Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Senin, 04 Juni 2012

Sikap Muslim Menghadapi Amar Maruf Nahiy Munkar



Pejuang dakwah bukanlah malaikat yang tidak pernah salah. Akan selalu ada kekeliruan yang dilakukan olehnya, baik secara fardliyah ataupun jamaah. Ini adalah bagian dari tabiat manusia yang tidak pernah luput dari kesalahan.
“Setiap anak Adam memiliki kesalahan (dosa). Dan sebaik-baik orang yang bersalah, adalah orang yang bertaubat.”(HR at-Tirmidzi).
Kesalahan ini bisa terjadi di level manapun dalam sebuah masyarakat maupun kelompok dakwah. Bisa orang biasa atau ulama sekalipun. Inilah dinamika perjalanan anak manusia, dan dinamika sebuah perjuangan. Menganggap juru dakwah tidak pernah salah sama dengan membunuh karakter manusia, dan karakter seorang juru dakwah sendiri. Yang pada akhirnya membuat kita, manusia biasa, menjauhkan diri dari perjuangan ini karena merasa tidak sanggup memikul beban tersebut. Padahal Allah SWT. adalah Zat yang Mahasabar (ash-Shobur) dalam menghadapi kesalahan hamba-hambaNya, sekaligus Maha Pengampun (al-Ghaffur), Penerima maaf (al-‘Afuw) dan Penerima taubat (at-Tawwab).
Akan tetapi, yang harus diwaspadai seorang pengemban dakwah adalah munculnya watak arogan yang membuat diri merasa jauh dari kesalahan. Alih-alih bersyukur dan mau mendengarkan peringatan, malah menutup diri dan mengingkari kesalahan. Kita berlindung kepada Allah dari sikap kaum-kaum terdahulu yang melarikan diri dari peringatan utusan Allah SWT.:
“Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.”(QS. Nuh: 7)
Kecerdasan mutlak harus dibarengi sikap rendah hati. Tetap merasa rendah dan kecil di hadapan kebenaran. Tanpa peduli siapa pun yang mengantarkan kebenaran tadi. Rasulullah saw. bersabda:
“Ambillah hikmah yang kamu dengar dari siapa saja, sebab hikmah terkadang diucapkan bukan oleh orang yang bijak. Bukankah ada lemparan yang mengenai sasaran tanpa disengaja?”(HR. Al Askari).
Seorang pengemban dakwah bukan saja siap beramar maruf nahiy munkar kepada penguasa sekalipun, tapi ia pun siap menerima amar maruf nahiy munkar dari siapa saja, meski itu datang dari anak kecil. Seandainya kebenaran itu datang dari musuh-musuhnya maka kebenaran tetap kebenaran. Seperti nasihat Nabi SAW. “Bukankah ada lemparan yang mengenai sasaran tanpa disengaja?”
Sungguh, tidak mudah menerima kenyataan bahwa kita berbuat salah. Dan lebih tidak mudah lagi menerima amar ma’ruf nahiy munkar dari orang lain. Manusia memang punya harga diri. Dan ketika seseorang di-amar maruh nahiy munkar-i, reaksi awal setiap manusia adalah merasa harga dirinya terluka, sehingga muncul sikap bertahan. Tapi itulah yang Allah ujikan pada setiap muslim. Apakah akan tunduk pada kebenaran atau membantahnya? Membantah kebenaran hanya akan menunjukkan ketidakikhlasan jiwa seseorang di jalan dakwah ini. Itulah fitnah bagi orang-orang alim.
Ibn Mubarak dalam kitabnya az-Zuhdu wa ar-Raqaiq menuliskan bahwa Yazid bin Abi Habib berkata: “Sesungguhnya fitnah orang alim dan faqih adalah berbicara lebih dia sukai daripada mendengarkan (pembicaraan orang lain)..Sesungguhnya orang yang berbicara itu sedang menunggu fitnah (dari ucapannya),sementara orang yang diam (mendengar) itu menunggu rahmat (kasih sayang)”.
Buanglah sikap arogan, jujurlah pada realita, bahwa siapa saja bisa berbuat salah. Sama sekali bukan aib mengakui kesalahan, tapi menunjukkan kemuliaan diri di hadapan Allah. Betapa Allah menerima kalimat taubat Nabi Adam as. dan menyelamatkan Nabi Yunus as. ketika keduanya mengakui kesalahan dan bermunajat atas kekhilafan mereka.
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” Maka Kami telah memperkenankan do`anya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.”(QS. Al-Anbiya: 87-88).
Selain mengakui dan menyesali kesalahan yang telah dilakukan, adalah kewajiban seorang muslim untuk meluruskan kesalahannya. Apalagi bagi seorang pengemban dakwah, ada tanggung jawab moral yang amat besar di hadapan masyarakat atas kesalahan yang telah mereka kerjakan. Dengan kesalahan itu bisa jadi ada orang yang tersesatkan atau minimal kebingungan menghadapi situasi seperti itu. Koreksilah kesalahan yang telah terjadi dan sampaikan kebenaran dengan jernih dan ikhlas kepada umat.
Sejarah para ulama besar menyebutkan bahwa Syaikh ‘Izzuddin Abdul Aziz bin Abdis Salam suatu ketika pernah keliru dalam memberikan fatwa. Kemudian ia sendiri menyeru warga Mesir serga Kairo dengan mengatakan, “Siapa yang telah berfatwa dengan perkataan ‘ini’ maka janganlah diamalkan karena sesungguhnya (fatwa itu) salah.”Subhanallah!
‘Alî ibn al-Husayn menuturkan bahwa Shafiyyah binti Huyay, salah seorang istri Nabi saw., telah menyampaikan kabar kepadanya bahwa dirinya telah datang kepada Rasulullah saw. untuk menziarah beliau, sementara Rasulullah saw. sedang melakukani’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.  Shafiyyah lantas bercakap-cakap dengan Nabi saw. berberapa saat sejak usainya shalat isya. Setelah itu, Shafiyyah berdiri untuk kembali bersamaan dengan Rasulullah hingga sampai di pintu masjid dekat dengan tempatnya Ummu Salamah, istri Nabi saw. Tiba-tiba, berlalu dekat mereka dua orang pria dari kalangan Anshar seraya mengucapkan salam kepada Nabi saw. Mereka kemudian langsung pergi. Rasulullah saw. berseru kepada mereka berdua,‘Tinggallah di tempat kalian, sesungguhnya ia adalah Shafiyyah binti Huyay’.
Kedua orang pria itu pun terkejut seraya mengucapkan, ‘Mahasuci Allah! Duhai Rasulullah, sesungguhnya kami tidak mengatakan seperti itu’.
Nabi saw. kemudian bersabda sebagai berikut:
Sesungguhnya setan memasuki anak Adam melalui peredaran darahnya. Aku khawatir, ia memasuki tubuh kalian berdua.[]
Oleh M. Iwan Januar, S.IKom

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif