Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla
- Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.
Bukti Cinta
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)
Senin, 18 Juni 2012
9. Larangan Bermajelis Dengan Ahli Bid’ah A
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.”
[QS an-Nisa : 140]
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).”
[QS al-An'am : 68]
Al-Baghowi dalam Ma’alimut Tanzil (2/301) dalam tafsir surat an-Nisa’ ayat 140 berkata :
Adh-Dhohhak *1* berkata : dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma :
“Termaasuk pada ayat ini semua orang yang mengada-adakan bid’ah dalam agama dan semua mubtadi’ sampai hari kiamat“.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya (5/418) berkata:
Juwaibir *2* meriwayatkan dari adh-Dhohhak, ia berkata :
“Masuk pada ayat ini semua orang yang mengada-adakan bid’ah dalam agama, mubtadi’ sampai hari kiamat“
Ibnu ‘Aun *3* berkata :
كان محمد يرى أن أهل الاهواء أسرع الناس ردة، وأن هذه نزلت فيهم: (وإذا رأيت الذين يخوضون في آياتنا فأعرض عنهم حتى يخوضوا في حديث غيره)
“Muhammad (bin Sirin)*4* berpendapat bahwa ahlul ahwa adalah orang yang paling cepat murtadnya, dan bahwa ayat ini (al-An’am : 68, pent) turun pada mereka : (Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain)”
[Siyar A'lamin Nubala' 4/610]
Dari ‘Aisyah, ia berkata :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
[QS. Ali Imron : 7, pent]
Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
فَإِذَا رَأَيْتِ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكِ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ
“Jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat; mereka itulah yang disebut Allah (dalam ayat tadi, pent), maka berhati-hatilah dari mereka!”
[HR. al-Bukhori no. 4273 dan Muslim no. 2665]
Dari Abu Huroiroh, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
سيكون في آخر أمتي أناس يحدثونكم ما لم تسمعوا أنتم ولا آباؤكم فإياكم وإياهم
“Akan ada pada akhir ummatku orang-orang yang mengabarkan kepada kalian apa-apa yang belum pernah kalian dengar dan tidak pula bapak-bapak kalian, maka berhati-hatilah kalian dari mereka!”
[HR. Muslim dalam muqoddimah Shohih-nya hadits no. 6]
Asy-Syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkholi hafidzohulloh dalam syarah ushulus Sunnah (hal. 8, versi sahab.org) setelah membawakan 2 hadits di atas, beliau berkata :
“Ini juga termasuk diantara nash-nash yang melarang dari bermajelis dengan ahlul bida’. Di sana ada orang-orang ahlul jahl dan orang-orang yang tertipu, sedangkan engkau memiliki ilmu, hujjah dan burhan (penjelasan), engkau mendakwahkan mereka kepada kebenaran dan memberi penjelasan kepada mereka, (maka ini) tidak mengapa.
Adapun engkau bermajelis untuk bersahabat, berteman, mencintai, bergaul dan yang serupa dengan itu, maka ini merupakan kesalahan yang akan menghantarkan kepada kesesatan.
Dan wajib bagi orang yang berakal untuk menjauhinya, dan sebagian shahabat telah mentahdzir dari yang demikian seperti Ibnu Abbas dan sebagian imam tabi’in seperti Ayyub as-Sikhtiyani dan Ibnu Sirin rohimahumulloh.
Dulu salah seorang dari mereka tidak mau mendengar kepada ahli bid’ah, sampai-sampai jika ahli bid’ah itu menawarkan untuk membacakan padanya sebuah hadits atau ayat,
Maka ia (imam itu) berkata :
“Tidak!”
Lalu ditanyakan kepadanya :
“Mengapa?”
Ia berkata :
“Sesungguhnya hatiku bukan di tanganku, aku khawatir ia akan melempar fitnah dalam hatiku, lalu aku tidak mampu untuk menolaknya.”
Keselamatan janganlah diganti dengan sesuatu apapun, maka janganlah seseorang memperlihatkan dirinya kepada fitnah, khususnya jika ia mengetahui bahwa dirinya lemah.”
Dari Abu Musa al-Asy’ari, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Permisalan teman duduk yang sholeh dan teman duduk yang buruk adalah seperti pembawa misk (sejenis minyak wangi, pent) dan peniup bara api. Orang yang membawa misk, mungkin ia akan memberimu (misk) atau engkau membeli darinya atau engkau akan mendapatkan darinya bau wangi. Adapun peniup bara api, mungkin ia akan membakar bajumu atau engkau akan mendapatkan bau yang tidak sedap.”
[HR. al-Bukhori no., Muslim no., dll. Dengan lafadz Muslim]
Rosululloh shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَمِعَ بِالدَّجَّالِ فَلْيَنْأَ عَنْهُ فَوَاللَّهِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَأْتِيهِ وَهُوَ يَحْسِبُ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ فَيَتَّبِعُهُ مِمَّا يَبْعَثُ بِهِ مِنْ الشُّبُهَاتِ أَوْ لِمَا يَبْعَثُ بِهِ مِنْ الشُّبُهَاتِ
“Barangsiapa mendengar Dajjal, hendaklah ia mejauh darinya. Karena demi Allah, seseorang akan mendatanginya dengan mengira bahwa ia (Dajjal) itu seorang mu’min, lalu iapun mengikutinya dalam syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh Dajjal atau karena syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh Dajjal.”
[HR. Abu Dawud (4319), Ahmad (19982), al-Hakim (8616), ath-Thobroni dalam al-Mu'jam al-Kabir (550), dll. Dishohihkan al-Albani dalam Shohihul Jami' (6301)]
Ibnu Baththoh setelah membawakan hadits ini berkata :
هذا قول الرسول صلى الله عليه وسلم ، وهو الصادق المصدوق ، فالله الله معشر المسلمين ، لا يحملن أحدا منكم حسن ظنه بنفسه ، وما عهده من معرفته بصحة مذهبه على المخاطرة بدينه في مجالسة بعض أهل هذه الأهواء ، فيقول : أداخله لأناظره ، أو لأستخرج منه مذهبه ، فإنهم أشد فتنة من الدجال ، وكلامهم ألصق من الجرب ، وأحرق للقلوب من اللهب
“Inilah sabda Rasululloh shallallahu alaihi wa sallam, dan dia adalah ash-shodiqul mashduq (yang benar dan dibenarkan).
Maka Alloh! Alloh wahai sekalian kaum muslimin!! Janganlah salah seorang dari kalian membawa baik sangkanya terhadap dirinya sendiri (percaya diri, pent) dan apa-apa yang telah ia ketahui dari kebenaran madzhabnya, kepada yang membahayakan agamanya dari bermajelis dengan sebagian ahlil ahwa ini, lalu ia mengatakan :
‘aku akan masuk kepadanya untuk kudebat dia, atau aku akan mengeluarkannya dari madzhabnya’,
Sesungguhnya fitnah mereka (ahlul hawa/ahlul bid’ah) lebih parah dari Dajjal, dan perkataan mereka lebih melekat daripada kudis, dan lebih membakar hati daripada api yang menyala.”
[Lihat al-Ibanah al-Kubro 3/470, kemudian beliau membawakan riwayat contoh orang-orang yang termakan syubuhat ahlul ahwa' wal bida', wal 'iyadzu billah]
Rosululloh shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Ruh-ruh adalah seperti tentara yang berbaris-baris, maka yang saling mengenal akan bersatu dan yang saling mengingkari akan berselisih.”
[HR. al-Bukhori (3158), Muslim (2638), Abu Dawud (4834), Ahmad (7922), Ibnu Hibban (6168), al-Hakim (8296), dll]
Al-Fudhail bin Iyadh berkata :
إن لله ملائكة يطلبون حلق الذكر، فانظر مع من يكون مجلسك، لا يكون مع صاحب بدعة؛ فإن الله تعالى لا ينظر إليهم، وعلامة النفاق أن يقوم الرجل ويقعد مع صاحب بدعة، وأدركت خيار الناس كلهم أصحاب سنة وهم ينهون عن أصحاب البدعة
“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang bertugas mencari majelis-majelis dzikir, maka lihatlah bersama siapakah majelismu itu, janganlah bersama ahli bid’ah; karena Allah ta’ala tidak melihat kepada mereka. Dan salah satu tanda nifaq adalah seseorang bangun dan duduk bersama ahli bid’ah. Aku mendapati sebaik-baik manusia (yakni tabi’in, pent), mereka semuanya adalah ahlus Sunnah dan mereka melarang (yakni memperingatkan) dari ahli bid’ah.”
[Hilyatul Aulia (8/104)]
Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu anhuma, ia berkata :
لا تجالس أهل الأهواء ، فإن مجالستهم ممرضة للقلوب
“Janganlah engkau duduk-duduk (bermajelis) dengan ahlul ahwa! karena duduk-duduk bersama mereka membuat hati(mu) menjadi sakit.”
[Diriwayatkan oleh al-Ajurri dalam asy-Syari'ah pada bab Dzammul Jidal wal Khushumat fid Din dan Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro pada bab at-Tahdzir min Shuhbati Qoumin Yumridhul Qulub wa yufsidul Iman, dengan sanad yang shohih]
Dari Abdullah ar-Rumi, ia berkata:
Datang seseorang kepada Anas bin Malik rodhiyallohu anhu, dan aku berada di sisinya, kemudian orang itu berkata :
“Wahai Abu Hamzah, aku bertemu dengan suatu kaum yang mendustakan adanya syafa’at dan adzab kubur.”
Anas berkata :
أولئك الكذابون ، فلا تجالسهم
“Mereka adalah pendusta, jangan kamu duduk bersama mereka!”
[Diriwayatkan Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro pada bab at-Tahdzir min Shuhbati Qoumin Yumridul Qulub wa yufsidul Iman, dalam kitab Ushulus Sunnah dengan tahqiq al-Walid bin Muhammad Nabih hal. 31 dikatakan bahwa sanadnya la ba'sa bihi, wallahu a'lam]
Ibnu Umar rodhiyallohu anhuma berkata ketika ditanya tentang kelompok Qodariyyah:
فإذا لقيت أولئك فأخبرهم أني بريء منهم وأنهم برآء مني
“Jika engkau bertemu mereka, kabarkan kepada mereka bahwa aku telah berlepas diri dari mereka dan bahwa mereka telah berlepas diri dariku.”
[Diriwayatkan Muslim dalam shohih-nya, hadits no. 7]
Dari al-Hasan (al-Bashri)*5* dan Muhammad (bin Sirin)[**], mereka berdua berkata :
لا تجالسوا أصحاب الأهواء ولا تجادلوهم ولا تسمعوا منهم
“Janganlah kalian bermajelis dengan ahlul ahwa! janganlah kalian berdebat dengan mereka! dan janganlah kalian mendengar dari mereka!”
[Diriwayatkan Ibnu Sa'ad dalam ath-Thobaqot al-Kubro (7/172), sanadnya shohih]
Dari Marhum bin Abdil Aziz al-’Aththor, aku mendengar ayahku dan pamanku berkata : kami mendengar al-Hasan (al-Bashri, pent) melarang bermajelis dengan Ma’bad al-Juhani (seorang tokoh Qodariyyah, pent), ia (al-Hasan) berkata :
لا تجالسوه فإنه ضال مضل
“Jangan kalian bermajelis dengannya! Karena ia sesat dan menyesatkan.”
[Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah (2/391), al-Lalika'i dalam Syarah Ushul I'tiqod Ahlis Sunnah (4/637), Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah 'an Syari'atil Firqotin Najiyah (2/319), al-Ajurri dalam asy-Syari'ah (1/245), al-Firyabi dalam Kitabul Qodar (1/204)]
Dari Asma bin ‘Ubaid, ia berkata:
Dua orang ahlul ahwa datang kepada Ibnu Sirin, mereka berdua berkata:
“Wahai Abu Bakr, kami akan membacakan kepadamu satu hadits!”
Ibnu Sirin berkata:
“Tidak!”
Mereka berdua berkata:
“Kalau begitu kami akan membacakan kepadamu satu ayat dari Kitabullah?”
Ibnu Sirin berkata:
“Tidak! pergilah kalian dariku, atau aku yang pergi!”
(Asma bin ‘Ubaid) berkata: Maka mereka berdua keluar, lalu beberapa orang bertanya:
“Wahai Abu Bakr, kenapa engkau (tidak mau) ketika mereka akan membacakan kepadamu satu ayat dari Kitab Allah ta’ala?”
Ibnu Sirin menjawab:
“Aku khawatir mereka berdua akan membacakan kepadaku sebuah ayat, lalu mereka menyimpangkannya, kemudian hal itu (penyimpangan tersebut) akan menetap di hatiku.”
[Diriwayatkan ad-Darimi dalam Sunan-nya (397), lihat Siyar A'lamin Nubala (11/285)]
Dari Ayyub, ia berkata : Abu Qilabah*6* berkata :
لا تجالسوا أهل الأهواء ولا تجادلوهم فإني لا آمن أن يغمسوكم في ضلالتهم أو يلبسوا عليكم ما كنتم تعرفون
“Janganlah kalian bermajelis dengan ahlul ahwa dan jangan berdebat dengan mereka! karena aku tidak merasa aman jika mereka akan menenggelamkan kalian ke dalam kesesatannya atau men-talbis (membuat kesamaran) terhadap apa yang kalian anggap baik.”
[Diriwayatkan Ibnu Sa'ad dalam ath-Thobaqot al-Kubro (7/184), lihat as-Siyar (4/472) oleh adz-Dzahabi. Sanad ini shohih]
Al-Imam Sufyan ats-Tsauri*7* berkata :
من أصغى بسمعه إلى صاحب بدعة، وهو يعلم، خرج من عصمة الله، ووكل إلى نفسه
“Barangsiapa mendengarkan ahli bid’ah dengan pendengarannya, padahal dia mengetahui, maka ia keluar dari penjagaan Allah dan (urusannya) diserahkan kepada dirinya sendiri.”
Beliau juga berkata :
من سمع ببدعة فلا يحكها لجلسائه، لا يلقها في قلوبهم
“Barangsiapa mendengar suatu bid’ah, maka janganlah ia menceritakannya kepada teman-teman duduknya, janganlah ia melemparkannya ke dalam hati-hati mereka.”
Setelah membawakan perkataan Sufyan ats-Tsauri di atas, Al-Hafidz adz-Dzahabi*8* berkata:
أكثر أئمة السلف على هذا التحذير، يرون أن القلوب ضعيفة، والشبه خطافة
“Kebanyakan para imam Salaf berpendapat dengan tahdzir ini, mereka melihat bahwa hati itu lemah dan syubhat-syubhat itu menyambar-nyambar.”
[Siyar A'lamin Nubala 7/261]
Dari Yahya bin Abi Katsir*9*, ia berkata :
إذا لقيت صاحب بدعة في طريق فخذ في طريق آخر
“Jika engkau bertemu dengan ahli bid’ah di suatu jalan, maka ambillah jalan yang lain.”
[Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (3/69), Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro pada bab at-Tahdzir min Shuhbati Qoumin Yumarridhunal Qulub wa yufsidul Iman, Ibnu Wadhdhoh dalam al-Bida' pada bab an-Nahyu 'anil Julus ma'a Ahlil Bida']
Al-A’masy*10* berkata :
كانوا لا يسألون عن الرجل بعد ثلاث: ممشاه ومدخله وألفه من الناس
“Mereka (para salaf) tidak bertanya tentang seseorang setelah jelas tiga : teman jalannya, teman masuknya dan teman pergaulannya.”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah (2/476)]
Ibnu ‘Aun rahimahullåh berkata :
الذي يجالس أهل البدع أشد علينا من أهل البدع
“Orang yang bermajelis dengan ahlul bida’ itu lebih buruk bagi kami daripada ahlul bida’.”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro (2/372)]
Dari Mubasyir bin Isma’il al-Halabi, ia berkata :
Dikatakan kepada al-’Auzai*11* : Sesungguhnya ada seseorang yang mengatakan:
“Aku akan bermajelis dengan ahlus Sunnah dan aku akan bermajelis dengan ahli bid’ah.”
Maka al-’Auza’i mengatakan :
“Orang ini mau menyamakan antara yang haq dan yang batil.”
[Diriwayatkan Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro (2/456)]
Al-Imam al-’Auza’i juga berkata :
من ستر علينا بدعته لم تَخْفَ علينا أُلفته
“Barang siapa yang menutupi bid’ah-nya dari kami, tidaklah samar bagi kami pergaulannya.”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro (2/479)]
Ma’mar*12* berkata :
Suatu ketika Ibnu Thowus sedang duduk, kemudian datang seorang Mu’tazili lalu berbicara, Ibnu Thowus*13* lalu memasukkan dua jari ke telinganya dan berkata kepada anaknya:
أي بني أدخل أصبعيك في أذنيك واشدد، ولا تسمع من كلامه شيئاً
“Wahai anakku, masukkan dua jarimu ke dua telingamu dan kencangkanlah! Jangan engkau dengarkan apa yang ia katakan sedikitpun!”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro (2/446), Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya' (1/218), lihat Siyar A'lamin Nubala (11/285)]
Dari Mufadhdhol bin Muhalhal as-Sa’di*14*, ia berkata:
لو كان صاحب البدعة إذا جلست إليه يحدثك ببدعته حذرته وفررت منه ولكنه يحدثك بأحاديث السنة في بدو مجلسه ثم يدخل عليك بدعته فلعلها تلزم قلبك فمتى تخرج من قلبك ؟
“Seandainya ahli bid’ah itu, jika engkau duduk bersamanya, lalu ia berbicara dengan bid’ahnya maka engkau akan mentahdzirnya dan lari darinya. Akan tetapi ia berbicara kepadamu dengan hadits-hadits sunnah pada majelisnya yang tampak, lalu bid’ahnya masuk kepadamu, kemudian bid’ah itu mengenai hatimu, maka kapan bid’ah itu akan keluar dari hatimu?”
[Diriwayatkan Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro]
Al-Fudhail bin Iyadh*15* berkata :
الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف، وما تناكـر منها اختلف، ولا يمكن أن يكون صاحب سنة يمالئ صاحب بدعة إلا من النفاق
“Ruh-ruh adalah seperti tentara yang berbaris-baris, maka yang saling mengenal akan bersatu dan yang saling mengingkari akan berselisih, dan tidak mungkin seorang sohibus Sunnah menolong sohibul bid’ah kecuali karena nifaq.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata :
لا تجلس مع صاحب بدعة ، فإني أخاف أن تنزل عليك اللعنة
“Janganlah engkau duduk bersama ahli bid’ah, karena sesungguhnya aku takut akan turun laknat untukmu.”
[Diriwayatkan oleh al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqod Ahlis Sunnah wal Jama'ah (1/137), dan Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro dan dinukil oleh al-Barbahari dalam Syarhus Sunnah]
al-Imam Ibnu Baththoh*16* berkata -setelah perkataan al-Fudhail tadi- :
صدق الفضيل – رحمه الله –فإنا نرى ذلك عياناً
“al-Fudhail rohimahulloh benar, sesungguhnya kami melihat yang demikian dengan mata kepala kami.”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro (2/456)]
Al-Imam Ibnul Mubarok*17* berkata :
ليكن مجلسك مع المساكين، وإياك أن تجلس مع صاحب بدعة
“Hendaklah majelismu itu bersama orang-orang miskin dan berhati-hatilah kamu dari duduk dengan ahli bid’ah.”
[Siyar A'lamin Nubala 8/399]
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata*18* : Dahulu jika datang beberapa orang ahlul ahwa kepada Malik*19*, ia berkata :
أما إني على بينة من ديني، وأما أنت، فشاك، اذهب إلى شاك مثلك فخاصمه
“Adapun aku, aku yakin pada agamaku. Adapun engkau adalah orang yang ragu. Pergilah kepada orang yang ragu semisalmu, lalu berdebatlah dengannya saja!”
[Siyar A'lamin Nubala 8/99]
Al-Imam Ahmad bin Hanbal*20* berkata dalam Ushulus Sunnah bahwa diantara Ushulus Sunnah (pokok aqidah/manhaj ahlus-sunnah) adalah :
وترك الخصومات والجلوس مع أصحاب الأهواء
“…dan meninggalkan debat kusir dan duduk-duduk bersama ash-habil ahwa…”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal juga berkata :
أهل البدع ما ينبغي لأحد أن يجالسهم ولا يخالطهم ولا يأنس بهم
“Ahli bid’ah itu, tidaklah pantas bagi seseorang untuk bermajelis dengan mereka dan bercampur dengan bereka serta bersikap lunak kepada mereka.”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro 2/475]
Abu Muhammad*21* berkata:
“وسمعت أبي وأبا زرعة : يأمران بهجران أهل الزيغ والبدع ويغلظان في ذلك أشد التغليظ وينكران وضع الكتب برأي في غير آثار. وينهيان عن مجالسة أهل الكلام والنظر في كتب المتكلمين ويقولان لا يفلح صاحب كلام أبدا ” قال أبو محمد : ” وبه أقول أنا “
“Aku mendengar ayahku*22* dan Abu Zur’ah*23*, mereka berdua memerintahkan untuk menghajr ahluz-zaigh wal-bida’ dan bersikap keras dalam hal itu dengan keras yang sangat, dan mereka berdua mengingkari penulisan kitab dengan ro’yi (pendapat) saja tanpa ada atsar. Dan mereka berdua melarang bermajelis dengan ahlul kalam dan melihat kitab-kitab ahli kalam, dan mereka berkata
“Tidak akan beruntung ahli kalam selamanya.”
Abu Muhammad berkata:
“Dan aku juga berpendapat seperti itu”
[Ushul I'tiqod Ahlis Sunnah wal Jama'ah (1/179)]
Dan masih banyak lagi perkataan para salaf yang melarang dari bermajelis dengan ahli bid’ah, bisa dilihat dalam kitab-kitab Aqidah Salaf seperti al-Ibanah al-Kubro, Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah, asy-Syari’ah, Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits, dll.
Asy-Syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkholi dalam Syarah Ushulus Sunnah-nya (hal. 8, pdf versi sahab.org) ketika menjelaskan tentang ‘meninggalkan bermajelis dengan ash-habul ahwa’ berkata:
“Karena bermajelis dengan ash-habul ahwa’ kebanyakan akan menyebabkan kesesatan. Dan banyak orang yang tertipu dengan apa yang ada pada mereka dari ilmu dan kecerdasan, maka mereka bercampur dengan ahli bida’ dan bergaul dengan mereka, lalu Alloh menyerahkan mereka kepada diri-diri mereka sendiri sehingga mereka jatuh pada kesesatan.
Ini adalah perkara yang bisa dirasakan, dan al-Imam Ibnu Baththoh rohimahulloh telah mengisyaratkan pada yang semisal dengan ini, ia berkata :
“Kami mengenal beberapa orang yang dulunya mereka mencela dan melaknat ahlul bida’, kemudian (suatu saat) mereka bermajelis dengan ahlul bida’ dan bergaul dengan mereka, maka jadilah mereka bagian dari ahlul bida’.”
Dan ini dapat dirasakan pada setiap zaman dan tempat, sebagian orang telah tertipu dengan diri-diri mereka dari orang-orang besar, maka sangat disayangkan mereka jatuh ke jurang bid’ah, dan kami tidak ingin menyebutkan nama-nama mereka, mereka sudah ma’ruf di kalangan thullabul ilmi.”
Asy-Syaikh Salim al-Hilali dalam kitabnya al-Bid’ah wa Atsaruha as-Sayyi’ fil Ummah (hal 17) berkata:
“Begitulah ahli bid’ah, mungkin dia akan melemparkan bid’ahnya ke dalam hatimu dengan ia membagus-baguskan bid’ahnya itu, dan mungkin dia akan membuat hatimu menjadi sakit, dari apa-apa yang engkau saksikan dari perbuatannya dan apa-apa yang engkau dengar dari perkataannya dalam perkara-perkara yang menyelisihi syari’at.”
Asy-Syaikh Salim al-Hilali setelah membawakan atsar para imam salaf berkata (hal 18):
“Dengan apa yang telah lalu dari perkataan para ‘ulama, jelaslah bagi kita bahwa bermajelis dengan ahli bid’ah berbeda dengan mendakwahkan mereka kepada kebaikan dan menjelaskan al-haq kepada mereka, dan berdebat dengan mereka untuk mematahkan syubhat-syubhat mereka*24*], karena hal ini termasuk amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan sebuah ushul dari ushul da’wah ilalloh, Alloh telah memerintahkannya dalam kitab-Nya, Alloh berfirman :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ…
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar…”
[QS Ali Imron : 104]
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda memberi dalam rangka memberi pengarahan pada sebuah perkara yang umum kepada semua kaum muslimin, masing-masing sesuai dengan kemampuannya :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian (dengan hati, pent) adalah selemah-lemahnya iman.”
Jika datang larangan dari para ‘ulama dari bermajelis dengan ahli bid’ah, maka maknanya bukan berarti seorang yang ‘aalim dengan kitabulloh dan sunnah Rosul-Nya tidak mendakwahkan mereka kepada kebaikan, tidak membantah mereka dan tidak medekati majelis-majelis mereka untuk tujuan ini, akan tetapi maksud para ‘ulama di sini adalah kekhawatiran bagi orang yang tidak mampu untuk menolak syubhat-syubhat mereka (ahli bid’ah) dari dirinya sehingga akan berpengaruh para hatinya, sebagaimana perkataan Abu Qilabah yang telah lalu.”
Akan tetapi para ‘ulama telah melarang debat terbuka di depan umum/orang-orang awam di tempat-tempat terbuka
Dan yang lebih buruk lagi adalah seseorang yang melindungi ahli bid’ah dan membela mereka, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
..وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا..
“…dan Allah melaknat orang yang melindungi seorang muhdits*25* ]…”]
[HR. Muslim no. 1978, Ahmad no. 855, 858, 954 dan 1306; an-Nasa'i no. 4422, Ibnu Hibban no. 6604 dan lain-lain]
Allahul Musta’aan, kita berlindung kepada Alloh dari sifat ifroth/ghuluw/melampaui batas dan tafrith/mengampang-gampangkan, dan semoga Alloh memperbaiki keadaan kita sekarang ini…
Wallahu A’lamu bish Showaab.
***
MAROJI :
- Ushulus Sunnah, oleh al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Syarah & tahqiq oleh al-Walid bin Muhammad Nabiih.
- Syarhu Ushulis Sunnah, oleh asy-Syaikh Abu Muhammad Robi’ bin Hadi al-Madkholi. Versi pdf Sahab.org.
- Al-Bida’ wa Atsaruha as-Sayyi’ fil Ummah, oleh Asy-Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied al-Hilali. Cet. Al-Maktabah al-Islamiyyah.
- Irsyadus Saari ila Taudhih Syarhis Sunnah, oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi. Sahab.org.
- Maufiq Ahlis Sunnah min Ahlil Ahwa wal Bida’, oleh Tholibul Ilmi (tanpa nama). Sahab.org.
Kitab-kitab dari Al-Maktabah asy-Syamilah v.1 & v.2 :
- Kitab-kitab Hadits
- Ma’alimut Tanzil (Tafsir al-Baghowi), oleh al-Imam al-Baghowi.
- Tafsir al-Qurthubi, oleh al-Imam al-Qurthubi.
- Siyar A’lamin Nubala, oleh al-Imam adz-Dzahabi.
- Al-Ibanah al-Kubro, oleh Ibnu Baththoh al-Ukbari.
- Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah, oleh Hibbatulloh al-Lalika’i.
- Syarhus Sunnah, oleh al-Imam al-Barbahari.
- Hilyatul Auliya, oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani.
- Tahdzibut Tahdzib & Taqribut Tahdzib, oleh al-Imam Ibnu Hajar al-Asqolani.
- Al-Kasyif, oleh oleh al-Imam adz-Dzahabi .
- Rowat at-Tahdzibain, al-Maktabah asy-Syamilah v.1 & v.2.
- dll.
Sumber: www.abuzuhriy.com
Catatan Kaki:
1. Adh-Dhohhak bin Muzahim al-Hilali -rohimahulloh- (Shighor tabi’in, dari thobaqot ke-5 –yakni dalam at-Taqrib Ibnu Hajar, dan begitu untuk seterusnya–) wafat setelah 100 H, seorang ‘ulama ahli tafsir, murid dari Sa’id bin Jubair (muridnya Ibnu ‘Abbas). Namun para ‘ulama khilaf apakah dia bertemu dengan Ibnu ‘Abbas atau tidak (lihat Tahdzibut Tahdzib 4/398). Wallahu A’lam
2. Juwaibir bin Sa’id al-Azdi (shighor tabi’in, dari thobaqot ke-5) adalah seorang yang dho’if dalam meriwayatkan hadits, akan tetapi para ‘ulama menerima riwayatnya dalam masalah tafsir dari adh-Dhohhak (Lihat Tahdzibut Tahdzib 2/124). -rohimahulloh-
3. Ibnu ‘Aun namanya adalah Abu ‘Aun Abdulloh bin ‘Aun al-Bashri, dari thobaqot ke-6 (sezaman dengan shighor tabi’in), wafat tahun 150 H. Ia seorang ‘ulama besar di zamannya, rowi yang tsiqoh tsabt fadhil, shahabat Ayyub as-Sikhtiyani (Lihat at-Taqrib 1/317). -rohimahulloh-
4. Muhammad bin Sirin, Abu Bakar al-Anshori, dari thobaqot ke-3 (tabi’in wustho), wafat tahun 110 H, maula Anas bin Malik, seorang kibar ‘ulama tabi’in. al-Hafidz Adz-Dzahabi berkata : “Tsiqoh hujjah, salah seorang ‘ulama besar, ilmunya luas.” (Lihat al-Kasyif 1/178) -rohimahulloh-
5. al-Hasan bin Abil Hasan al-Bashri, dari thobaqot ke-3 (Tabi’in wustho), wafat tahun 110 H. Seorang Imam tabi’in yang faqiih dan masyhur. -rohimahulloh-.
6. Abu Qilabah Abdulloh bin Zaid al-Jarmi, dari thobaqot ke-3 (Tabi’in wustho), wafat tahun 104 H dan dikatakan 107 H, al-Hafidz Adz-Dzahabi berkata “salah seorang imam tabi’in.” (Lihat al-Kasyif 1/554), Ibnu Hajar berkata : “Tsiqoh fadhil, banyak meriwayatkan hadits secara mursal.” (Lihat at-Taqrib 1/304). -rohimahulloh-
7. Abu Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri (W. 161 H), dari thobaqot ke-5 (shighor tabi’in). Seorang imam, ‘Aabid, hafidz, faqiih, hujjah. -rohimahulloh-
8. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi (W. 748 H). al-Imam al-Hafidz, ahli Jarh wa Ta’dil & tarikh, Muhaddits. Penulis Siyar A’lamin Nubalaa’, al-Muwqidzoh, Mizanul I’tidal, dll. -rohimahulloh-
9. Abu Nashr Yahya bin Abi Katsir (W. 132 H), dari thobaqot ke-5 (shighor tabi’in). Salah seorang imam di zamannya. -rohimahulloh-
10. Abu Muhammad Sulaiman bin Mihron al-A’masy, dari thobaqot ke-5 (shighor tabi’in), wafat tahun 147/148 H H. Seorang tsiqoh hafidz, ahli qiro’ah. -rohimahulloh-
11. Abu Amr Abdurrahman bin Amr al-Auza’i, dari thobaqot ke-7 (Kibar tabi’ut tabi’in), wafat tahun 157 H. Seorang tsiqoh jaliil, syaikhul Islam, al-hafidz, faqiih, seorang yang zuhud. -rohimahulloh-
12. Abu Urwah Ma’mar bin Rosyid al-Azdi (W. 153 H), dari thobaqot ke-7 (kibar tabi’ut tabi’in). Seorang yang tsiqoh tsabt faadhil, ‘ulamanya Yaman ketika itu.
13. Abu Muhammad Abdulloh bin Thowus al-Yamani (W. H), dari thobaqot ke-6 (sezaman dengan tabi’in). Seorang yang tsiqoh fadhil, ahli ibadah
14. Abu Abdirrohman Mufadhdhol bin Muhalhal as-Sa’di al-Kufi (W. 167H, dari thobaqot ke- 7, Kibar Tabi’ut Tabi’in). Ia seorang ‘ulama besar di zamannya. Ibnu Hajar berkata tentangnya (at-Taqrib 1/544) : “Tsiqoh Tsabt, Nabiil ‘Aabid”
15. Abu ‘Ali Fudhail bin Iyadh bin Mas’ud at-Tamimi (W. 187 H, dari thobaqot ke-8 -yakni dalam at-Taqrib Ibnu hajar, begitu seterusnya- Tabi’ut tabi’in wustho), Ibnu Hajar berkata : “Tsiqoh, ahli ibadah, seorang imam.” (Lihat at-Taqrib 1/448), Syaikh-nya Ibnul Mubarok
16. Abu Abdillah Ubaidullah bin Muhammad bin Baththoh al-Ukbari (W. 387 H). Seorang ‘ulama faqiih madzhab Hanbali, ahli ibadah, muhaddits
17. Abu Abdirrahman Adulloh bin al-Mubarok al-Handzoli (W. 181 H), dari thobaqot ke-8 (tabi’ut tabi’in wustho). Tsiqoh tsabt, faqiih, aalim, mujahid, syaikh-nya negri Khurosan
18. Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Qurosyi (150 – 204 H, dari thobaqot ke-9, shigor atba’ut tabi’in). Imam masyhur, faqiih.
19. Abu Abdillah Malik bin Anas al-Madani (93 – 179 H, dari thobaqot ke-7, kibar tabi’ut tabi’in). Imam Darul Hijroh, faqih, masyhur
20. Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibani, dari thobaqot ke-10, wafat tahun 241 H. Imam yang masyhur, dijuluki sebagai Imam Ahlis Sunnah wal Jama’ah, al-Hafidz, faqiih, hujjah
21. Abu Muhammad Aburrohman bin Muhammad bin idris ar-Rozi, lebih dikenal dengan Ibnu Abi Hatim (W. 327 H). Penulis kitab al-Jarh wat Ta’dil, Adz-Dzahabi berkata tentangnya (Tadzkirotul Huffadz 3/729) : “al-Imam, al-Hafidz, an-Naqid, Syaikhul Islam”
22. Abu Hatim Muhammad bin Idris ar-Rozi (195 – 277 H, dari thobaqot ke-11). Adz-Dzahabi berkata (Tadzkirotul Huffadz 2/567) : “al-Imam al-Hafidz al-Kabir”
23. Abu Zur’ah Ubaidullah bin Abdil Karim ar-Rozi (200 – 264 H, dari thobaqot ke-11). Adz-Dzahabi berkata (as-Siyar 13/65) : “al-Imam, Sayyidul Huffadz”
24. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu ‘Abbas ketika beliau mendatangi orang-orang Haruriyyah (Khowarij) lalu beliau mematahkan syubhat-syubhat mereka. Kisah ini diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrok (2/164) hadits no. 2656, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubro (8/179) hadits no. 16517, an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubro (5/165) hadits no. 8575, dll.
Dan sebagaimana yang dilakukan oleh asy-Syaikh al-Albani ketika menasehati orang-orang takfiriyyun, dll. Hal ini sesuai dengan firman Alloh subhanahu wa ta’ala:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah ke jalan Robb-mu dengan hikmah dan dengan nasehat yang baik, serta debatlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Robb-mu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
[QS. an-Nahl : 125 ]
25. Muhdits di sini bermakna mubtadi’ (ahlul bid’ah) atau orang zholim atau orang yang berbuat maksiat.
[Lihat ‘Umdatul Qori’ 25/43 oleh Badruddin al-’Aini ↩
Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!
☛ Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)
☛ Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)
☛ Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,
1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)
5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)
6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)
7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)
8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)
9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)
☛ Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,
1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)
3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).
Selengkapnya klik DI SINI
Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar