Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Kamis, 26 Juli 2012

TAKUT DITEMPELIN KAKINYA (merapatkan shaf)


A : “Maaf Pak, boleh tanya? Koq shalatnya tadi gak mau rapat ke saya? Saya dekatin malah menjauh, saya coba deketin lagi malah menjauh lagi, kenapa Pak?”
B : “Saya takut di injek sama kamu.”
A : “Saya kan tidak ada nginjek Bapak…”
B : “Memang kamu gak ada nginjek, tapi rata2 orang yang senangnya rapat2 shalatnya pada suka nginjek kaki saya.”
A : “Itu kan mereka, Pak…beda dengan saya. Saya hanya mencoba menempelkan kaki saya aja ke kaki Bapak.”
B : “Kalo nempel nanti bisa keinjek juga kaki saya…”
A : “Gak lha Pak…Beda antara nempel dengan nginjek…lagian saya nempelinnya pelan dan lembut koq Pak, karena yang diperintahkan oleh Nabi adalah berlemah lembut dalam merapatkan shaf, bukan dengan kasar apalagi sampai nginjek kaki orang…”
B : “Lagian kamu ngapain rapet2 ke saya, sudah tahu ada batasnya masing2. Lihat saja karpetnya, sudah dibatasin dan di kotak2 shafnya, gunanya biar tidak terlalu rapat dan tidak terlalu renggang. Makanya karpetnya digambar seperti sajadah, supaya masing2 orang ada tempatnya tersendiri.”

A : “Sebenarnya untuk merapatkan shaf tidak melihat kepada karpet atau sajadah, karena itu tidak ada perintahnya atau dalilnya. Dan kita tidak tahu siapa yang membuat karpet tersebut. Siapa tahu yang membuat karpet tersebut adalah orang2 kafir agar shaf kaum muslimin terpecah2, atau dari kaum muslimin sendiri yang membuatnya karena kebodohan atau keawamannya. Untuk merapatkan shaf hendaknya kita melihat kepada para shahabat Nabi dalam merapatkan shaf. Dan para shahabat ketika merapatkan shaf, mereka saling menempelkan kaki dan bahu mereka ke orang sebelahnya.”
B : “Ah..! Itu perbuatan mengada-ada yaitu merapatkan shaf dengan menempelkan kaki dan bahu. Mana dalilnya?”
A : “Ini dalilnya, Anas bin Malik berkata, ‘Dulu, salah seorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu teman di sampingnya serta kakinya dengan kaki temannya. Andaikan engkau lakukan hal itu pada hari ini, niscaya engkau akan melihat mereka seperti baghal (Hewan hasil perkawinan campur antara kuda dengan keledai) yang liar’.(HR.Al-Bukhari, 725).”
B : “Hehe…kamu tidak memahami makna hadits tersebut. Dalam hadits yang kamu sebutkan, dikatakan ‘salah seorang di antara kami’, berarti maknanya adalah yang melakukan hal tersebut adalah bukan semua shahabat melainkan hanya satu orang atau sedikit orang. Dan itu menunjukan kalau perbuatan seperti itu asing bagi mereka. Makanya pahami dulu dalilnya sebelum menyampaikan! Hehehe…”
A : “Hehehe…Bagaimana dengan hadits ini Pak? Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri.’ Berarti anjuran untuk mencintai Nabi melebihi dirinya cukup salah seorang dari kita saja?! Jika sudah ada satu orang yang cinta Nabi, maka sudah tidak wajib kita mencintai Nabi?! Kalimat2 seperti itu bukan berarti hanya ditujukan kepada satu orang saja, tapi juga ditujukan kepada kita semua, dan kita termasuk terkena perintahnya. Karena sangat banyak sekali dalil2 yang berisikan kalimat yang seperti itu. Wallahu a’lam.”
B : “Saya jadi gelisah kalau shalatnya rapat2 sehingga mengganggu kekhusyuan shalat. Bukankah kekhusyuan shalat itu sangat penting?”
A : “Justru dengan kita mengikuti shalat seperti yang diperintahkan oleh Nabi, malah akan menambah rasa kekhusyuan shalat kita. Tidak akan bisa orang shalat dengan khusyu jika orang itu shalat tidak sesuai dengan sunnah atau melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Saya malah bisa khusyu dan tenang kalau shalatnya dengan rapat, sebaliknya saya malah tidak bisa khusyu jika shalatnya tidak rapat, karena saya sudah terbiasa. Kita jadi bisa karena terbiasa. Lagipula kalau ada celah dalam shaf kita, niscaya celah tersebut akan diisi oleh setan, dan nantinya setan itu malah akan menggangu kita selama kita shalat sehingga hilang kekhusyuan shalat kita.”
B : “Setan akan mengisi celah shaf jika shafnya sangat renggang sekali, renggangnya seperti seukuran satu orang. Dan jika renggangnya kurang dari itu, seperti renggangnya kita tadi yang seukuran sejari atau sampai sejengkal maka setan tidak bisa mengisi celah itu. Jadi celah seperti itu masih dibolehkan karena setan tidak bisa mengisi celah itu.”
A : “Bapak tahu gak berapa besar ukuran setan?”
B : “Gak tahu, tapi biasanya setan kalau berwujud bisa sebesar manusia seperti kita.”
A : “Itu kalau setan sedang menampakkan diri, kalau tidak?? Di hadits disebutkan bahwa setan bermalam di dalam lubang hidung manusia, dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa setan bisa berjalan di peredaran darah manusia. Bukankah lubang hidung kita dan peredaran darah kita sangat kecil dan sempit sekali? Nah…berarti selama masih ada celah dalam shaf walaupun celah itu sangat kecil sekali, maka setan bisa menempati celah itu. Maka dari itu hendaknya kita menempelkan kaki kita ketika merapatkan shaf agar celah itu tertutup rapat dan setan tidak bisa menempatinya. Wallahu a’lam.”
B : “Bukankah merapatkan dan meluruskan shaf itu tugas seorang imam? Dan tadi imam kita diam saja akan hal itu, dia tidak menyuruh kita untuk merapatkan dan meluruskan shaf. Jadi hal itu sudah tanggung jawab imam bukan? dan bukan tanggung jawab kita. Tapi kenapa malah kamu yang repot?”
A : “Memang itu adalah tanggung jawab seorang imam, dan dia akan mempertanggung jawabkannya nanti di hadapan Allah kenapa dia berdiam diri dari masalah ini. Dan saya hanya sebatas kemampuan saya untuk merapatkan shaf, selama saya masih mampu maka akan saya usahakan selalu.”
B : “Lantas kenapa kamu ngomongnya ke saya? dan kenapa kamu tidak menegur ke imam itu yang lebih bertanggung jawab atau ke makmum yang lain yang tidak mau merapatkan shaf?!”
A : “Karena saya lebih mencintai Bapak karena Allah dari mereka, makanya saya mencoba untuk menyampaikan hal ini ke Bapak sebagai bukti kepedulian dan rasa cinta saya ke Bapak. Seperti halnya Bapak juga memberi nasehat kepada orang yang Bapak cintai seperti istri atau anak2 Bapak, dan Bapak akan masa bodoh kepada orang2 yang tidak atau kurang Bapak cintai.”
B : “Bukankah kita harus saling mencintai sesama muslim? dan mereka yang tidak kamu dakwahi juga muslim. Berarti kamu tidak cinta mereka?”
A : “Seperti yang sudah saya katakan, saya lebih mencintai Bapak karena Allah, karena Bapak ada di sebelah saya tadi ketika shalat. Seandainya mereka tadi ada di sebelah saya, niscaya akan saya sampaikan juga jika saya memiliki kemampuan untuk itu. Saya ingin agar Bapak juga mendapat pahala, dan kita bisa mendapat pahala sama2 dari Allah, insya Allah. Bapak mau dapat pahala dari Allah?”
B : “Mau lha…memang siapa yang tidak mau dapat pahala?”
A : “Kalau mau, kenapa ketika dikasih pahala maka Bapak menolak?”
B : “Menolak? kapan? saya tidak merasa menolak. Kalau saya menolak, nagapain saya capek2 datang ke masjid untuk shalat berjamaah?”
A : “Saya mencoba untuk merapatkan dan menempelkan kaki saya ke Bapak, supaya Bapak juga bisa mendapatkan pahala dengan sebab Bapak mau untuk merapatkan shaf dan mengamalkan sunnah, tapi Bapak malah menjauh dan menghindar, hal itu sama saja Bapak menolak pahala, bukan?”
B : “Hmm…itu karena saya belum paham, kalau sekarang saya insya Allah bisa memahami.”
A : “Terima kasih Pak, semoga Allah senantiasa memberi kita hidayah.”
B : “Amiin…Oh ya…ngomong2 kamu namanya siapa? sudah kerja?”
A : “Nama saya Abdullah (hamba Allah). Alhamdulillah sudah kerja.”
B : “Oo…sudah menikah belum?”
A : “Ee…belum pak…kenapa?”
B : “Gak apa2…kebetulan saya punya anak perempuan yang juga belum nikah…ehm…”
A : “????” (jadi gemeteran…)
Selanjutnya terserah anda…
Ket: Dialog diatas hanya rekaan.
Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu Ta’ala ‘anhuma- beliau berkata: Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Luruskan shaf-shaf kalian karena sesungguhnya kalian itu bershaf seperti shafnya para malaikat. Luruskan di antara bahu-bahu kalian, isi (shaf-shaf) yang kosong, lemah lembutlah terhadap tangan-tangan (lengan) saudara kalian dan janganlah kalian menyisakan celah-celah bagi setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya) dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya)”.( HR.Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’iy dan lainnya. Dishohihkan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (743).

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif