Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla
- Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.
Bukti Cinta
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)
Senin, 30 Juli 2012
Kunci KEBAHAGIAAN
Minggu, 29 Juli 2012
Antara Taklid dan ‘Ittiba’
http://adiabdullah.wordpress.com/2007/11/25/antara-taklid-dan-ittiba/
Jumat, 27 Juli 2012
Luruskanlah Shaf Shalatmu
luruskanlah shaf shalatmu
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha, dia bercerita : Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :“Sesungguhnya Allah dan Para Malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang menyambung barisan. Barang siapa menutupi kerenggangan (yang ada dalam barisan), niscaya dengannya Allah akan meninggikannya satu derajat.” (HR. Ibnu Majah,Ahmad, Ibnu Khuzaimah,Al-Hakim, dinilai Shahih oleh Adz- Dzahabi dan al-Albani).
Kemudian, Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Sholallahu ’alaihi wa Salam bersabda : “Hendaklah kamu benar-benar meluruskan shafmu, atau (kalau tidak;maka) Allah akan jadikan perselisihan di antaramu.” (Muttafaq ‘alayhi, Bukhari No. 717 dan Muslim No.436) Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Abu Dawud No. 552 dan Ahmad (IV:276) dan dishahihkan oleh al Albani dalam ash Shahihah no.32 secara lengkap.
Setelah membawakan hadits di atas, maka Nu’man bin Basyir Radhiallahu ‘anhu berkata : “Maka saya (Nu’man bin Basyir) melihat seorang laki-laki (dari para Shahabat) menempelkan bahunya ke bahu yang ada disampingnya , dan lututnya dengan lutut yang ada disampingnya serta mata kakinya dengan mata kaki yang ada disampingnya ).”
Pernyataan Nu’man bin Basyir ini juga telah disebutkan oleh Imam Bukhari didalam kitab Shahihnya (II:447-Fat-hul Bari). Diriwayatkan pula Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah Sholallahu ’alaihi wa Salam telah bersabda: “Luruskanlah shaf-shafmu! Sejajarkan antara bahumu (dengan bahu saudaranya yang berada disamping kanan dan kiri), isilah bagian yang masih renggang, berlaku lembutlah terhadap tangan saudaramu (yang hendak mengisi kekosongan atau kelonggaran shaf), dan janganlah kamu biarkan kekosongan yang ada di shaf untuk diisi oleh setan. Dan barangsiapa yang menyambung shaf, pastilah Allah akan menyambungnya, sebaliknya barangsiapa yang memutuskan shaf; pastilah Allah akan memutuskannya. (Shahih. Abu Dawud no:666, dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, al Hakim, Nawawi dan al Albani. Lihat : Fat-hul Bari (II:447) dan Shahihut Targhib Wat Tarbib no:492).
Sehingga bengkoknya shaf akan mengakibatkan permusuhan dan pertentangan hati, kekurangan iman dan hilangnya kekhusyu’an. Sebagaimana lurusnya sebuah shaf termasuk (sebagian dari) kesempurnaan sholat, yang demikian itu diungkapkan di dalam sabda Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa Salam, “Karena lurusnya shaf itu sebagian dari kesempurnaan shalat.” (HR. Muslim). Di dalam riwayat lain : “Karena lurusnya shaf itu sebagian dari baiknya sholat ”. (HR. Al-Bukhari & Muslim).
Para Shahabat Radhiallahu‘anhum sangatlah memperhatikan masalah merapatkan dan meluruskan shaf ini. Diriwayatkan dari Umar bahwasanya ia menugasi beberapa orang laki-laki untuk merapikan shaf makmum, dan ia (Umar) tidak bertakbir untuk memulai sholatnya melainkan setelah dilaporkan oleh para petugasnya itu bahwa shaf telah rapi semua, begitulah juga diriwayatkan dari Ali dan ‘Utsman, bahwa keduanya dahulu biasa melakukan hal itu setiap sebelum memulai sholat, dan mereka berdua biasa berkata (sebelum memulai shalat); “Istawu (luruskan shafmu)” bahkan Ali berkata: “Wahai Fulan! Majulah,” (Dan berkata kepada yang lainnya ” Wahai fulan, mundurlah. (Lihat pula riwayat- riwayatnya di dalam kitab al Muwaththa’, Imam Malik : no. 234, 375, 376).
Mari rapatkan dan luruskan shaf kita karena hal itu merupakan sunnah Nabi Shollallahu ‘alaihi wa salam yang agung. Maka marilah kita menghidupkannya. Merapatkan dan meluruskan shaf dilakukan dengan cara merapatkan bahu, lutut, dan mata kaki. Semoga dengannya, Allah mengangkat derajat kita, menjauhkan perselisihan dan permusuhan di antara kita. Aamiin…
Sumber :
1.Ensiklopedi Shalat menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Dr. Sa’id bin ’Ali bin Wahf al- Qahthani, Pustaka Imam Asy-Syafi’i , Hal 580-581
2.Ensiklopedi Mini Keutamaan Sholat Berjama’ah , Prof. Dr. Fadhl Ilahi , Salwa Press, Hal. 42
3.Pengaruh Shalat terhadap Iman dan Jiwa Menurut Al- Qur’an dan As-Sunnah, Husain bin ‘Audah al-’Awayisyah, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Hal. 18
4.Apa Kata Imam Syafi’i tentang Meluruskan dan Merapatkan Shaf Shalat, Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Pustaka Abdullah.
Kamis, 26 Juli 2012
TAKUT DITEMPELIN KAKINYA (merapatkan shaf)
A : “Sebenarnya untuk merapatkan shaf tidak melihat kepada karpet atau sajadah, karena itu tidak ada perintahnya atau dalilnya. Dan kita tidak tahu siapa yang membuat karpet tersebut. Siapa tahu yang membuat karpet tersebut adalah orang2 kafir agar shaf kaum muslimin terpecah2, atau dari kaum muslimin sendiri yang membuatnya karena kebodohan atau keawamannya. Untuk merapatkan shaf hendaknya kita melihat kepada para shahabat Nabi dalam merapatkan shaf. Dan para shahabat ketika merapatkan shaf, mereka saling menempelkan kaki dan bahu mereka ke orang sebelahnya.”
“Luruskan shaf-shaf kalian karena sesungguhnya kalian itu bershaf seperti shafnya para malaikat. Luruskan di antara bahu-bahu kalian, isi (shaf-shaf) yang kosong, lemah lembutlah terhadap tangan-tangan (lengan) saudara kalian dan janganlah kalian menyisakan celah-celah bagi setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya) dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya)”.( HR.Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’iy dan lainnya. Dishohihkan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (743).
Sumber : http://gizanherbal.wordpress.com/2012/02/06/takut-ditempelin-kakinya/
Upaya Syaibah bin Utsman Membunuh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
Upaya Pembunuh kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
Baihaqi meriwayatkannya dalam Ad-Dalail dari jalur Walid bin Muslim yang berkata, “Abdulah bin Mubarak bercerita kepada kami, dari Abu bakar Al-Hudzali, dari Ikrimah mantan budak Ibnu Abbas, dari Syaibah bin Utsman yang mengatakan, ‘Ketika aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallamdalam keadaan tidak terjaga dalam perang Hunain, aku teringat ayah serta pamanku yang mati di tangan Ali dan Hamza. Maka aku berkata, ‘Hari ini aku bisa membalaskan dendamku pada Muhammad.’ Aku bergerak mendekati beliau dari sisi kanan. Ternyata ada Abbas yang tengah beridiri siaga. Ia mengenakan baju besi putih seperti perak yang tidak tertutupi debu. ‘Ini pamannya, pasti ia tidak akan membiarkannya terancam,’ gumamku. Kemudian aku mencoba mendekati Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi kiri. Dan ternyata Abu Sufyan bin Harits di sana. ‘Ini saudara sepupunya dan tentunya ia tidak akan membiarkannya terancam.’
Kedatangan Ibu Persusuan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Hakim. Ia dan Dzahabi tidak menjelaskan statusnya. Di tempat lain, Hakim meriwayatkannya dari jalur yang sama, dan ia berkata, “Sanadnya shahih dan keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya.” Namun Dzahabi tidak memasukkannya dalam At-Talkhish.” Saat membawakan riwayat ini dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir berkata, “Ini hadis gharib. Barangkali maksudnya adalah saudari sepersusuan beliau. Sebab ia bersama beliau diasuh oleh ibunya, Halimah Sa’diyah. Jika riwayat ini benar, berarti Halimah berumur panajng. Sebab jarak waktu antara Halimah menyusui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan peristiwa Ji’ranah lebih dari 60 tahun. Sementara diperkirakan, ketika menyusui beliau, ia minimal berusia 30 tahun. Selanjutnya, hanya Allah yang mengetahui, berapa tahun ia hidup setelah itu.”
Nabi Kedatangan Saudari Sepersusuannya
Kedatangan Syaima’ Saudari Sepersusuan NabiShalallahu ‘Alaihi wa Sallam
Kisah Tak Nyata: Tentang Abu Dzar Radhiallahu ‘anhu
Semoga Allah Merahmati Abu Dzar, Ia Berjalan Seorang Diri
Seperti itulah Ibnu Ishaq menyebutkannya. Kemudian ia mengiringinya dengan mengatakan, “Lalu Buraidah bin Sufyan Al-Aslami bercerita kepadaku, dari Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi, dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata, dan seterusnya.” Ia menceritakan kisah kematian Abu Dzarr di Rabdzah (sebuah desa di Madinah) dan ucapan Ibnu Mas’ud, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam benar, engkau berjalan kaki seorang diri, mati seorang diri, dan dibangkitkan seorang diri.” Dalam Al-Ishabah, Ibnu Hajar mengisyaratkan kelemahan riwayat kisah ini setelah ia menyandarkan pada Ibnu Ishaq. Dalam Al-Mathalibul Aliyah ia berkata, “Al-Qurazhi ini aku tidak mengatahuinya. Jika ia adalah Muhammad bin Ka’ab, maka hadis ini terputus.”
Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!
☛ Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)
☛ Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)
☛ Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,
1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)
5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)
6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)
7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)
8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)
9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)
☛ Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,
1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)
3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).
Selengkapnya klik DI SINI
Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?