Iman kepada takdir dan ketentuan Allah Ta’alabagi semua makhluk-Nya adalah salah satu prinsip dasar dan landasan utama agama Islam yang diturunkan oleh Allah Ta’ala kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidaklah keimanan seorang hamba akan benar di sisi Allah Ta’ala sehingga dia memahami dan meyakini masalah ini dengan benar[1].
Hal ini disebabkan karena iman kepada takdir Allah Ta’ala secara khusus berkaitan erat dengan tauhid rububiyah (mengesakan Allah Ta’ala dalam perbuatan-perbuatan-Nya yang khusus bagi-Nya, seperti mencipta, melindungi, mengatur dan memberi rizki kepada semua makhluk-Nya), sekaligus berkaitan dengan tauhid nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala, karena menakdirkan dan menetapkan adalah termasuk sifat-sifat kesempurnaan-Nya[2].
Dalam hal ini, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata: “Di antara sifat-sifat Alah Ta’alaadalah Dia Maha (kuasa) berbuat apa yang dikehendaki-Nya, tidak ada sesuatupun yang terjadi kecuali dengan kehendak-Nya dan tidak ada yang luput dari keinginan-Nya. Tidak ada sesuatupun di alam semesta yang lepas dari takdir-Nya dan semuanya terjadi dengan pengaturan-Nya. Maka tidak ada seorangpun yang (mampu) melepaskan diri dari takdir yang ditentukan-Nya dan melampaui ketentuan yang telah dituliskan-Nya dalam al-Lauhul mahfuzh (kitab tempat penulisan semua takdir dan ketentuan-Nya terhadap seluruh makhluk-Nya), Dia maha menghendaki semua yang dilakukan oleh seluruh makhluk di alam semesta. Seandainya Dia menjaga mereka maka niscaya mereka tidak akan melanggar perintah-Nya, dan seandainya Dia menghendaki mereka semua mentaati-Nya maka niscaya mereka akan mentaati-Nya. Dia-lah yang menciptakan semua makhluk beserta semua perbuatan mereka, menakdirkan (menetapkan) rezki dan ajal mereka. Dia memberikan hidayah (petunjuk) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah[3]-Nya”[4].
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan kewajiban mengimani takdir Allah Ta’aladalam ucapan beliau: “Ini termasuk ikatan iman (yang utama), landasan utama ma’rifatullah(pengenalan terhadap Allah Ta’ala), serta pengakuan (keyakinan) terhadap tauhid dan rububiyah-Nya”[5].
Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan hafidhahullah mengomentari ucapan di atas dengan mengatakan: “Inilah akidah (keyakinan yang benar), meyakini ketentuan dan takdir Allah, yang termasuk bagian dari iman kepada-Nya. Maka orang yang tidak mengimani ketentuan dan takdir Allah berarti dia tidak beriman kepada Allah Ta’ala, bahkan dia mencela/menentang Allah. Oleh karena itu, keimanan terhadap takdir Allah dalam berakidah bukanlah termasuk masalah yang bersifat cabang atau pelengkap/nomor dua, akan tetapi ini termasuk inti akidah Islam, bahkan salah satu dari rukun (tiang penopang) keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Iman itu adalah beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk”[6].
Definisi al-qadar (takdir Allah) dan al-qadha’ (ketetapan-Nya)
Secara bahasa al-qadar berarti akhir dan batas dari sesuatu[7], maka arti kalimat: “menakdirkan sesuatu” adalah mengetahui kadar dan batasannya[8].
Adapun pengertian al-qadar dalam syariat adalah keterkaitan ilmu dan kehendak Allah yang terdahulu terhadap semua makhluk (di alam semesta) sebelum Dia menciptakannya. Maka tidak ada sesuatupun yang terjadi (di alam ini) melainkan Allah telah mengetahui, menghendaki dan menetapkannya[9], sesuai dengan kandungan hikmah-Nya yang maha sempurna[10].
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa mazhab/keyakinan para pengikut kebenaran adalah menetapkan (mengimani) takdir Allah, yang berarti bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan takdir (dari) segala sesuatu secara azali (terdahulu), dan Dia ‘Azza wa jalla maha mengetahui bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu (tertentu), dan di tempat-tempat (tertentu) yang diketahui-Nya, yang semua itu terjadi sesuai dengan ketetapan takdir-Nya”[11].
Sedangkan pengertian al-qadha’ secara bahasa adalah hukum, adapun dalam syariat pengertiannya kurang lebih sama dengan al-qadar, keculai jika keduanya disebutkan dalam satu kalimat maka mempunyai arti sendiri- sendiri[12].
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan perbedaan antara keduanya, beliau berkata: “al-Qadar adalah apa yang Allah Ta’ala takdirkan secara azali (terdahulu) tentang apa yang akan terjadi pada (semua) makhluk-Nya. Sedangkan al-qadha’ adalah ketetapan Allah Ta’ala pada (semua) makhluk-Nya, dengan menciptakan, meniadakan (mematikan) dan merubah (keadaan mereka). Maka ini berarti takdir Allah mendahului (al-qadha)”[13].
Dalil-dalil penetapan takdir Allah Ta’ala
1- Firman Allah Ta’ala:
{إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ}
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir)” (QS al-Qamar:49).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Para Imam Ahli Sunnah berargumentasi dengan ayat yang mulia ini atas (wajibnya) menetapkan takdir/ketetapan Allah yang mendahului semua makhluk-Nya, yang berarti (meyakini bahwa) Dia maha mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya, dan Dia telah menuliskannya (dalam al-Lauhul mahfuzh) sebelum Dia menciptakannya”[14].
2- Firman Allah Ta’ala:
{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ}
“Tiada sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (al-Lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS al-Hadiid:22).
3- Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Iman itu adalah) kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk”[15].
4- Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah telah menuliskan/menetapkan ketentuan takdir semua makhluk sebelum Dia menciptakan langit dan bumi (selama) lima puluh ribu tahun”[16].
5- Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada seorangpun dari kalian kecuali Allah telah menetapkan tempatnya di surga atau tempatnya di neraka”. Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, (kalau demikian) apakah kita tidak bersandar saja pada ketentuan takdir kita dan tidak perlu melakukan amal (kebaikan)? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lakukanlah amal (kebaikan), karena setiap manusia akan dimudahkan (untuk melakukan) apa yang telah ditetapkan baginya, manusia yang termasuk golongan orang-orang yang berbahagia (masuk surga) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan orang-orang yang berbahagia, dan manusia yang termasuk golongan orang-orang yang celaka (masuk neraka) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan orang-orang yang celaka”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (firman Allah Ta’ala):
{فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى* وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى* وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى* وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى* فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى}
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa (kepada-Nya), dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan memudahkan baginya (jalan) yang mudah (kebaikan). Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (berpaling dari petunjuk-Nya), serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (keburukan)” (QS al-Lail:5-10)[17].
6- Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ketahuilah, seandainya (seluruh) umat manusia bersatu untuk memberikan suatu manfaat (kebaikan) bagimu, maka mereka tidak mampu memberikan manfaat bagimu kecuali dengan suatu (kebaikan) yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan seandainya mereka bersatu untuk mencelakakan kamu dengan suatu (keburukan) maka mereka tidak mampu mencelakakanmu kecuali dengan suatu (keburukan) yang telah Allah tetapkan akan menimpamu. Pena (untuk menuliskan segala ketentuan takdir Allah) telah diangkat dan lembaran-lembaran (tempat menuliskannya) telah kering”[18].
7- Dari Abdullah bin Fairuz ad-Dailami[19] beliau berkata: “Aku datang (menemui sahabat NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam) Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu dan aku berkata: “Timbul dalam diriku suatu (kerancuan dalam memahami) takdir Allah, sehingga aku khawatir agamaku (imanku) akan rusak, maka sampaikanlah kepadaku suatu (nasehat), supaya Allah menghilangkan kerancuan ini dari hatiku”. Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sungguh seandainya Allah menyiksa semua makhluk yang ada di langit dan bumi maka Dia akan menyiksa mereka dan dia tidak berbuat zhalim/aniaya (dengan menyiksa mereka, karena mereka semua adalah milik-Nya), dan seandainya Dia merahmati mereka semua maka sungguh rahmat-Nya lebih baik bagi mereka daripada amal perbuatan mereka. Seandainya kamu bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah maka Dia tidak akan menerimanya darimu sampai kamu mengimani takdir-Nya dan kamu mengetahui (meyakini) bahwa apa yang (Allah Ta’ala takdirkan) akan menimpamu maka tidak mungkin luput darimu, dan apa yang (Allah Ta’ala takdirkan) tidak akan menimpamu maka tidak mungkin menimpamu. Kalau kamu mati dalam keadaan tidak meyakini semua ini maka kamu akan masuk neraka!”. Abdullah bin Fairuz ad-Dailami berkata: “Kemudian aku datang kepada (sahabat NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu maka beliau menyampaikan (nasehat) yang serupa, lalu aku datang kepada (sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu maka beliau menyampaikan (nasehat) yang serupa, kemudian aku datang kepada (sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu maka beliau menyampaikan (nasehat) yang serupa dari (sabda) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam[20]. Artinya: ucapan Ubay bin Ka’ab di atas bersumber dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam[21].
Tingkatan-tingkatan iman kepada takdir Allah Ta’ala[22]
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Iman kepada takdir Allah tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani empat perkara (sebagai berikut):
1- Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu yang terjadi secara garis besar maupun terperinci, dengan ilmu-Nya yang terdahulu, sebagaimana dalam firman-Nya:
{أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالأرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ}
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Sesungguhnya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (al-Lauhul Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS al-Hajj:70).
2- Mengimani bahwa Allah Ta’ala menulis dalam al-Lauhul Mahfuzh semua ketetapan takdir bagi segala sesuatu, sebagaimana dalam firman-Nya:
{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ}
“Tiada sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (al-Lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS al-Hadiid:22).
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah telah menuliskan/menetapkan ketentuan takdir semua makhluk sebelum Dia menciptakan langit dan bumi (selama) lima puluh ribu tahun”[23].
3- Mengimani bahwa tidak ada sesuatupun yang terjadi di langit dan di bumi kecuali dengan keinginan dan kehendak Allah yang berkisar antara kasih sayang dan hikmah-Nya (yang maha sempurna). Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan kasih sayang-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia tidak ditanyakan tentang apa yang diperbuat-Nya, karena sempurnanya hikmah dan kekuasaan-Nya, sedang mereka (manusia) ditanyakan (tentang perbuatan mereka). Segala sesuatu yang terjadi (di alam semesta) adalah sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu dan dengan ketetapan yang ditulis-Nya dalam al-Lauhul mahfuzh. Sebagaimana dalam firman-Nya:
{إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ}
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir)” (QS al-Qamar:49).
Juga firman-Nya:
{فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ}
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menerima agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit” (QS al-An’aam:125).
(Dalam ayat ini) Allah menetapkan terjadinya hidayah dan kesesatan (pada diri manusia) dengan kehendak-Nya.
4- Mengimani bahwa segala sesuatu (yang ada) di langit dan di bumi adalah makhluk Allah Ta’ala, tidak ada pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta selain-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
{وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا}
“Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ketentuan takdirnya” (QS al-Furqaan:2).
Juga dalam firman-Nya tentang ucapan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam:
{وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ}
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (QS ash-Shaaffaat:96)”[24].
Pembagian takdir Allah Ta’ala
Syaikh Shaleh al-Fauzan hafidhahullah berkata: “Takdir Allah ada dua macam:
- Takdir (yang bersifat) umum dan meliputi semua makhluk, yang tertulis dalam al-Lauhul mahfuzh, karena Allah telah menuliskan di dalamnya ketetapan takdir segala sesuatu sampai terjadinya hari kiamat. Sebagaimana (yang disebutkan) dalam hadits riwayat Abu Dawud dalam kitab “Sunan Abi Dawud” dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Makhluk) yang Allah ciptakan pertama kali adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman kepadanya: “Tulislah!”, maka dia bertanya: Wahai Rabb-ku, apa yang akan aku tulis? Allah Ta’ala berfirman: “Tulislah ketetapan takdir segala sesuatu sampai terjadinya hari kiamat”[25]. Takdir ini meliputi semua makhluk.
- Takdir (khusus) yang memerinci takdir umum (di atas), takdir ini ada 3 macam:
1. Takdir (sepanjang) umur (ketetapan takdir sepanjang hidup setiap makhluk), sebagaimana yang disebutkan dalam hadits (riwayat) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu[26] tentang ketentuan takdir yang dituliskan bagi janin ketika dalam kandungan ibunya, berupa ketetapan ajal, rezki, amal perbuatan, dan kecelakaan atau kebahagiaannya.
2. Takdir tahunan, yaitu takdir yang di tetapkan (oleh Allah Ta’ala) pada malam lailatul qadr (di bulan Ramadhan) tentang kejadian-kejadian sepanjang tahun, sebagaimana dalam firman-Nya:
{إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ}
“Sesungguhnya Kami menurunkan al-Qur’an pada suatu malam yang diberkahi (lailatul qadr) dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu ditetapkan dengan terperinci segala urusan (ketetapan takdir sepanjang tahun[27]) yang muhkam (tidak bisa berubah)” (QS ad-Dukhaan:3-4).
3. Takdir harian, yaitu takdir yang di tetapkan (oleh Allah Ta’ala) tentang kejadian-kejadian dalam sehari, berupa kematian, kehidupan (kelahiran), kemuliaan, kehinaan, dan lain sebagainya[28], sebagaimana dalam firman-Nya:
{كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ}
“Setiap hari Dia (mengatur) urusan (semua makhluk-Nya)” (QS ar-Rahmaan:29)”[29].
Mengingkari takdir Allah Ta’ala sama dengan berburuk sangka kepada-Nya
Allah Ta’ala berfirman:
{يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الأمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ}
“Mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allah seperti persangkaan (orang-orang) jahiliyah, mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini”. Katakanlah: “Sesungguhnya urusan (ketetapan takdir) itu seluruhnya di tangan Allah”(QS Ali ‘Imraan:154).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan arti “zhannal jaahiliyyah” (persangkaan orang-orang Jahiliyah) dalam ayat ini, beliau berkata: “Persangkaan orang-orang Jahiliyah di sini ditafsirkan (oleh oleh para ulama ahli tafsir) dengan mengingkari hikmah dan takdir Allah (atas seluruh makhluk-Nya), atau mengingkari bahwa Allah akan memenangkan agama (yang dibawa) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya unggul di atas agama-agama lainnya.
Inilah persangkaan buruk kepada Allah Ta’ala yang dilakukan oleh orang-orang munafik dan orang-orang musyrik (yang Allah Ta’ala sebutkan) dalam firman-Nya:
{وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرً}
“Dan supaya Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan, yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapatkan giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai, mengutuk serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah seburuk-buruk tempat kembali” (QS al-Fath:6).
Persangkaan ini (disebut) persangkaan buruk, dan persangkaan Jahiliyah yang dinisbatkan kepada orang-orang jahil (bodoh), serta persangkaan yang tidak benar, karena merupakan prasangka yang tidak pantas bagi nama-nama Allah yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi serta zat-Nya yang maha suci dari segala keburukan dan celaan…
Maka demikian pula (termasuk berprasangka buruk kepada-Nya) orang yang mengingkari ketetapan takdir-Nya atas semua yang berlaku di alam semesta, (dan Dia menakdirkan semua itu) dengan hikmah-Nya yang maha sempurna dan untuk tujuan kebaikan (bagi hamba-hamba-Nya), yang dengan itu Dia berhak untuk dipuji (oleh hamba-hamba-Nya)…Maka Dia tidaklah menciptakan dan menakdirkan semua itu dengan sia-sia dan tanpa tujuan. (Allah Ta’ala berfirman):
{ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ}
“Yang demikian itu adalah prasangka (buruk) orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka” (QS Shaad:27)”[30].
Prasangka buruk ini, disamping dosanya sangat besar bahkan bisa sampai pada tingkat kekafiran, tentu saja akibatnya pun sangat fatal dan buruk bagi pelakunya, karena Allah akan memeperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi:
“أنا عند ظنّ عبدي بي”
“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku”[31].
Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut[32].
Apa arti “takdir yang buruk”?
Dalam beberapa hadits yang shahih disebutkan bahwa ada takdir Allah Ta’ala yang bersifat “buruk”, misalnya dalam hadits Jibril yang terkenal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Iman itu adalah) kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk”[33].
Juga dalam doa qunut pada waktu shalat witir, yang diajarkan oleh Nabi r kepada cucu kesayangan beliau, Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu: “…(Ya Allah) jagalah diriku dari keburukan takdir yang Engkau tetapkan”[34].
Apakah arti “takdir-Nya yang buruk”? Apakah ada perbuatan-Nya yang buruk? Bukankah AllahTa’alamaha indah dan sempurna semua sifat dan perbuatan-Nya, serta maha suci dari semua bentuk keburukan? Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa iftitah: “…Kebaikan itu semua ada di tangan-Mu, dan keburukan itu tidaklah ada pada-Mu…”[35].
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab pertanyaan di atas[36] dalam ucapan beliau: “Keburukan (yang ada) pada takdir bukanlah ditinjau dari takdir Allah (perbuatan-Nya menakdirkan), akan tetapi keburukan tersebut (ada pada) al-maqduur (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya), karena (kata) al-qadar (bisa) berarti at-taqdir (perbuatan Allah menakdirkan) dan (bisa) berarti al-maqduur (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya). Sebagaimana (kata al-khalqu bisa berarti) menciptakan (perbuatan Allah Ta’ala) dan (bisa berarti) makhluk (yang diciptakan-Nya)…
Oleh karena itu, (jika) ditinjau dari perbuatan Allah menakdirkan maka tidak ada (padanya) keburukan (sedikitpun) bahkan semua adalah kebaikan, meskipun tidak sesuai dengan (keinginan) manusia dan meskipun menyakitkan baginya. Adapun kalau ditinjau dari al-maqduur (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya) maka kita katakan: ada yang baik dan ada yang buruk. Sehingga arti (kalimat) “takdir yang baik dan yang buruk” adalah al-maqduur (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya) ada yang baik dan ada yang buruk.
Kita bisa menjadikan contoh dalam masalah ini dengan firman Allah Ta’ala:
{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
“Telah nampak kerusakan (bencana) di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (dosa) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS ar-Ruum:41).
Dalam ayat ini Allah Ta’ala menjelaskan kerusakan (bencana) yang terjadi (di muka bumi), beserta sebab dan tujuan (hikmah)nya. Kerusakan (bencana) adalah keburukan, sebabnya perbuatan buruk (dosa) manusia, dan tujuan (ditimpakan-Nya) bencana tersebut adalah “supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Maka terjadinya keburukan (bencana) di daratan dan di lautan adalah dengan hikmah (yang agung), meskipun bencana itu sendiri adalah keburukan, akan tetapi karena padanya ada hikmah yang agung (yaitu agar manusia kembali ke jalan yang benar), maka dengan ini (berarti) perbuatan Allah menakdirkan bencana tersebut adalah kebaikan.
Demikian pula perbuatan maksiat dan kekafiran adalah keburukan, dan semuanya (terjadi) dengan ketetapan takdir-Nya, akan tetapi (Dia menakdirkannya) dengan hikmah yang agung, kalau bukan karena (hikmah tersebut) maka akan sia-sialah hukum-hukum syariat (yang Allah Ta’ala turunkan) dan (jadilah) penciptaan manusia tanpa tujuan dan makna”[37].
Faidah dan manfaat mengimani takdir-Nya[38]
1. Iman kepada takdir-Nya merupakan hal yang menyempurnakan keimanan seorang hamba kepada Allah Ta’ala dan tidak akan benar keimanan seorang hamba tanpa hal ini, karena iman kepada takdir Allah Ta’ala termasuk rukun-rukun iman.
2. Iman kepada takdir-Nya termasuk penyempurna tauhid Rububiyyah dan tauhid nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala, sebagiamana penjelasan di awal tulisan ini.
3. Merasakan ketenangan hati, kelapangan jiwa dan tidak merasa gelisah dalam menghadapi kesulitan dalam kehidupan di dunia ini, karena semua itu terjadi dengan ketetapan Allah Ta’ala dan tidak mungkin dihindari.
4. Merasakan musibah menjadi ringan, sehingga memudahkan seorang hamba untuk bersabar dan meraih pahala dari Allah Ta’ala ketika ditimpa musibah dan bencana. Allah Ta’ala berfirman:
{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS at-Taghaabun:11).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya”[39].
5. Orang yang mengimani takdir akan selalu mengembalikan semua urusannya kepada Allah Ta’ala, karena jika dia mengetahui bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir dan ketetapan-Nya maka dia akan selalu kembali kepada-Nya dalam memohon taufik dan kebaikan baginya dan menolak keburukan darinya, serta menyandarkan semua kebaikan dan nikmat kepada-Nya semata. Inilah landasan utama segala kebaikan bagi seorang hamba dan sebab utama meraih taufik dari AllahTa’ala[40].
6- Menjadikan seorang hamba mengetahui kekurangan dan kelemahan dirinya, sehingga dia tidak merasa bangga dan lupa diri ketika melakukan perbuatan baik.
7- Menjadikan orang yang beriman semakin mengetahui sempurnanya hikmah Allah Ta’ala dalam semua perbuatan-Nya.
8- Menjadi motivasi bagi orang yang beriman untuk semakin semangat berbuat kebaikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat.
9- Berani dan tegar dalam menegakkan agama Allah Ta’ala dan tidak takut terhadap celaan manusia dalam kebenaran.
10- Merasakan kekayaan/kecukupan dalam hati, dan inilah kekayaan yang hakiki. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…Ridhahlah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”[41].
Penutup
Demikianlah, semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk mencapai kesempurnaan iman dan tauhid, yang dengan sebab itu kita akan meraih semua kebaikan, keutamaan dan kedudukan yang mulia di dalam agama-Nya, dengan rahmat dan kerunia-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi maha Mengabulkan permohonan hamba-Nya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 21 Syawwal 1431 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Catatan Kaki:
[1] Lihat kitab “at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid” (hal. 549).
[2] Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid” (3/159).
[3] Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini bersumber dari
kesempurnaan ilmu Allah Ta’ala, lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 131).
[4] Kitab “Lum’atul I’tiqaad” (hal. 114).
[5] Kitab “al-‘Aqiidatuth Thahawiyyah” (hal. 32).
[6] Kitab “Jaami’u syuruuhil ‘aqiidatith Thahawiyyah” (1/593).
[7] Lihat kitab “Mu’jamu maqaayiisil lughah” (5/51).
[8] Lihat kitab “al-Irsyaad ila shahiihil I’tiqaad” (hal. 226).
[9] Keterangan Syaikh Shaleh al-Fauzan hafidhahullah dalam kitab “al-Irsyaad ila shahiihil I’tiqaad” (hal. 226).
[10] Lihat kitab “Syarhu ushuulil iman” (hal. 50) tulisan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaiminrahimahullah.
[11] Kitab “Syarhu shahihi Muslim” (1/154).
[12] Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab “Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (2/187-188).
[13] Kitab “Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (2/188).
[14] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (4/341).
[15] HSR Muslim (no. 8).
[16] HSR Muslim (no. 2653).
[17] HSR al-Bukhari (no. 4666) dan Muslim (no. 2647).
[18] HR at-Tirmidzi (no. 2516) dan Ahmad (1/293), dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani rahimahullah.
[19] Beliau adalah seorang Tabi’in senior yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 317).
[20] HR Abu Dawud (no. 4699), Ibnu Majah (no. 77) dan Ahmad (5/182), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 2439).
[21] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (12/305).
[22] Lihat kitab “al-‘Aqiidatul waasithiyyah” (hal. 22), “Syarhu ushuulil iimaan” (hal. 50), dan kitab “al-Irsyaad ila shahiihil I’tiqaad” (hal. 226-227).
[23] HSR Muslim (no. 2653).
[24] Kitab “Syarhu lum’atil i’tiqaad” (hal. 92-93).
[25] HR Abu Dawud (no. 4700), at-Tirmidzi (no. 3319) dan Ahmad (5/317), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah.
[26] HSR al-Bukhari (no. 1226) dan Muslim (no. 2643).
[27] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/175).
[28] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 830).
[29] Kitab “al-Irsyaad ila shahiihil i’tiqaad” (hal. 227).
[30] Kitab “Zaadul ma’aad” (3/196).
[31] HSR al-Bukhari (no. 7066- cet. Daru Ibni Katsir) dan Muslim (no. 2675).
[32] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/312) dan “Tuhfatul ahwadzi” (7/53).
[33] HSR Muslim (no. 8).
[34] HR Abu Dawud (no. 1425), an-Nasa’i (no. 1745), Ibnu Majah (no. 1178), dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah (no. 1095), Ibnu Hibban (no. 722) dan Syaikh al-Albanirahimahullah.
[35] HSR Muslim (no. 771).
[36] Lihat juga keterangan Imam an-Nawawi rahimahullah dalam “Syarhu shahiihi Muslim” (6/59).
[37] Kitab “Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (2/191-192).
[38] Pembahasan ini kami rangkum dari kitab-kitab berikut: “Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (2/189-190), “al-Irsyad ila shahiihil i’tiqaad” (229-231), “Syarhu usuulil iman” (hal. 55-56) dan “Arkaanul Islamwal iman” (78-81).
[39] Tafsir Ibnu Katsir (8/137).
[40] Sebagaimana keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “al-Fawaa-id” (hal. 97).
[41] HR at-Tirmidzi (no. 2305) dan Ahmad (2/310), dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah.
Sumber ; Di Sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar