Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Senin, 30 September 2013

Saat Terindah dalam Hidup Manusia


Saat Terindah dalam Hidup Manusia
                                                 ثسم الله اىشحمه اىشحيم
Pernakah Anda mengalami saat-saat terindah dalam hidup Anda? Apakah yang Anda rasakan pada saat itu? Bukankah Anda merasakan hati Anda sangat bahagia, sehingga Anda ingin seandainya saat-saat itu terulang kembali?

Setiap insan tentu pernah merasakan saat-saat terindah dalam hidupnya, akan tetapi masing-masing orang akan menjadikan saat terindah dalam hidupnya sesuai dengan apa yang mendominasi hati dan jiwanya. Orang yang sedang semangat melakukan usaha perdagangan dan bisnis menganggap saat terindah adalah ketika dia berhasil meraup keuntungan besar dan berlipat ganda dalam bisnisnya. Orang yang berambisi besar untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan duniawi merasa saat yang terindah adalah ketika dia berhasil menduduki jabatan tinggi dan penting dalam kariernya.
Demikian pula, orang yang sedang dimabuk cinta merasa bahwa saat terindah adalah ketika cintanya diterima oleh sang kekasih dan ketika berjumpa dengannya.

Demikianlah sekilas gambaran keadaan manusia dalam menilai saat-saat terindah dalam hidup mereka. Sekarang, marilah kita perhatikan dan renungkan dengan seksama, manakah di antara semua itu yang benar-benar merupakan kebahagiaan dan keindahan yang sejati, sehingga orang yang mendapatkannya berarti sungguh dia telah merasakan saat terindah dalam hidupnya?

Renungan tentang keindahan dan kebahagiaan hidup yang sejati
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya, bentuk-bentuk kebahagiaan (keindahan) yang diprioritaskan oleh jiwa manusia ada tiga (macam):

1- Kebahagiaan (keindahan) di luar zat (diri) manusia, bahkan keindahan ini merupakan pinjaman dari selain dirinya, yang akan hilang dengan dikembalikannya pinjaman tersebut. Inilah kebahagiaan (keindahan) dengan harta dan kedudukan (jabatan duniawi)…
Keindahan seperti ini adalah seperti keindahan seseorang dengan pakaian (indah) dan perhiasannya, tapi ketika pandanganmu melewati penutup dirinya tersebut, maka ternyata tidak ada satu keindahanpun yang tersisa pada dirinya!
Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa ada seorang ulama yang menumpang sebuah kapal laut bersama para saudagar kaya, kemudian kapal tersebut pecah (dan tenggelam bersama seluruh barang-barang muatan). Maka, para saudagar tersebut serta merta menjadi orang-orang yang hina dan rendah (karena harta mereka tenggelam di laut) padahal sebelumnya mereka merasa mulia (bangga) dengan kekayaan mereka. Sedangkan ulama tersebut sesampainya di negeri tujuan beliau dimuliakan dengan berbagai macam hadiah dan penghormatan (karena ilmu yang dimilikinya). Ketika para saudagar yang telah menjadi miskin itu ingin kembali ke negeri mereka, mereka bertanya kepada ulama tersebut, “Apakah Anda ingin menitip pesan atau surat untuk kaum kerabat Anda?” Maka ulama itu menjawab, “Iya, sampaikanlah kepada mereka, „Jika kalian ingin mengambil harta (kemuliaan), maka ambillah harta yang tidak akan tenggelam (hilang) meskipun kapal tenggelam, oleh karena itu jadikanlah ilmu sebagai (barang) perniagaan (kalian).”

2- (Bentuk) kebahagiaan (keindahan) yang kedua: kebahagiaan (keindahan) pada tubuh dan fisik manusia, seperti kesehatan tubuh, keseimbangan fisik dan anggota badan, keindahan rupa, kebersihan kulit dan kekuatan fisik. Keindahan ini meskipun lebih dekat (pada diri manusia) jika dibandingkan dengan keindahan yang pertama, namun pada hakikatnya keindahan tersebut di luar diri dan zat manusia, karena manusia itu dianggap sebagai manusia dengan ruh dan hatinya, bukan (cuma sekedar) dengan tubuh dan raganya, sebagaimana ucapan seorang penyair,
Wahai orang yang (hanya) memperhatikan fisik, betapa besar kepayahanmu dengan mengurus tubuhmu
Padahal kamu (disebut) manusia dengan ruhmu bukan dengan tubuhmu
(Mulai dari sini sampai akhir paragraf ini adalah keterangan tambahan dari penulis) Inilah keindahan semu dan palsu milik orang-orang munafik yang tidak dibarengi dengan keindahan jiwa dan hati, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela mereka dalam firman-Nya,
وَئِرَا سَأَيِتَهُمِ تُعِجِجُلَ أَجِسَبمُهُمِ وَئِنْ يَقُىىُىا تَسِمَعِ ىِقَىِىِهِمِ مَأَوَّهُمِ خُشُتْ مُسَىَّذَحٌ
“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh (penampilan fisik) mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar.” (QS. al-Munafiqun: 4).
Artinya: mereka memiliki penampilan rupa dan fisik yang indah, tapi hati dan jiwa mereka penuh dengan keburukan, ketakutan dan kelemahan, tidak seperti penampilan lahir mereka (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/472; Tafsir al-Qurthubi, 18/124-125; dan Fathul Qadiir, 7/226).

3- (Bentuk) kebahagiaan (keindahan) yang ketiga: inilah kebahagiaan (keindahan) yang sejati, keindahan rohani dalam hati dan jiwa manusia, yaitu keindahan dengan ilmu yang bermanfaat dan buahnya (amalan shaleh untuk mendekatkan kepada Allah Ta’ala).
Sesungguhnya, kebahagiaan inilah yang menetap dan kekal (pada diri manusia) dalam semua keadaan, dan menyertainya dalam semua perjalanan (hidupnya), bahkan pada semua alam yang akan dilaluinya, yaitu: alam dunia, alam barzakh (kubur) dan alam tempat menetap (akhirat). Dengan inilah seorang hamba akan meniti tangga kemuliaan dan derajat kesempurnaan.” (Kitab Miftaahu Daaris Sa’aadah, 1/107-108).

Berbahagialah dengan saat terindah dalam hidupmu!
Berdasarkan renungan tentang keindahan dan kebahagiaan hidup di atas, maka jelaslah bahwa keindahan dan kebahagiaan yang sejati dalam hidup manusia adalah dengan mengamalkan amalan shaleh yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengutamakannya di atas segala sesuatu yang ada di dunia ini. 

Inilah keindahan dan kebahagiaan sejati yang direkomendasikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,
قُوْ ثِفَضِوِ اىيَّهِ وَثِشَحِمَتِهِ فَجِزَىِلَ فَيْيَفْشَحُىا هُىَ خَيِشْ مِمَّب يَجِمَعُىنَ
“Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang berilmu) bergembira (berbangga), karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kesenangan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia).’” (QS Yunus:58).
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar mereka merasa bangga (gembira dan bahagia) dengan anugerah yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka, dan Dia Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa anugerah dari-Nya itu lebih indah dan mulia dari semua kesenangan dunia yang berlomba-lomba dikejar oleh kebanyakan manusia. ”Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama ahli tafsir dengan “keimanan”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan dengan “Al-Quran”, yang keduanya (keimanan dan Al-Quran) adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh, sekaligus keduanya merupakan petunjuk dan agama yang benar (yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) (lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab Miftahu Daaris Sa’aadah, 1/51).
Syaikh „Abdur Rahman as-Sa‟di berkata, “Kenikmatan (yang berupa) agama (iman) yang bergandengan dengan kebahagiaan dunia dan akhirat (jelas) tidak bisa dibandingkan dengan semua kenikmatan duniawi yang hanya sementara dan akan hilang.” (kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 366).

Inilah kebahagiaan hakiki bagi hati dan jiwa manusia, yang digambarkan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam ucapan beliau, “Semua perintah Allah (dalam agama Islam), hak-Nya (ibadah) yang Dia wajibkan kepada hamba-hamba-Nya, serta semua hukum yang disyariatkan-Nya (pada hakikatnya) merupakan qurratul ‘uyuun (penyejuk pandangan mata), serta kesenangan dan kenikmatan bagi hati (manusia), yang dengan (semua) itulah hati akan terobati, (merasakan) kebahagiaan, kesenangan dan kesempurnaan di dunia dan akhirat. Bahkan hati (manusia) tidak akan merasakan kebahagiaan, kesenangan dan kenikmatan yang hakiki kecuali dengan semua itu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يب أَيُّهَب اىىَّبطُ قَذِ جَبءَتِنُمِ مَىِعِظَخٌ مِهِ سَثِّنُمِ وَشِفَبءٌ ىِمَب فِي اىصُّذُوسِ وَهُذيّ وَسَحِمَخٌ ىِيْمُإِمِىِينَ، قُوْ
ثِفَضِوِ اىيَّهِ وَثِشَحِمَتِهِ فَجِزَىِلَ فَيْيَفْشَحُىا هُىَ خَيِشْ مِمَّب يَجِمَعُىنَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb-mu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk, serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kesenangan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia).’” (QS.Yuunus: 57-58)” (Kitab Ighaatsatul Lahfaan, hal. 75-76 – Mawaaridul Amaan).

Maka berdasarkan semua ini, berarti saat yang paling indah dalam hidup seorang manusia adalah ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan taufik-Nya kepadanya untuk mengikuti jalan Islam dan memberi petunjuk kepadanya untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya guna mencapai keridhaan-Nya.
Inilah pernyataan yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada shahabat yang mulia, Ka‟ab bin Malik radhiallahu ‘anhu, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat al-Quran (QS. at-Taubah: 118) tentang diterima-Nya taubat shahabat ini dan dua orang shahabat lainnya radhiallahu ‘anhum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya dengan wajah yang berseri-seri karena gembira, “Berbahagialah dengan hari terindah yang pernah kamu lalui sejak kamu dilahirkan ibumu.” (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 4156 dan Muslim, no. 2769).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan hari diterimanya taubat seorang hamba oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai hari/ saat yang terindah dalam hidupnya karena taubat itulah yang menyempurnakan keislaman seorang hamba, maka ketika dia masuk Islam itulah awal kebahagiaannya dan ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubatnya itulah penyempurna dan puncak kebahagiaannya, sehingga hari itu adalah saat terindah dalam hidupnya (lihat kitab Fathul Baari, 8/122).
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Dalam hadits ini terdapat argumentasi (yang menunjukkan) bahwa hari yang paling indah dan utama bagi seorang hamba secara mutlak adalah ketika dia
bertaubat kepada Allah dan Allah menerima taubatnya… Kalau ada yang bertanya, „Bagaimana (mungkin) hari ini (dikatakan) lebih baik daripada hari (ketika) dia masuk Islam?‟ Jawabannya, hari ini adalah penyempurna dan pelengkap hari (ketika) dia masuk Islam, maka hari (ketika) dia masuk Islam adalah awal kebahagiaanya, sedangkan hari taubatnya adalah penyempurna dan pelengkap kebahagiaanya, wallahu musta’aan.” (Kitab Zaadul Ma’aad, 3/511).

Senada dengan hadits di atas, ucapan shabat yang mulia, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang menggambarkan kegembiraan para shahabat radhiallahu ‘anhum ketika mendengar sebuah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Anas bin Malik berkata, “Maka kami (para shahabat radhiallahu ‘anhum) tidak pernah merasakan suatu kegembiraan setelah (kegembiraan dengan) Islam melebihi kegembiraan kami tatkala mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, „Engkau (akan dikumpulkan di surga) bersama orang yang kamu cintai.‟ Maka, aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan Umar radhiallahu ‘anhu, dan aku berharap akan bersama mereka (di surga nanti) dengan kecintaanku kepada mereka meskipun aku belum mampu melakukan seperti amal perbuatan mereka.” (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 3485 dan Muslim, no. 2639).
Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa saat-saat yang terindah bagi orang-orang yang sempurna imannya, para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ketika mereka mendapat hidayah untuk menempuh jalan Islam dan ketika mereka memahami, serta mengamalkan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mencapai ridha-Nya dan masuk ke dalam surga-Nya.

Saat yang paling indah di akhirat kelak adalah ketika bertemu Allah Subhanahu wa Ta’ala
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَمَهِ مَبنَ يَشِجُى ىِقَبءَ سَثِّهِ فَيْيَعِمَوْ عَمَيًب صَبىِحّب وَلا يُشِشِكِ ثِعِجَبدَحِ سَثِّهِ أَحَذّا
“Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya (Allah Ta’ala), maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan Allah
dengan apapun dalam beribadah kepada-Nya.” (QS al-Kahfi: 110). Inilah saat terindah yang dinanti-nantikan oleh orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah „Azza wa Jalla, yaitu saat ketika bertemu dengan-Nya untuk mendapatkan balasan kebaikan dan kemuliaan dari-Nya (lihat kitab Fathul Baari, 4/118).

Dalam sebuah doa dari Imam Hasan al-Bashri, “Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik amalan kami sebelum ajal (menjemput) kami, dan jadikanlah sebaik-baik hari (bagi) kami adalah hari ketika kami berjumpa dengan-Mu.” (Dinukil oleh Imam Harits bin Abi Usamah dalam Musnad al-Harits, 2/756 – Bugyatul Baahits).
Mereka inilah orang-orang yang mencintai perjumpaan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah-pun mencintai perjumpaan dengan mereka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mencintai perjumpaan dengan Allah, maka Allah mencintai perjumpaan dengannya.” (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 6142 dan Muslim, no. 2683).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kegembiraan orang yang bertakwa ketika bertemu Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amal shaleh yang mereka lakukan di dunia, dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabb-nya (Allah Subhanahu wa Ta’ala)” (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 7054 dan Muslim, no. 1151).

Kemudian, saat yang paling indah bagi orang-orang yang beriman ketika berjumpa dengan Allah Ta’ala adalah saat mereka memandang wajah-Nya yang Mahamulia. Inilah kenikmatan tertinggi yang Allah janjikan bagi mereka yang melebihi besarnya kenikmatan lainnya yang ada di surga. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
ىِيَّزِيهَ أَحِسَىُىا اىْحُسِىَ وَصِيَبدَحٌ وَلا يَشِهَقُ وُجُىهَهُمِ قَتَشْ وَلا رِىَّخٌ أُوىَئِلَ أَصِحَبةُ اىْجَىَّخِ هُمِ فِيهَب
خَبىِذُونَ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Yuunus: 26).
Arti “tambahan” dalam ayat ini ditafsirkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih, yaitu kenikmatan melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sal;lam adalah orang yang paling memahami makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (lihat kitab Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah, 1/452). Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)?’ Maka mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka?’ Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Mahamulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat (wajah) Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas (Hadits shahih riwayat Muslim dalam Shahih Muslim, no. 181).

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa kenikmatan melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kenikmatan yang paling mulia dan agung, serta melebihi kenikmatan-kenikmatan di surga lainnya (lihat kitab Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah, 1/453).
Imam Ibnu Katsir berkata, ”(Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang melebihi semua) kenikmatan di surga adalah memandang wajah Allah yang Mahamulia, karena inilah “tambahan” yang paling agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang Allah berikan kepada para penghuni surga. Mereka berhak mendapatkan kenikmatan tersebut bukan (semata-mata) karena amal perbuatan mereka, tetapi karena karunia dan rahmat Allah.” (Kitab Tafsir Ibnu Katsir, 4/262).

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan kenikmatan tertinggi ini dengan sifat kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala yang disebutkan dalam hadits
di atas, yaitu selalu merindukan perjumpaan dengan Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam doa beliau, “(Ya Allah) aku meminta kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia), tanpa adanya bahaya yang mencelakakan dan fitnah yang menyesatkan.” [HR An Nasa-i dalam As-Sunan (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam Al-Musnad (4/264), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (no. 1971) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, disepakati oleh Adz-Dzahabi dan Syaikh Al-Albani dalam Zhilaalul Jannah fii Takhriijis Sunnah” (no. 424)].

Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahafaan [hal. 70-71 dan hal. 79 (Mawaaridul Amaan, cet. Daar Ibnil Jauzi, Ad-Dammaam, 1415 H)] menjelaskan keterkaitan dua hal ini, yaitu bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala) adalah balasan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada orang yang selalu mengharapkan dan merindukan pertemuan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu kekasih-Nya yang telah merasakan kesempurnaan dan kemanisan iman, yang wujudnya berupa perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya.
Atau dengan kata lain, orang yang akan menjumpai saat yang paling indah dan dinanti-nantikan di akhirat ini, yaitu saat melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Mahamulia, adalah orang yang ketika di dunia dia merasakan bahwa saat terindah dalam hidupnya adalah ketika dia beribadah dan mendekatkan diri kepada Zat yang dicintainya, Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Nasihat dan penutup
Demikianlah gambaran saat-saat paling indah bagi para kekasih Allah ‘Azza wa Jalla di dunia dan akhirat, bandingkanlah dengan saat-saat yang dianggap paling indah oleh mayoritas manusia sekarang ini.
Kemudian tanyakan kepada diri kita sendiri: apakah yang kita anggap sebagai saat terindah dalam hidup kita?

Maka, berbahagialah hamba Allah yang menjadikan saat terindah dalam hidupnya ketika dia beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berbahagialah dengan kabar gembira dari Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini,
ئِنَّ اىَّزِيهَ قَبىُىا سَثُّىَب اىيَّهُ ثُمَّ اسِتَقَبمُىا تَتَىضهُ عَيَيِهِمُ اىْمَلائِنَخُ أَلا تَخَبفُىا وَلا تَحِضَوُىا وَأَثِشِشُوا ثِبىْجَىَّخِ
اىَّتِي مُىِتُمِ تُىعَذُونَ وَحِهُ أَوِىِيَبؤُمُمِ فِي اىْحَيَبحِ اىذُّوِيَب وَفِي الآخِشَحِ وَىَنُمِ فِيهَب مَب تَشِتَهِي أَوِفُسُنُمِ
وَىَنُمِ فِيهَب مَب تَذَّعُىنَ وضلا مِهِ غَفُىسٍ سَحِيمٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (ber-istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan memberi kabar gembira), ‘Janganlah kamu merasa takut dan bersedih hati; dan bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah penolong-penolongmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta.’ Sebagai hidangan (balasan yang kekal bagimu) dari (Allah) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushilat: 30-32).

Dalam ayat lain, Allah berfirman,
أَلا ئِنَّ أَوِىِيَبءَ اىيَّهِ لا خَىِفْ عَيَيِهِمِ وَلا هُمِ يَحِضَوُىنَ * اىَّزِيهَ آمَىُىا وَمَبوُىا يَتَّقُىنَ، ىَهُمُ اىْجُشِشَي فِي
اىْحَيَبحِ اىذُّوِيَب وَفِي الآخِشَحِ، لا تَجِذِيوَ ىِنَيِمَبدِ اىيَّهِ، رَىِلَ هُىَ اىْفَىِصُ اىْعَظِيمُ
“Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali (kekasih) Allah itu, tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62-64).

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk mendapatkan kebaikan dari-Nya di dunia dan akhirat, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصي الله وسيم وثبسك عي وجيىب محمذ وآىه وصحجه أجمعين، وآخش دعىاوب أن الحمذ لله سة
اىعبلمين

Kota Kendari, 30 Muharram 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A. 
Artikel www.manisnyaiman.com

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif