“Cintailah Dia -Shallallahu alaihi wa sallam- Dengan Cara Yang Dia cintai!”
حدثني أبو عقيل، زهرة بن معبد: أنه سمع جده عبد الله بن هشام قال:كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم، وهو آخذ بيد عمر بن الخطاب، فقال له عمر: يا رسول الله، لأنت أحب إلي من كل شيء إلا من نفسي، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (لا، والذي نفسي بيده، حتى أكون أحب إليك من نفسك).
فقال له عمر: فإنه الآن، والله، لأنت أحب إلي من نفسي، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (الآن يا عمر)
Suatu hari, sebagaimana yang diceritakan oleh Ibn Ma’bad bin Abdillah dari kakeknya, bahwasanya kakeknya (Abdullah ibn Hisyam) pernah bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan ketika itu beliau Shallallahu alaihi wa sallam memegang tangan Umar ibn Al Khaththab radhiallahu anhu. Maka Umarradhiallahu anhu pun berkata, “Demi ALLAH, ya Rasulullah. Sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku.” Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun menanggapi, “Demi Zat Yang jiwaku di tangan-Nya. Sampai aku engkau cintai melebihi dirimu sendiri.” Kemudian Umar pun berkata, “Sejak saat ini engkau lebih aku cintai dari pada diriku sendiri.” Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun menyambut,” Ya begitu, Umar.” -(HR: Al Bukhari)-
Berdasarkan Hadits di atas dan dalil-dalil lainnya -baik Al Qur’an maupun As-Sunnah- cinta kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam merupakan kewajiban setiap orang beriman. Bahkan kewajiban (cinta) tersebut belum terlaksana sampai kita mencintai beliau Shallallahu alaihi wa sallam lebih dari pada cinta kita terhadap diri, anak, atau orang tua kita sendiri. Sebagaimana sabdanya Shallallahu alaihi wa sallam :
عن أنس قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين (البخاري
(Tidaklah beriman kalian sampai aku lebih dicintai oleh kalian dari pada orang tua, anak, dan segenap manusia) (HR: Al Bukhari)
Sungguh, betapa beratnya konsekuensi yang dituntut dari orang yang mengaku beriman itu. Bahkan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa mengancam mereka yang cintanya kepada sesuatu melebihi cintanya kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa dan Rasul-NYA.
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَاأَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (التوبة:24)
(Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada ALLAH dan Rasul-NYA dan dari berjihad di jalan-NYA, Maka tunggulah sampai ALLAH mendatangkan Keputusan NYA.” Dan ALLAH tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.) (At-Taubah: 24)
Namun demikian ALLAH Subhaanahu wa ta’alla tidak pernah membebani hamba-NYA lebih dari kesanggupannya. ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tak pernah membiarkan hamba-NYA dalam kebingungan. Dan juga ALLAHSubhaanahu wa ta’alaa tidak pernah membiarkan segala sesuatu tanpa kepastian dan tolok ukur.
Ketika ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa memerintahkan hamba-NYA yang beriman untuk mencintai NYA, IA tunjukkan bagaimana caranya. Yakni, dengan perintah agar hamba-NYA meneladani Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.Maka jadilah Ittiba‘(meneladani Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ) sebagai tanda sekaligus ukuran cintanya seorang hamba kepada ALLAHSubhaanahu wa ta’ala (-lihat: Ali Imran:31-). Demikian pula ketika ALLAHSubhaanahu wa ta’alaa memerintahkan hamba-NYA untuk mencintai Rasul-NYA, IA tunjukkan pula bagaimana caranya. Yakni, dengan memperlihatkan -melalui Sirah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam- bagaimana cara orang-orang di sekitarnya, yakni para Shahabat -radhiallahu anhum-, mencintai beliauShallallahu alaihi wa sallam.
Sirah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bukan hanya sumber otentik bagi kita untuk mengetahui perjalanan hidup dan keperibadian beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- .Lebih dari itu, ia juga merupakan sumber otentik bagi kita untuk mengetahui bagaimana sikap orang-orang yang ada di sekitarnya pada masa itu, baik yang mendukung dan membela da’wahnya, maupun yang menentang dan memusuhinya. Ekspresi kebencian kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan As-Sunnah di dalam segala cara dan manifestasinya -yang dilakoni oleh musuh-musuh Islam- dapat kita temui di dalam Sirah. Begitu pula, ekspresi kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan As-Sunnah di dalam segala cara dan manifestasinya -yang dilakoni oleh pembela-pembela Islam, yakni Shahabat- juga dapat kita temui di dalam Sirah.
Para Shahabat radhiallahu anhum -yang telah ALLAH Subhaanahu wa ta’alaataqdirkan hidup bersama dan menyertai Beliau Shallallahu alaihi wa sallam-merupakan sebaik-baik manusia setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallamdan para Nabi -alaihimussalaam-. Hal ini ALLAH Subhaanahu wa ta’alaanyatakan di dalam Firman-NYA:
(كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ) (آل عمران: من الآية110)
(Kalian adalah sebaik-baik umat yang ditampilkan bagi manusia……) (Ali Imran: 110)
Bahkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pun bersaksi akan hal itu, sebagaimana di dalam sabdanya:
(قال النبي صلى الله عليه وسلم: خيركم قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم) (البخاري)
(Sebaik-baik kalian adalah generasiku. Kemudian setelah itu, kemudian setelah itu) (HR: Al Bukhari)
Adapun cara dan manifestasi kecintaan para Shahabat radhiallahu anhumkepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam itu antara lain:
Ingin senantiasa dekat dan bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Meniru hampir seluruh perilaku dan apa-apa yang dikenakan NabiShallallahu alaihi wa sallam.
Membela kehormatan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dari segala celaan para pencela.
Melindungi dan membentengi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dari segala yang dapat membahayakan dan menciderai tubuhnya.
Melayani, memuliakan, dan mendahulukan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di atas seluruh manusia.
Tak ada satupun manusia yang mengalahkan mereka di dalam kelima hal di atas. Begitu pula, tak ada manusia di muka bumi ini yang lebih cinta kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan lebih tahu bagaimana cara mencintai beliau dibanding para Shahabat radhiallahu anhum. Dan sesungguhnya bukan hanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang ridho atas perbuatan para Shahabatnya tadi, bahkan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa pun ridho terhadap mereka -yang tentunya termasuk terhadap cara mereka memperlakukan dan mencintai Nabi-NYA Shallallahu alaihi wa sallam-.
(وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ) (التوبة: من الآية100)
(Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, ALLAH ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada ALLAH.)(At-Taubah:100)
Maka seandainya ada seorang bertanya kepada kita: Dari mana kita dapat mengetahui ungkapan -mencintai Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam- yang disukai atau yang dibenci oleh Beliau Shallallahu alaihi wa sallam? Maka jawabnya adalah: Dari bagaimana cara para Shahabat radhiallahu anhummemperlakukan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam.
Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh Anas ibn Malik radhiallahu anhu:
ما كان في الدنيا شخص أحب إليهم رؤية من رسول الله وكانوا إذا رأوه لم يقوموا له لما يعلمون من كراهيته
(Tak ada seorang pun di dunia ini yang lebih cinta kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam selain kami. Tetapi kami tak pernah berdiri untuk menyambut kedatangan beliau, disebabkan kami mengetahui yang demikian itu tak beliau sukai)
Melalui Atsar di atas bukan saja kita mengetahui bahwa para Shahabatradhiallahu anhum adalah orang-orang yang paling cinta kepada RasulullahShallallahu alaihi wa sallam dan paling mengetahui bagaimana cara mencintai beliau. Lebih dari itu kita dapat mengetahui, bahwa ternyata mencintai Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam itu ada kaedahnya.
Yakni, hendaknya ungkapan kecintaan tersebut tidak dalam bentuk yang justru tidak disukai atau dibenci oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Perhatikan, bagaimana Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menolak antusias Shahabat radhiallahu anhum yang berlebihan dalam mengekspresikan kecintaan serta penghormatan terhadap Beliau Shallallahu alaihi wa sallam:
جاء وفد بني عامر إلى النبى فقالوا: “أنت سيدنا….”
قال: “السيد هو ألله”
قالوا: “وأفضلنا و أعظمنا طولا”
قال: “قولوا بقولكم ولا يستهوينكم الشيطان. أنا عبد الله ورسوله (رواه أحمد, أبو داود, النسائ)
(Datang utusan Bani Amir kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Engkau adalah Sayyid kami…” Maka Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ” As-Sayyid itu ALLAH.” Dan sebagian mereka berkata, “Engkau paling afdhol di antara kita dan paling tinggi derajatnya.” Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata,” Bicaralah biasa-biasa saja. Jangan biarkan syaithan menggelincirkan kalian. Aku tak lebih dari hamba-ALLAH dan Rasul-NYA.”) (HR: Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasaa’i)
Juga Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menolak dikultuskan dan diperlakukan -bagaimanapun bentuk dan caranya- sebagaimana orang Nasrani berbuat terhadap Nabi Isa Alaihissalaam. Perhatikanlah sabdanya:
لا تطروني كما أطرت النصارى بن مريم. فإنما أنا عبدالله. فقولوا: عبد الله ورسوله (رواه البخاري)
(Jangan kalian mengkultuskan aku sebagaimana orang Nashara berbuat terhadap Ibnu Maryam. Ucapkanlah oleh kalian : Hamba-ALLAH dan Rasul-NYA)
Maka hendaklah, para pecinta Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam -siapa pun dan dari mana pun dia- mengambil teladan kepada para Shahabatradhiallahu anhum di dalam cara mencintai Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.Sebab ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa telah ridho atas perilaku dan perbuatan mereka serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya.
Seandainya kita tidak mengikuti cara para Shahabat radhiallahu anhum , maka :
1. Apa jaminannya bahwa perbuatan kita itu diridhoi oleh ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa ?
2. Apa jaminannya bahwa perbuatan kita disukai dan diridhoi oleh NabiShallallahu alaihi wa sallam sendiri?
3. Apa jaminannya bahwa perbuatan kita tidak akan terjerumus ke dalam pengkultusan yang justru dibenci oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam?
Oleh ; Abu Khaulah Zainal Abidin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar