Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Senin, 18 Juni 2012

10. Larangan Mengambil 'Ilmu Dari Ahlul Bid'ah



Sumber: www.abuzuhriy.com

Diriwayatkan dari Abu Umayyah al-Jumahi radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya salah satu tanda dekatnya hari Kiamat adalah ilmu diambil dari kaum ashaaghir (ahli bid’ah).”

Ibnul Mubarak berkata dalam kitab az-Zuhd (hal. 21 dan 281): “Yang dimakud kaum ashaaghir adalah ahli bid’ah.”

[Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd (61), dari jalur tersebut al-Lalika-i meriwayatkannya dalam kitab Syarah Usbuul I'tiqaad Ahlis Sunnah (102), ath-Thabrani dalam al-Kabiir (XXII/908 dan 299), al-Harawi dalam kitab Dzammul Kalaam (11/137), al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/79), Ibnu 'Abdil Barr dalam kitab Jaami’ Bayaanil 'llm (1052) dan lainnya dari jalur Ibnu Luhai'ah, dari Bakr bin Sawadah, dari Abu Umayyah. Saya (Syaikh Salim) katakan: "Sanadnya shahih shahih, karena riwayat al-'Abadillah dari Ibnu Luhai'ah adalah riwayat shahih. Adapun perkataan al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaa-id (I/1365) yang mendha'ifkan Ibnu Luhai'ah tidaklah tepat."

Ditambah lagi Ibnu Luhai'ah tidak tersendiri dalam meriwayatkan hadits ini, ia telah diikuti oleh Sa'id bin Abi Ayyub yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Bagdadi dalam al-Jaami' li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami' (I/137). Sa'id adalah perawi tsiqah.

Ada dua penyerta lain lain bagi hadits ini:

Pertama:

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwa ia berkata:

"Manusia senantiasa shalih dan berpegang kepada yang baik selama ilmu datang kepada mereka dari Sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari orang-orang yang berilmu dari mereka. Jika ilmu datang kepada mereka dari kaum ashaaghir maka mereka akan binasa."

[Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak (815), 'Abdurrazaq (XI/246), Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (VIII/49) dan al-Lalikai dalam Syarh Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah (101)].

Saya (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah) katakan: “Sanad hadits tersebut shahih.”

Kedua:

Diriwayatkan dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

“Manusia senantiasa beraa dalam kebaikan selama generasi pertama masih tersisa dan generasi berikut menimba ilmu dari mereka. Jika generasi pertama telah berlalu sebelum generasi berikut menimba ilmu dari mereka, maka manusia akan binasa.”

[Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/78-79) dan Ahmad dalam kitab az-Zuhd (hal. 189) melalui dua jalur dari Salman.

Kedua haits ini memiliki hukum marfu', sebab perkara di atas termasuk salah satu tanda hari Kiamat yang tidak dapat dikatakan atas dasar logika dan ijtihad. Wallahu a'lam.

KANDUNGAN BAB:

1. Kaum ashaaghir adalah ahli bid'ah dan pengikut hawa nafsu yang berani mengeluarkan fatwa meski mereka tidak memiliki ilmu.

Hal ini telah diisyaratkan dalam hadits yang berbicara tentang terangkatnya ilmu.

2. Ulama adalah kaum Akaabir meskipun usia mereka muda usia.

Ibnu 'Abdil Barr berkata dalam kitab Jaami'Bayaanil’llm,

"Orang jahil itu kecil, meskipun usianya tua. Orang alim itu besar meskipun usianya muda."

Lalu ia membawakan sebuah sya'ir,

"Tuntutlah ilmu, karena tidak ada seorangpun yang lahir langsung jadi ulama Sesungguhnya orang alim tidaklah sama dengan orang jahil, Sesepuh satu kaum yang tidak punya ilmu Akan menjadi kecil bila orang-orang melihat kepadanya."

3. Ilmu adalah yang bersumber dari Sahabat radhiyallahu 'anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka.

Itulah ilmu yang berguna. Jika tidak demikian, maka pemiliknya akan binasa karenanya. Dan pemiliknya tidak akan menjadi imam, tidak menjadi orang dipercaya dan diridhai.

4. Para penuntut ilmu harus mengambil ilmu dari orang-orang yang bertakwa, shalih dan mengikuti Salafush Shalih.

Sebab, keberkatan selalu bersama mereka. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Keberkahan selalu bersama kaum akaabir (ahli ilmu) kalian."

[HR Ibnu Hibban (955), al-Qadha’i dalam Musnad asy-Syihab (36-37), al-Hakim (I/62), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (VIII/171-172), al-Khathib al-Baghdadi dalam Taarikh Baghdaad (XI/165), al-Bazzar dalam Musnadnya (1957) dan lainnya melalui beberapa jalur dari 'Abdullah bin al-Mubarak, dari Khalid al-Hadzdza', dari 'Ikrimah, dari 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu. Saya katakan: "Sanadnya shahih].

5. Ulama Salaf terdahulu telah mengisyaratkan keterangan ini yang dapat menyelamatkan kita dari kejahilan dan menjaga kita dari kesesatan.

Seorang tabi’in yang mulia, Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu!”

[HR Muslim dalam Muqaddimah Shahiihnya (1/14) dengan sanad shahih].

Sebab, ilmu ini hanya dibawa oleh orang-orang yang terpercaya, maka selayaknya diambil dari mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Musa ‘lsa bin Shabih, Telah diriwayatkan sebuah hadits shahih dari RasuluUah shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan kaum yang melampaui batas, takwil orang-orang jahil dan pemalsuan ahli bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu.”

(Al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami’ [1/129]).

Oleh karena itu pula harus dibedakan antara ulama Ahlus Sunnah dengan ahli bid’ah, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Muhammad bin Siirin rahimahullah,

“Dahulu, orang-orang tidak bertanya tentang sanad. Namun setelah terjadi fitnah (munculnya bid’ah), mereka berkata,

‘Sebutkanlah perawi-perawi kalian!’

Jika perawi tersebut Ahlus Sunnah, maka mereka ambil haditsnya. Dan jika ahli bid’ah, maka tidak akan mereka ambil haditsnya.”

[HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahiihnya (1/15) dengan sanad shahih]

Demikian pula harus dilihat spesialisasi tiap-tiap orang dan mengambil pendapatnya dalam bidang yang sudah menjadi spesialisasinya. Sebab setiap ilmu memiliki tokoh-tokoh tersendiri, mereka dikenal dengan ilmu tersebut dan ilmu tersebut dapat diketahui melalui mereka.

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata,

“Sesungguhnya, ilmu ini adalah agama, maka periksalah dari siapa engkau mengambil ajaran agamamu. Aku sudah bertemu tujuh puluh orang yang mengatakan, fulan berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda di tiang masjid ini -beliau menunjuk Masjid Nabawi namun aku tidak mengambil satu pun hadits dari mereka.- Sesungguhnya, ada beberapa orang dari mereka yang apabila diberi amanat harta, maka ia akan memelihara amanat tersebut. Akan tetapi mereka bukanlah orang-orang yang ahli dalam bidang ini. Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin Syihab pernah datang ke sini, lalu mereka berkerumun di depan pintunya.”

[Lihat kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/98)].

Para ahli ilmu telah mengingatkan hal ini dalam tulisan-tulisan mereka. Tujuannya untuk melindungi generasi mendatang agar tidak terpengaruh oleh klaim-klaim dari orang-orang yang bertambah subur tanaman mereka di tanah yang tandus. Yakni orang-orang yang ingin mencuat sebelum matang, ingin muncul sebelum tiba waktunya!

Mereka berkoar-koar di majelis-majelis ilmu, sibuk mengeluarkan fatwa dan sibuk mengarang buku. Mereka mendesak naik ke puncak yang telah ditempati oleh para ulama terlebih dulu. Mereka menempatinya untuk merubuhkan batas-batas pemisahnya dan mengurai jalinannya.

Aksi mereka bertambah gila lagi dengan berdatangannya orang-orang awam dan orang-orang yang setipe dengannya ke majelis-majelis mereka dengan perasaan takjub, amat girang menyimak cerita-cerita kosong mereka.

Al-Khathib al-Baghdaadi berkata dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/960,

“Seorang penuntut ilmu seharusnya menimba ilmu dari ahli fiqih yang terkenal kuat memegang agama, dikenal shalih dan menjaga kesucian diri.”

Kemudian ia mengatakan:

“Dan hendaknya ia juga harus menghiasi diri dengan etika-etika ilmu, seperti sabar, santun, tawadhu’ terhadap sesama penuntut ilmu, bersikap lembut kepada sesama, rendah hati, penuh toleransi kepada teman, mengatakan yang benar, memberi nasihat kepada orang lain dan sifat-sifat terpuji lainnya.”

Dalam kitabnya yang langka, yakni al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami’ (1/126-127), beliau telah menulis beberapa pasal. Kami akan menyebutkan inti dari pasal-pasal tersebut:

1. Tingkatan keilmuan para perawi tidaklah sama, harus didahulukan mendengar riwayat dari perawi yang memiliki sanad ‘Ali (lebih dekat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Jika sanad para perawi tersebut sama dalam hal ini, sedang ia ingin mengambil sebagian saja dari sanad-sanad tersebut, maka hendaklah ia memilih perawi yang lebih populer dalam bidang hadits, yang dikenal ahli dan menguasai ilmu ini.

2. Jika para perawi tersebut juga sama dalam kedua hal tersebut, maka hendaklah memilih perawi yang memiliki nasab dan silsilah yang lebih mulia. Riwayatnyalah yang lebih layak disimak.

3. Hal itu semua berlaku bila para perawi itu telah memenuhi kriteria lain, seperti istiqamah di atas manhaj Salafush Shalih, terpercaya dan terhindar dari bid’ah. Adapun perawi yang tidak memenuhi kriteria di atas, maka harus dijauhi dan jangan menyimak riwayat darinya.

4. Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh mendengar riwayat dari perawi yang telah terbukti kefasikannya. Seorang perawi dapat disebut fasik karena banyak perkara, tidak hanya karena perkara yang berkaitan dengan hadits. Adapun yang berkaitan dengan hadits misalnya memalsukan matan hadits atas nama Rasulullah saw. atau membuat-buat sanad-sanad atau matan-matan palsu. Bahkan katanya, alasan diadakannya pemeriksaan terhadap para perawi awalnya adalah disebabkan perkara di atas.

5. Di antara para perawi itu ada yang mengaku telah mendengar dari syaikh yang belum pernah ditemuinya. Karena itulah para ulama mencatat tarikh kelahiran dan kematian para perawi. Ditemukanlah riwayat-riwayat sejumlah perawi dari syaikh-syaikh yang tidak mungkin bertemu dengan mereka karena keterpautan usia yang sangat jauh.

6. Ulama ahli hadits juga menyebutkan sifat-sifat ulama dan kriteria mereka. Dengan demikian banyak sekali terbongkar kedok sejumlah perawi.

7. Jika perawi tersebut terlepas dari tuduhan memalsukan hadits, terlepas dari tuduhan meriwayatkan hadits dari syaikh yang belum pernah ditemuinya dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang dapat menjatuhkan kehormatannya, hanya saja ia tidak memiliki kitab riwayat yang didengarnya itu dan hanya beipatokan kepada hafalannya dalam menyampaikan hadits, maka tidak boleh mengambil haditsnya hingga para ulama ahli hadits merekomendasikannya dan menyatakan ia termasuk dalam deretan penuntut ilmu yang memiliki perhatian kepada ilmu, memelihara dan menghafalnya dan telah diuji kualitas hafalannya dengan mengajukan hadits-hadits yang terbolak-balik kepadanya.

Jika perawi itu termasuk pengikut hawa nafsu dan pengikut madzhab yang menyelisihi kebenaran, maka tidak boleh mendengar riwayatnya, meskipun ia dikenal memiliki banyak ilmu dan kuat hafalannya.

Seorang penuntut ilmu syar’i harus mengetahui hakikat sebenarnya. la harus tahu dari siapa ia mengambil ajaran agamanya. Janganlah ia mengambil ilmu dari ahli bid’ah, karena mereka akan membuatnya sesat sedang ia tidak menyadarinya.

(Disalin dari kitab Ensiklopedi Larangan Jilid I, cet.Kedua, Muharram 1426 H/Februari 2005 M, hal. 219-224, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah)

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif