Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla
- Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.
Bukti Cinta
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)
Senin, 18 Juni 2012
6. Ciri-ciri Ahlul hawa (pengekor hawa nafsu) dan Ahlul Bid’ah (Pemimpin/penyeru kepada kebid’ahan)
Apa-apa yang disampaikan pada risalah singkat berikut merupakan PENJELASAN UMUM, bukan vonis kepada orang tertentu. Jika kita menemukan orang yang memiliki sifat seperti dibawah ini, maka kita menasehatinya dan meluruskan kesalahannya dengan baik, BUKAN serta merta mencapnya sebagai “ahli hawa” atau “ahli bid’ah”, karena bisa jadi ia melakukan karena KETIDAKTAHUANnya atau karena SYUBUHAT yang ada dalam hatinya.
Disebut AHLI HAWA atau AHLI BID’AH ketika seseorang telah sampai keterangan yang JELAS dan TERANG padanya, dan dia PAHAM akan keterangan tersebut, sehingga dia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah; telah hilang kebodohan dalam dirinya, telah hilang syubuhat (kerancuan/kebingungan/kesalahpahaman) dalam dirinya; namun dia masih tetap memilih hawa nafsunya, atau dia masih tetap dalam kebid’ahannya bahkan menyeru kepada hawa nafsu/kebid’ahan-nya tersebut.
Maka TIDAK BOLEH kita sembarangan MENGGELARI seseorang (secara khusus/individu) dengan gelar-gelar seperti “ahlul bid’ah” atau “ahlul hawa” karena ini merupakan perkara yang besar.
Berkata al-Imam Ahmad Råhimahullåh,
“Mengeluarkan manusia dari SUNNAH itu sungguh perbuatan yang sangat besar.”
[Lihat as-Sunnah karya Imam al-Khollal, hal. 373; melalui perantaraan (ibid) hal. 12; dinukil dari salah satu artikel Abu Salma hafizhåhullåh]
Berkata al-Imam al-Albaniy råhimahullåh,
“Tidak setiap orang yang jatuh ke dalam kebid’ahan maka (dengan serta merta) kebid’ahan jatuh atasnya (sehingga ia menjadi ahlul bid’ah); dan tidak setiap orang yang jatuh ke dalam kekufuran maka (dengan serta merta) kekufuran jatuh atasnya (sehingga ia menjadi kafir).”
Beliau juga berkata,
“Dalil-dalil terkadang menunjukkan bahwa perbuatan tertentu adalah perbuatan kufur, atau perkataan tertentu adalah perkataan kufur. Namun di sana terdapat faktor yang membuat kita tidak memberikan vonis kafir kepada individu tertentu (yang melakukannya). Faktornya banyak, misalnya karena ia tidak tahu, atau karena ia dikalahkan oleh orang kafir dalam perang.”
(Lihat Fitnah At Takfir, Muhammad Nashiruddin Al Albani)
Syaikh Abdul Latif Alu Syaikh menjelaskan:
“Ancaman (dalam dalil-dalil) yang diberikan terhadap perbuatan dosa besar terkadang tidak bisa menyebabkan pelakunya per individu terkena ancaman tersebut”
(Lihat Ushul Wa Dhawabith Fi At Takfir, Syaikh Abdul Latif bin Abdurrahman Alu Syaikh).
Berkata al-Imam al-’Utsaimin Råhimahullåh,
“Pemberian vonis kafir dan fasiq (kepada seorang tertentu) bukan urusan kita, namun ia dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Karena ia termasuk hukum syariah yang referensinya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka wajib untuk ekstra hati-hati dan teliti dalam permasalahan ini, sehingga tidaklah seseorang dikafirkan dan dihukumi fasiq kecuali bila Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan kekafiran dan kefasikannya.
Dan hukum asal bagi seorang muslim yang secara dzahir nampak ciri-ciri keislamannya adalah tetap berada di atas keislaman sampai benar-benar terbukti dengan dalil syar’i adanya sesuatu yang menghapusnya.
Tidak boleh bermudah-mudahan dalam mengkafirkan seorang muslim atau menghukuminya sebagai fasiq.”
(Al-Qawa’idul Mutsla Fi Shifatillahi wa Asma-ihil Husna, hal. 87-88)
Ciri-ciri ahlul hawa atau ahlul bid’ah
Oleh: Syaikh Ibrahim ar-Ruhailiy Hafizhåhullåh
Ahlul bidah memiliki tanda-tanda yang lengkap dan nampak sehingga mereka mudah dikenal. Dalam al-Quran dan haditsnya Allah dan Rasul-Nya telah mengabarkan tentang sebagian tanda-tanda mereka untuk dijadikan peringatan bagi umat dari bahaya mereka dan larangan mengambil jalan hidup mereka. Para Salaf pun telah menerangkan masalah ini.
Saya akan menyampaikan sebagian dari tanda itu yang dengan tanda itu mereka membedakan diri. Sebagai jembatan penolong supaya mengerti tentang mereka Insaya Allah. Termasuk tanda-tanda mereka adalah:
1. BERPECAH-BELAH
Sesungguhnya Allah taala telah mengabarkan tentang mereka dalam al-Quran. Ia berfirman,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ . وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang berpecah dan berselisih setelah datang keterangan kepada mereka dan bagi mereka adzab yang besar.”
(Ali-Imran: 105)
Ia berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.”
(Al-An’am: 159)
Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini,
Ayat ini secara umum menerangkan orang yang memecah-belah agama Allah dan mereka berselisih. Sesungguhnya Allah mengutus nabi-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar memenangkannya atas semua agama. Syariatnya adalah satu yang tidak ada perselisihan dan perpecahan padanya. Barang siapa yang berselisih padanya maka merekalah golongan yang memecah belah agama seperti halnya pengikut hawa nafsu dan orang-orang sesat. Sesungguhnya Allah ta’ala berlepas diri dari apa yang mereka lakukan.
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa syiar ahli bidah adalah perpecahan. Oleh karena itu al-Firqatun Najiah (golongan yang selamat) disifati dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka adalah jumhur dan kelompok terbesar umat ini. Adapun kelompok lainnya maka mereka adalah orang-orang yang nyleneh, berpecah belah, bidah dan pengikut hawa nafsu. Bahkan terkadang di antara firqah-firqah itu amat sedikit dan syiar firqah-firqah ini ialah menyelisihi al-Quan, as-Sunnah serta ijma.
2. MENGIKUTI HAWA NAFSU
Inilah sifat mereka yang paling jelas. Allah taala berkata mensifati mereka,
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya (sesembahannya) dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya.
(Al-Jaathiya: 23)
Ibnu Katsir berkata,
Yakni ia berjalan dengan hawa nafsunya. Apa yang dilihat baik oleh hawa nafsunya maka ia lakukan dan apa yang dilihatnya jelek maka ia tinggalkan.
Inilah manhaj Mutazilah dalam menganggap baik dan jelek denga logika (-yakni dengan akal dan perasaan-) mereka.
Nabi telah mengabarkan bahwa hawa nafsu tidak akan terlepas dari ahli bidah dalam hadits perpecahan di mana beliau mengatakan,
Sesungguhnya ahli kitab terpecah dalam agama mereka menjadi tujuh dua puluh millah dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menadi tujuh puluh tiga millah -yakni hawa nafsu- semuanya di neraka kecuali satu millah yaitu al-Jamaah.
Sesunguhnya akan muncul pada umatku beberapa kaum hawa nafsu mengalir pada mereka sabaimana mengalirnya penyakit anjing dalam tubuh mangsanya. Tidak tersiksa darinya satu urat dan persendian pun kecuali diamasukinya.
3. MENGIKUTI AYAT-AYAT YANG SAMAR
Sifat mereka ini telah Allah kabarkan dalam firman-Nya,
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat (ayat-ayat yang samar) untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya
(Aal-i-Imraan: 7)
Bukhari meriwayatkan hadits dari Aisyah ia berkata,
Rasulullah membaca ayat ini,
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
“Dialah yang menurunkan al-quran kepada kamu di antara isinya ada aya-ayat yang muhkamat. Itulah pokok-pkok isi ajaran al-Quran dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya
…sampai ayat …
وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
orang-orang yang berakal.
Ia (‘Aa-isyah) berkata,
Rasulullah berkata,
Bila engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutashyabihat maka merekalah yang Allah namakan sebagai orang-orang yang harus dijauhi.
(HR. Bukhari Muslim)
Dari Amiril Mukminin Umar bin Al-Khathab, bahwa ia berkata,
Akan datang manusia mendebat kalian dengan ayat-ayat mutaysabihat maka balaslah mereka dengan sunah-sunnah karena Ahlus Sunnah lebih mengetahui akan kitabullah.
4. MEMPERTENTANGKAN SUNNAH DENGAN AL-QURAN
Termasuk tanda ahli bidah adalah mempertentangkan al-Quran dengan sunnah dan merasa cukup mengambil al-quran dalam pelaksanaan hukum-hukum syara sebagaimana yang diberitakan Nabi:
Seorang laki-laki hampir bersandar di atas ranjangnya dibacakan haditsku lalu mengatakan, antara kami dan kalian adalah kitabullah. Perkara halal yang kita temukan padanya maka kita halalkan dan perkara haram yang kita temukan padanya maka kita haramkan. Ketahuilah apa-apa yang Rasulullah haramkam adalah sama dengan apa yang Allah haramkan.
Al-Imam Al-Barbahari mengatakan:
Bila kamu melihat seorang mencela hadits atau menolak atsar /hadits atau menginginkan selain hadits, maka curigailah keislamnnya dan jangan ragu-ragu bahwa dia adalah ahli bidah(pengikut hawa nafsu) Beliau berkata:Bila kamu mendengar seorang dibacakan hadits di hadapannya tetapi ia tidak menginginkannya dan ia hanya mengingnkan al-Quran maka janganlah kamu ragu bahwa dia seorang yang telah dikuasai oleh kezindikan (kemunafikan). Berdirilah dari sisinya dan tinggalkanlah ia!
Mempertentangkan sunnah dengan al-Quran dan menolaknya bila belum ditemukan pada al-Quran apa-apa yang menguatkan sunnah, termasuk tanda ahli bidah yang paling kentara. Nabi telah mengabarkannya sebelum terjadi dan benarlah beliau. Sekarang apa yang beliau kabarkan telah terjadi. Sungguh kita mendengar dan membaca peristiwa semisal itu dari sebagian ahli bidah pada jaman dulu.
Hingga kita melihat salah satu dari ahli bidah dan orang sesat jaman sekarang menghujat kitab shahih Bukhari yang telah disepakati oleh umat ini keshahihannya. Ia yakin bahwa padanya terdapat seratus dua puluh hadits yang tidak shahih yang ia sebut sebagai hadits Israiliat. Ia menghilangkannya dan mempertentangkannya dengan al-Quran kemudian ia bantah dan ingkari.
Tampillah seorang tokoh ulama sekarang menentang, meruntuhkan sybuhatnya (kerancuannya), menolak kebatilannya, menampakkan penyimpangan dan kepalsuannya dengan karyanya untuk membantahnya dan orang yang menempuh jalanya, ahli bidah. Semoga Allah membalas amalnya dengan sebaik-baik pembalasan.
5. MEMBENCI AHLI HADITS
Termasuk tanda ahli bidah adalah membenci dan mencela ahli hadits dan atsar. Dari Ahamad bin Sinan al-Qaththan katanya:
Dan tidaklah ada di dunia ini seorang mubtadi pun kecuali membenci ahli hadits.
Abu Hatim ar-Razi berkata,
Tanda ahli bidah adalah mencela ahli hadits dan tanda orang zindik adalah menamakan Ahlus Sunnah bengis. Dengan sebutan itu mereka menghendaki hilangnya hadits.
6. MENGGELARI AHLUS SUNNAH DENGAN TUJUAN MERENDAHKAN MEREKA
Termasuk tanda mereka adalah menggelari Ahlus Sunnah (yang bertolak belakang dengan sifat mereka) dengan tujuan merendahkan mereka.
Abu Hatim ar-Razi berkata:
Ciri-ciri Jahmiyyah adalah menamakan Ahlus Sunnah musyabbahah (menyerupakan Allah dengan mahluk).
Ciri-ciri Qadariah adalah menamakan Ahlus Sunnah mujabbirah (makhluk tidak mempunyai kehendak.)
Ciri-ciri Murji’ah adalah menamakan Ahlus Sunnah menyimpang dan mengurangi.
Ciri-ciri Rafidhåh adalah menamakan Ahlus Sunnah nashibah (mencela Ali).
Ahlus Sunnah tidak digabungkan kecuali kepada satu nama dan mustahil nama-nama ini mengumpulkan mereka.
Al-Barbahari berkata,
Dan orang yang tertutup (kejelekannya) adalah yang jelas ia tertutup (kejelekannya) dan orang yang terbuka kejelekannya adalah orang yang jelas aibnya.
Bila kamu mendengar seorang mengatakan fulan Nashibi, ketahuilah bahwa ia adalah Rafidhiy.
Bila kamu mendengar seorang mengatakan fulan musyabbihah atau fulan menyerupakan Allah dengan makhluk, ketahuilah bahwa ia adalah Jahmiy.
Bila kamu mendengar seorang berkata tentang tauhid dan mengatakan, terangkan padaku tauhid!, ketahuilah bahwa ia adalah Kharijiy dan Mutaziliy.
Atau mengatakan, fulan Mujabbirah atau mengatakan, dengan ijbar atau berkata dengan adilm ketahuilah bahwa ia adalah Qadari karena nam-nama ini bidah yang dibuat-buat oleh ahli bidah.
Syaikh Ismail as-Shabuni mengatakan,
Ciri-ciri ahli bidah amat jelas dan terang Sedang tanda-tanda mereka yang paling jelas adalah sangat keras memusuhi para pemilkul hadits, dan menghinakan mereka dan mengelari mereka kaku,bodoh, zhahiri,(tekstual), musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan mahluk).
Semua itu didasari keyakinan mereka bahwa hadits-hadts itu masih berupa benda mentah (bukan ilmu). Dan yang dinamakna ilmu adalah ilham yang dijejalkan setan kepada mereka, hasil dari olah akal mereka yang rusak, intuisi hati nurani mereka yang gelap….
7. TIDAK BERPEGANG DENGAN MADZHAB SALAF
Syaikhul Islam berkata,
Kelompok-kelompok bidah yang terkenal di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang tidak menganut madzhab salaf antara lain kelompok Rafidhah, sampai orang awam tidak mengetahui syiar-syiar bidah kecuali rafdh (menolak kepemimpinan khulafaur rasyidin selain Ali). Dan sunni menurut istilah orang awam adalah orang yang bukan rafidhi….Sehinga diketahui syiar ahli bidah menolak madzhab Salaf.
Oleh karena itu dalam risalah yang ditujukan kepada Abdus bin Malik, Imam Ahmad berkata,
Asas sunnah menurut kami adalah berpegang dengan apa yang dijalani sahabat Muhammad (shålallåhu ‘alayhi wa sallam)….
8. MEMVONIS KAFIR ORANG YANG MENYELISIHI MEREKA TANPA (BUKTI DAN) HUJJAH (YANG NYATA)
Dalam banyak tempat Syaikhul Islam menyebutkan tentang bantahan terhadap orang yang menvonis orang yang masih belum jelas kekafirannya. Pendapat ini tidak diketahui dari seorang sahabat, tabiin, yang mengikuti mereka dengan baik dan tidak pula dari salah satu imam tetapi ini termasuk salah satu pokok dari pokok-pokok ahli bidah yang membuat bidah dan menvonis kafir orang yang menyelisihi mereka semisal Khawarij, Mutazilah dan Jahmiah.
Beliau berkata,
Khawarij,Mutazilah, dan Rafidhah, menvonis kafir Ahlus Sunnah wal Jamaah. Golongan yang belum mereka vonis kafir maka mereka vonis fasik. Demikian juga mayoritas ahlul ahwa menvonis bid’ah dan kafir golongan yang menyelisihi mereka berdasarkan logika semata.
Akan tetapi Ahlus Sunnah adalah golongan yang mengikuti kebenaran dari rab mereka yang dibawa oleh rasul-Nya,tidak menvonis kafir golongan yang menyelisihi mereka. Mereka golongan yang paling tahu tentang kebenaran dan kondisi manusia.
Syaikh Abdul Lathif bin Abdur Rahman Alu Syaikh ditanya tentang orang yang menvonis kafir sebagian golongan yang menyelisihinya. Beliau menjawab,
“Jawabannya, Saya tidak mengetahui sandaran ucapan itu. Berani memvonis kafir golongan lain yang menampakkan keislaman tanpa dasar syari dan keterangan yang akurat menyeilisihi manhaj para pakar ilmu agama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jalan ini adalah jalannya ahlul bidah dan orang-orang sesat.
[Diambil dari Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama'ah min Ahlil Ahwa wal Bid'ah karya Dr. Ibrahim Ruhaily Hafizhåhullåh]
Sumber: www.abuzuhriy.com
Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!
☛ Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)
☛ Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)
☛ Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,
1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)
5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)
6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)
7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)
8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)
9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)
☛ Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,
1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)
3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).
Selengkapnya klik DI SINI
Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar