media massa. Ada juga yang mengatakan bahwa pendiri dakwah Salafiyah adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –seakan-akan dakwah ini belum pernah dikenal sebelumnya- sebagaimana dikatakan oleh penulis kitab Mausu’ah Muyassaroh fil Adyan wal Madzahib Muashirah (hal, 273)!

Ada lagi yang meluncurkan syubhat bahwasanya Salafiyah tidak lain hanyalah suatu kurun waktu dan bukan suatu madzhab seperti Al-Buthi dalam kitabnya Salafiyah Laisat Madzhaban!

Yang sangat disayangkan, ternyata masih ada di antara para da’i yang mengaku beraqidah salaf yang sengaja menajuhi penisbahan kepada Salafiyah dalam dakwah mereka, seakan-akan nama Salafiyah adalah nama yang tabu atau karena nisbah tersebut membuat mereka tidak leluasa bergerak “di arena dakwah” mereka.

Padahal tidak ada yang lebih membanggakan seorang muslim dari menisbahkan diri kepada salaf. Lafazh Salafiyah atau Salafi tidaklah digunakan oleh para ulama Ahlus Sunnah kecuali dalam kebaikan. Lihatlah dalam kitab-kitab para ulama terutama dalam kitab-kitab biografi, mereka tidaklah menyebut Salaf atau Salafi melainkan sebagai pujian. Begitu sering para ulama menyebutkan biografi seseorang dan menyebutkan di antara manaqibnya adalah karena dia berjalan di atasn manhaj Salaf!

Maka di dalam pembahasan yang ringkas ini akan kami paparkan sikap yang seharusnya ditempuh oleh seorang muslim di dalam masalah ini dan sekaligus kami bawakan nukilan dari perkataan-perkataan para ulama dari berbagai generasi tentang nisbah kepada Salaf.

PENGERTIAN SALAFIYAH
Salafiyah adalah penisbatan kepada Salaf. Dan Salaf secara bahasa dari sin, lam dan fa yang menunjukkan makna yang sudah berlalu dan terdahulu ([Mu’jam Maqayis Lughah, Ibnu Faris, 3/95]

Fairuz Abadi berkata : “Salaf adalah orang-orang yang mendahuluimu dari nenek moyangmu dan kerabatmu” [Qamusul Muhith 3/153]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Fathimah Radhiyallahu ‘anha di saat beliau sakit keras menjelang wafat.

“Artinya : Bertaqwalah kepada Alloh dan bersabarlah, maka sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu adalah aku” [Muttafaq ‘Alaihi, Shahih Bukhari 5/2317 dan Shahih Muslim 4/1904]

Adapun secara istilah maka madzhab Salaf adalah jalan yang ditempuh oleh para sahabat dan orang-orang yang menempuh jalan mereka. Al-Qalsyani berkata : “Salafush Shalih adalah generasi pertama yang mendalam keilmuan mereka, yang mengikuti jalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang selalu menjaga sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Alloh pilih mereka sebagai sahabat NabiNya, dan Alloh tugaskan mereka untuk menegakkan agamaNya…” [Tahrirul Maqalah min Syarhi Risalah hal. 36]

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid berkata : ‘Jika disebut Salaf atau Salafiyun atau Salafiyah, maka dia adalah nisabah kepada Salafush Shalih yakni para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan, bukan orang-orang yang cenderung kepada hawa nafsu dari generasi sesudah sahabat dan menyempal dari jalan para sahabat degan nama atau symbol –mereka inilah yang disebut khalafi,nisbah kepada khalaf-. Adapun orang-orang yang teguh di atas manhaj kenabian maka mereka menisbahkan diri kepada Salafush Shalih sehingga mereka dsiebut Salaf dan Salafiyyun dan nisbah kepada mereka adalah Salafi” [Hukmul Intima hal. 90]

SALAFIYYUN ANTI HIZBIYAH
Hizbiyah secara bahasa nisbah kepada hizb yaitu kelompok atau kumpulan manusia. [Qamusul Mhith hal.94]

Jika hizb (kelompok) tersebut dijadikan sebagai standar kebenarn dan menjadi dasar bagi wala (loyalitas) dan bara’ (kebencian dan permusuhan) maka inilah hizbiyah yang dicela oleh Alloh dalam KitabNya.

“Artinya : Janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Alloh, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” [Ar-Rum : 31-32]

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : Mu’awiyah berkata kepadaku : ‘Apakah kamu berada di atas milah Ali? Maka aku berkata : “Tidak, dan aku juga tidak berada di atas millah Utsman. Aku berada di atas millah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Ibanah Kubra, Ibnu Baththah, 1/355]

Lihatlah bagaimana Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma membenci hizbiyah meskipun hizbiyah tersebut disandarkan kepada salah seorang Khulafaur Rasyidin. Demikianlah, Salafush Shalih sangat membenci hizbiyah kepada kelompok apa pun.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata ; “Tidak diperbolehkan bagi seorangpun untuk mengambil suatu perjanjian atas seseorang agar dia selalu menyetujui apa yang dia selalu menyetujui apa yang dia kehendaki, memberikan loyalitas kepada siapa saja yang disukai oleh yang dia bai’at, memusuhi siapa saja yang memusuhi orang yang dia bai’at. Bahkan orang yang berbaut seperti ini adalah seperti model Jengkhis Khan yang menjadikan siapa saja yang cocok dengan mereka adalah teman yang loyal, dan siapa saja yang menyelisihinya adalah musuh yang harus dibenci” [Majmu Fatawa 28/16]

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid berkata : “Sesungguhnya tangan Alloh diatas jama’ah, maka tidak ada pengelompokan dan hizbiyah dalam Islam. Maka aku meminta perlindungan Alloh kepadamu agar engkau tidak luluh sehingga menjadi rampasan kelompok-kelompok, madzhab-madzhab yang batil dan partai-partai yang ghuluw yang menjadikan wala dan bara di atas hizbiyah tersebut. Maka jadilah engkau seorang penuntut ilmu yang berjalan di atas jalan yang lurus, mengiuti atsar dan sunnah, menyeru kepada Alloh di atas bashirah, dan mengakui keutamaan orang-orang yang terdahul, dan bahwasanya hizbiyah yang memiliki jalur dan lingkup yang baru yang tidak pernah dikenal oleh Salaf, maka semua itu adalah termasu penghalang yang terbesar dari mendapatkan ilmu, dan dia memecah belah jama’ah” [Hilyah Thalibil Ilmi hal. 61-62]

INTISAB KEPADA SALAF BUKAN HIZBIYAH
Intisab kepada Salaf bukan hizbiyah karena Salafiyn tidak pernah menjadikan wala’ dan bara kecuali kepad Islam, tidak kepada simbol-simbol tertentu, tetapi semata-mata kepada kitab dan Sunnah. Hal ini sangat jauh berbeda dengan kelompok-kelompok dan partai-partai yang memiliki nama-nama, julukan-julukan, metode-metode, dan simbol-simbol yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya, memberikan loyalitas kepada setiap orang yang loyal kepada kelompok mereka dan menisbahkan diri kepada kelompok mereka, di sisi lain mereka menjauhi bahkan memusuhi setiap orang-orang yang menyeisihi kelompok mereka dan tidak bernaung di bawah panji-panji mereka!

Demikian juga nisbah kepada Salaf tidak menjadikan ta’ashub (fanatik) kepada seseorang atau kelompok, karena Salafiyun tidak menjadikan suri tauladan dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun kelompok-kelompok hizbiyah maka mereka begitu fanatik dengan pendiri kelompoknya atau tokoh-tokoh kelompoknya. Bahkan mereka teramat sangat di dalam memusuhi setiap orang yang mengkritik atau menyebutkan kesalahan pendiri mereka, pemimpin mereka, atau tokoh-tokoh mereka. Bahkan mereka menuduh setiap orang yang mengoreksi kesalahan kelompok mereka sebagai pemecah-belah dan mengkafirkan umat!.

ITTIBA KEPADA SALAF ADALAH SYI’AR AHLUS SUNNAH
Abu Nu’aim Al-Ashbahani berkata : “Di antara syi’ar Ahlus Sunnah adalah ittiba’ mereka kepada Salafush Shalih dan meninggalkan segala sesuatu yang bid’ah dan diada-adakan” [Al-Hujjah fi Bayanil Muhajjah 1/364]

Para ulama Ahlus Sunnah selalu menjadikan ittiba kepada Salaf sebagai suatu keutamaan ketika mereka menyebut biografi seseorang.

Abu Nu’aim Al-Ashbahani menyebutkan Abu Utsman Al-Warraq dalam Hilyatul Auliya (10/313) dan mengatakan : “Jalan yang dia tempuh adalah jalan Salaf”.

Al-Hafizh Adz-Dzahabi di dalam Tadzkiratul Huffazh (3/977) ketika menyebut biografi Abu Ahmad Al-Hakim Al-Hafizh, beliau mengatakan tentangnya : “Adalah Abu Ahmad termasuk orang-orang shalih yang teguh di atas sunnah Salaf”.

Ketika menyebut biografi Al-Imam Abu Ismail Al-Harawi dalam Tadzkiratul Huffazh (4/1237) beliau mengatakan tentangnya : “beliau mengikuti sirah Salaf”.

Ketika menyebut biografi Al-Imam Abdul Wahhab Al-Anmathi dalam Tadzkiratul Huffazh (4/1283) beliau mengatakan tentangnya : “Beliau berada di atas jalan Salaf”.

Ketika menyebut biografi Al-Imam Ahmad bin Muhammad Al-Ashbahani dalam Tadzkiratul Huffazh (4/1284) beliau mengatakan tentangnya : “Beliau shahih aqidahnya dan berada di atas jalan Salaf”.

Ketika menyebut biografi Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani dalam Siyar A’lamin Nubala (13/215) beliau mengatakan tentangnya : “Beliau mengikuti manhaj Salaf dalam ittiba kepada Sunnah, pasrah kepadanya dan tidak berkubang dalam ilmu kalam”.

Abu Sa’d As-Sam’ani di dalam Tahbir fi Mu’jamil Kabir (3/977) ketika menyebut biografi Abu Ali Husain bin Ali Al-Lamisyi, beliau mengatakan tentangnya : “Beliau menempuh jalan Salafush Shalih”.

MENINGGALKAN INTISAB KEPADA SALAF ADALAH SYI’AR AHLI BID’AH
Merupakan hal yang dimaklumi bahwa kelompok-kelompok bid’ah sangat menjauhi intisab kepada Salaf. Sampai-sampai kelompok yang mengaku beraqidah Salaf pun juga menjauhi dan menghindari penisbahan kepada Salaf. Inilah syi’ar ahli bid’ah dari masa ke masa sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Syi’ah ahli bid’ah adalah tidak mau ittiba kepada Salaf” [Majmu Fatawa 4/100]

Kelompok-kelompok bid’ah ini mengetahui bahwasanya dengan meninggalkan intisab kepada Salaf maka mereka dengan leluasa menghukumi segala sesuatu dengan akal mereka, perasaan mereka dan eksperimen-eksperimen mereka!

Inilah realita yang menunjukkan keagungan taqdir Allah Subhanahu wa Ta’ala agar nampak jelas dakwah yang haq dari setiap kebatilan yang hendak menyerupainya, dan agar dakwah yang haq dan murni dari segala namam kotoran yang hendak mencampurinya.

WAJIB BERLEPAS DIRI DARI KELOMPOK-KELOMPOK SESAT
Penisbahan kepada Salaf merupakan keharusan pada saat ini, seiring dengan meunculnya berbagai macam pemikiran yang menyeleweng dan kelompok-kelompok yang sesat dan menyesatkan. Ahlul haq mengumumkan intisab mereka kepada Salaf sebagai bukti berlepas dirinya mereka dari setiap kelompok yang menyeleweng dari jalan yang lurus. Alloh telah berfirman kepada NabiNya dan orang yang beriman.

“Artinya : Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka ; “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Alloh) “ [Ali-Imran : 64]

“Artinya : Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih, dan berkata : “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” [Fushshilat : 33]

PERKATAAN PARA ULAMA TENTANG INTISAB KEPADA SALAF
[1]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan madzhab Salaf, menisbahkan diri kepadanya, dan membanggakannya, bahkan wajib diterima semua itu darinya dengan kesepakatan ulama. Karena sesungguhnya madzhab Salaf adalah haq, jika dia sesuai dengan Salaf secara lahir dan batin, maka dia seperti seorang mukmin yang di atas kebenaran secara lahir dan batin” [Majmu Fatawa 4/149]

[2]. Al-Hafizh Adz-Dzahabi sering menyebutkan nisbah kepada Salaf (As-Salafi) ketika menyebutkan biografi para ulama.

Ketika menyebutkan biografi Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawi dalam Siyar A’lamin Nubala (13/183) berkata : “Aku tidaklah mengetahui Ya’qub Al-Fasawi kecuali seorang Salafi”.

Ketika menyebut biografi Muhammad bin Muhammad Al-Bahrani beliau berkata : “Dia adalah seorang yang beragama baik dan seorang Salafi” [Mu’jam Syuyuh no. 843]

Ketika menyebutkan biografi Al-Imam Daruquthni beliau mengatakan ; “Dia tidak pernah masuk sama sekali dalam ilmu kalan dan jadal, bahkan dia adalah seorang Salafi” [Siyar 16/457]

Ketika menyebutkan biografi Abu Thahir As-Silafi beliau mengatakan : “As-Silafi diambil dari kata As-Salafi yaitui yang berjalan di atas manhaj Salaf”. [Siyar 2 1/6]

Ketika menyebutkan biografi Al-Hafizh Ibnu Shalah beliau mengatakan : “Dia adalah seorang Salafi, bagus aqidahnya …” [Tadzkiratul Huffazh 4/1431]

[3]. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata : “Kami –walhamdulillah- selalu ittiba dan tidak melakukan kebid’ahan. Kami mengikuti Kitab dan Sunnah dan Salafush Shalih di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah” [Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyah, hal. 220 oleh Syaikh Shalih bin Abdullah Al-Abud]

[4]. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berkata : “Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah madzhab kelima sebagaimana banyak dikatakan oleh orang-orang jahil dan para pemfitnah. Sesungguhnya dia adalah dakwah kepada aqidah Salafiyah dan memperbaharui yang hilang dari syi’ar-syi’ar islam dan Tauhid” [Majmu Fatawa Syaikh Bin Baz 3/1306]

Beliau juga berkata : “Kami berwasiat kepadamu agar masuk ke Universitas Islam Madinah karena dia adalah universitas Salafiyah yang mengajarkan kepada para mahasiswanya aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” [Majmu fatawa Syaikh Bin Baz 1/98]

[5]. Fatwa Lajnah Da’imah No. 1361 ada pertanyaan : Apakah yang dimaksud dengan Salafiyah ?”.
Jawab : “Salafiyah adalah nisbah kepada Salaf, dan Salaf adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para imam yang di atas petunjuk dari tiga generasi terdahulu yang dipersaksikan dengan kebaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya.

“Artinya : Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang datang sesudah mereka, kemudian yang datang sesudah mereka. Kemudian datang kaum yang persaksian seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya” [Muttafaq ‘Alaihi]

Dan Salafiyun adalah bentuk jama dari Salafi, nisbah kepada Salaf. Mereka adalah orang-orang yang berjalan di atas manhaj Salaf dalam ittibna’ kepada Kitab dan Sunnah, mendakwahkan dan mengamalkan keduanya”.

[6]. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata : “Ada orang yang mengaku berilmu mengingkari nisbah Salafiyah dengan menyangka bahwa penisbahan ini tidak ada landasannya sehingga dia mengatakan : “Tidak boleh seorang muslim mengatakan : Saya Salafi”. Seakan-akan dia berkata : “Tidak boleh seorang muslim mengatakan : Saya mengikuti Salafush Shalih dalam jalan mereka dalam aqidah, ibadah dan Suluk!”.

Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran seperti ini mengharuskan berlepas diri dari Islam yang shahih yang ditempuh oleh Salafush Shalih, yang pemuka mereka adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diisyaratkan oleh hadits yang mutawatir yang diriwayatkan dalam Shahihain dan yang lainnya bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang datang sesudah mereka, kemudian yang datang sesudah mereka”.

Tidak boleh seorang muslim berlepas diri dari intisab kepada Salafush Shalih…

Orang yang mengingkari penisbatan ini tidaklah engkau melihat bahwasanya dia menisbatkan dirinya kepada suatu madzhab, entah dalam aqidah atau fiqh?!

Maka dia bisa jadi seorang Asy’ari, atau Maturidi, atau termasuk Ahlil Hadits, atau Hanafi, atau Syafi’i, atau Maliki, atau Hanbali, dari nisbah-nisbah yang terhimpun dalam nama Ahlus Sunnah. Padahal setiap menisbahkan diri kepada madzhab imam empat berarti dia menisbahkan diri kepada person-person yang tidak ma’shum….

Adapun orang yang menisbahkan kepada Salafush Shalih maka dia telah menisbahkan diri kepada kema’shuman –secara umum-. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut sebagian tanda dari Firqatun Najiyah bahwasanya mereka berpegang teguh dengan jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Barangsiapa yang berpegang teguh dengannya maka dia telah berada di atas petunjuk dari Rabbnya dengan yakin … tidak diargukan lagi bahwa penamaan yang jelas dan gamblang adalah dengan mengatakan : ‘Saya seorang muslim yang mengikuti Kitab dan Sunnah dan manhaj Salafush Shalih ; yang dengan ringkas dia mengatakan : “Saya Salafi’ [Majalah Al-Ashalah Edisi 9 hal. 87]

[7]. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Keliru jika ada orang yang mengatakan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah ada tiga ; Salafiyyun, Asy-ariyun dan Maturidiyun ; ini adalah perkataan yang salah. Kami katakana : Bagaimana mereka semua dikatakan Ahlus Sunnah dalam keadaan mereka berbeda-beda!! Adakah sesudah kebenaran kecuali kesesatan?! Bagaimana mereka semua dikatakan Ahlus Sunnah dalam keadaan mereka saling membantah satu dengan yang lainnya. Ini tidak mungkin kecuali jika dimungkinkan dikumpulkan sesuatu yang kontrakdiksi maka baru pernyataan ini bisa dibenarkan. Kalau tidak, maka tidak syak lagi bahwa salah satu dari tiga kelompok ini adalah Ahlus Sunnah. Maka siapakah dia, apakah dia adalah Asy’ariyah ? Ataukah Maturidiyah ? Ataukah Salafiyah ? Kami katakan : Barangsiapa yang menempati Sunnah maka dialah Ahlus Sunnah, dan barangsiapa yang menyelisihi Sunnah maka dia bukanlah Ahlus Sunnah. Maka kami katakan : Salaf adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tidak berlaku sifat ini kepada selain mereka selamanya.

Dan suatu kata diperhatikan dari segi maknanya agar kita melihat bagaimana kita namakan orang yang menyelisihi Sunnah dengan Ahlus Sunnah, ini jelas tidak mungkin. Bagaimana mungkin kita katakan tiga kelompok yang berselisih bersatu dalam satu pemahaman, ini jelas tidak mungkin. Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah yang meyakini aqidah Salaf, sampai orang yang datang belakangan di hari kiamat jika dia berada di atas jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya maka dia adalah Salaf” [Syarah Aqidah Wasithiyah 1/53-54]

[8]. Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata ; “Bagaimana dikatakan bahwa bermadzhab dengan Salafiyah adalah bid’ah, sedangkan bid’ah adalah kesesatan ?! Dan bagaimana dikatakan bid’ah ittiba kepada Salaf sedangkan ittiba kepada Salaf adalah wajib berdasarkan Kitab dan Sunnah, serta haq dan petunjuk?! Alloh Subhnahahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh ridha kepada mereka” [At-Taubah : 100]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya 4/126, Tirmidzi dalam Jami’nya 5/44 dan Ibnu Majah dalam Sunannya 1/15 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah 26, 34]

Maka bermadzhab dengan madzhab Salaf adalah Sunnah dan bukannlah suatu kebid’ahan, yang bid’ah adalah bermadzhab denn selain madzhab mereka” [Al-Bayan hal. 156]
Ketika membantah perkataan Al-Buthi : “Sesungguhnya kata Salafiyah tidak dimaksudkan kecuali suatu kurun waktu”. Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata :

Kami katakan : Penafsiran bahwasanya Salafiyah hanyalah suatu kurun waktu dan bukan jama’ah adalah penafsiran yang gharib dan batil, apakah dikatakan bahwa kurun waktu adalah Salafiyah ? ini tidak pernah dikatakan oleh seorang pun dari menusia. Yang benar bahwasanya istilah Salafiyah ditunjukan pada jama’ah orang-orang yang beriman yang hidup di kurun pertama dari masa Islam yang mereka berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik yang mereka ini disifati oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya.

“Artinya : Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang datang sesudah mereka, kemudian yang datang sesudah mereka” [Muttafaq Alaihi]

Ini adalah sifat bagi suatu jama’ah dan bukan sifat bagi suatu kurun waktu. Ketika Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tentang perpecahan umat, beliau mengatakan sesudahnya sifat semua kelompok ini ‘semuanya di neraka kecuali satu’ dan beliau menyifati satu kelompok yang selamat ini adalah yang mengikuti manhaj Salaf dan berjalan diatasnya. Beliau bersabda : “Mereka adalah yang berada di atas jalan yang aku tempuh hari ini dan para sahabatku”. Hal ini menunjukkan bahwa di sana ada jama’ah Salafiyah yang terdahulu dan ada jama’ah Salafiyah belakangan yang mengikuti manhaj jama’ah Salafiyah yang terdahulu. Dan di lain pihak ada kelompok-kelompok yang menyelisihi jama’ah Salafiyah dan diancam dengan neraka” [Al-Bayan hal. 133]

Ketika dilontarkan suatu pertanyaan kepada beliau : “Apakah Salafiyah adalah suatu hizb (kelompok) dan apakah menisbahkan diri kepadnya adalah hal yang tercela ?” Maka beliau menjawab.

“Salafiyah adalah Firqatun Najiyah (kelompok yang selamat). Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bukan suatu hizb yang dinamakan sekarang sebagai kelompok-kelompok atau partai-partai. Sesungguhnya dia adalah suatu jama’ah, jama’ah yang berjalan di atas Sunnah …., maka Salafiyah adalah jama’ah yang berjalan di atas madzhab Salaf dan di atas jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, dan dia bukanlah salah satu kelompok dari kelompok-kelompok yang muncul sekarang ini, karena dia adalah jama’ah yang terdahulu dari zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terus berlanjut terus menerus di atas kebenaran dan nampak hingga hari kiamat sebagaimana diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Dari kaset yang berjudul At-Tahdzir Minal Bida’]

[9]. Syaikh Muhammad Aman Al-Jami berkata : “Salafiyah telah menjadi istilah yang dikenal yang ditujukan kepada jalan generasi yang pertama dan orang-orang yang meneladani mereka di dalam pengambilan ilmu, cara memahaminya dan metode dakwah kepadanya. Jika demikian maka tidak dibatasi pada suatu rentang waktu tertentu, bahkan wajib dipahami bahwa dia adalah penamaan yang terus berlanjut seiring dengan berlanjutnya kehidupan, dan bahwasanya Firqatun Najiyah berkisar pada para ulama hadits dan Sunnah, merekalah para pemilik manhaj ini dan dia terus berlanjut hingga hari kiamat sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Tidak henti-hentinya sekelompok dari umatku yang mendapat pertolongan (dari Allah) tidak ada yang bisa membahayakan mereka siapapun yang menelantarkan mereka hingga tegaknya kiamat’ [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya 5/34, Tirmidzi dalam Sunnahnya 4/485, Ibnu Majah dalam Sunannya 1/5 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah 1/6” [Shifat Ilahiyah hal. 64-65]

[Pembahasan ini banyak mengambil faedah dari kitab Tabshirul Khalaf Bisyar’iyatil Intisab Ila Salaf oleh Syaikhuna Al-Fadhil Dr Milfi bin Na’im Ash-Sha’idi]

KESIMPULAN
Salafiyah adalah nisbah kepada Salaf, dan Salaf adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para imam yang di atas petunjuk dari tiga generasi yang terdahulu yang dipersaksikan dengan kebaikan.

Jika seorang menjadikan sebuah hizb (kleompok) sebagai standar kebenaran dan menjadi dasar bagi wala’ (loyalitas) dan bara’ (kebencian dan permusuhan) maka inilah hizbiyah yang dicela oleh Alloh dalam kitabNya.

Intisab kepada Salaf bukan hizbiyah karena Salafiyun tidak pernah menjadikan wala dan bara kecuali kepada Islam, tidak kepada simbol-simbol tertentu, tetapi semata-mata kepada kitab dan Sunnah.

Intisab kepada Salaf adalah syi’ar Ahlus Sunnah dari masa ke masa sehingga para ulama Ahlus Sunnah selalu menjadikan ittiba’ kepada Salaf sebagai suatu keutamaan bagi seseorang.

Kelompok-kelompok bid’ah sangat menjauhi intisab kepada Salaf, sampai-sampai kelompok yang mengaku beraqidah Salaf pun juga menjauhi dan menghindari penisbahan kepada Salaf, karena dengan meninggalkan intisab kepada Salaf maka mereka dengan leluasa menghukumi segala sesuatu dengan akal mereka, perasaaan mereka, dan eksperimen-eksperimen mereka.

Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan madzhab Salaf, menisbahkan diri kepadanya, dan membanggakannya, bahkan wajib diterima semua itu darinya dengan kesepakatan ulama.

Pengingkaran intisab kepada Salaf mengharuskan berlepas diri dari Islam yang Shahih yang ditempuh oleh Salafush Shalih.

Penisbahan kepada Salaf merupakan keharusan pada saat ini, seiring dengan munculnya berbagai macam pemikiran yang menyeleweng dan kelompok-kelompok yang sesat dan menyesatkan.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 8 Tahun V/Rabi’ul Awal 1427H/April 2006. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu, Gresik Jatim]


Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif