Hadits Ke-2 . Diterjemahkan oleh Abu Abdillah Arief B. bin Usman Rozali dari kitab Fat-hul Qawiyyil Matin fi Syarhil
Arba'in wa Tatimmatul Khamsin, karya Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-'Abbad Al-Badr -hafizhahullah-,
cetakan Daar Ibnul Qayyim & Daar Ibnu 'Affan, Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1424 H/ 2003 M. Hadits ke-2,
halaman 15 sampai 29.
Dari Umar radhiallahu 'anhu pula berkata, pada suatu hari tatkala kami duduk-duduk
bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba tampak seorang laki-laki kepada
kami yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat sedikitpun
padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tidak ada di antara kami yang mengenalnya.
Lalu orang tersebut duduk di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian dia
merapatkan lututnya pada lutut Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan meletakkan kedua
tapak tangannya di atas paha Rasulullah, seraya bertanya, “Wahai Muhammad, beritahu
aku tentang Islam!”. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Islam
adalah engkau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan
sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan
zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan mengerjakan haji ke Baitullah jika engkau
mampu melakukannya”. Orang itu berkata, “Engkau benar”. Maka kami pun heran, dia
yang bertanya namun dia pula yang membenarkan jawabannya. Maka orang itu bertanya
lagi, “Beritahu aku tentang iman!”. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,
“Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
utusan-utusan-Nya (Rasul-Rasul-Nya), hari kiamat, dan kepada takdir yang baik dan
buruk”. Orang itu berkata lagi, “Engkau benar”. Dia bertanya lagi, “Beritahu aku tentang
ihsan!”. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihatnya, namun jika engkau tidak bisa melihatnya, yakinlah
bahwa Dia melihatmu!”. Orang itu bertanya lagi, “Beritahu aku tentang hari kiamat!”.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Orang yang ditanya tentang itu, tidak lebih
tahu dari yang bertanya”. Kemudian orang itu bertanya lagi, “Beritahu aku tentang tandatandanya!”.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Yaitu (jika) seorang budak
wanita melahirkan majikan perempuannya (nyonyanya), dan (jika) engkau melihat orang
tidak beralas kaki, tidak berpakaian, miskin dan penggembala kambing, mereka berlombalomba
dalam meninggikan bangunan”. Kemudian orang itu beranjak pergi. Sedangkan aku
(Umar) terdiam cukup lama. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya
kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu?”. Aku
menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun
bersabda, “Dia adalah Jibril, datang kepadamu untuk mengajarkan perkara agamamu”.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim , HR. Muslim (8) dan lain-lain.
PENJELASAN HADITS
1. Hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Umar radhiallahu 'anhu ini, hanya dikeluarkan oleh
Muslim saja dan tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari. Namun mereka berdua sepakat
mengeluarkan hadits ini dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu. Dan Imam An-
Nawawi radhiallahu 'anhu memulai hadits-hadits Arba'in-nya dengan hadits Umar
"Innamal a'maalu bin niyyaat", yang merupakan hadits pertama dalam Shahih Al-Bukhari.
Dan Imam An-Nawawi menjadikan hadits Umar yang menjelaskan kisah Jibril ini sebagai
hadits yang kedua dalam Arba'in-nya, yang merupakan hadits pertama dalam Shahih
Muslim. Hal ini, telah dilakukan pula oleh orang sebelum Imam An-Nawawi, yaitu Imam
Al-Baghawi dalam kedua kitabnya; Syarhus Sunnah dan Mashabihus Sunnah. Beliau
(Imam Al-Baghawi) memulai kedua kirtabnya tersebut dengan kedua hadits ini.
Dan telah saya (Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad) pisahkan secara tersendiri dalam satu
kitab dengan penjelasan yang lebih luas dari penjelasan di sini.
2. Hadits ini merupakan hadits yang pertama dalam Kitab Al-Iman dalam Shahih Muslim.
Hadits ini dibawakan oleh Ibnu Umar dari ayahnya. Dan pada sebab beliau membawakan
hadits ini terdapat kisah yang dibawakan oleh Muslim dipermulaan hadits ini dengan
sanad-nya dari Yahya bin Ya'mar, ia berkata, "Orang yang pertama kali berbicara (dan
mempermasalahkan) tentang taqdir (mengingkari taqdir) di Bashrah adalah Ma'bad Al-
Juhani. Kemudian aku dan Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari pergi (ke Mekkah)
untuk melakukan ibadah haji atau umrah. Kami berkata, seandainya kita bertemu salah
satu sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kita dapat tanyakan tentang apa
yang telah dikatakan oleh mereka tentang taqdir. Kemudian, kami diberi tawfiq (oleh
Allah) untuk bertemu Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab, dan beliau sedang memasuki
masjid. Maka saya (Yahya bin Ya'mar) dan teman saya (Humaid bin Abdurrahman Al-
Himyari) mendekati beliau. Salah satu dari kami dari sebelah kanannya, dan yang lain dari
sebelah kirinya. Saya sudah mengira bahwa teman saya tersebut akan menyerahkan
pembicaraan kepada saya. Maka saya pun berkata, Wahai Abu Abdirrahman! Telah
muncul dari daerah kami orang-orang yang membaca Al-Qur'an, dan mereka pun
memperdalam (mencari hal-hal yang pelik) tentang ilmu". Kemudian disebutkan tentang
sifat dan keadaan mereka. "Dan mereka mengira bahwa tidak ada taqdir, dan segala
perkara adalah baru (terjadi dengan sendirinya dan tidak ada kaitannya dengan taqdir
Allah)". Abdullah bin Umar berkata, "Jika kamu bertemu dengan mereka, beritahu mereka
bahwa saya berlepas diri dengan mereka dan mereka pun berlepas diri dariku. Demi Dzat
yang dijadikan sumpah dengan-Nya oleh Ibnu Umar (yakni; demi Allah), jika salah satu
dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu ia menginfakannya, Allah tidak
akan pernah menerimanya sampai ia beriman dengan taqdir". Kemudian Abdullah bin
Umar berkata, "Telah mengkhabariku ayahku Umar bin Al-Khaththab…". Kemudian
beliau pun membawakan hadits ini (seluruhnya hanya) untuk berdalil dengannya atas
(wajibnya) beriman kepada taqdir. Dan pada kisah ini terdapat penjelasan bahwa
munculnya bid'ah Qadariyyah (orang-orang yang mengingkari taqdir) sudah ada di zaman
sahabat, tepatnya pada masa Ibnu Umar masih hidup. Dan beliau wafat pada tahun 73
Hijriyah radhiallahu 'anhuma. Sebagaimana didapatkan pada kisah ini bahwa para Tabi'in
senantiasa mengembalikan perkara agama mereka kepada para sahabat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dan demikianlah seharusnya, kembali kepada ahlul 'ilmi
(para ulama) dalam setiap waktu, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.
[QS. An-Nahl: 43 dan Al-Anbiyaa': 7].
Dan bid'ah Qadariyyah adalah seburuk-buruk bid'ah. Hal ini dapat dipahami dari
perkataan yang keras dari Abdullah bin Umar. Dan juga hendaknya seorang mufti (yang
ditanya dan memberikan fatwa atau jawaban) menyebutkan hukum dan dalilnya.
3. Dalam hadits Jibril ini terdapat dalil bahwa malaikat jika mendatangi manusia ia dapat
berubah bentuk seperti manusia pula. Dan telah terdapat dalam Al-Qur'an bahwa jibril
datang kepada Maryam dalam bentuk manusia. Demikian pula mereka (para malaikat)
datang kepada Ibrahim dan Luth dalam bentuk manusia. Mereka dapat berubah bentuk
dari bentuk mereka yang sesungguhnya ke bentuk manusia dengan kekuasaan Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyebutkan tentang bentuk
penciptaa mereka dalam firman-Nya,
Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai
utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap,
masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya
apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [QS.
Fathir: 1].
Dan dalam Shahih Al-Bukhari (4857) dan Shahih Muslim (174) dijelaskan bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Jibril, dan ia memiliki enam ratus sayap.
4. Dalam kedatangan Jibril kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan duduknya di
depan beliau terdapat penjelasan tentang sebagian etika penuntut ilmu di hadapan seorang
guru. Dan hendaknya orang yang bertanya tidak hanya menanyakan tentang hukum yang
tidak ia ketahuinya saja, akan tetapi ia juga boleh menanyakan hal-hal lainnya walaupun ia
sudah mengatahui hukumnya, dengan tujuan agar orang-orang yang hadir dapat
mendengarkan jawabannya pula. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
menisbahkan ta'lim (pengajaran) ini kepada Jibril. Beliau bersabda "Dia adalah Jibril,
datang kepadamu untuk mengajarkan perkara agamamu". Padahal ta'lim tersebut
berasal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena beliaulah yang langsung
menjelaskannya. Namun disandarkan kepada Jibril, karena beliau itulah yang
menyebabkan Rasulullah menjelaskan perkara tersebut.
5. Dalam hadits disebutkan; Wahai Muhammad, beritahu aku tentang Islam!”. Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Islam adalah engkau bersaksi
bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya
Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat,
berpuasa pada bulan Ramadhan, dan mengerjakan haji ke Baitullah jika engkau
mampu melakukannya”.
Di sini, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab pertanyaan Jibril tentang Islam
dengan perkara-perkara yang zhahir. Dan tatkala Jibril bertanya tentang iman, nabi
menjawabnya dengan perkara-perkara yang batin. Dan lafazh "Islam" dan "Iman"
termasuk lafazh-lafazh yang apabila keduanya bergabung dalam penyebutan, maka
keduanya memiliki perbedaan dalam makna. Dan di sini, kedua lafazh tersebut
bergabung. Sehingga Islam ditafsirkan dengan perkara-perkara yang lahir. Dan inilah yang
selaras dan sesuai dengan makna Islam yang artinya berserah diri dan tunduk patuh kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sedangkan Iman. Ia ditafsirkan dengan perkara-perkara yang
batin. Dan ini pun sesuai dengan makna Iman yang artinya membenarkan dan meyakini.
Namun, jika masing-masingnya berpisah dan berdiri sendiri, ia mencakup kedua makna
tersebut sekaligus, baik perkara-perkara yang lahir maupun yang batin.
Di antara dalil yang menunjukkan lafazh Islam yang berdiri sendiri adalah
firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala,
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [QS.
Ali 'Imran: 85].
Dan di antara dalil yang menunjukkan lafazh iman yang berdiri sendiri adalah firman-Nya
Subhanahu wa Ta'ala,
… dan barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam), maka terhapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang
merugi. [QS. Al-Maidah: 5].
Dan yang semisal dengan masalah ini adalah dua kata "faqir" dan "miskin", "al-birr" dan
"at-takwa", dan yang semisalnya.
Dan perkara pertama tentang penafsiran Islam adalah syahadat laa ilaaha illallah, dan
syahadat Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan kedua syahadat ini
saling berkaitan (tidak terpisahkan). Dan kedua syahadat ini pun wajib diucapkan dan
diyakini oleh jin dan manusia sejak diutusnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
hingga hari kiamat.
Barangsiapa yang tidak beriman kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam, maka kelak ia termasuk penghuni neraka, berdasarkan sabdanya shallallahu
'alaihi wa sallam,Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangannya, tidaklah seorang pun
mendengar tentang diriku dari umat ini, seorang Yahudi atau pun Nashrani, lalu ia
mati dalam keadaan tidak beriman kepada apa-apa yang aku diutus dengannya,
melainkan ia termasuk penghuni neraka.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya (153).
Dan syahadat laa ilaaha illallah maknanya adalah laa ma'buuda haqqun illallah (Tiada
sesembahan yang haq benar untuk disembah selain Allah). Dan kalimatul ikhlas (syahadat
laa ilaaha illallah) ini mencakup dua rukun; peniadaan menyeluruh di awalnya, dan
penetapan khusus di akhirnya. Di awalnya adalah peniadaan segala bentuk ibadah yang
ditujukan kepada selain Allah. Dan di akhirnya adalah penetapan segala ibadah hanya
untuk Allah saja yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan khabar (predikat) huruf "Laa" yang
bersifat menafikan segala jenis taqdir-nya adalah "haq". Dan tidak benar jika di-taqdirkan
"maujud" (ada). Karena masalahnya; tuhan-tuhan yang batil yang tidak berhak
disembah itu kenyataannya ada, dan bahkan banyak. Yang ditiadakan adalah sifat
ketuhanan yang haq (berhak untuk disembah satu-satunya). Sifat inilah yang tidak ada
pada tuhan-tuhan selain Allah, dan hanya ada pada Allah saja.
Adapun makna syahadat Muhammad Rasulullah adalah; beliau harus lebih dan paling
dicintai dari semua makhluk. Dan beliau wajib ditaati dalam segala perintahnya, dan
meninggalkan segala yang dilarangnya. Dan semua khabar yang datang dari beliau wajib
dibenarkan, sama saja khabar-khabar yang sudah terjadi, atau yang belum terjadi di masa
yang akan datang, atau pun yang sedang berlangsung. Walaupun khabar tersebut belum
terlihat atau tersaksikan. Dan Allah wajib disembah sesuai dengan apa-apa yang beliau
bawa berupa al-haq dan al-huda (kebanaran dan petunjuk).
Mengikhlaskan amal ibadah hanya untuk Allah dan mengikuti apa-apa yang dibawa oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan konsekuensi syahadat laa ilaaha
illallah, dan syahadat Muhammad Rasulullah. Setiap amal perbuatan apapun yang
ditujukan untuk pendekatan diri kepada Allah (beribadah dengannya kepada Allah), maka
itu harus dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam. Maka jika Ikhlas tidak terpenuhi, amal ibadah tidak akan diterima. Berdasarkan
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan. [QS. Al-Furqan: 23].
Dan juga firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi,
… Aku Dzat Yang Mahakaya dari segala sekutu. Barangsiapa yang beramal sebuah
amalan yang ia menyekutukan-Ku di dalamnya, pasti Aku tinggalkan dia dan
kesyirikannya itu.
Diriwayatkan oleh Muslim (2985).
Demikian pula jika ittiba' tidak terpenuhi, maka amal ibadah pun tidak akan diterima.
Berdasarkan sabdanya shallallahu 'alaihi wa sallam,
Barangsiapa yang mengada-ada perkara baru dalam agama kami yang bukan dari
agama kami, maka perkara tersebut tertolak.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2697) dan Muslim (1718).
Dan dalam Shahih Muslim dengan lafazh,
Barangsiapa mengamalkan sebuah amalan yang tidak ada (contohnya) dalam agama
kami, maka amalan tersebut tertolak.
Dan kalimat dalam hadits ini lebih umum dari yang hadits yang pertama. Karena
mencakup orang yang melakukan perbuatan bid'ah yang pertama kali membuatnya, dan
juga mencakup orang yang melakukannya karena hanya ikut-ikutan yang lainnya saja.
Adapun penjelasan tentang shalat, zakat, puasa, dan haji akan datang pada penjelasan
hadits "Buniyal Islamu 'ala khams", yang akan datang langsung setelah penjelasan hadits
ini (hadits yang ketiga).
6. Perkataan "Orang itu berkata, “Engkau benar”. Maka kami pun heran, dia yang bertanya
namun dia pula yang membenarkan jawabannya". Letak keheranannya adalah karena pada
umumnya orang yang bertanya tidak mengetahui jawaban pertanyaannya. Biasanya si
penanya bertanya untuk mengetahui jawabannya. Dan penanya yang seperti ini, tidak akan
berkata kepada orang yang menjawab pertanyaannya "kamu benar". Karena jika sampai
berkata demikian, berarti ia sudah memiliki jawaban sebelum ia bertanya. Oleh sebab
inilah para sahabat merasa heran dengan pembenaran si penanya yang asing ini.
7. Perkataan "Maka orang itu bertanya lagi, “Beritahu aku tentang iman!”. Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam menjawab, “Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikatmalaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan-Nya (Rasul-Rasul-Nya), hari kiamat,
dan kepada takdir yang baik dan buruk”".
Jawaban ini mencakup rukun Iman yang enam. Dan rukun pertamanya adalah beriman
kepada Allah. Dan ini merupakan asas dan dasar segala sesuatu yang wajib diimani. Oleh
karena itu, beriman kepada malaikat, kitab-kitab dan Rasul-Rasul disandarkan kepada-
Nya. Dan barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah, ia tidak mungkin beriman dengan
rukun-rukun yang setelahnya. Dan beriman kepada Allah, mencakup beriman kepada
keberadaan-Nya, sifat ketuhanan-Nya, hak-Nya sebagai tuhan (yakni; untuk diibadahi),
dan beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan juga beriman bahwa Allah
tersifati dengan segala kesempurnaan yang layak bagi-Nya dan Yang Maha Suci dari
segala kekurangan. Maka, wajiblah mengesakan-Nya dalam sifat ketuhanan-Nya, hak-Nya
untuk diibadahi, dan beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Dan maksud dari mengesakan-Nya dalam sifat ketuhanan-Nya adalah meyakini bahwa
Allah Mahasatu dalam segala perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu terhadap perbuatan-Nya
itu. Seperti; menciptakan, memberikan rezeki, menghidupkan, mematikan, mengatur
segala urusan alam semesta, dan perbuatan lainnya yang berkaitan dengan sifat-sifat
ketuhanan-Nya.
Dan maksud dari mengesakan-Nya dalam hak-haknya sebagai tuhan, adalah mengesakan
segala perbuatan hamba yang berkaitan dengan ibadah (penghambaan) hanya untuk-Nya.
Seperti; berdoa, takut, berharap, bertawakal, memohon pertolongan, memohon
perlindungan, meminta hujan, menyembelih, ber-nadzar, dan lainnya yang merupakan
bentuk ibadah yang wajib diperuntukkan khusus untuk-Nya. Maka, tidak boleh seorang
pun memalingkan satu pun dari jenis-jenis ibadah ini kepada selain-Nya. Walaupun
dipalingkan kepada malaikat yang dekat kedudukannya (di sisi Allah), atau pun kepada
Nabi yang diutus (oleh Allah). Terlebih lagi kepada siapapun selain mereka dari makhluk-
Nya.
Adapun maksud dari mengesakan-Nya dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya, adalah
menetapkan segala sesuatu yang Allah sendiri tetapkan untuk diri-Nya, dan juga
menetapkan segala sesuatu yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tetapkan untuk-
Nya berupa nama-nama dan sifat-sifat, sesuai dengan kelayakan yang sesuai dengan
kesempurnaan-Nya dan keagungan-Nya. Ini semua wajib dilakukan dengan tanpa takyiif
(yakni; tanpa bertanya bagaimana hakikat atau keadaan sesungguhnya). Juga tanpa tamtsiil
(yakni; tanpa menyamakan atau memisal-misalkan dengan apa-apa yang ada di antara
makhluknya). Dan tanpa tahriif (yakni; tanpa mengubah-ubah lafazh atau maknanya). Dan
tanpa ta'wiil (yakni; tanpa memalingkan maknanya kepada makna yang bukan
sebenarnya). Dan demikian pula, dengan tanpa ta'thiil (yakni; tanpa menolak dan
membatalkan lafazh atau maknanya). Dengan tetap menyucikannya dari segala sifat dan
perkara yang tidak pantas dan tidak layak untuk-Nya. Sebagaimana firman-Nya,
…tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar
dan Melihat.
[QS. ASy-Syuraa: 11].
Dalam ayat ini, Allah menggabungkan antara penetapan dan penyucian. Adapun
penetapan, maka pada firman-Nya ( ÙˆَÙ‰ُÙˆَ اَÙ„ سمِيعُ اَÙ„ْبَصِÙŠَُ ) "…dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar dan Melihat". Dan penyucian pada firman-Nya ( Ù„َÙŠْسَÙƒََÙ…ِØ«ْÙ„ِÙˆِ Ø´ََÙ‰ْØ¡ٌَ ) "…tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia…". Maka, Allah Subhanahu wa Ta'ala
memiliki pendengaran, namun pendengaran-Nya tidak seperti pendengaran-pendengaran
lainnya (dari makhluknya). Allah memiliki penglihatan, namun penglihatan-Nya tidak
seperti penglihatan-penglihatan lainnya (dari makhluknya). Dan demikian seterusnya
berlaku hal seperti ini pada seluruh nama dan sifat-Nya.
Dan beriman kepada para malaikat, maksudnya adalah beriman bahwa mereka makhluk
Allah. Mereka diciptakan dari cahaya. Sebagaimana dalam Shahih Muslim (2996),
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala, dan Adam
diciptakan dari apa-apa yang tersifati pada kalian.
Para malaikat memiliki sayap-sayap sebagaimana yang ditunjukkan pada ayat pertama
dalam surat Fathir. Dan Jibril memiliki enam ratus sayap, sebagaimana yang ditunjukkan
oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan telah lalu di atas. Jumlah mereka sangat
banyak, tadak ada yang mengatahuinya melainkan hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan
menunjukkan hal itu, bahwa Al-Baitul Ma'mur yang ada di langit ke tujuh, setiap hari
selalu dimasuki oleh para malaikat, dan mereka (jika sudah keluar) tidak kembali lagi ke
Al-Baitul Ma'mur tersebut. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (3207) dan
Muslim (162).
Dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (2842), dari Abdullah bin Mas'ud a, beliau
berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Kelak akan didatangkan neraka Jahannam pada hari kiamat, dan padanya terdapat
tujuh puluh ribu tali kekang. Dan pada setiap tali kekang tersebut diseret oleh tujuh
puluh ribu malaikat.
Dan para malaikat, di antara mereka ada yang ditugaskan (oleh Allah) sebagai penyampai
wahyu. Di antara mereka juga ada yang ditugaskan sebagai penurun hujan. Ada yang
bertugas sebagai pencabut nyawa. Ada pula yang bertugas sebagai penyambung
silaturahim (malaikat rahmat). Ada yang bertugas sebagai penjaga surga. Ada yang
bertugas sebagai penjaga neraka. Dan ada pula yang lainnya. Mereka semua berserah diri
dan tunduk patuh kepada perintah Allah. Mereka tidak pernah membantah dan
membangkang apa-apa yang Allah perintahkan kepada mereka, bahkan mereka senantiasa
melakukan apa-apa yang Allah perintahkan. Di antara mereka ada yang kita ketahui nama
mereka karena tercantum dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Di antara mereka; Jibril,
Mikail, Israfil, Malik, Munkar dan Nakir. Dan kewajiban setiap Muslim adalah beriman
kepada (keberadaan) seluruh malaikat, baik yang diketahui namanya di antara mereka,
atau pun yang tidak diketahui. Dan kewajiban kita sebagai seorang Muslim adalah
beriman dan membenarkan setiap apa yang tertera dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah yang
berkaitan dengan kabar para malaikat.
Dan beriman kepada kitab-kitab Allah artinya membenarkan dan meyakini dengan semua
kitab suci yang Allah turunkan kepada salah satu Rasul dari Rasul-Rasul-Nya.
Berkeyakinan bahwa kitab-kitab suci tersebut adalah haq. Diturunkan oleh Allah dan
bukan makhluk-Nya. Kitab-kitab suci tersebut mencakup segala hal yang dapat membuat
bahagia orang yang diturunkan kepadanya. Orang yang mengambilnya sebagai
pedomannya, ia akan selamat dan beruntung. Dan orang yang berpaling darinya, ia akan
celaka dan merugi. Dan di antara kitab-kitab suci ini, ada yang disebutkan dalam Al Qur'an.
Dan ada pula yang tidak disebutkan. Dan di antara yang disebutkan dalam Al-
Qur'an adalah At-Taurat, Al-Injil, Az-Zabur, dan Shuhuf Ibrahim dan Musa. Adapun
tentang Shuhuf Ibrahim dan Musa, maka tercantum dalam dua ayat dalam Al-Qur'an,
dalam surat An-Najm dan Al-A'la dan Zabur (yang diturunkan kepada) Nabi Dawud juga
tercantum dalam dua ayat dalam Al-Qur'an, dalam surat An-Nisa dan Al-Israa. Allah
berfirman pada dua ayat tersebut:
… dan kami berikan Zabur kepada Daud. [QS. An-Nisaa': 163, dan Al-Israa': 55].
Adapun At-Taurat dan Al-Injil, maka kedua kitab suci ini disebutkan dalam banyak ayat
dalam Al-Qur'an. Yang yang paling banyak dari keduanya adalah At-Taurat. Dan tidak
ada seorang rasul pun yang disebutkan dalam Al-Qur'an lebih banyak penyebutannya dari
Musa. Dan tidak ada kitab suci pun yang disebutkan dalam Al-Qur'an lebih banyak
penyebutannya dari kitab suci Musa. Dan At-Taurat ini disebutkan dalam Al-Qur'an
dengan namanya, yaitu At-Taurat, dan juga dinamakan Al-Kitab, Al-Furqan, Adh-Dhiyaa',
dan Adz-Dzikr.
Dan kelebihan Al-Qur'an dari kitab-kitab suci sebelumnya, ia merupakan mu'jizat yang
kekal abadi. Allah pun menjamin untuk menjaganya. Al-Qur'an tidak pernah dan tidak
akan pernah mengalami perubahan. Dan ia pula diturunkan secara berangsur-angsur.
Dan beriman kepada para Rasul artinya membenarkan dan meyakini bahwa Allah memilih
dari manusia para utusan (Rasul) dan Nabi yang menunjukkan seluruh manusia kepada Al-
Haq, dan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman,
Allah memilih utusan-utusan-Nya dari malaikat dan dari manusia… [QS. Al-Hajj: 75].
Adapun kalangan jin, maka tidak ada di antara mereka yang menjadi Rasul. Yang ada
pada mereka adalah para pemberi peringatan. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman,Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan
Al-Qur'an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaannya lalu mereka berkata,
"Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". Ketika pembacaan telah selesai mereka
kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata, "Hai kaum
kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur'an) yang telah
diturunkan sesudah Musa, yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya, lagi
memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah
(seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah
akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari adzab yang pedih. Dan
orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah, maka dia tidak
akan melepaskan diri dari adzab Allah di muka bumi, dan tidak ada baginya pelindung
selain Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata". [QS. Al-Ahqaaf: 29-32].
Pada ayat-ayat di atas, tidak sekelompok Jin tersebut sama sekali Rasul-Rasul dari
kalangan mereka, tidak pula disebutkan kitab suci yang diturunkan kepada mereka. Akan
tetapi yang disebutkan adalah dua kitab suci yang diturunkan kepada Musa dan
Muhammad -'alaihimash shalatu was salam-. Dan tidak pula disebutkan kitab Al-Injil,
padahal kitab suci tersebut diturunkan setelah At-Taurat.
Ibnu Katsir, dalam menafsirkan ayat di atas berkata, "Mereka (sekelompok Jin tersebut)
tidak menyebutkan 'Isa, karena 'Isa 'alaihissalam diturunkan kepadanya Al-Injil yang
didalamnya banyak mengandung nasihat-nasihat dan anjuran-anjuran, dan sedikit
diterangkan di dalamnya masalah halal dan haram. Sehingga, sesungguhnya Al-Injil ini
sebagai penyempurna syariat yang diterangkan dalam At-Taurat. Maka, yang dijadikan
acuan adalah At-Taurat. Oleh karena itu, mereka berkata "…yang telah diturunkan
sesudah Musa…".
Dan para Rasul, mereka dibebani oleh Allah untuk menyampaikan syariat-syariat yang
diturunkan kepada mereka. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan)…
[QS. Al-Hadid: 25].
Dan Al-Kitab di sini adalah nama jenis yang mencakup semua kitab suci. Dan para nabi,
mereka diberi wahyu untuk untuk menyampaikan syariat (para Rasul) sebelum mereka.
Sebagiamana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang
Yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka
dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab
Allah… [QS. Al-Maidah: 44].
Dan seluruh Nabi dan Rasul telah menyampaikan apa-apa yang diperintahkan (oleh Allah)
untuk disampaikan secara baik dan sempurna. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman,… maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain menyampaikan (amanat Allah)
dengan terang.
[QS. An-Nahl: 35].
Dan Allah berfirman,Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan.
Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu, dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah
kepada mereka penjaga-penjaganya, "Apakah belum pernah datang kepadamu rasulrasul
di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan
memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?". Mereka menjawab,
"Benar (telah datang)". Tetapi telah pasti berlaku ketetapan adzab terhadap orangorang
yang kafir. [QS.Az-Zumar: 71].
Az-Zuhri berkata, "Dari Allah Subhanahu wa Ta'ala risalah ini, dan kewajiban para Rasul
adalah menyampaikan, dan kewajiban kita semua untuk menerimanya". Perkataan ini
dibawakan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya, pada kitab At-Tauhid, Bab firman Allah
"Hai Rasul, sampaikanlah
apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa
yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya." (13/503 - Al-
Fath).
Dan para Rasul, di antara mereka ada yang Allah kisahkan mereka dalam Al-Qur'an, dan
ada pula yang tidak. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang
mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka
kepadamu… [QS. An-Nisaa': 164].
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara
mereka ada yang kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak
kami ceritakan kepadamu…
[QS. Al-Mu'min: 78].
Dan para Nabi dan Rasul yang dikisahkan dalam Al-Qur'an berjumlah dua puluh lima (25)
orang. Delapan belas (18) orang di antara mereka disebutkan dalam surat Al-An'am dalam
firman-Nya,Dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi
kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya
Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan
Ishak dan Ya'qub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri
petunjuk, dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada
sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan
Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas, semuanya termasuk orang-orang yang shalih. Dan
Ismail, Al-Yasa', Yunus dan Luth, masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas
umat (di masanya). [QS. Al-An'am: 83-86].
Dan tujuh (7) orang para Nabi dan Rasul lainnya adalah; Adam, Idris, Hud, Shalih,
Syu'aib, Dzul Kifli, dan Muhammad. Semoga shalawat, salam, dan barakah Allah
senantiasa terlimpah kepada mereka semua.
Dan beriman kepada hari akhir, maksudnya adalah membenarkan dan meyakini semua
yang tertera dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah tentang apa-apa yang terjadi setelah
kematian. Allah telah menjadikan dua rumah (tempat dan kehidupan); dunia dan akhirat.
Dan pembatas yang membedakan dan memisahkan antara dua tempat ini adalah kematian
dan ditiupnya sangkakala yang mengakibatkan kematian orang yang saat itu masih hidup
di akhir zaman di dunia ini. Dan setiap orang yang mati, berarti telah berdiri hari qiyamat
baginya. Dan ia berpindah dari tempat amal menuju tempat pembalasan. Adapun
kehidupan setalah kematian, maka ada dua kehidupan; kehidupan barzakhiyyah (di alam
barzakh) -yang terjadi antara kematian dan hari kebangkitan-, dan kehidupan setelah hari
kebangkitan. Dan kehidupan barzakhiyyah (di alam barzakh), tidak ada yang mengetahui
hakikatnya kecuali Allah. Dan kehidupan barzakhiyyah ini mengikuti kehidupan setelah
hari kebangkitan (yakni; terjadi sebelum kehidupan akhirat, Pent). Karena pada masingmasing
kehidupan (yakni; kehidupan barzakhiyyah dan kehidupan akhirat) terjadi
pembalasan terhadap amalan-amalan (yang dahulu dilakukan pada kehidupan dunia).
Orang yang berbahagia, akan mendapatkan kenikmatan dalam kuburnya dengan
kenikmatan surga. Dan orang yang sengsara dan merugi, ia pun akan siksa dalam
kuburnya dengan siksaan neraka.
Dan termasuk ke dalam iman kepada hari akhir adalah beriman kepada hari kebangkitan,
hari dikumpulkannya semua makhluk Allah, syafa'at, telaga (danau yang dimiliki oleh
Rasulullah), hari perhitungan, timbangan, shirath (jembatan yang membentang antara
surga dan neraka), surga, neraka, dan hal-hal lainnya yang telah diterangkan dalam Al-
Kitab maupun As-Sunnah.
Dan beriman kepada taqdir, maksudnya adalah beriman bahwa Allah telah menentukan
(mentaqdirkan) segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat. Dan beriman kepada taqdir
ini terdapat empat perkara secara berurutan; (pertama) meyakini bahwa Allah mengetahui
apa-apa yang akan terjadi. (Kedua;) meyakini bahwa Allah telah menulis taqdir dan
menetapkan ketentuan seluruh makhluk-Nya sebelum Ia menciptakan langit dan bumi
selama lima puluh ribu tahun yang lampau. (Ketiga;) meyakini bahwa Allah melakukan
semua itu karena kehendak-Nya. (Dan keempat;) meyakini bahwa Allah menciptakan dan
membuat semua yang telah ditulis dan ditetapkan menjadi ada, dan sesuai dengan
ketetapan taqdir-Nya tersebut.
Maka, wajib (bagi setiap Muslim) untuk beriman kepada seluruh empat perkara yang
berurutan di atas, dan meyakini bahwa segala yang Allah kehendaki pasti terjadi. Dan apaapa
yang tidak Allah kehendaki, maka tidak akan mungkin terjadi. Dan inilah makna
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
Dan ketahuilah, sesungguhnya segala sesuatu (yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala
tetapkan) tidak akan menimpamu, maka semua itu (pasti) tidak akan menimpamu, dan
segala sesuatu (yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapkan) akan menimpamu,
maka semua itu (pasti) akan menimpamu…
Dan akan datang penjelasan hadits ini pada hadits yang ke sembilan belas.
8. Perkataannya "Beritahu aku tentang Ihsan!”. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab, "Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, namun
jika engkau tidak bisa melihatnya, yakinlah bahwa Dia melihatmu!".
Al-Ihsan merupakan tingkatan (ibadah) yang tertinggi, di bawah tingkatan ini adalah Al-
Iman, dan di bawah tingkatan Al-Iman adalah Al-Islam. Setiap Mu'min adalah Muslim,
dan setiap Muhsin adalah Mu'min dan Muslim. Dan tidak setiap Muslim adalah Mu'min
dan Muslim. Oleh karena itu, diterangkan dalam surat Al-Hujurat,
Orang-orang Arab Badui itu berkata, "Kami telah beriman". Katakanlah, "Kamu
belum beriman, tapi katakan 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke
dalam hatimu… [QS. Al-Hujurat: 14].
Dan telah datang dalam hadits penjelasan tingginya derajat Al-Ihsan dalam sabdanya
"Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya…". Yaitu; engkau
beribadah kepada-Nya seolah-olah engkau berdiri di hadapan-Nya dalam keadaan melihat-
Nya. Dan barangsiapa mampu melakukan demikian, berarti ia akan melakukan ibadah
dengan sebaik-baiknya dan sempurna. Namun, jika ia tidak mampu melakukan hal seperti
ini, maka hendaknya ia selalu merasakan bahwa Allah senantiasa malihatnya, dan tiada
sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Dengan demikian, ia akan selalu berhati-hati
karena Allah akan melihatnya jika ia akan melakukan apa-apa yang dilarang oleh-Nya.
Dan ia pun akan beramal (dengan baik) karena Allah akan melihatnya jika ia akan
melakukan apa-apa yang diperintah oleh-Nya.
9. Perkataannya "Orang itu bertanya lagi, “Beritahu aku tentang hari kiamat!”. Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Orang yang ditanya tentang itu, tidak lebih
tahu dari yang bertanya".
Hanya Allah yang mengatahui tentang kapan terjadinya hari kiamat. Tiada satu makhluk
pun yang mengetahui hari kiamat kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat.
Dan Dia-lah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan
tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya
besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
[QS. Luqman: 34].
Dan Allah berfirman,Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib… [QS. Al-An'am: 59].
Di antaranya adalah pengatahuan tentang hari kiamat.
Dalam Shahih Al-Bukhari (4778) dari Abdullah bin Umar beliau berkata, Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
"Kunci-kunci perkara yang ghaib ada lima". Kemudian beliau membaca ayat
"Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari
kiamat…".
Dan Allah juga berfirman,Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat, "Bilamanakah terjadinya?".
Katakanlah, "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi
Tuhanku, tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia.
Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat
itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". Mereka bertanya
kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah,
"Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui". [QS. Al-A'raaf: 187].
Dan dalam As-Sunnah dijelaskan bahwa kiamat terjadi pada hari Jumat. Adapun pada
tahun kapan? Dan pada bulan apa di tahun tersebut? Dan pada Jumat mana dalam bulan
tersebut? Maka semua itu tidak ada yang mengetahui kecuali hanya Allah. Dalam Sunan
Abi Dawud (1046), dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,Sebaik-baik hari yang padanya terbit matahari adalah hari Jumat. Pada hari itu
diciptakan Adam, pada hari itu pula ia diturunkan (ke bumi), pada hari itu pula
diterima taubatnya (oleh Allah), pada hari itu pula terjadi hari kiamat. Dan pada hari
Jumat, tidak ada satu makhluk pun kecuali ia dapat mendengar sejak subuh hingga
terbit matahari, dikarenakan takut terjadi kiamat, kecuali hanya jin dan manusia…
Dan hadits ini shahih, para periwayatnya adalah para periwayat Al-Kutubus Sittah, kecuali
perawi yang bernama Al-Qa'nabi, maka beliau tidak dikeluarkan (haditsnya) oleh Ibnu
Majah.
Dan sabdanya "Orang yang ditanya tentang itu, tidak lebih tahu dari yang bertanya".
Maksudnya adalah semua makhluk tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya hari
kiamat. Dan siapapun penanya dan yang ditanya, maka kedua-duanya sama saja dalam
ketidaktahuan kapan terjadinya hari kiamat.
10. Perkataan "Kemudian orang itu bertanya lagi, “Beritahu aku tentang tanda-tandanya!”.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Yaitu (jika) seorang budak wanita
melahirkan majikan perempuannya (nyonyanya), dan (jika) engkau melihat orang
tidak beralas kaki, tidak berpakaian, miskin dan penggembala kambing, mereka
berlomba-lomba dalam meninggikan bangunan".
Amaratuha artinya 'alamatuha (tanda-tandanya). Dan tanda-tanda hari kiamat terbagi
menjadi dua macam; tanda-tanda yang dekat dengan kejadiannya, seperti terbitnya
matahari dari sebelah barat, keluarnya Dajjal, keluarnya Ya'juj dan Ma'juj, dan seperti
turunnya Isa bin Maryam 'alaihissalam dari langit. Dan yang (kedua) tanda-tanda hari
kiamat yang terjadi sebelum peristiwa-peristiwa tersebut, seperti dua tanda yang
disebutkan dalam hadits ini.
Dan maksud sabdanya "Yaitu (jika) seorang budak wanita melahirkan majikan
perempuannya (nyonyanya)", ditafsirkan dengan (beberapa penafsiran, di antaranya;)
banyaknya penaklukan dan banyaknya tawanan (budak). Dan di antara budak-budak
wanita, ada yang disetubuhi oleh tuannya, sehingga budak wanita tersebut melahirnya
anak yang sederajat dengan ayahnya, dan ibunya menjadi ummu walad (budak yang
melahirkan anak dari tuannya). Dan juga ditafsirkan dengan (banyaknya) perubahan
keadaan dan banyaknya terjadi kedurhakaan anak-anak kepada orang tua (ayah dan ibu)
mereka. Juga dominasi anak atas orang tuanya (durhaka dan banyak mengatur orang
tuanya). Dengan demikian, seolah-olah (karena banyaknya terjadi hal ini) anak-anak
tersebut tuan-tuan bagi ayah dan ibu mereka.
Dan makna "…dan (jika) engkau melihat orang tidak beralas kaki, tidak berpakaian,
miskin dan penggembala kambing, mereka berlomba-lomba dalam meninggikan
bangunan" adalah bahwa orang-orang miskin yang biasa menggembala kambing dan
tidak mendapatkan apapun yang dapat dijadikan untuk pakaian, keadaan mereka
berubah. Mereka berlomba-lomba membangun bangunan dan kota. Dan kedua tanda ini
telah terjadi.
11. Perkataan "Kemudian orang itu beranjak pergi. Sedangkan aku (Umar) terdiam cukup
lama. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Wahai Umar,
tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu?”. Aku menjawab, “Allah dan Rasul-
Nya lebih mengetahui”. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda, “Dia adalah
Jibril, datang kepadamu untuk mengajarkan perkara agamamu".
Makna "maliyyan" artinya zamaanan (beberapa waktu). Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam telah mengkhabarkan kepada para sahabat tentang si penanya bahwa ia adalah
Jibril, setelah ia berpaling keluar. Dan dijelaskan pula (dalam sebuah riwayat yang lain)
bahwa nabi mengabarkan Umar tiga hari kemudian. Dan ini tidak bertentangan. Karena
(mungkin saja) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhabarkan orang-orang yang
hadir dari para sahabat, dan saat itu Umar sudah pergi pula dari majlis. Lalu, tiga hari
kemudian beliau bertemu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan nabi pun
mengabarinya.
12. Pelajaran dan faidah hadits:
a. Orang yang bertanya, sebagaimana ia boleh bertanya untuk belajar, maka ia pun boleh
bertanya untuk mengajarkan (yang lainnya). Ia boleh bertanya kepada orang yang
memiliki ilmu tentang sesuatu, agar yang lainnya yang hadits dapat mendengarkan
jawabannya.
b. Para malaikat dapat berubah bentuk menjadi rupa manusia. Dan ini bukan dalil akan
bolehnya sandiwara atau drama yang sangat dikenal di zaman ini. Karena ini satu
bentuk kedustaan. Adapun yang terjadi pada Jibril, maka itu (hakikat dan) terjadi
dengan izin dan kekuasaan Allah.
c. Adab pelajar terhadap gurunya.
d. Tatkala lafazh Iman dan Islam bergabung, maka Islam ditafsirkan dengan perkaraperkara
yang lahir, dan Iman ditafsirkan dengan perkara-perkara yang batin.
e. Memulai segala perkara dari yang terpenting, kemudian yang penting, dan seterusnya.
Karena, dalam hadits ini dimulai dengan syahadatain dalam penafsiran Islam,
kemudian setelahnya Iman kepada Allah dalam penafsiran Iman.
f. Sesungguhnya rukun Islam ada lima, dan pokok-pokok Iman ada enam.
g. Sesungguhnya beriman kepada pokok-pokok Iman yang enam termasuk beriman
kepada perkara yang ghaib.
h. Adanya perbedaaan antara Islam, Iman, dan Ihsan.
i. Tingginya derajat Ihsan.
j. Sesungguhnya ilmu (pengetahuan) tentang hari kiamat termasuk ilmu yang Allah
sembunyikan.
k. Penjelasan sekilas tentang tanda-tanda hari Islam.
l. Orang yang ditanya, tatkala ia tidak mengetahui jawaban pertanyaan yang diajukan
kepadanya, hendaknya berkata "Allahu A'lam" (Allah lebih mengetahui).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar