Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Kamis, 12 September 2013

Arti Sebuah Cinta

Arti Sebuah Cinta


 Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah, dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Namun cinta apakah yang paling tinggi dan mulia?
Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk memahami hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar dari hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-anaknya bergelimang dalam dosa. Dengan alasan cinta pula, seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikit pun.
Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan seperti ini, setan tampil mengibarkan benderanya serta menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang dilarang Allah   dan Rasul-Nya Muhammad . Allah Subhanahu wa-ta'ala  lberfirman:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)

Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam dalam haditsnya dari sahabat Tsauban mengatakan, “Hampir-hampir orang-orang kafir mengerumuni kalian sebagaimana berkerumunnya di atas sebuah tempayan.” Seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?” Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam berkata, “Bahkan kalian saat itu banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air bah. Dan Allah Subhanahu wa-ta'ala  benar-benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian, dan benar-benar Allah Subhanahu wa-ta'ala  akan campakkan ke dalam hati kalian (penyakit) al-wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah yang dimaksud dengan al-wahn, ya Rasulullah?” Rasulullah n menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud no. 4297, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di t dalam tafsirnya mengatakan, “Allah Subhanahu wa-ta'ala.memberitakan dalam dua ayat ini (Ali ‘Imran: 13—14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan masalah lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat. Allah Subhanahu wa-ta'ala menjelaskan pula perbedaan besar antara dua negeri tersebut. Allah Subhanahu wa-ta'ala  bahwa hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb) dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan pandangan mereka serta menanamkannya di dalam hati-hati mereka. Semuanya berakhir pada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan terbesar dari cita-cita, cinta, dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang sangat cepat.”

Definisi Cinta
Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim  mengatakan, “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas. Bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas. (Berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)

Hakikat Cinta
Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah Subhanahu wa-ta'ala, maka ia akan menjadi ibadah. Sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah Subhanahu wa-ta'ala , yaitu kesyirikan.

Cinta Kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala 
Cinta yang dibangun karena Allah  
Subhanahu wa-ta'ala akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim  dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata, ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala, lalu Allah Subhanahu wa-ta'ala menurunkan ayat ujian kepada mereka:
“Katakanlah, ‘Jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian’.” (Ali ‘Imran: 31)
Mereka (sebagian salaf) berkata, “(Firman Allah 
Subhanahu wa-ta'ala) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut, buah serta faedahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala) adalah mengikuti Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam. Faedah dan buahnya adalah kecintaan Allah Subhanahu wa-ta'ala kepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam maka kecintaan Allah Subhanahu wa-ta'ala kepada kalian tidak akan terwujud dan akan hilang.”
Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena Allah Subhanahu wa-ta'ala, tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi-Nya. Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik :“Tiga hal yang jika ketiganya ada pada diri seseorang niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman: hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, hendaklah dia mencintai seseorang serta tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)

Ibnul Qayyim  mengatakan bahwa di antara sebab-sebab datangnya cinta Allah Subhanahu wa-ta'ala kepada seorang hamba ada sepuluh perkara:

Pertama, membaca Al-Qur’an, menggali dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala  dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.
Ketiga, terus-menerus berzikir dalam setiap keadaan.
Keempat, mengutamakan kecintaan Allah Subhanahu wa-ta'ala
 atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.
Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa-ta'ala, menyaksikan dan mengetahuinya.
Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah  Subhanahu wa-ta'ala segala nikmat-Nya.

Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah Subhanahu wa-ta'ala.
Kedelapan, berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah Subhanahu wa-ta'ala turun (ke langit dunia).
Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.

Kesepuluh, menjauh
kan segala sebab yang akan menghalangi hati dari AllahSubhanahu wa-ta'ala . (Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)

Cinta adalah Ibadah
Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah Subhanahu wa-ta'ala  berfirman:
“Tetapi Allah menjadikan kamu mencintai keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (al-Hujurat: 7)
“Dan orang-orang yang beriman lebih mencintai Allah.” (al-Baqarah: 165)
“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (al-Maidah: 54)
Adapun dalil dari hadits Rasulullah   adalah hadits Anas z yang telah disebut di atas yang dikeluarkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim rahimahumallah, “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”

Macam-Macam Cinta
Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-Yamani  dalam kitab al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hlm. 114) menyatakan bahwa cinta ada empat macam.

Pertama, cinta ibadah.Yaitu mencintai Allah Subhanahu wa-ta'ala dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di atas.

Kedua, cinta syirik.Yaitu mencintai Allah Subhanahu wa-ta'ala dan juga selain-Nya seperti cintanya kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala. Allah Subhanahu wa-ta'ala  berfirman:
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah). Mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (al-Baqarah: 165)

Ketiga, cinta maksiat.Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa-ta'ala ldan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah Subhanahu wa-ta'ala berfirman:
“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (al-Fajr: 20)

Keempat, cinta tabiat.Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta, dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah Subhanahu wa-ta'ala  berfirman:
“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf q) berkata, ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” ( Yusuf 8 )
Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah 
Subhanahu wa-ta'ala sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, berubahlah menjadi cinta maksiat.
Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih mencintai perkara-perkara tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah  Subhanahu wa-ta'ala  bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.

Buah Cinta
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  mengatakan, “Ketahuilah bahwa yang menggerakkan hati menuju Allah Subhanahu wa-ta'ala  ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di menyatakan, “Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya. Bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (al-Qaulus Sadid, hlm. 110)
Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah Subhanahu wa-ta'ala? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci.
Pertama, bila dia mencintai selain Allah Subhanahu wa-ta'ala lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala  maka ini adalah cinta syirik. Hukumnya jelas haram.
Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah Subhanahu wa-ta'ala  menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat. Hukumnya haram.
Ketiga, bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.
Wallahu a’lam.
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah an-Nawawi)

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif