Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Minggu, 17 Juni 2012

10 Kalimat, Bukti Bahwa Seluruh Bid’ah Adalah Sesat


Sesungguhnya telah banyak kitab-kitab yang ditulis berdasarkan dalil dan hujjah yang kokoh yang menjelaskan tentang kebatilan bid’ah dan pendukungnya. Akan tetapi terkadang ada sebagian orang yang tetap pada pendiriannya meyakini bahkan membela bid’ah. Berikut ini akan saya turunkan sebuah tulisan dari buku “Mengapa Anda Menolak Bid’ah Hasanah?” pada bagian penutup yang berisi 10 kalimat yang seandainya orang yang adil mau memikirkan dan memeperhatikannya, niscaya akan tampak baginya bahwa semua bid’ah itu adalah sesat. 


Berikut ini nukilannya :
Setelah menyebutkan dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya bid’ah itu seluruhnya jelek dan buruk, dan setelah mendiskusikan syubhat¬syubhat orang-orang yang mengatakan ada bid’ah hasanah dan membatalkannya, maka menjadi jelaslah bahwa perkataan tentang adanya bid’ah hasanah adalah perkataan bathil yang bertentangan dengan nash-nash dan atsar-atsar (dari para sahabat,pent), maka pada bagian penutup ini akan saya sebutkan sepuluh kalimat, jika satu saja yang akan saya sebutkan dan ini diperhatikan dengan baik, maka sudah cukup untuk menjelaskan tentang kebathilan perkataan tentang bid’ah hasanah, apalagi kalau seluruhnya dirampungkan, dan bagaimana pula jika ditopang dengan nash-nash terdahulu.
Dengan demikian maka tidak akan tersisa sedikitpun syubhat bagi pelaku bid’ah dan tidak pula ada peluang baginya untuk berkomentar.


1: Bahwasanya dalil-dalil tentang celaan terhadap bid’ah sangat banyak, dan semuanya datang dalam bentuk mutlaq (umum), tidak terdapat di dalamnya pengecualian sedikitpun dan tidak pula terdapat di dalamnya sesuatu yang menghendaki (yang terkandung makna) bahwa dalam bid’ah itu ada yang berupa petunjuk (dan ada yang merupakan kesesatan,pent) dan tidak pula terdapat di dalamnya perkataan :”setiap bid’ah itu sesat”, kecuali yang begini dan begini, dan tidak pula perkataan yang semakna dengannya. Seandainya ada bid’ah yang dipandang oleh syara’ sebagai bid’ah hasanah niscaya akan disebutkan dalam suatu ayat ataupun dalam hadits, namun tidak ada, maka ini menunjukkan bahwa dalil-dalil tersebut secara keseluruhan, pada hakikatnya bersifat umum dan menyeluruh yang tidak seorangpun dapat menyelisihi tuntutannya.


2: Bahwasanya telah di tetapkan dalam ushul ilmiah bahwa setiap kaidah kulliyyah atau dalil syar’i kulliyi jika terulang pada banyak tempat dan waktu yang berbeda-beda serta bermacam-macam kondisi dan belum dihubungkan dengan suatu qarinah atau pengkhususan, maka dalil tersebut, tetap pada apa yang di kehendaki oleh lafazhnya yang bersifat umum dan mutlaq.
Hadis-hadits yang mencela dan memperingatkan tentang bid’ah termasuk dalam bentuk seperti ini. Sungguh Nabi صلى الله عليه و سلم sering mengulang-ulang di atas mimbar terhadap sejumlah kaum muslimin dalam banyak waktu dan kondisi yang bermacam-macam bahwa: “setiap bid’ah itu sesat”. Dan tidak terdapat dalam suatu ayat maupun hadits suatu taqyid takhshish (penghususan), dan juga tidak terdapat, sesuatupun yang bisa dipahami darinya yang menyelisihi kenyataan kulliyyah dari keumuman yang terdapat di dalamnya, sehingga hal tersebut secara jelas menunjukkan dalil (hadits) tersebut masih tetap dipahami menurut keumuman dan kemutlakannya


3: Salafus shaleh dari Para sahabat, tabi’in dan orang-orang setelah mereka telah sepakat mencela, menjelekkan dan lari dari bid’ah orang-orang yang melakukan bid’ah, mereka tidak pernah berhenti, dan tidak pernah mereka memberikan pengecualian terhadap masalah tersebut, sehingga ijma tersebut -sesuai dengan penelitian dan pengkajian yang mendalam- merupakan ijma’ yang kuat yang menunjukkan secara jelas bahwasanya bid’ah itu seluruhnya buruk dan tak ada satupun yang baik.”‘


4: Bahwasanya hal-hal yang berkaitan dengan bid’ah dengan sendirinya menghendaki demikian, sebab ini merupakan bahagian dari bab penentangan terhadap pembuat syari’at dan membuat syari’at baru, dan setiap apa saja yang terkumpul di dalam hal seperti ini, mustahil akan terbagi menjadi baik dan buruk,dan ada di antaranya sesuatu yang dipuji dan ada yang dicela, sebab akal sehat dan dalil syari’at tidak ingin menganggapnya baik.”


5: Bahwasanya perkataan tentang bid’ah hasanah membuka peluang bagi perbuatan bid’ah terhadap pelakunya, dan tidak mungkin bersamaan dengan hal itu orang tersebut akan menolak suatu bid’ah apapun, sebab setiap ahlul bid’ah itu pasti akan menganggap bahwa bid’ah yang di lakukannya itu “hasanah” (baik). Sehingga orang-orang Rafidhah akan mengatakan bahwa bid’ah mereka itu “hasanah”, demikian pula Mu’tazilah, Jahmiyyah, Khawarij dan lain-lain. Karena itulah maka wajib bagi kita untuk membantah mereka semua dengan hadits yang artinya : “setiap bid’ah itu sesat”.


6: Apakah standar untuk megatakan bahwa bid’ah itu baik? Dan siapakah yang menjadi rujukannya?
Jika dikatakan bahwa standarnya adalah kesesuaiannya dengan syari’at, maka kita katakan bahwa pada asalnya apa yang sesuai dengan syari’at itu bukanlah bid’ah.
Dan jika dikatakan bahwa yang menjadi rujukan adalah akal, maka kita katakan bahwa akal itu berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Kalau begitu apa yang menjadi rujukan dalam masaalah tersebut dan yang mana yang di terima hukumnya? Sebab setiap pelaku bid’ah akan menganggap bahwa bid’ahnya itu hasanah menurut akal.


7: Dikatakan kepada orang yang menganggap baik bid’ah: “jika penambahan dalam agama itu dibolehkan atas nama bid’ah hasanah, maka orang yang menghapus atau mengurangi sesuatu dari agama ini juga dapat dianggap baik dengan mengatasnamakan “bid’ah hasanah” tersebut. Dan tidak ada bedanya antara dua hal tersebut, sebab bid’ah itu terkadang berupa perbuatan atas sesuatu atau meninggalkan sesuatu, sehingga nantinya agama ini akan di hilangkan disebabkan penambahan dan pengurangan tersebut, dan cukuplah hal ini dikatakan sebagai suatu kesesatan.


8: Sebahagian mereka mengatakan : seandainya di dalam syari’at ini ada bid’ah hasanah, maka sesungguhnya kita akan melakukan bid’ah untuk meninggalkan bid’ah hasanah tersebut dan kami melihat meninggalkannya lebih bermanfaat bagi agama kita di dunia dan lebih menyatukan kalimat kita serta lebih menjauhkan kita dari perpecahan dan perselisihan. Maka jika perkataan kami ini ada dalilnya, maka tidak boleh diselisihi, namun bila tidak ada dalilnya, maka itu berarti bahwa ia adalah bid’ah hasanah, dan bid’ah hasanah itu bisa diamalkan menurut kalian. Karena itulah maka bid’ah menurut seluruh syari’at adalah bathil, dan inilah yang kita inginkan.


9: Bahwasanya perkataan tentang adanya “bid’ah hasanah” akan mernbawa kepada penyimpangan dan pengrusakan terhadap agama, sebab setiap kali datang suatu kelompok, mereka akan menambah-nambah ibadah dalam agama dan mereka akan menamakannya dengan “bid’ah hasanah”, dan dengan perkataan tersebut bid’ah-bid’ah akan menjadi banyak dan semakin bertambah dalam ibadah-ibadah yang telah disyari’atkan, sehingga agama ini akan berubah dan akan rusak sebagaimana rusaknya agama-agama terdahulu. Karena itu wajib bagi kita untuk menutup semua pintu-pintu bid’ah sebagai usaha pemeliharaan terhadap agama dari berbagai penyimpangan.


10: Barangsiapa yang mengetahui bahwasanya Rasul صلى الله عليه و سلم adalah orang yang paling tahu tentang kebenaran dan orang yang paling fasih dalam berbicara dan menjelaskan sesuatu, maka dia akan tahu pula bahwasanya sungguh telah terkumpul pada diri beliau صلى الله عليه و سلم kesempurnaan pengetahuan terhadap kebenaran, bahwa beliau memiliki kemampuan yang sempurna untuk menjelaskan kebenaran dan kesempurnaan kehendak untuk itu. Dan bersamaan dengan kesempurnaan ilmu, kemampuan dan kehendak tersebut maka wajib adanya apa yang diinginkan/dituntut dalam bentuk yang paling sempurna. Dengan demikian orang tersebut akan tahu bahwasanya perkataan beliau صلى الله عليه و سلم adalah perkataan yang paling “baliigh” (jelas), paling lengkap dan merupakan penjelas yang paling agung terhadap urusan-urusan agama ini.
Maka barangsiapa yang menanamkan keyakinan seperti ini dalam qalbunya dan beriman dengannya dengan keimanan yang kuat, niscaya ia akan mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa seandainya bid’ah hasanah itu ada niscaya Rasulullah صلى الله عليه و سلم akan menjelaskan dan menyampaikannya kepada kita. Maka ketika beliau tidak menyampaikannya, tahulah kita bahwa setiap bid’ah itu adalah kesesatan.


Selanjutnya :
Sesungguhnya orang yang munshif (adil dalam menilai) jika ia memperhatikan kesepuluh kalimat tersebut, maka telah cukup baginya untuk menjelaskan kebathilan perkataan yang mengatakan bahwa ada yang dinamakan dengan “bid’ah hasanah”, apalagi bila sebelumnya ia telah mendengar ayat-ayat dan hadits-hadits serta atsar-atsar yang diambil sebagai nash dalam pembahasan ini.


Dengan demikian, maka tidak akan tinggal syubhat (keraguan) dalam dirinya -kalau dia memang munshif – namun pada hawa nafsu itu terdapat rahasia yang tidak dapat diketahui oleh orang lain.
Aku memohon kepada Allah semoga Dia memperlihatkan kebenaran kepada kita semua dengan sejelas-jelasnya dan memberikan kepada kita kekuatan untuk mengikutinya serta memperlihatkan kepada kita kebathilan dengan sejelas-jelasnya serta memberikan kekuatan kepada kita untuk menjauhinya.


Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam serta shalawat dan salam semoga selalu dicurahkan kepada Nabi صلى الله عليه و سلم kita Muhammad صلى الله عليه و سلم , kepada keluarga dan para shahabatnya.


Ditulis oleh seorang yang sangat mengharapkan ampunan Rabb-nya:
ABU HAFSH ABDUL QAYYUM BIN MUHAMMAD BIN NASHIR AS-SAHIBANY.
Tulisan ini diselesaikan pada waktu ashar
di hari Jum’at, 30 Syawal 1415 H di Madinah Al Munawwarah.
Dan selesai diterjemahkan oleh:
Abu Hafsh Muhammad Tasyrif Asbi Al-Ambony,
Syawal 1422 H / 11 januari 2001, pukul 11.00 WITeng. Malam Sabtu.[1]
Komentarku ( Mahrus ali ):
Apa yang telah di katakan oleh Abu Hafsh Abd Qayyum  itu adalah benar dan rasional sekali , sudah tentu  layak  saya  cantumkan  dalam  buku saya ini untuk mengokohkan kemantapan para pembaca  bahwa keberadaan bid`ah hasanah harus di sesatkan dan di ganti dengan ittiba` di manapun berada .
Ahli bid`ah  itu gemar sekali menjalankan bid`ah hasanah dan keberadaan mereka itu semakin banyak  dan menjamur . jadi dakwah untuk  mengembalikan umat manusia uniu ke jalan yang lurus sesuai dengan tuntunan adalah tuntutan masa ke masa  dan tidak akan punah . \





Read more: http://mantankyainu.blogspot.com/2011/01/seluruh-bidah-sesat.html#ixzz1y3UyWw8e

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif