Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla
- Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.
Bukti Cinta
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)
Selasa, 10 September 2013
Misi Keluarga Muslim
Apa pun bentuk keluarga kita itu adalah hasil dari perpaduan tiga faktor pembentuknya. Ketiga faktor itu adalah paradigma yang kita miliki tentang keluarga, kompetensi seluruh anggota keluarga kita dalam membangun keluarga, dan macam apa aktivitas yang ada dalam keluarga kita.
Kalau dalam paradigma kita bahwa keluarga bahagia adalah yang bergelimangan harta, maka motivasi kita dalam berkeluarga adalah mengkapitasisasi kekayaan. Maka, kita akan mencari istri atau suami anak tunggal dari calon mertua yang kaya. Pusat perhatian kita dalam berkeluarga adalah menambah kekayaan.
Bagi paradigma berkeluarga seorang muslim berasal dari motivasi bahwa berkeluarga adalah untuk beribadah kepada Allah, menjaga kesucian diri, dan merealisasikan amal bahwa berkeluarga adalah bagian dari sebuah gerakan menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. Sehingga, pusat perhatiannya dalam berkeluarga adalah meningkatkan kualitas ruhiyah, fikriyah, nafsiyah (emosi kejiwaan), jasadiyah, dan sosialisasi setiap anggota keluarganya.
Karena itu, membangun keluarga sakinah mawadah wa rahmah (samara) adalah sasaran yang ingin dicapai seorang muslim dalam membentuk berkeluarga. Dalam keluarga yang samara itulah kita akan melahirkan pribadi islami untuk saat ini dan masa depan.
Jadi, sangat penting bagi seorang muslim membangun kompetensi untuk membangun keluarga. Apa itu kompetensi berkeluarga? Kompetensi berumah tangga adalah segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar yang harus dimiliki agar seseorang dapat berhasil membangun rumah tangga yang kokoh yang menjadi basis penegakkan nilai-nilai Islam di masyarakat. Maka tak heran jika Rasulullah saw. menyuruh kita untuk pandai-pandai memilih pasangan hidup. Jangan asal pilih.
Abi Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Berbahagialah orang yang menikahi wanita karena agamanya, dan merugilah orang yang menikahi wanita hanya karena harta, kecantikan, dan keturunannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdillah bin Amrin r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena kecantikannya, sebab kecantikan itu pada saatnya akan hilang. Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena hartanya, sebab harta boleh jadi membuatnya congkak. Tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab seorang wanita budak yang jelek lagi hitam kelam yang memiliki agama (kuat dalam beragama) adalah lebih baik daripada wanita merdeka yang cantik lagi kaya, tetapi tidak beragama.” (HR. Ibnu Majah).
Ibnu Abbas r.a. berkata, bahwa Nabi saw. telah bersabda, “Empat perkara, barangsiapa memilikinya berarti dia mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat: hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, badan yang sabar dikala mendapat musibah, dan istri yang dapat menjaga kehormatan diri serta dapat menjaga harta suami.” (HR. Thabrani dalam kitab Al-Kabir dan Al-Ausath, sedang sanad dalam salah satu dan dua riwayat adalah bagus).
Keshalihan diri kita dan pasangan hidup kita adalah modal dasar membentuk keluarga samara. Seperti apakah keluarga samara? Yaitu keluarga dengan karakteristik sebagai berikut:
- Keluarga yang dibangun oleh pasangan suami-istri yang shalih.
- Keluarga yang anggotanya punya kesadaran untuk menjaga prinsip dan norma Islam.
- Keluarga yang mendorong seluruh anggotanya untuk mengikuti fikrah islami.
- Keluarga yang anggota keluarganya terlibat dalam aktivitas ibadah dan dakwah, dalam bentuk dan skala apapun.
- Keluarga yang menjaga adab-adab Islam dalam semua sisi kehidupan rumah tangga.
- Keluarga yang anggotanya melaksanakan kewajiban dan hak masing-masing.
- Keluarga yang baik dalam melaksanakan tarbiyatul aulad (proses mendidik anak-anak).
- Keluarga yang baik dalam mentarbiyah khadimah (mendidik pembantu).
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. [QS. Ruum (30): 21]
Untuk apa Allah memberikan samara kepada pasangan suami-istri muslim? Sebagai modal untuk meraih kebahagiaan. Bukankah tujuan hidup kita sebagai seorang manusia adalah memperoleh kebahagian? Bagi seorang muslim, ada tiga level kebahagiaan yang ingin dicapai sesuai dengan QS. Al-Baqarah (2) ayat 201.
Dan di antara mereka ada orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”
- رَبَّنـــَا آتِــنَا فِي الدُّنْيــَا حَسَنَةً
- وَ فِي اْلآخَرَةِ حَسَنَةً
- وَ قِــنَا عَذَابَ الــنَّارِ
Itulah sebaik-baik doa seorang muslim. Kita bercita-cita meraih kebahagiaan di dunia. Ketika meninggalkan dunia, kita mendapat kebahagiaan di akhirat. Yang dimaksud dengan al-hasanah (kebaikan) di akhirat adalah surga. Tapi, ada orang yang langsung masuk surga dan ada orang yang dibersihkan dulu dosa-dosanya di neraka baru kemudian masuk surga. Nah, obsesi tertinggi kita adalah wa qinaa adzaaban nar, masuk surga dengan tanpa tersentuh api neraka terlebih dahulu. Sebab, inilah kesuksesan yang sebenarnya bagi diri seorang mukmin.
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. [QS. Ali Imran (3): 185]
Karena itu, doa rabbanaa atinaa fiiddunya hasanah… haruslah menjadi syiar yang selalu disenandungkan oleh setiap muslim sepanjang hidupnya di dunia. Ketika seorang muslim dan muslimah menikah, syiar ini bertransformasi menjadi: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim (66): 6)
Inilah tugas pokok seorang kepala keluarga: menjaga agar tidak satupun anggota keluarganya tersentuh api neraka. Untuk menunjukkan bahwa tugas ini sangat penting, Allah swt. memvisualisasikan bagaimana dahsyatnya neraka dan tidak nyamannya orang yang masuk ke dalamnya. Bahkan, orang yang masuk ke dalam neraka menjadi bahan bakar. Diperlakukan kasar dan keras. Padahal, kita tidak pernah ridha jika istri kita diganggu orang di jalan, kita marah jika anak kita dilukai orang, kita tidak mau anggota keluarga kita tidak nyaman akibat kepanasan atau kehujanan. Itulah bentuk rasa sayang kita kepada mereka. Seharusnya, bentuk kasih sayang itu juga menyangkut nasib mereka di akhirat kelak. Kita tidak ingin satu orang anggota keluarga kita tersentuh api neraka.
Tugas berat ini tentu tak mungkin ditanggung oleh seorang kepala keluarga sendiri tanpa ada keinginan yang sama dari setiap anggota keluarga. Artinya, akan lebih mudah jika seorang suami beristri seorang muslimah yang punya visi yang sama: sama-sama ingin masuk surga tanpa tersentuh api neraka. Inilah salah satu alasan bahwa kita tidak boleh asal dalam memilih pasangan hidup.
Karena itu, hubungan suami-istri, orang tua dan anak, adalah hubungan saling tolong menolong. Saling tolong menolong agar tidak tersentuh api neraka. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. At-Taubah (9): 71]
Tolong menolong. Itulah kata kunci pasangan samara dalam mengelola keluarga. Suami-istri itu akan berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengelola keluarga mereka. Sungguh indah gambaran pasangan suami-istri yang seperti ini. Suaminya penuh rasa tanggung jawab, istrinya mampu menjaga diri dan menempatkan diri. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka.” [QS. An-Nisa' (4): 34]
Pasangan suami-istri yang seperti itu sadar betul bahwa keluarga harus dikelola seperti sebuah organisasi. Bukankah keluarga adalah unit terkecil dalam susunan organisasi masyarakat? Bukankah keluarga miniatur sebuah negara? Jadi, kenapa banyak keluarga berjalan tanpa pengorganisasian yang memadai?
Jika kita yakin bahwa keluarga adalah sebuah lembaga, maka sebagai lembaga harus terorganisasi. Ada pemimpin ada yang dipimpin. Ikatan antara pemimpin dan yang dipimpin adalah ikatan kerjasama. Kerjasama haruslah punya tujuan yang terukur. Dan tujuan yang ingin dicapai haruslah diketahui bagaimana cara mencapainya. Itu artinya, cara pencapaiannya harus direncanakan. Setiap rencana baru bisa sukses jika diiringin kemauan yang kuat (azzam).
Dan salah satu rahasia keberhasilan realisasi sebuah rencana adalah ketika rencana itu dibuat dengan prinsip syura. Semakin tinggi tingkat partisipasi, maka akan semakin tinggi potensi keberhasilan tujuan itu dicapai. Inilah salah satu rahasia keberhasilan Rasulullah saw. mengelola para sahabat. Karena Rasulullah saw. selain berlemah-lembut, juga mengajak peran aktif mereka dalam bermusyawarah membuat rencana-rencana strategis (lihat QS. Ali Imran (3): 159].
Artinya, keluarga juga akan sukses mencapai tujuan-tujuannya jika menerapkan prinsip syura dalam perencanaannya. Bahkan, untuk urusan menyapih (ibu berhenti memberi ASI) pun harus disyurakan. Ini perintah Allah swt. Silakan lihat QS. Al-Baqarah (2) ayat 233.
Jadi, jika ingin tidak ada satu orang keluarga pun tersentuh api neraka, kita harus merencanakannya. Tetapkan ini sebagai visi keluarga kita. Lalu, breakdown agar menjadi sebuah langkah yang aplikatif. Jika kita perinci, kira-kira akan menjadi seperti ini.
Visi keluarga kita:
Tidak ada satu pun anggota keluarga tersentuh api neraka وَ قِــنَا عَذَابَ الــنَّارِ
Misi keluarga kita:
1. Mencapai derajat takwa yang sebenarnya التَّقْوَى حَقَّ تُـقَـاتِه)ِ)
2. Memperoleh hidup mulia atau mati syahid عَيْشْ كَرِيْمًا أَوْ مُتْ شَهِيْد)ً)
Strategi untuk mencapai visi dan misi keluarga kita:
1. Setiap anggota keluarga mengikuti tarbiyah (pendidikan) dalam bentuk tilawah Al-Qur’an, ada proses tazkiyah (pembersihan diri), dan taklim.
2. Setiap anggota keluarga menjalankan ibadah sampai derajat ihsan.
3. Setiap anggota keluarga berdakwah dan berjihad fii sabilillah.
4. Ada anggota keluarga yang menjadi pemimpin masyarakat (istikhlafu fiil ardhi).
Arah kebijakan keluarga kita:
1. Semua anggota keluarga kita harus tertarbiyah.
2. Setiap anggota keluarga harus memiliki jadwal ibadah unggulan pribadi, baik secara ritual maupun sosial.
3. Secara jama’i (bersama-sama), keluarga harus punya jadwal ibadah unggulan, baik ritual maupun sosial.
4. Harus memiliki agenda dakwah di dalam keluarga.
5. Harus memiliki agenda dakwah di untuk masyarakat sekitar.
6. Menghadirkan suasana keluarga yang mendukung tercapainya visi dan misi keluarga.
7. Mendidik setiap anggota keluarga untuk mencapai kualitas keluarga sebagai pemimpin umat.
8. Menyediakan sarana dan prasarana pendukung tercapainya visi dan misi keluarga.
Setelah arah dan kebijakan ditetapkan, perincilah ke dalam program dan kegiatan yang aplikatif.
SUMBER
Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!
☛ Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)
☛ Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)
☛ Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,
1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)
5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)
6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)
7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)
8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)
9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)
☛ Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,
1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)
3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).
Selengkapnya klik DI SINI
Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar