Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Minggu, 07 September 2014

Ma’rifatullâh, Gerbang Utama Menuju Kesempurnaan Iman Kepada Allâh Azza wa Jalla (2)

MA'RIFATULLAH, GERBANG UTAMA MENUJU KESEMPURNAAN IMAN KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA


MA’RIFATULLAH YANG BENAR JALAN UTAMA UNTUK MERAIH KESEMPURNAAN
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman : 

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ 

Sesungguhnya yang takut kepada Allâh diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allâh Azza wa Jalla )” [Fâthir/35:28]

Dalam hadits yang shahih Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allâh dan orang yang paling mengenal-Nya diantara kamu sekalian."[25] 

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Arti (ayat di atas), 'Hanyalah orang-orang yang berilmu dan mengenal Allâh-lah yang memiliki rasa takut yang benar kepada Allâh. Karena semakin sempurna pemahaman dan penegetahuan (seorang hamba) terhadap Allâh, Dzat yang maha mulia, maha kuasa dan maha mengetahui, yang memiliki sifat-sifat yang maha sempurna dan nama-nama yang maha indah, maka ketakutan (hamba tersebut) kepada-Nya semakin besar pula.”[26] 

Inilah jalan utama bahkan jalan pintas untuk menyempurnakan keimanan dan penghambaan diri seorang mukmin kepada Allâh Azza wa Jalla .

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkapkan hal ini dalam ucapan beliau, “Perjalanan menuju Allâh melalui jalur (memahami) nama-nama dan sifat-sifat-Nya keadaannya (sungguh) sangat menakjubkan dan (pintu hidayah) yang dibukakan (melalui jalur ini) sangat agung. Seorang hamba (yang menempuh jalur ini) sungguh telah dibawakan kepadanya kebahagiaan sejati (kesempurnaan iman) saat dia tidur terlentang di atas tempat tidurnya, tanpa merasa lelah dan bersusah payah …”[27] 

Ini bukan suatu yang mengherankan, terutama kalau kita memahami bahwa semua kedudukan mulia dan agung dalam Islam tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan menyempurnakan pemahaman dan penghayatan kita terhadap kandungan nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla .

Karena masing-masing dari nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla memiliki pengaruh yang kuat dalam menumbuhsuburkan keimanan dan penghambaan diri kepada-Nya secara totalitas. Atau dengan kata lain, penghambaan diri yang sempurna kepada Allâh Azza wa Jalla dalam semua bentuknya kembali kepada pemahaman dan penghayatan makna yang terkandung dalam nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla[28] .

Sebagai contoh, sifat Murâqabatullah (selalu merasa dalam pengawasan Allâh Azza wa Jalla ). Ini adalah sifat mulia dan kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan termasuk tahapan utama dalam menempuh perjalanan menuju ridha Allâh Azza wa Jalla.

Hakikat murâqabatullâh adalah seorang hamba selalu merasakan dan meyakini pengawasan Allâh Azza wa Jalla terhadap (semua keadaannya) lahir dan batin. Dia merasakan pengawasan-Nya ketika berhadapan dengan perintah-Nya, untuk kemudian dia melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, dan ketika berhadapan dengan larangan-Nya, untuk kemudian dia berusaha keras menjauhinya dan menghindarinya.[29] 

Inilah yang diungkapkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tingkatan tertinggi dalam Islam, yaitu kedudukan al-Ihsan. Dalam hadits Jibril Alaihissallam yang terkenal, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

(al-Ihsan adalah) engkau beribadah kepada Allâh seakan-akan engkau melihat-Nya, kalau kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu”[30] 

Kedudukan tinggi ini hanya akan dicapai oleh seorang hamba dengan taufik dari Allâh Azza wa Jalla , kemudian dengan pemahaman dan penghayatan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla , khususnya yang berhubungan dengan pengawasan, persaksian, penglihatan, pendengaran dan pengetahuan-Nya yang maha sempurna. Misalnya nama Allâh Azza wa Jalla ar-Raqîb (Yang Maha Mengawasi), asy-Syahîd (Yang Maha Menyaksikan), al-Bashîr (Yang Maha Melihat) dan al-‘Alîm (Yang Maha Mengetahui) [31] .

Syaikh Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah memaparkan pembahasan penting ini dalam ucapan beliau, “Murâqabatullâh adalah termasuk amalan hati yang paling tinggi (keutamaannya dalam Islam), yaitu menghambakan diri kepada Allâh dengan (memahami dan mengamalkan makna yang terkandung dalam) nama-Nya ar-Raqîb (Yang Maha Mengawasi) dan asy-Syahîd (Yang Maha Menyaksikan). Maka ketika seorang hamba mengetahui atau meyakini bahwa semua gerakan (aktifitas)nya, tidak ada (satupun) yang luput dari pengatahuan-Nya, dan dia (senantiasa) menghadirkan keyakinan ini dalam semua keadaannya, ini (semua) akan menjadikannya (selalu berusaha) menjaga batin (hati)nya dari (semua) pikiran (buruk) dan angan-angan yang dibenci Allâh, serta menjaga lahir (anggota badan)nya dari (semua) ucapan dan perbuatan yang dimurkai Allâh, serta dia akan beribadah atau mendekatkan diri (kepada Allâh) dengan kedudukan al-ihsan, maka dia akan beribadah kepada Allâh seakan-akan dia melihat-Nya, kalau dia tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Allâh melihatnya.”[32] 

Demikian pula sifat Tawakkal (selalu bersandar dan berserah diri) kepada Allâh Azza wa Jalla . Ini adalah sifat yang agung dan memiliki kedudukan sangat tinggi dalam Islam. Bahkan kesempurnaan iman dan tauhid dalam semua jenisnya tidak akan dicapai kecuali dengan menyempurnakan tawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh berfirman :

رَّبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا

(Dia-lah) Rabb masyrik (wilayah timur) dan maghrib (wilayah barat), tiada Ilah (yang berhak diibadahi) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung [al-Muzzammil/73:9][33] . 

Merealisasikan tawakkal dengan benar adalah sebab utama yang mengundang pertolongan Allâh Azza wa Jalla bagi hamba-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا﴿٢﴾وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ 

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan memberikan baginya jalan ke luar (bagi semua urusannya). Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allâh niscaya Allâh akan mencukupkan (segala keperluan)nya [ath-Thalâq/65: 2-3]

Kedudukan yang mulia ini juga hanya akan dicapai dengan taufik dari Allâh Azza wa Jalla kemudian dengan pemahaman dan penghayatan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla , misalnya: al-Hasîb (Yang Maha Memberi Kecukupan), al-Qawiyyu (Yang Maha Kuat), al-Matîn (Yang Maha Kokoh), dan az-‘Azîz (Yang Maha Perkasa)[34] , juga kekhususan-Nya dalam sifat-sifat rububiyah, seperti menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rezki, memberi manfaat dan mencegah keburukan.[35] 

Kedudukan Mahabbatullah (mencintai Allâh Azza wa Jalla ) dan menjadikan-Nya lebih dicintai dari segala sesuatu yang ada di dunia ini. Ini merupakan ciri utama orang yang merasakan manisnya iman dan kesempurnaannya, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman): menjadikan Allâh dan rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena Allâh, dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allâh sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api”[36] .

Kedudukan tertinggi dalam Islam ini hanya akan diraih dengan taufik dari Allâh Azza wa Jalla kemudian dengan pemahaman dan penghayatan yang benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla .

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengenal Allâh dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya maka dia pasti akan mencintai-Nya”[37] 

Juga kedudukan Ridha billahi rabban (ridha kepada Allâh sebagai Rabb), yang berarti ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya.[38] Ini adalah kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan ini merupakan ciri utama orang yang telah merasakan kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Akan merasakan kelezatan atau kemanisan iman (yaitu) orang yang ridha dengan Allâh Azza wa Jalla sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[39] 

Kedudukan agung ini hanya akan dicapai dengan taufik dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala kemudian dengan pemahaman dan penghayatan yang benar terhadap sifat-sifat rububiyah dan bahwa Dia-lah satu-satunya yang maha mampu melakukan semua itu, seperti menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rezki, mengatur alam semesta, memberi manfaat dan mencegah keburukan.[40] 

Demikianlah, maka semua sifat dan kedudukan tinggi dalam Islam hanya akan diraih dengan sempurna melalui pemahaman dan penghayatan yang mendalam terhadap keindahan nama-nama Allâh Azza wa Jalla dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Sehingga hamba yang paling sempurna dalam keimanan dan penghambaan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dialah yang paling mengenal kandungan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Orang yang paling sempurna dalam penghambaan diri (kepada Allâh Azza wa Jalla ) adalah orang yang menghambakan diri (kepada-Nya) dengan (memahami kandungan) semua nama dan sifat-Nya yang (bisa) diketahui oleh manusia.”[41] 

CARA UNTUK MERAIH MA’RIFATULLAH YANG BENAR
Cara yang paling pertama dan utama adalah berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla , karena di tangan-Nyalah segala kebaikan dan hanya Dialah yang mampu menganugerahkan semua sifat-sifat yang agung kepada hamba-Nya.

Oleh karena itu, imam Mutharrif bin 'Abdillah bin asy-Syikhkhîr rahimahullah berkata, “Aku mengingat-ingat (merenung-red) apakah yang bisa menghimpun segala kebaikan ? Karena kebaikan itu banyak ; puasa, shalat (dan lain-lain). Semua kebaikan itu ada di tangan Allâh Azza wa Jalla, maka jika kamu tidak mampu (memiliki) apa yang ada di tangan Allâh Azza wa Jalla kecuali dengan memohon kepada-Nya agar Dia memberikan semua itu kepadamu, berarti yang bisa menghimpun (semua) kebaikan adalah berdoa (kepada Allâh Azza wa Jalla)”[42] 

Kemudian berusaha memahami dan menghayati ayat-ayat al-Qur'an yang mayoritas isinya tentang nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla , serta penjabaran dari semua itu.

Secara ringkas, syaikh 'Abdur Rahman as-Sa'di rahimahullah memaparkan cara untuk meraih ilmu yang agung ini melalui penghayatan terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur'an, yaitu dengan menghadirkan makna yang terkandung dalam nama-nama Allâh yang maha indah dan berusaha meresapinya ke dalam hati, agar hati dapat merasakan pengaruh baik dari kandungan nama-nama tersebut dan dipenuhi dengan ilmu yang paling agung ini. Sebagai contoh :

1. Nama-nama Allâh Azza wa Jalla yang mengandung sifat-sifat maha agung, maha besar, maha mulia dan maha tinggi. Kandungan sifat-sifat ini akan mengisi hati manusia dengan rasa pengagungan dan pemuliaan terhadap Allâh. 

2. Nama-nama-Nya yang mengandung sifat-sifat maha indah, maha baik, maha penyayang dan maha dermawan. Kandungan sifat-sifat ini akan memenuhi hati manusia dengan kecintaan, kerinduan, selalu memuji dan bersyukur kepada-Nya. 

3. Nama-nama-Nya yang mengandung sifat-sifat maha mulia, maha memiliki hikmah atau bijaksana, maha mengetahui dan maha kuasa atas segala sesuatu. Kandungan sifat-sifat ini akan mengisi hati manusia dengan rasa tunduk, tawaddhu' dan selalu mengakui kelemahan diri di hadapan-Nya. 

4. Nama-nama-Nya yang mengandung sifat-sifat maha mengetahui segala sesuatu dengan terperinci, maha meliputi, maha mengawasi dan maha menyaksikan. Kandungan sifat-sifat ini akan menghadirkan di hati manusia perasaan selalu dalam pengawasan Allâh Azza wa Jalla dalam semua gerakan maupun diamnya, selalu menjaga bisikan hatinya dari semua pikiran buruk dan keinginan rusak. 

5. Nama-nama-Nya yang mengandung sifat-sifat maha kaya dan maha lembut. Kandungan sifat-sifat ini akan mengisi hati manusia dengan selalu merasa butuh, tergantung dan menghadapkan diri kepada-Nya dalam setiap saat dan dalam semua keadaan.

Ilmu yang agung ini ketika meresap ke dalam hati dengan sebab pemahaman (yang mendalam) terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla kemudian penghambaan diri kepada-Nya dengan kandungan nama-nama dan sifat-sifat tersebut, maka itu menjadi perkara yang paling agung dan mulia bagi seorang hamba di dunia. Bahkan inilah anugerah terbesar yang Allâh Azza wa Jalla limpahkan kepada hamba-Nya dan inilah inti serta ruh dari tauhid. Barangsiapa yang telah dibukakan baginya pintu yang agung ini maka sungguh ia telah dibukakan pintu (menuju) tauhid yang murni dan iman yang sempurna.”[44] 

PENUTUP
Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita untuk berusaha meraih kedudukan yang paling agung dalam Islam ini dengan taufik dan hidayah-Nya.

Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan doa dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

Ya Allâh, aku meminta kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti), dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia), tanpa adanya bahaya yang mencelakakan dan fitnah yang menyesatkan.[45] 

(Ya Allâh) aku memohon kepada-Mu kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu dan kecintaan kepada (semua) amal perbuatan yang mendekatkan diriku kepada kecintaan kepada-mu [46] .

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[25]. HSR al-Bukhari (no. 20) dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma. 
[26]. Tafsir Ibnu Katsir (3/729).
[27]. Kitab Tharîqul Hijratain, hlm. 334
[28]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 24 dan 28
[29]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 160
[30]. HSR Muslim (no. 8).
[31]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 26
[32]. Tafsîru Asma-illâhil Husnâ, hlm. 55
[33]. Lihat kitab al-Irsyâd ila Shahîhil I’tiqâd, hlm. 59).
[34]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 157
[35]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 26
[36]. HSR al-Bukhari (no. 16 dan 21) dan Muslim (no. 43).
[37]. Kitab Madârijus Sâlikîn (3/17).
[38]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 81
[39]. HSR Muslim, no. 34
[40]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 81
[41]. Kitab Madârijus Sâlikîn (1/420).
[42]. Diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam kitab az-Zuhd, no. 1346).
[43]. Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini bersumber dari kesempurnaan ilmu Allah Azza wa Jalla, lihat kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 131 dan 946
[44]. Lihat kitab al-Qaulus Sadîd melalui perantaraan kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 16-17)
[45]. HR an-Nasa-i dalam as-Sunan (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam al-Musnad (4/264), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (no. 1971) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani dalam Zhilâlul Jannah fî Takhrîjis Sunnah (no. 424).
[46]. HR at-Tirmidzi (no. 3235), dinyatakan shahih oleh imam al-Bukhari, at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif