Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Senin, 30 Juli 2012

Kunci KEBAHAGIAAN


Bismillaah, walhamdulillaah, wash sholaatu wassalaamu alaa rosuulillaah, wa alaa aalihii wa shohbihii wa man waalaah…
Menindak lanjuti anjuran Syeikh Abdur Rozzaq -hafizhohulloh- dalam tabligh akbarnya -(di Masjid Istiqlal 1 Shofar 1431 / 17 Januari 2010)- untuk menyebarkan uraian Ibnul Qoyyim tentang kunci kebahagiaan, maka pada kesempatan ini, kami berusaha menerjemahkannya untuk para pembaca, semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua…
SEBAB-SEBAB LAPANGNYA DADA
(1) Sebab utama lapangnya dada adalah: TAUHID.
Seperti apa kesempurnaan, kekuatan, dan bertambahnya tauhid seseorang, seperti itu pula kelapangan dadanya. Alloh ta’ala berfirman:
أَفَمَن شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِّنْ رَبِّه [الزمر: 22].
Apakah orang yang dibukakan hatinya oleh Alloh untuk menerima Islam, yang oleh karenanya dia mendapat cahaya dari Tuhannya, (sama dengan orang yang hatinya membatu?!)
Alloh juga berfirman:
فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلاَمِ، وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى السَّمَاءِ [الأنعام: 125].
Barangsiapa dikehendaki Alloh mendapat hidayah, maka Dia akan membukakan hatinya untuk menerima Islam. Sedang barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, maka Dia akan jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia sedang mendaki ke langit.
Maka, petunjuk dan tauhid adalah sebab utama lapangnya dada. Sebaliknya syirik dan kesesatan, adalah sebab utama sempit dan gundahnya dada.
(2) Diantara sebab lapangnya dada adalah: Cahaya yang ditanamkan Alloh ke dalam hati hamba-Nya, yakniCAHAYA IMAN.
Sungguh cahaya itu akan melapangkan dan meluaskan dada, serta membahagiakan hati. Apabila cahaya ini hilang dari hati seorang hamba, maka hati itu akan menjadi ciut dan gundah, sehingga menjadikannya berada dalam penjara yang paling sempit dan sulit.
At-Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Jami’nya, bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Jika cahaya (iman) itu masuk ke dalam hati, maka ia akan menjadi luas dan lapang”. Mereka (para sahabat) bertanya: “Wahai Rosululloh, lalu apa tanda-tandanya?” Beliau menjawab: “(Tandanya adalah jika hatinya menginginkan) kembali ke rumah keabadian, menjauh dari rumah kepalsuan, dan bersiap-siap menghadapi kematian sebelum ia datang”.
Maka, seorang hamba akan mendapatkan kelapangan dadanya, sesuai bagiannya dari cahaya (iman) ini. Hal ini menyerupai cahaya dan kegelapan yang kasat mata, karena cahaya dapat melapangkan hati, sedang kegelapan bisa menciutkannya.
(3) Diantaranya lagi adalah: ILMU.
Ilmu akan melapangkan dada dan meluaskannya, hingga ia bisa menjadikannya lebih luas dari dunia. Sebaliknya kebodohan bisa menjadikan hati ciut, terkepung, dan terpenjara. Semakin luas ilmu seorang hamba, maka semakin lapang dan luas pula dadanya. Tentu, hal ini tidak berlaku untuk semua ilmu, akan tetapi hanya untuk ilmu yang diwariskan dari Rosul -shollallohu alaihi wasallam, yakni ilmu yang bermanfaat. Oleh karena itu, ahli ilmu menjadi orang yang paling lapang dadanya, paling luas hatinya, paling bagus akhlaknya, dan paling baik hidupnya.
(4) Diantaranya lagi adalah: Kembali kepada Alloh ta’ala, mencintai-Nya sepenuh hati, menghadap pada-Nya, dan mencari kenikmatan dalam mengibadahi-Nya. Karena, tidak ada sesuatu pun yang lebih mampu melapangkan dada seorang hamba melebihi itu semua, hingga kadang hati itu mengatakan: “Seandainya di dalam surga nanti, keadaanku seperti ini, maka sungguh itu berarti aku dalam kehidupan yang baik”.
Sungguh kecintaan itu memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam melapangkan dada, membaikkan jiwa, dan menikmatkan hati. Tidak ada yang tahu hal itu, kecuali orang yang pernah merasakannya. Dan ketika cinta itu semakin kuat dan hebat, maka saat itu pula dada menjadi semakin luas dan lapang.
Dan hati ini tidak akan menciut, kecuali saat melihat para pengangguran yang kosong dari hal ini. Sungguh melihat mereka hanya akan mengotorkan mata hati, dan berkumpul dengan mereka hanya akan membuat gerah jiwa.
Diantara sebab utama ciutnya dada adalah: Berpalingnya hati dari Alloh ta’ala, bergantungnya hati pada selain-Nya, lalainya hati dari mengingat-Nya, dan kecintaan hati pada selain-Nya.
Karena, barangsiapa mencintai sesuatu selain Alloh, niscaya ia akan disiksa dengannya, dan hatinya akan terpenjara oleh kecintaannya pada sesuatu tersebut.
Sehingga tiada orang di muka bumi ini, yang lebih sengsara, lebih penat, lebih buruk, dan lebih payah hidupnya melebihinya.
Maka, di sini ada dua cinta:
(a) Cinta yang merupakan: surga dunia, kebahagiaan jiwa, dan kelezatan hati. Cinta yang merupakan kenikmatan, santapan, dan obatnya ruh. Bahkan dialah kehidupan ruh dan sesuatu yang paling disenanginya. Dialah cinta kepada Alloh semata dengan sepenuh hati, dan tertariknya semua kesenangan, keinginan, dan kecintaan hati hanya kepada-Nya.
(b) Dan cinta yang merupakan: siksaan ruh, kegundahan jiwa, penjara hati, dan sempitnya dada. Dialah sebab sakit, susah, dan beratnya jiwa. Itulah kecintaan kepada selain Alloh subhanahu wa ta’ala.
(5) Diantara sebab-sebab lapangnya dada adalah: Melanggengkan dzikir (mengingat)-Nya di segala tempat dan masa. Karena, dzikir itu memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam melapangkan dada dan menikmatkan hati. Sebaliknya, lalai memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menciutkan, memenjarakan, dan menyiksa hati seorang hamba.
(6) Diantaranya lagi adalah: Membantu orang lain, dan memberikan manfaat kepada mereka, dengan apa yang ia mampui, dari hartanya, kedudukannya, badannya, dan berbagai macam kebaikan untuk orang lain.
Oleh karena itu, orang yang dermawan dan punya banyak jasa, adalah orang yang paling lapang dadanya, paling baik jiwanya, dan paling nikmat hatinya. Sedangkan si bakhil yang tidak punya jasa baik, adalah orang yang paling sempit dadanya, paling buruk hidupnya, dan paling banyak gundah gulananya.
Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- telah memberikan perumpamaan untuk si bakhil dan sang dermawan dalam sebuah hadits shohih (riwayat Muslim: 1021), yaitu: Seperti dua orang yang mempunyai baju perang dari besi. Setiap kali sang dermawan ingin bersedekah, baju besi itu menjadi tambah luas dan lebar, hingga ia menyeret bajunya dan menjadi panjang jejaknya. Sedangkan si bakhil, setiap kali ingin bersedekah, maka semua lingkaran rantai (yang menjadi penghubung rangkaian baju besi) itu menetapi tempatnya, dan tidak melebar hingga tidak cukup untuknya.
Maka, inilah perumpamaan lapang dan luasnya dada seorang mukmin yang dermawan, dan ini pula perumpamaan ciut dan sempitnya dada si bakhil.
(7) Dan diantaranya lagi adalah: Keberanian.
Makanya seorang pemberani adalah seorang yang lapang dadanya, serta luas jiwa dan hatinya.
Sedangkan pengecut, adalah seorang yang paling ciut dadanya, dan paling terbatas hatinya. Ia tidak memiliki kesenangan dan kebahagiaan. Ia juga tidak memiliki kenikmatan, kecuali kenikmatan yang dirasakan oleh hewan saja.
Adapun kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan, dan kesenangan jiwa, maka itu tidak akan diberikan kepada mereka yang pengecut, sebagaimana ia tidak diberikan kepada mereka yang bakhil, dan mereka yang berpaling dari Alloh subhanah, lalai dari mengingat-Nya, jahil dengan-Nya, dengan nama-namaNya, dengan sifat-sifatNya, dan dengan agama-Nya, serta hatinya tergantung dengan selain-Nya.
Sungguh kenikmatan dan kebahagiaan ini, akan menjadi taman dan surga di alam kubur nanti. Sebaliknya keciutan dan kesempitan hati mereka, akan menjadi siksaan dan penjara di alam kuburnya.
Maka, keadaan hamba di alam kubur nanti, itu seperti keadaan hati di dalam dada, baik dalam hal kenikmatan, siksaan, kebebasan, maupun terpenjaranya.
Dan bukan patokan, bila ada kelapangan hati bagi si ini, dan keciutan hati bagi si itu, karena adanya sesuatu yang datang. Karena ia akan hilang dengan hilangnya sesuatu yang datang itu. Akan tetapi yang menjadi patokan adalah sifat yang menancap di hati, yang dapat membuatnya lapang atau ciut. Itulah timbangannya… Wallohul musta’an.
(8) Diantaranya lagi -bahkan ini salah satu yang utama- adalah: Membersihkan hati dari kotoran, seperti sifat-sifat tercela yang menyebabkan hati menjadi ciut, tersiksa, dan menghalangi kesehatannya.
Karena, jika sebab-sebab lapangnya hati itu datang kepada seseorang, sedang ia belum mengeluarkan sifat-sifat tercela itu dari hatinya, maka ia tidak akan mendapatkan kelapangan hati yang berarti. Hasil akhirnya adalah adanya dua materi yang memenuhi hatinya, dan hatinya akan dikuasai oleh apa yang lebih banyak menempati hatinya.
(9) Dan diantaranya lagi adalah: Meninggalkan setiap yang berlebihan, baik dalam ucapan, penglihatan, pendengaran, pergaulan, makanan, ataupun tidur. Karena sikap berlebihan dalam ini semua, dapat menyebabkan hati menjadi sakit, gundah, resah, terkepung, terpenjara, ciut, dan tersiksa karenanya. Bahkan kebanyakan siksaam dunia dan akhirat, bersumber darinya.
Maka, laa ilaaha illallooh… betapa ciutnya dada orang yang menyimpan semua penyakit ini, betapa susah hidupnya, betapa buruk keadaannya, dan betapa terkepung hatinya…
Dan Laa ilaaha illallooh… betapa nikmatnya kehidupan seseorang yang dadanya menyimpan semua sifat yang terpuji itu, serta cita-citanya berputar dan mengitari semua sifat itu. Tentulah orang ini memiliki bagian yang agung dari firman Alloh ta’ala:
إنَّ الأَبْرَارَ لَفِى نَعِيم [الانفطار: 13]
Sesungguhnya orang yang baik amalannya, berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan.
Adapun yang itu, mereka memiliki bagian yang besar dari firman-Nya:
وإنَّ الفُجَّارَ لَفِى جَحِيمٍ [الانفطار: 14]
Sesungguhnya orang-orang yang buruk amalannya, berada dalam neraka (yang penuh kesengsaraan)
Dan diantara keduanya ada banyak tingkatan yang berbeda-beda, tiada yang dapat menghitungnya, kecuali Allohtabaaroka wa ta’aala.
Maksud kami (membawakan pembahasan ini adalah agar kita tahu): Bahwa Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- adalah makhluk yang paling sempurna dalam semua sifat terpuji yang bisa menjadikan kelapangan dada, keluasan hati, qurrotu ain, dan kehidupan jiwa. Oleh karena itulah, beliau menjadi makhluk yang paling sempurna dalam kelapangan dada, kehidupan hati, dan qurrotu ain. Belum lagi keistimewaan beliau dalam kelapangan hidup yang bisa dilihat mata.
Dan makhluk yang paling sempurna dalam menirunya, dialah makhluk yang paling sempurna dalam kelapangan, kelezatan, dan qurrotu ainnya. Seperti apa seorang hamba dalam meniru beliau, maka seperti itu pula ia akan mendapatkan kelapangan dada, qurrotu ain, dan kelezatan jiwanya.
Maka, beliau -shollallohu alaihi wasallam- adalah orang yang menempati posisi puncak kesempurnaan dari kelapangan dada, kemuliaan nama, dan minimnya dosa. Dan bagi pengikutnya dalam semua itu, ada bagian yang sesuai dengan kadar pengikutannya kepada beliau… wallohul musta’an.
Dan demikian pula (dalam hal lainnya), bagi pengikut beliau, ada bagian dari perlindungan, penjagaan, pembelaan, pemuliaan, pertolongan Alloh untuk mereka, tergantung porsi peneladanan mereka terhadap beliau. Ada yang dapat bagian sedikit, ada juga yang dapat bagian banyak. Maka barangsiapa yang mendapati kebaikan pada dirinya, maka hendaklah ia memuji Alloh. Adapun yang mendapati selain itu, maka janganlah ia mencela selain dirinya.
(Bagi yang ingin membaca naskah aslinya dalam bahasa arab, silahkan merujuknya ke kitab Zaadul Ma’aad, karya Ibnul Qoyyim, jilid 2, hal. 23)

Minggu, 29 Juli 2012

Antara Taklid dan ‘Ittiba’


Asy-syinqithi rahimahullah berkata :
Ketahuilah bahwa suatu hal yang patut untuk diketahui adalah perbedaan antara taklid dan ittiba’. Tidak boleh bertaklid dalam hal hal yang mengharuskan ittiba’ .”
Penjelasannya, bahwa tidak boleh bertaklid dalam setiap hukum yang memiliki dasar yang jelas dari Al quran, Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, atau ijma’. Sebab setiap ijtihad yang bertentangan denagn nash syar’i adalah ijtihad bathil, dan tidak boleh melakukan taklid kecuali pada permasalahan yang dibolehkan untuk berijtihad. Karena Al Quran dan As Sunnah adalah hakim atas setiap mujtahid. Tidak seorangpun dari mereka yang boleh menyelisihi Al Quran dan As Sunnah.
Tidak boleh bertaklid pada pendapat yang bertentangan dengan Al Quran, As Sunnah, atau ijma’ ulama. Sebab tidak boleh mengikuti selain yang haq. Tidak ada suatu masalah yang ada petunjuknya dari nash kecuali wajib untuk di ikuti. Tidak ada ijtihad dan taklid dalam perkara yang ada nashnya dari Al Quran dan As Sunnah, yang tidak bertentangan dengan nash lainnya.
Perbedaan antara taklid dan ittiba’ adalah perkara yang sudah dimaklumi di kalangan ulama. Tiada seorang ulamapun berselisih dalam menentukan maknanya.
Ibnu Abdil Barr rahimahullah menukil ucapan Ibnu khuwaiz Mandad dalam kitab Jami’ nya. Beliau mengatakan, taklid menurut pengertian syari’at adalah mengikuti pendapat yang tidak memiliki hujjah atau dalil. Dan ini adalah perbuatan yang dilarang dalam syari’at. Adapun itibba’ adalah mengikuti pendapat yang memiliki dasar dalil.
Pada tempat lain dalam bukunya beliau berkata “Setiap pendapat yang kamu ikuti tanpa ada landasan dalil, berarti kamu telah melakukan taklid dan taklid dalam agama Allah ta’ala adalah perbuatan yang tidak benar. Setiap pendapat yang kamu ikuti karena ada dalil yang mewajibkannya, berarti kamu melakukan ittiba’. Itibba’ dalam agama diperbolehkan, sedangkan taklid adalah perbuatan yang dilarang.”
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata dalam I’lam Al-muwaqi’in :
Imam Ahmad rahimahullah membedakan antara taklid dan ittiba’. Abu Dawud berkata “Aku pernah mendengar Ahmad berkata, Itiiba’ adalah seseorang yang mengikuti apa yang berasal dari Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam dan dari para sahabatnya. Adapun tabi’in boleh di ikuti dan boleh juga tidak”
Ibnu Qayyim melanjutkan, adapaun beramal dengan wahyu disebut ittiba bukan taklid, dan ini perkara yang sudah dapat dipastikan. Banyak sekali ayat yang menamakannya sebagai ittiba’, seperti Firman Allahu ta’ala berikut ini :

اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ 
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya . Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).
(Al A’raf :3)
اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ لا إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik (Al An’am : 106)
dan ayat ayat semisal ini cukup banyak dan sudah dikenal.
Jadi beramal dengan wahyu disebut ittiba’ sebagaimana telah ditunjukkan oleh ayat ayat diatas.
Seperti sudah diketahui dan tidak disangsikan lagi bahwa mengikuti wahyu yang diperintahkan dalam ayat ayat tersebut mengandung arti bahwa ijtihad tidak sah jika bertentangan denganwahyu tersebut. Dan tidak boleh pula bertaklid dengan sesuatu yang jelas bertentangan dengannya.
Jelaslah sudah perbedaan antara ittiba’ dan taklid, tidak boleh melakukan ijtihad dan taklid pada permasalahan ittiba. Oleh karena itu nash nash yang shohih yang menunjukkan dengan jelas tentang hukum suatu masalah dan tidak bertentangan dengan nash nash lainnya, sama sekali tidak boleh disertai dengan ijtihad dan taklid. Sebab, sebagaimana sudah dimaklumi, mengikuti dan menaati nash tersebut hukumnya wajib atas setiap orang, siapapun orangnya.
Dengan demikian kita tahu bahwa syarat syarat mujtahid yang ditetapkan ahli ushul hanyalah disyaratkan untuk ijtihad. Sementara perkara ittiba bukanlah perkara ijtihad. Menjadikan syarat syarat mujtahid untuk pelaku ittiba’ adalah suatu kerancuan. Karena sebagaimana kita lihat, terdapat perbedaan yang mencolok antara ijtihad dan ittiba. Lagi pula objek ittiba tidak sama dengan objek ijtihad.
Kesimpulan akhirnya bahwa ittiba wahyu tidak disyaratkan apapun kecuali mengetahui apa yang diamalkannya dari wahyu yang diikutinya. Oleh karena itu ia boleh mengetahui hadits dan mengamalkannya, serta mengetahui ayat dan mengamalkannya. Untuk mengamalkan itu semua tidak perlu harus memenuhi semua syarat syarat ijtihad (yang ditetapkan oleh ahli ushul).
Dengan demikian, setiap mukallaf (oraang yang sudah terbebani hukum syar’i) wajib mempelajari Al Quran dan as Sunnah untuk suatu amalan yang dibutuhkan lantas mempraktekkannya sesuai dengan pengetahuan yang telah dikuasainya, sebagaimana telah dilakukan oleh generasi awal terbaik ummat ini.

Allahu a’lam

Disalin dari Shahih Fiqh Sunnah jilid I ,oleh Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim, terbitan Pustaka At Tazkia,,2006 hal 81-84 ( dengan penyesuaian )


http://adiabdullah.wordpress.com/2007/11/25/antara-taklid-dan-ittiba/

Jumat, 27 Juli 2012

Luruskanlah Shaf Shalatmu

luruskanlah shaf shalatmu

bismillah01.png

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha, dia bercerita : Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :“Sesungguhnya Allah dan Para Malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang menyambung barisan. Barang siapa menutupi kerenggangan (yang ada dalam barisan), niscaya dengannya Allah akan meninggikannya satu derajat.” (HR. Ibnu Majah,Ahmad, Ibnu Khuzaimah,Al-Hakim, dinilai Shahih oleh Adz- Dzahabi dan al-Albani).

Kemudian, Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Sholallahu ’alaihi wa Salam bersabda : “Hendaklah kamu benar-benar meluruskan shafmu, atau (kalau tidak;maka) Allah akan jadikan perselisihan di antaramu.” (Muttafaq ‘alayhi, Bukhari No. 717 dan Muslim No.436) Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Abu Dawud No. 552 dan Ahmad (IV:276) dan dishahihkan oleh al Albani dalam ash Shahihah no.32 secara lengkap.

Setelah membawakan hadits di atas, maka Nu’man bin Basyir Radhiallahu ‘anhu berkata : “Maka saya (Nu’man bin Basyir) melihat seorang laki-laki (dari para Shahabat) menempelkan bahunya ke bahu yang ada disampingnya , dan lututnya dengan lutut yang ada disampingnya serta mata kakinya dengan mata kaki yang ada disampingnya ).”

Pernyataan Nu’man bin Basyir ini juga telah disebutkan oleh Imam Bukhari didalam kitab Shahihnya (II:447-Fat-hul Bari). Diriwayatkan pula Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah Sholallahu ’alaihi wa Salam telah bersabda: “Luruskanlah shaf-shafmu! Sejajarkan antara bahumu (dengan bahu saudaranya yang berada disamping kanan dan kiri), isilah bagian yang masih renggang, berlaku lembutlah terhadap tangan saudaramu (yang hendak mengisi kekosongan atau kelonggaran shaf), dan janganlah kamu biarkan kekosongan yang ada di shaf untuk diisi oleh setan. Dan barangsiapa yang menyambung shaf, pastilah Allah akan menyambungnya, sebaliknya barangsiapa yang memutuskan shaf; pastilah Allah akan memutuskannya. (Shahih. Abu Dawud no:666, dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, al Hakim, Nawawi dan al Albani. Lihat : Fat-hul Bari (II:447) dan Shahihut Targhib Wat Tarbib no:492).

Sehingga bengkoknya shaf akan mengakibatkan permusuhan dan pertentangan hati, kekurangan iman dan hilangnya kekhusyu’an. Sebagaimana lurusnya sebuah shaf termasuk (sebagian dari) kesempurnaan sholat, yang demikian itu diungkapkan di dalam sabda Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa Salam, “Karena lurusnya shaf itu sebagian dari kesempurnaan shalat.” (HR. Muslim). Di dalam riwayat lain : “Karena lurusnya shaf itu sebagian dari baiknya sholat ”. (HR. Al-Bukhari & Muslim).

Para Shahabat Radhiallahu‘anhum sangatlah memperhatikan masalah merapatkan dan meluruskan shaf ini. Diriwayatkan dari Umar bahwasanya ia menugasi beberapa orang laki-laki untuk merapikan shaf makmum, dan ia (Umar) tidak bertakbir untuk memulai sholatnya melainkan setelah dilaporkan oleh para petugasnya itu bahwa shaf telah rapi semua, begitulah juga diriwayatkan dari Ali dan ‘Utsman, bahwa keduanya dahulu biasa melakukan hal itu setiap sebelum memulai sholat, dan mereka berdua biasa berkata (sebelum memulai shalat); “Istawu (luruskan shafmu)” bahkan Ali berkata: “Wahai Fulan! Majulah,” (Dan berkata kepada yang lainnyasmile ” Wahai fulan, mundurlah. (Lihat pula riwayat- riwayatnya di dalam kitab al Muwaththa’, Imam Malik : no. 234, 375, 376).

Mari rapatkan dan luruskan shaf kita karena hal itu merupakan sunnah Nabi Shollallahu ‘alaihi wa salam yang agung. Maka marilah kita menghidupkannya. Merapatkan dan meluruskan shaf dilakukan dengan cara merapatkan bahu, lutut, dan mata kaki. Semoga dengannya, Allah mengangkat derajat kita, menjauhkan perselisihan dan permusuhan di antara kita. Aamiin…

Sumber :


1.Ensiklopedi Shalat menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Dr. Sa’id bin ’Ali bin Wahf al- Qahthani, Pustaka Imam Asy-Syafi’i , Hal 580-581


2.Ensiklopedi Mini Keutamaan Sholat Berjama’ah , Prof. Dr. Fadhl Ilahi , Salwa Press, Hal. 42


3.Pengaruh Shalat terhadap Iman dan Jiwa Menurut Al- Qur’an dan As-Sunnah, Husain bin ‘Audah al-’Awayisyah, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Hal. 18


4.Apa Kata Imam Syafi’i tentang Meluruskan dan Merapatkan Shaf Shalat, Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Pustaka Abdullah.

Kamis, 26 Juli 2012

TAKUT DITEMPELIN KAKINYA (merapatkan shaf)


A : “Maaf Pak, boleh tanya? Koq shalatnya tadi gak mau rapat ke saya? Saya dekatin malah menjauh, saya coba deketin lagi malah menjauh lagi, kenapa Pak?”
B : “Saya takut di injek sama kamu.”
A : “Saya kan tidak ada nginjek Bapak…”
B : “Memang kamu gak ada nginjek, tapi rata2 orang yang senangnya rapat2 shalatnya pada suka nginjek kaki saya.”
A : “Itu kan mereka, Pak…beda dengan saya. Saya hanya mencoba menempelkan kaki saya aja ke kaki Bapak.”
B : “Kalo nempel nanti bisa keinjek juga kaki saya…”
A : “Gak lha Pak…Beda antara nempel dengan nginjek…lagian saya nempelinnya pelan dan lembut koq Pak, karena yang diperintahkan oleh Nabi adalah berlemah lembut dalam merapatkan shaf, bukan dengan kasar apalagi sampai nginjek kaki orang…”
B : “Lagian kamu ngapain rapet2 ke saya, sudah tahu ada batasnya masing2. Lihat saja karpetnya, sudah dibatasin dan di kotak2 shafnya, gunanya biar tidak terlalu rapat dan tidak terlalu renggang. Makanya karpetnya digambar seperti sajadah, supaya masing2 orang ada tempatnya tersendiri.”

A : “Sebenarnya untuk merapatkan shaf tidak melihat kepada karpet atau sajadah, karena itu tidak ada perintahnya atau dalilnya. Dan kita tidak tahu siapa yang membuat karpet tersebut. Siapa tahu yang membuat karpet tersebut adalah orang2 kafir agar shaf kaum muslimin terpecah2, atau dari kaum muslimin sendiri yang membuatnya karena kebodohan atau keawamannya. Untuk merapatkan shaf hendaknya kita melihat kepada para shahabat Nabi dalam merapatkan shaf. Dan para shahabat ketika merapatkan shaf, mereka saling menempelkan kaki dan bahu mereka ke orang sebelahnya.”
B : “Ah..! Itu perbuatan mengada-ada yaitu merapatkan shaf dengan menempelkan kaki dan bahu. Mana dalilnya?”
A : “Ini dalilnya, Anas bin Malik berkata, ‘Dulu, salah seorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu teman di sampingnya serta kakinya dengan kaki temannya. Andaikan engkau lakukan hal itu pada hari ini, niscaya engkau akan melihat mereka seperti baghal (Hewan hasil perkawinan campur antara kuda dengan keledai) yang liar’.(HR.Al-Bukhari, 725).”
B : “Hehe…kamu tidak memahami makna hadits tersebut. Dalam hadits yang kamu sebutkan, dikatakan ‘salah seorang di antara kami’, berarti maknanya adalah yang melakukan hal tersebut adalah bukan semua shahabat melainkan hanya satu orang atau sedikit orang. Dan itu menunjukan kalau perbuatan seperti itu asing bagi mereka. Makanya pahami dulu dalilnya sebelum menyampaikan! Hehehe…”
A : “Hehehe…Bagaimana dengan hadits ini Pak? Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri.’ Berarti anjuran untuk mencintai Nabi melebihi dirinya cukup salah seorang dari kita saja?! Jika sudah ada satu orang yang cinta Nabi, maka sudah tidak wajib kita mencintai Nabi?! Kalimat2 seperti itu bukan berarti hanya ditujukan kepada satu orang saja, tapi juga ditujukan kepada kita semua, dan kita termasuk terkena perintahnya. Karena sangat banyak sekali dalil2 yang berisikan kalimat yang seperti itu. Wallahu a’lam.”
B : “Saya jadi gelisah kalau shalatnya rapat2 sehingga mengganggu kekhusyuan shalat. Bukankah kekhusyuan shalat itu sangat penting?”
A : “Justru dengan kita mengikuti shalat seperti yang diperintahkan oleh Nabi, malah akan menambah rasa kekhusyuan shalat kita. Tidak akan bisa orang shalat dengan khusyu jika orang itu shalat tidak sesuai dengan sunnah atau melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Saya malah bisa khusyu dan tenang kalau shalatnya dengan rapat, sebaliknya saya malah tidak bisa khusyu jika shalatnya tidak rapat, karena saya sudah terbiasa. Kita jadi bisa karena terbiasa. Lagipula kalau ada celah dalam shaf kita, niscaya celah tersebut akan diisi oleh setan, dan nantinya setan itu malah akan menggangu kita selama kita shalat sehingga hilang kekhusyuan shalat kita.”
B : “Setan akan mengisi celah shaf jika shafnya sangat renggang sekali, renggangnya seperti seukuran satu orang. Dan jika renggangnya kurang dari itu, seperti renggangnya kita tadi yang seukuran sejari atau sampai sejengkal maka setan tidak bisa mengisi celah itu. Jadi celah seperti itu masih dibolehkan karena setan tidak bisa mengisi celah itu.”
A : “Bapak tahu gak berapa besar ukuran setan?”
B : “Gak tahu, tapi biasanya setan kalau berwujud bisa sebesar manusia seperti kita.”
A : “Itu kalau setan sedang menampakkan diri, kalau tidak?? Di hadits disebutkan bahwa setan bermalam di dalam lubang hidung manusia, dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa setan bisa berjalan di peredaran darah manusia. Bukankah lubang hidung kita dan peredaran darah kita sangat kecil dan sempit sekali? Nah…berarti selama masih ada celah dalam shaf walaupun celah itu sangat kecil sekali, maka setan bisa menempati celah itu. Maka dari itu hendaknya kita menempelkan kaki kita ketika merapatkan shaf agar celah itu tertutup rapat dan setan tidak bisa menempatinya. Wallahu a’lam.”
B : “Bukankah merapatkan dan meluruskan shaf itu tugas seorang imam? Dan tadi imam kita diam saja akan hal itu, dia tidak menyuruh kita untuk merapatkan dan meluruskan shaf. Jadi hal itu sudah tanggung jawab imam bukan? dan bukan tanggung jawab kita. Tapi kenapa malah kamu yang repot?”
A : “Memang itu adalah tanggung jawab seorang imam, dan dia akan mempertanggung jawabkannya nanti di hadapan Allah kenapa dia berdiam diri dari masalah ini. Dan saya hanya sebatas kemampuan saya untuk merapatkan shaf, selama saya masih mampu maka akan saya usahakan selalu.”
B : “Lantas kenapa kamu ngomongnya ke saya? dan kenapa kamu tidak menegur ke imam itu yang lebih bertanggung jawab atau ke makmum yang lain yang tidak mau merapatkan shaf?!”
A : “Karena saya lebih mencintai Bapak karena Allah dari mereka, makanya saya mencoba untuk menyampaikan hal ini ke Bapak sebagai bukti kepedulian dan rasa cinta saya ke Bapak. Seperti halnya Bapak juga memberi nasehat kepada orang yang Bapak cintai seperti istri atau anak2 Bapak, dan Bapak akan masa bodoh kepada orang2 yang tidak atau kurang Bapak cintai.”
B : “Bukankah kita harus saling mencintai sesama muslim? dan mereka yang tidak kamu dakwahi juga muslim. Berarti kamu tidak cinta mereka?”
A : “Seperti yang sudah saya katakan, saya lebih mencintai Bapak karena Allah, karena Bapak ada di sebelah saya tadi ketika shalat. Seandainya mereka tadi ada di sebelah saya, niscaya akan saya sampaikan juga jika saya memiliki kemampuan untuk itu. Saya ingin agar Bapak juga mendapat pahala, dan kita bisa mendapat pahala sama2 dari Allah, insya Allah. Bapak mau dapat pahala dari Allah?”
B : “Mau lha…memang siapa yang tidak mau dapat pahala?”
A : “Kalau mau, kenapa ketika dikasih pahala maka Bapak menolak?”
B : “Menolak? kapan? saya tidak merasa menolak. Kalau saya menolak, nagapain saya capek2 datang ke masjid untuk shalat berjamaah?”
A : “Saya mencoba untuk merapatkan dan menempelkan kaki saya ke Bapak, supaya Bapak juga bisa mendapatkan pahala dengan sebab Bapak mau untuk merapatkan shaf dan mengamalkan sunnah, tapi Bapak malah menjauh dan menghindar, hal itu sama saja Bapak menolak pahala, bukan?”
B : “Hmm…itu karena saya belum paham, kalau sekarang saya insya Allah bisa memahami.”
A : “Terima kasih Pak, semoga Allah senantiasa memberi kita hidayah.”
B : “Amiin…Oh ya…ngomong2 kamu namanya siapa? sudah kerja?”
A : “Nama saya Abdullah (hamba Allah). Alhamdulillah sudah kerja.”
B : “Oo…sudah menikah belum?”
A : “Ee…belum pak…kenapa?”
B : “Gak apa2…kebetulan saya punya anak perempuan yang juga belum nikah…ehm…”
A : “????” (jadi gemeteran…)
Selanjutnya terserah anda…
Ket: Dialog diatas hanya rekaan.
Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu Ta’ala ‘anhuma- beliau berkata: Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Luruskan shaf-shaf kalian karena sesungguhnya kalian itu bershaf seperti shafnya para malaikat. Luruskan di antara bahu-bahu kalian, isi (shaf-shaf) yang kosong, lemah lembutlah terhadap tangan-tangan (lengan) saudara kalian dan janganlah kalian menyisakan celah-celah bagi setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya) dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya)”.( HR.Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’iy dan lainnya. Dishohihkan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (743).

Upaya Syaibah bin Utsman Membunuh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam

 Kisah Tak Nyata » Upaya Syaibah bin Utsman Membunuh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
upaya pembunuhan nabi 

Upaya Pembunuh kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam

Ibnu Ishaq berkata, “Syaibah bin Utsman bin Abi Thalhah, saudara Bani Abdiddar, bercerita, ‘Aku berkata pada hari itu –yakni Perang Hunain– bahwa aku akan membalaskan dendamku pada Muhammad. Aku akan membunuh Muhammad. (ayah Syaibah terbunuh dalam perang Uhud.) aku menuju tempat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuhnya. Namun tiba-tiba muncul sesuatu yang menakutkan hingga menghilangkan kesadaranku. Aku tidak sanggup melihatnya. Saat itulah aku sadar bahwa aku tidak sanggup menyentuh beliau’.”

Baihaqi meriwayatkannya dalam Ad-Dalail dari jalur Walid bin Muslim yang berkata, “Abdulah bin Mubarak bercerita kepada kami, dari Abu bakar Al-Hudzali, dari Ikrimah mantan budak Ibnu Abbas, dari Syaibah bin Utsman yang mengatakan, ‘Ketika aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallamdalam keadaan tidak terjaga dalam perang Hunain, aku teringat ayah serta pamanku yang mati di tangan Ali dan Hamza. Maka aku berkata, ‘Hari ini aku bisa membalaskan dendamku pada Muhammad.’ Aku bergerak mendekati beliau dari sisi kanan. Ternyata ada Abbas yang tengah beridiri siaga. Ia mengenakan baju besi putih seperti perak yang tidak tertutupi debu. ‘Ini pamannya, pasti ia tidak akan membiarkannya terancam,’ gumamku. Kemudian aku mencoba mendekati Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi kiri. Dan ternyata Abu Sufyan bin Harits di sana. ‘Ini saudara sepupunya dan tentunya ia tidak akan membiarkannya terancam.’
Selanjutnya, aku mendatangi beliau dari arah belakang. Ketika aku hanya tinggal menebas beliau dengan sekali tebasan pedang, tiba-tiba muncul kobaran api seperti kilat antara aku dan beliau. Aku sangat takut api itu membakarku. Maka aku menutupi mataku dengan tangan sambil berjalan mundur. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menoleh dan bersabda, ‘Wahai Syaibah.. wahai Syaibah, mendekatlah kepadaku. Ya Allah hilangkan (gangguan) setan darinya.’ Lantas aku menatap beliau. Ajaib, tiba-tiba aku lebih mencintai beliau daripada pendengaran dan penglihatanku sendiri. Beliau bersabda, ‘Wahai Syaibah, perangilah orang-orang kafir’.”
Ketika menyebutkan hadis ini, Dzahabi berkata, “Hadis ini gharib sekali.” Haitsami, dalam Al-Majma’, menyandarkan riwayat ini pada Thabrani, dan ia berkata, “Pada sanadnya ada Abu Bakar Al-Hudzali, ia seorang perawi dha’if.” Ini tergolong kurang teliti dalam men-jarh (mencela seorang rawi). Dzahabi dan Ibnu Hajar telah menyatakan bahwa ia (Abu Bakar Al-Hudzali) seoarang perawi matruk (ditinggalkan).” Kemudian Baihaqi menyebutnya sanadnya dari Ayyub bin Jabir, dari Shadaqah bin Sa’id, dari Mush’ab bin Syaibah, dari ayahnya yang berkata, “Aku berangkat bersama Rasulullah (menuju Hunain). Demi Allah, bukan Islam yang mendorongku berangkat. Tetapi aku hanya tidak suka bila Hawazin sampai mengalahkan Quraisy. Ketika aku tengah berdiri di samping beliau, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku melihat kuda belang’.” Beliau bersabda, ‘Wahai Syaibah, hanya orang kafir yang bisa melihat kuda itu.’ Lantas beliau menepuk dadaku, dan mengucapkan,’Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada Syaibah.’ Beliau melakukannya tiga kali. Setelah itu hampir tidak ada makhluk Allah yang lebih aku cintai dari pada beliau….” Baihaqi menyebutkan hadis selengkapnya.
Ayyub bin Jabi bin Sayyar seorang perwai dha’if. Sementara itu, Shadaqah bin Sa’id Al-Hanafi, tentangnya Ibnu Hajar berkata, “Rawi maqbul (bisa diterima).” Artinya, ketika hadisnya menjadimutaba’ah, bila tidak maka ia seorang perawi yang hadisnya layyin. Sepanjang penelitianku, aku tidak mendapati anak Syaibah bin Utsman yang bernama Mus’ah telah dituliskan biografinya. Adham Ar-Ruwah disebutkan, “Mus’ab bin Syaibah bin Jubair bin Syaibah bin Utsman bin Abi Thalhah termasuk perawi tingkat lima. Mus’ab di sini putra dari cucu pelaku kisah. Tentangnya Ahmad berkata, “Ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar.” Nasai berkata, “Haditsnya mungkar.” Daruquthni berkata, “Ini tidak kuat dan bukan orang yang hafalannya baik.” Abu Dawud men-dha’if-kannya, sementara Ibnu Ma’in dan Al-Akli men-tsiqah-kannya. Oleh sebab itu, dalam At-Taqrib, II:215, Ibnu Hajar lebih memilih bahwa ialayyinul hadis.
Kisah ini disebutkan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah, VIII: 213, dari Waqidi, dari guru-gurunya. Waqidi perawi matruk, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam Al-Ishabah, Ibnu Hajar menyandarkan riwayat ini pada –selain yang telah disebutkan– Ibnu Khaitsamah dari Mush’ab An-Namiri, dan Baghawi. Kemudian ia mengatakan, “Ibnu Sakan berkata, ‘tentang sanad kisah keislaman Syaibah perlu dilihat ulang.’ Ibnu Sakan adalah Al-Imam Al-Hafizh Al-Mujawwid Al-Kabir Abu Ya’la Sa’id bin Utsman bin Sa’id bin Sakan. Ia seorang ulama besar yang menghimpun, mengarang, memversifikasi rawi, menshahihkan dan mencacat hadis.” Wafat tahun 353 H. Ibnu Hajar menggelarinya dengan sebutan ‘jalalah (keluhuran) dan itqan (pakar).”
Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan, Zam-Zam, Cetakan 1 April 2010

Kedatangan Ibu Persusuan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam

Kisah Tak Nyata » Kedatangan Ibu Persusuan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
haliamtus sa'diyah



Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud dan Baihaqi dalam Ad-Dalail meriwayatkan dari jalur Ja’far bin Yahya bin Tsauban yang berkata, ‘Umarah bin Tsauban memberitakan kepada kami bahwa Abu Thufail mengabarinya, ‘Aku melihat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membagi daging di Ji’ranah.’ Abu Thunfail berkata, ‘Saat itu aku masih kanak-kanak yang baru kuat mengangkat tulang unta. Tiba-tiba datang seorang wanita yang langsung mendekati Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun membentangkan selendang lalu mempersilakan wanita itu duduk di atasnya.’ Aku bertanya, ‘Siapa wanita itu?’ Mereka menjawab, ‘Ini ibu yang menyusul beliau’.”

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Hakim. Ia dan Dzahabi tidak menjelaskan statusnya. Di tempat lain, Hakim meriwayatkannya dari jalur yang sama, dan ia berkata, “Sanadnya shahih dan keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya.” Namun Dzahabi tidak memasukkannya dalam At-Talkhish.” Saat membawakan riwayat ini dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir berkata, “Ini hadis gharib. Barangkali maksudnya adalah saudari sepersusuan beliau. Sebab ia bersama beliau diasuh oleh ibunya, Halimah Sa’diyah. Jika riwayat ini benar, berarti Halimah berumur panajng. Sebab jarak waktu antara Halimah menyusui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan peristiwa Ji’ranah lebih dari 60 tahun. Sementara diperkirakan, ketika menyusui beliau, ia minimal berusia 30 tahun. Selanjutnya, hanya Allah yang mengetahui, berapa tahun ia hidup setelah itu.”
Tentang Jafar bin Yahya bin Tsauban, Ibnu Hajar berkata dalam At-Taqrib, I: 133, “Ia bisa diterima.” Yakni sebagai mutaba’ah, bila tidak makna hadisnya layyin sebagaimana dinyatakan Ibnu Hajar di mukadimah At-Taqrib. Karenanya, dalam Al-Kasyif, I: 131, Dzahabi berkata, “Ada yang tidak diketahui tentang dirinya.” Dan dalam Al-Mughni fid Dhu’afa, I:214, ia mengatakan, “Tidak dikenal.” Ibnu Madini dan Ibnu Qathan Al-Fasi telah menyatakan kemajhulannya. Sedang Ibnu Hibban seorang diri memasukkannya dalam kitabnya Ats-Tsiqah (kumpulan perawi terpercaya).
Umarah bin Tsauban juga disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqah. Sedangkan Ibnu Qathan mengatakan, “Ia tidak dikenal.” Dzahabi berkata dalam Al-Kasyif, II: 262, “Ia di-tsiqah-kan, padahal ada ketidakjelasan tentang dirinya.” Al-Hafizh dalam At-Taqrib, II: 49, berkata, “Rawi mastur (keadaannya tertutupi).” Ini istilah yang digunakan Ibnu Hajar pada perawi yang meriwayatkan darinya lebih dari seorang dan ia tidak di-tsiqah-kan, sebagaimana ia jealskan dalam mukadimah. Dan hadis tentang kedatangan ibu persusuan beliau ini, Munzhiri tidak menghukumi derajatnya.
Al-Albani men-dha’if-kannya lantaran ke-majhul-an Umarah sebagaimana tercantum dalam DhaifSunan Abu Dawud, Hal. 508, hadis no. 5144, Dha’if Al-Adabil Mufrad, Hal. 116, hadis no. 1295, danDha’if Mawaridizh Zham’an, Hal. 176, hadis no. 2249.
Kemudian Abu Dawud meriwayatkan dari Umar bin Saib bahwa telah sampai kepadanya, bahwa suatu hari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk lalu datanglah ayah persusuan beliau menghamparkan sebagian kain beliau dan mempersilahkannya duduk di atasnya. Kemudian ibu persusuan beliau datang, dan beliau menghamparkan bagian lain dari sisi bajunya yang lain dan mempersilakannya duduk di hadaapan beliau.” Mundziri berkata, “Hadis ini mu’dhal, sebab Umar bin Saib diketahui hanya meriwayatkan dari tabi’in (sedangkan dalam hadis ini ia langsung menceritakan peristiwa tanpa menyebut tabi’in dan sahabat. Artinya gugur dua orang perawi secara berurutan pen.). Ibnu Katsir berkata dalam kitab tarikhnya, “Telah diriwayatkan sebuah hadis mursal yang menceritakan kedatangan ayah dan ibu persusuan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi kesahihannya, wallahu a’lam.”
Sebagai catatan, telah populer di kalangan banyak orang bahwa Halimah adalah wanita pertama yang menyusui Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak memiliki ibu persusuan selainnya. Padahal menurut riwayat yang shahih, wanita pertama yang menyusui beliau adalah Tsuwaibah, mantan budak Abu Lahb. (Diriwayatkan oleh Bukhari, kitab An-Nikah, bab 20,25,26 dan lainnya)
Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan, Zam-Zam, Cetakan 1 April 2010.

Nabi Kedatangan Saudari Sepersusuannya

Kisah Tak Nyata » Nabi Kedatangan Saudari Sepersusuannya
saudara sepersusuan nabi



Kedatangan Syaima’ Saudari Sepersusuan NabiShalallahu ‘Alaihi wa Sallam

Ibnu Ishaq berkata, “Sebagian Bani Sa’ad bin Bakr bercerita kepadaku bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada hari itu (perang Hunain), “Jika kalian sanggup menangkap Bijad – seorang lelaki dari Bani Sa’ad bin Bakr – maka jangan ia lepas dari kalian. Ia telah membuat-buat hal baru.” Maka ketika pasukan muslimin berhasil menangkapnya, mereka menggiringnya beserta keluarganya. Mereka juga menggiring Syaima binti Harits bin Abdil Uzza, saudarai sepersusuan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, bersamanya.”
Mereka bersikap kasar kepada Syaima, sehingga ia berkata pada pasukan kaum muslimin, “Tahukah kalian, demi Allah, aku ini saudari sepersusuan pemimpin kalian.” Namun mereka tidak mempercayainya hingga mereka tiba di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” Lantas Yazid bin Ubaid As-Sa’di bercerita kepadaku, “Ketika telah sampai di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku saudari sepersusuan Anda.’ Beliau bertanya, ‘Apa buktinya.’’Bekas gigitan Anda di punggungku ketika aku bersandar pada Anda.’ Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengenali bekas luka gigitan tersebut. Kemudian beliau menghamparkan selendang dan mempersilakannya duduk. Kemudian beliau menawarkan dua pilihan padanya, “Jika engkau mau, engkau bisa hidup bersamaku dengan penuh cinta dan dihormati. Tetapi jika engkau menginginkan aku memberi (harta) kepadamu dan engkau kembali ke kaummu, aku bisa melakukannya.’ Ia menjawab, “Beri saja saya harta dan kembalikan aku ke kaumku’.”
Guru Ibnu Ishaq, Yaziq bin Ubaid, adalah perawi terpercaya, tetapi ia seorang tabi’in sehingga otomatis ia tidak menemui peristiwa kisah ini. Jadi hadis ini mursal. Baihaqi meriwayatkannya dalam Ad-Dalaildari jalur Hakam bin Abdul Malik, dari Qatadah yang berkata, dan seterusnya seperti cerita di atas.” Dzahabi menyebutkannya dalam Al-Maghazi, kemudian ia berkata, “Hakam di-dha’if-kan oleh Ibnu Ma’in.” Dan Qatadah lahir tahun 60, berarti hadis ini mursal.
Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan, Zam-Zam, Cetakan 1 April 2010

Kisah Tak Nyata: Tentang Abu Dzar Radhiallahu ‘anhu

Kisah Tak Nyata » Kisah Tak Nyata: Tentang Abu Dzar Radhiallahu ‘anhu
kisah palsu yang tersebar di masyarakat



Semoga Allah Merahmati Abu Dzar, Ia Berjalan Seorang Diri

Saat membicarakan perang Tabuk, Ibnu Ishaq meriwayatkan, “Abu Dzarr mencela untanya. Ketika unta itu terlalu lamban berjalan, ia mengambil bekalnya dan menggendongnya. Kemudian berjalan kaki ia berangkat menelusuri jejak Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam tengah beristirahat. Saat seorang muslim memandang jauh ke padang pasir, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, ada orang berjalan kaki seorang diri.’ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Semoga ia Abu Dzar.’ Setelah orang-orang mencoba mengamatinya dari kejauhan, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, demi Allah, ia adalah Abu Dzarr.’ Lantas Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, ‘Semoga Allah merahmati Abu Dzarr, ia berjalan kaki seorang diri, mati seorang diri, dan dibangkitkan seorang diri’.”

Seperti itulah Ibnu Ishaq menyebutkannya. Kemudian ia mengiringinya dengan mengatakan, “Lalu Buraidah bin Sufyan Al-Aslami bercerita kepadaku, dari Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi, dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata, dan seterusnya.” Ia menceritakan kisah kematian Abu Dzarr di Rabdzah (sebuah desa di Madinah) dan ucapan Ibnu Mas’ud, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam benar, engkau berjalan kaki seorang diri, mati seorang diri, dan dibangkitkan seorang diri.” Dalam Al-Ishabah, Ibnu Hajar mengisyaratkan kelemahan riwayat kisah ini setelah ia menyandarkan pada Ibnu Ishaq. Dalam Al-Mathalibul Aliyah ia berkata, “Al-Qurazhi ini aku tidak mengatahuinya. Jika ia adalah Muhammad bin Ka’ab, maka hadis ini terputus.”
Hakim meriwayatkan dari jalur Ibnu Ishaq, kemudian ia berkata, “Hadis ini bersanad shahih, dan keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.” Namun Dzahabi mengoreksinya dengan mengatakan, “Ada kemursalan pada sanadnya.” Mungkin maksudnya, riwayat Muhammad bin Ka’ab dari Ibnu Mas’ud itu munqathi’ sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar. Tetapi caccat terbesar hadis ini adalah Buraidah bin Sufyan, guru Ibnu Ishaq. Bukhari berkata, “Ia perlu dicermati.” Daruquthni berkata, “Ia ditinggalkan.” Uqaili menuturkan, “Ahmad ditanya tentang hadisnya, maka ia menjawab, “Sebuah petaka.”
Hadis ini dilemahkan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam takhrijnya pada kitab As-Siyar karya Dzahabi. Jilid ke-12 dari kitab As-Silsilatudh Dha’ifah telah dicetak dan hadis ini tercantum di dalamnya. Syaikh Al-Albani menilai hadis ini cacat lantaran keberadaan Buraidah Al-Aslami. Adapun keterputusan sanad antara Al-Qurazhi dan Ibnu Mas’ud, Al-Albani berkata, “Dalam Al-Tarikh (1:215). Bukhari telah meriwayatkan dengan sanad kuat bahwa Al-Qurazhi mendengar darinya (Ibnu Mas’ud). Jadi, lebih tepat menilai cacat hadis ini dengan Buraidah.”
Anehnya,, Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan hadis ini dalam kitab tarikhnya lalu mengatakan, “Sanadnya hasan dan mereka tidak meriwayatkannya.” Padahal, Ibnu Qayyim ketika menyebutkannya dalam Zadul Ma’ad, ia berkata, “Kisah ini perlu dilihat kembali.” Kemudian ia membawakan riwayat Ibnu Hibban yang berbeda dan sanadnya telah dihasankan oleh Al-Armauth. Tetapi Al-Albani mengatakan, “Hadits dha’if dan sanadnya guncang.”
Sumber: Masyhur Tapi Tak Shahih Dalam Sirah Nabawiyah, Muhammad bin Abdullah Al-Usyan, Zam-Zam, Cetakan 1 April 2010
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif