Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla
- Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.
Bukti Cinta
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)
Minggu, 10 Juni 2012
Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid'ah (1)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin
PENDAHULUAN
Segala puji milik Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kita memujinya, memohon ma'unah dan maghfirah-Nya, bertaubat dan berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri keburukan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tiada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkannya maka tiada yang dapat menunjukinya.
Aku bersaksi bahwa Tuhan yang berhak di sembah selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus Allah dengan membawa petunjuk dan agama yang haq. Beliaupun telah menyampaikan risalah, melaksanakan amanah, tulus dan kasih kepada umat, serta berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya sampai beliau berpulang ke rahmat-Nya, sedang umatnya beliau tinggalkan pada jalan yang terang benderang, siapa yang menyimpang darinya pasti binasa.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan segala kebutuhan umat dalam berbagai aspek kehidupan mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu : "Tidak ada yang diabaikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sampai burung yang mengepakkan sayapnya di langit, melainkan beliau telah mengajarkan kepada kami tentang ilmunya".
Ada seorang musyrik bertanya kepada Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu : " Apakah Nabi kalian mengajarkan sampai tentang tatacara buang hajat ..? Salman menjawab : 'Ya, beliau telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang hajat, dan membersihkan hajat dengan kurang dari tiga batu, atau dengan tangan kanan atau dengan kotoran kering atau dengan tulang".
ALLAH TELAH MENJELASKAN USHUL DAN FURU AGAMA DALAM AL-QURANUL KARIM
Anda tentu tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan dalam Al-Qur'an tentang ushul (pokok-pokok) dan furu' (cabang-cabang) agama Islam. Allah telah menjelaskan tentang tauhid dengan segala macam-macamnya, sampai tentang bergaul sesama manusia seperti tatakrama pertemuan, tatacara minta izin dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu : 'Berlapang-lapanglah dalam majlis', maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu" [Al-Mujaadalah : 11]
Dan firman-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّىٰ يُؤْذَنَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا ۖ هُوَ أَزْكَىٰ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta izin dan memberi salam kepada penghuninya, yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat. Jika kamu tidak menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu : 'Kembalilah !' maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [An-Nuur : 27-28]
.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan pula kepada kita dalam Al-Qur'an tentang cara berpakaian. Firman-Nya.
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi) tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka [1] dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan" [An-Nuur : 60].
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu'min : 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbanya[2] ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang". [Al-Ahzaab : 59].
ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
"Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasaan yang mereka sembunyikan". [An-Nuur : 31]
وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Dan bukankah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[3], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa, dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya". [Al-Baqarah : 189].
Dan masih banyak lagi ayat seperti ini, yang dengan demikian jelaslah bahwa Islam adalah sempurna, mencakup segala aspek kehidupan, tidak perlu ditambahi dan tidak boleh dikurangi. Sebagaimana firman Allah Ta'ala tentang Al-Qur'an.
وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
"Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu". [An-Nahl : 89].
Dengan demikian, tidak ada sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia baik yang menyangkut masalah kehidupan di akhirat maupun masalah kehidupan di dunia, kecuali telah dijelaskan Allah dalam Al-Qur'an secara tegas atau dengan isyarat, secara tersurat maupun tersirat.
Adapun firman Allah Ta'ala.
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ ۚ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
"Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-kitab. Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan". [Al-An'aam : 38].
Ada yang menafsirkan ''al-kitab" disini adalah Al-Qur'an. Padahal sebenarnya yang dimaksud yaitu "Lauh Mahfuzh" . Karena apa yang dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang Al-Qur'an dalam firman-Nya : "Artinya : Dan Kami turunkan kepadmu kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu". lebih tegas dan lebih jelas daripada yang dinyatakan dalam firman-Nya : "Artinya : Tidaklah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-kitab".
Mungkin ada orang yang bertanya : "Adakah ayat di dalam Al-Qur'an yang menjelaskan jumlah shalat lima waktu berikut bilangan raka'at tiap-tiap shalat ? Bagaimanakah dengan firman Allah yang menjelaskan bahwa Al-Qur'an diturunkan untuk menerangkan segala sesuatu, padahal kita tidak menemukan ayat yang menjelaskan bilangan raka'at tiap-tiap shalat ?".
Jawabnya : Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan di dalam Al-Qur'an bahwasanya kita di wajibkan mengambil dan mengikuti segala apa yang telah disabdakan dan ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan atas firman Allah Ta'ala.
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah" [An-Nisaa : 80].
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
"Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah". [Al-Hasyr : 7].
Maka segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya Al-Qur'an telah menunjukkannya pula. Karena sunnah termasuk juga wahyu yang diturunkan dan diajarkan oleh Allah kepada Rasulullah Shalallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
"Artinya : Dan Allah telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) kepadamu". [An-Nisaa : 113].
Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam sunnah maka sebenarnya telah disebutkan pula dalam Al-Qur'an.
RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM TELAH MENJELASKAN PULA SELURUH AGAMA
Pembaca yang budiman.
Apabila saudara telah mengakui dan meyakini akan hal-hal di atas, maka apakah masih ada sesuatu hal tentang agama yang dapat mendekatkan kepada Allah belum dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai beliau wafat ?
Tentu tidak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan segala sesuatu berkenan dengan agama, baik melalui perkataan, perbuatan atau persetujuan beliau. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkannya langsung dari inisiatif beliau, atau sebagai jawaban atas pertanyaan. Kadangkala, dengan kehendak Allah, ada seorang Badui datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertanya tentang sesuatu masalah dalam agama, sementara para sahabat yang selalu menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menanyakan hal tersebut. Karena itu para sahabat merasa senang apabila ada seorang Badui datang untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebagai bukti bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan segala apa yang diperlukan manusia dalam ibadah, mu'amalah dan kehidupan mereka, yaitu firman Allah Ta'ala.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
"Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu". [Al-Maa'idah : 3]
SETIAP BID’AH ADALAH KESESATAN
Apabila masalah tadi sudah jelas dan menjadi ketetapan saudara, maka ketahuilah bahwa siapapun yang berbuat bid'ah dalam agama, walaupun dengan tujuan baik, maka bid'ahnya itu, selain merupakan kesesatan, adalah suatu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman Allah Ta'ala, yang artinya : "Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu ....." . Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan bahwa Islam belum sempurna, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah belum terdapat di dalamnya.
Anehnya, ada orang yang melakukan bid'ah berkenan dengan dzat, asma' dan sifat Allah Azza wa Jalla, kemudian ia mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk mengagungkan Allah, untuk mensucikan Allah, dan untuk menuruti firman Allah Ta'ala.
فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
"Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah". [Al-Baqarah : 22]
Aneh, bahwa orang yang melakukan bid'ah seperti ini dalam agama Allah, yang berkenan dengan dzat-Nya, yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf, mengatakan bahwa dialah yang mensucikan Allah, dialah yang mengagungkan Allah dan dialah yang menuruti firman-Nya : "Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah", dan barangsiapa yang menyalahinya maka dia adalah mumatstsil musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya.
Anehnya lagi, ada orang-orang yang melakukan bid'ah dalam agama Allah berkenaan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan perbuatannya itu mereka menganggap bahwa dirinyalah orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang mengagungkan beliau, barangsiapa yang tidak berbuat sama seperti mereka maka dia adalah orang yang membenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya yang biasa mereka pergunakan terhadap orang yang menolak bid'ah mereka.
Aneh, bahwa orang-orang semacam ini mengatakan : "Kamilah yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya". Padahal dengan bid'ah yang mereka perbuat itu, mereka sebenarnya telah bertindak lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta'ala telah berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Al-Hujuraat : 1].
Pembaca yang budiman.
Disini penulis mau bertanya, dan mohon -demi Allah- agar jawaban yang anda berikan berasal dari hati nurani bukan secara emosional, jawab yang sesuai dengan tuntunan agama anda, bukan karena taklid (ikut-ikutan).
Apa pendapat anda terhadap mereka yang melakukan bid'ah dalam agama Allah, baik yang berkenan dengan dzat, sifat dan asma' Allah Subhanahu wa Ta'ala atau yang berkenan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian mengatakan : "Kamilah yang mengagungkan Allah dan Rasulullah ?".
Apakah mereka ini yang lebih berhak disebut sebagai pengagung Allah dan Rasulullah, ataukah orang-orang yang mereka itu tidak menyimpang seujung jaripun dari syari'at Allah, yang berkata : "Kami beriman kepada syari'at Allah yang dibawa Nabi, kami mempercayai apa yang diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap perintah dan larangan ; kami menolak apa yang tidak ada dalam syari'at, tak patut kami berbuat lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya atau mengatakan dalam agama Allah apa yang tidak termasuk ajarannya ?".
Siapakah, menurut anda, yang lebih berhak untuk disebut sebagai orang yang mencintai serta mengagungkan Allah dan Rasul-Nya .?
Jelas golongan yang kedua, yaitu mereka yang berkata : "Kami mengimani dan mempercayai apa yang diberitakan kepada kami, patuh dan tunduk terhadap apa yang diperintahkan ; kami menolak apa yang tidak diperintahkan, dan tak patut kami mengada-adakan dalam syari'at Allah atau melakukan bid'ah dalam agama Allah". Tak syak lagi bahwa mereka inilah orang-orang yang tahu diri dan tahu kedudukan Khaliqnya. Merekalah yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya, dan merekalah yang menunjukkan kebenaran kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bukan golongan pertama, yang melakukan bid'ah dalam agama Allah, dalam hal akidah, ucapan, atau perbuatan. Padahal, anehnya, mereka mengerti sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam.
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ، فَإِنَّ كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَة، وَكُلَّ بدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ، وَكُلَّ ضَلاَ لَةٍ فِي النَّارِ
"Jauhilah perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan masuk dalam neraka".
Sabda beliau : "setiap bid'ah " bersifat umum dan menyeluruh, dan mereka mengetahui hal itu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyampaikan maklumat umum ini, tahu akan konotasi apa yang disampaikannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling fasih, paling tulus terhadap umatnya, tidak mengatakan kecuali apa yang dipahami maknanya, Maka ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Kullu bid'atin dhalalah", Beliau menyadari apa yang diucapkan, mengerti betul akan maknanya, dan ucapan ini timbul dari beliau karena beliau benar-benar tulus terhadap umatnya.
Apabila suatu perkataan memenuhi ketiga unsur ini, yaitu : diucapkan dengan penuh ketulusan, penuh kefasihan dan penuh pengertian, maka perkataan tersebut tidak mempunyai konotasi lain kecuali makna yang dikandungnya.
Dengan pernyataan umum tadi, benarkah bahwa bid'ah dapat kita bagi menjadi tiga bagian, atau lima bagian ?
Sama sekali tidak benar. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa ada bid'ah hasanah, maka pendapat tersebut tidak lepas dari dua hal.
Pertama : kemungkinan tidak termasuk bid'ah tapi dianggapnya sebagai bid'ah.
Kedua : kemungkinan termasuk bid'ah, yang tentu saja sayyi'ah (buruk), tetapi dia tidak mengetahui keburukannya.
Jadi setiap perkara yang dianggapnya sebagai bid'ah hasanah, maka jawabannya adalah demikian tadi.
Dengan demikian, tak ada jalan lagi bagi ahli bid'ah untuk menjadikan sesuatu bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah, karena kita telah mempunyai senjata ampuh dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu :
وَكُلُّ بدْعَةٍ ضَلاَ
"Setiap bid'ah adalah kesesatan"
Senjata itu bukan dibuat di sembarang pabrik, melainkan datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dibuat sedemikian sempurna. Maka barangsiapa yang memegang senjata ini tidak akan dapat dilawan oleh siapapun dengan bid'ah yang dikatakannya sebagai hasanah, sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatakan : "Setiap bid'ah adalah kesesatan".
[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalis Syar'i wa Khatharil Ibtidaa', edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, penerbit Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]
_______
Footnote
[1]. Maksudnya : Pakaian luar, yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat.
[2]. Jilbab sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
[3]. Pada masa Jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji mereka memasuki rumahnya dari belakang, bukan dari depan. Hal ini ditanyakan oleh para sahabat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka turunlah ayat ini sebagai penjelas
Referensi ; http://almanhaj.or.id/content/3238/slash/0
Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!
☛ Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)
☛ Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)
☛ Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,
1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)
5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)
6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)
7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)
8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)
9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)
☛ Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,
1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)
3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).
Selengkapnya klik DI SINI
Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar