Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla
- Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.
Bukti Cinta
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)
Senin, 18 Juni 2012
7. Kapan seseorang disebut ahli bid’ah?
حَنانَيْكم.. وهَدادَيْكم.. هذا حدُّ
(البدعة التي يُعَدُّ بها الرجلُ مِن أهل الأهواء)…
Inilah tolak ukur seorang itu dinilai sebagai ahli bid’ah dan ahli hawa
.. عندما يكونُ الكلامُ العلميُّ الكُلِّيُّ الجامعُ مُكَوَّناً مِن
(مبتدأ وخبر) فإنَّهُ يكونُ أكثرَ ما يكونُ موزوناً، بل يكونُ مِن أتْقَنِ الكلام وأضبطِهِ، وأقواهُ وأحسنِهِ..
Ketika perkataan ilmiah yang berisi sebuah definisi yang lengkap dan luas cakupannya itu terdiri dari unsur-unsur pembentuk kalimat yang lengkap maka kalimat tersebut akan mengandung parameter yang sangat jelas. Kalimat tersebut akhirnya menjadi kalimat yang sangat rapi, sangat kuat dan sangat bagus.
ومِن ذلك: هذا النصُّ العلميُّ الماتعُ مِن كلامِ شيخِ الإسلامِ ابنِ تيميَّة -رحمهُ الله-؛ الذي لو فُهِمَ حقَّ الفَهم، وضُبِطَ حقَّ الضَّبط، ونُزِّلَ حقَّ التنزيل: لَـحَلَّ كثيراً مِن هاتيك الإشكالات القائمةِ في بعضِ) الأذهان! أو تلك التي اخْتَرَعَتْها أذهانٌ أُخرَى!! فمزَّقَتِ الدعوةَ السلفيَّة! ورَمَتْ أبناءَها بكُلِّ شَظِيَّة!!
Di antara kalimat yang nilainya sebagaimana di atas adalah kalimat ilmiah dan sangat mengagumkan dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Andai penjelasan beliau ini dipahami dengan baik dan diterapkan dengan tepat maka akan hilanglah berbagai kebingungan yang ada di benak sebagian orang atau akan hilanglah berbagai hal yang dibuat oleh sebagian orang yang akhirnya mencabik-cabik dakwah ahli sunnah salafiyyah dan menyebabkan sebagian orang melemparkan tuduhan seenaknya kepada para juru dakwah ahli sunnah.
قال -رحمهُ اللهُ- في
«الفتاوَى الكُبرَى»
(4/194):
«والبدعة التي يُعَدُّ بها الرجلُ مِن أهلِ الأهواء: ما اشتُهِرَ عندَ أهل العِلم بالسُّنَّة مُخالفتُها للكتاب والسُّنَّة؛ كبدعة الخوارجِ، والروافضِ، والقَدَرِيَّةِ، والمُرجِئةِ..».
Dalam al Fatawa al Kubro jilid 4 hal 194 Ibnu Taimiyyah mengatakan,
“Bid’ah yang menyebabkan pelakunya dinilai sebagai ahli hawa adalah bid’ah yang terkenal di kalangan para ulama ahli sunnah sebagai sebuah bid’ah yang jelas-jelas menyelisihi al Qur’an dan sunnah semisal bid’ah khawarij, rafidhah, qadariyyah dan murjiah”.
فإن قيلَ:
ألا يُوجَدُ مسائلُ أُخرَى (!) تحكُمُونَ بها -على أصحابِها- بأنَّهُم مِن (أهل الأهواء)؟!
Jika ada yang bertanya, “Bukankah ada beberapa permasalahan yang lain yang kalian nilai pelakunya sebagai ahli hawa (baca:ahli bid’ah)?”
فالجوابُ:
لا بُدَّ يُوجدُ؛ ولكنْ بشَرْط أنْ تكون كتلك؛ «ممَّا اشتُهِرَ عندَ أهل العِلم بالسُّنَّة مُخالفتُها للكتاب والسُّنَّة» -مِن مسائل الأصول-؛ لا أنْ يكونَ ذلك مَحْضَ اجتهادٍ(!) -يحتملُ الخطأَ والصوابَ، والأجرَ والأجرين!- مِن العالِم الواحِد أو الاثنين -دونَ عامَّة
(أهل العلم بالسُّنَّة)
-كما هو ضابطُ كلام شيخ الإسلام-.
Jawabannya, “Tentu saja ada masalah lain selain yang telah dicontohkan akan tetapi dengan syarat masalah tersebut statusnya sebagaimana masalah-masalah yang telah dicontohkan di atas yaitu masalah-masalah yang berstatus sebagai ushul ahli sunnah (baca:ijma ahli sunnah), bukan masalah-masalah yang murni ijtihad dari satu atau dua orang ulama ahli sunnah tanpa disetujui oleh para ulama ahli sunnah selainnya. Pendapat dalam ranah ijtihad itu boleh jadi benar, boleh jadi salah. Ulama yang berijtihad itu mungkin saja mendapatkan satu pahala ataukah dua pahala. Inilah parameter yang bisa kita simpulkan dari perkatan Ibnu Taimiyyah di atas.
وهو كلامٌ فصلٌ…
{ لو كانُوا يفقهون }
Perkataan Ibnu Taimiyyah di atas sungguh merupakan perkataan yang menyibak kerancuan andai mereka mengetahuinya.
Sumber: www.alhalaby.com
Sumber: www.ustadzariz.com
Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!
☛ Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)
☛ Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)
☛ Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,
1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)
5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)
6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)
7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)
8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)
9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)
☛ Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,
1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)
3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).
Selengkapnya klik DI SINI
Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar