Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Rabu, 26 Desember 2012

NABI ﷺ TIDAK DAPAT MEMBERI HIDAYAH KECUALI DENGAN KEHENDAK ALLAH

Allah-green.svg

BAB 18

NABI       TIDAK DAPAT MEMBERI HIDAYAH
KECUALI DENGAN KEHENDAK ALLAH (48)
----------------------------------------------------
(48)Bab ini merupakan bukti adanya kewajiban bertauhid
kepada Allah. Karena apabila Nabi Muhammad   sebagai
makhluk termulia dan yang paling tinggi kedudukannya di
sisi Allah, tidak dapat memberi hidayah kepada siapapun
yang beliau inginkan, maka tidak ada sembahan yang haq
melainkan Allah, yang bisa memberi hidayah kepada siapa
saja yang Dia kehendaki.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :“Sesungguhnya kamu (hai Muhammad) tidak akan
dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang
kamu cintai, tetapi Allah lah yang memberi petunjuk
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”
(QS. Al qashash: 56).

Diriwayatkan dalam shahih Bukhari, dari Ibnu
Musayyab, bahwa bapaknya berkata: “Ketika Abu Thalib
akan meninggal dunia, maka datanglah Rasulullah      , dan
pada saat itu Abdullah bin Abi Umayyah, dan Abu Jahal
ada disisinya, lalu Rasulullah bersabda kepadanya:
“Wahai pamanku, ucapkanlah “la ilaha illallah”
kalimat yang dapat aku jadikan bukti untukmu dihadapan
Allah”.
Tetapi Abdullah bin Abi Umayyah dan Abu Jahal
berkata kepada Abu Thalib: “Apakah kamu membenci
agama Abdul Muthalib? Kemudian Rasulullah
mengulangi sabdanya lagi, dan mereka berduapun
mengulangi kata-katanya pula. Maka ucapan terakhir
yang dikatakan oleh Abu Thalib adalah: bahwa ia tetap
masih berada pada agamanya Abdul Muthalib, dan dia
menolak untuk mengucapkan kalimat: "la ilaha illallah",
kemudian Rasulullah bersabda: “sungguh akan aku
mintakan ampun untukmu kepada Allah, selama aku
tidak dilarang”, lalu Allah menurunkan firman-Nya:
“Tidak layak bagi seorang Nabi serta orang-orang
yang beriman memintakan ampunan (kepada Allah) bagi
orang-orang musyrik.” (QS. Al Bara’ah: 113).

Dan berkaitan dengan Abu Thalib, Allah menurunkan
firman-Nya:
“Sesungguhnya kamu (hai Muhammad tak sanggup
memberikan hidayah (petunjuk) kepada orang-orang
yang kamu cintai, akan tetapi Allah lah yang memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al
Qashash: 57).

Kandungan bab ini:

1. Penjelasan tentang ayat 57 surat Al Qashash (49).

2. Penjelasan tentang ayat 113 surat Al Bara’ah (50).

3. Masalah yang sangat penting, yaitu penjelasan
tentang sabda Nabi       : “Ucapkanlah kalimat la
ilaha illallah”, berbeda dengan apa yang difahami oleh orang-orang yang mengaku dirinya
berilmu (51).

-------------------------------------------------
(49)Ayat ini menunjukkan bahwa hidayah (petunjuk) untuk
masuk Islam itu hanyalah di Tangan Allah saja, tidak ada
seorangpun yang dapat menjadikan seseorang menapaki
jalan yang lurus ini kecuali dengan kehendak-Nya; dan
mengandung bantahan terhadap orang-orang yang
mempunyai kepercayaan bahwa para nabi dan wali itu
dapat mendatangkan manfaat dan menolak madharat,
sehingga diminta untuk memberikan ampunan,
menyelamatkan diri dari kesulitan, dan untuk kepentingan
kepentingan lainnya.

(50)Ayat ini menunjukkan tentang haramnya memintakan
ampun bagi orang-orang musyrik; dan haram pula
berwala’ (mencintai, memihak dan membela) mereka.


(51)Penjelasannya ialah: diyakini dalam hati, diucapkan
dengan lisan, dan diamalkan apa yang menjadi
konsekwensinya, yaitu: memurnikan ibadah hanya kepada
Allah, dan membersihkan diri dari ibadah kepada selain
Nya, seperti: malaikat, nabi, wali , kuburan, batu, pohon,
dan lain lain.

4. Abu Jahal dan kawan-kawannya mengerti
maksud Rasulullah ketika beliau masuk dan
berkata kepada pamannya: “ucapkanlah kalimat
la ilaha illallah”, oleh karena itu, celakalah orang
yang pemahamannya tentang asas utama Islam
ini lebih rendah dari pada Abu Jahal.

5. Kesungguhan Rasulullah        berupaya
untuk mengislamkan pamannya.

6. Bantahan terhadap orang-orang yang mengatakan
bahwa Abdul Muthalib dan leluhurnya itu
beragama Islam.

7. Permintaan ampun Rasulullah untuk Abu Thalib
tidak di kabulkan, ia tidak diampuni, bahkan
beliau dilarang memintakan ampun untuknya.

8. Bahayanya Berkawan dengan orang-orang
berpikiran dan berprilaku jahat.

9. Bahayanya mengagung-agungkan para leluhur
dan orang-orang terkemuka.

10. “Nama besar” mereka inilah yang dijadikan oleh
orang-orang jahiliyah sebagai tolok ukur
kebenaran yang mesti dianut.

11. Hadits di atas mengandung bukti bahwa amal
seseorang itu yang dianggap adalah di akhir
hidupnya; sebab jika Abu Thalib mau
mengucapkan kalimat tauhid, maka pasti akan
berguna bagi dirinya di hadapan Allah.

12. Perlu direnungkan, betapa beratnya hati orangorang
yang sesat itu untuk menerima tauhid,
karena dianggap sebagai sesuatu yang tak bisa
diterima oleh akal pikiran mereka; sebab dalam
kisah di atas disebutkan bahwa mereka tidak
menyerang Abu Thalib kecuali supaya menolak
untuk mengucapkan kalimat tauhid, padahal
Nabi       sudah berusaha semaksimal mungkin,
dan berulang kali memintanya untuk
mengucapkannya. Dan karena kalimat tauhid itu
memiliki makna yang jelas dan konsekwensi
yang besar, maka cukuplah bagi mereka dengan
menolak untuk mengucapkannya.

☛ TAUHID BAB 18 HAL 107-111

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif