Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Sabtu, 16 Juni 2012

Posisi Tangan Setelah Bangun dari Rukuk : Bersedekap atau Irsal ? (Sebuah Sanggahan)


Telah dimafhumi bahwa dalam permasalahan ini terdapat 2 (dua) khilaf yang sangat masyhur di kalangan ulama. Satu pendapat mengatakan bahwa seorang yang berdiri ketika i’tidalsetelah bangun dari rukuk adalah irsal (melepaskan tangannya dan tidak sedekap di atas dada). Dan sebagian yang lain mengatakan bahwa posisi tangan dalam berdiri setelah rukuk adalah bersedekap di atas dada.
Bahasan ini akan dimulai dengan hadits yang dijadikan hujjah bagi orang yang berpendapat bahwa posisi tangan setelah rukuk adalah irsal (melepaskan tangannya/tidak sedekap di atas dada), yaitu :



ثم ارفع رأسك حتى تعتدل قائماً؛ [فيأخذ كل عظم مأخذه] وفي رواية : وإذا رفعت فأقم صلبك، وارفع رأسك حتى ترجع العظام إلى مفاصلها
“Kemudian, angkatlah kepalamu sehingga engkau berdiri lurus, dan setiap tulang (kullu ‘adhmin) dapat mengambil tempatnya”. (dan di dalam sebuah riwayat mengatakan : ) “Dan apabila engkau bangkit dari rukuk, maka luruskanlah tulang punggungmu (fa-aqim shulbakadan angkatlah kepalamu hingga tulang-tulang kembali kepada sendi-sendinya [HR. Bukhari, Muslim, Ad-Daarimi, Al-Hakim, Asy-Syafi’i, dan Ahmad. Lihat dalam kitab Shifat Shalat Nabi hal. 138 oleh Syaikh Al-Albani].


Mereka yang berpendapat melepaskan tangan ketika berdiri setelah rukuk mengatakan :
“Maksud hadits ini jelas dan gamblang, yaitu thuma’ninah di dalam berdiri ini. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan untuk meluruskan semua tulang, termasuk tulang lengan/tangan, ketika berdiri i’tidal. Lantas, bagaimana bisa dikatakan bahwa posisi tangan ketika berdiri i'tidal setelah rukuk adalah sedekap ?”.
Sanggahan (Ta’qib) atas pendapat tersebut akan diuraikan sebagai berikut :
  1. Beberapa hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang shahih telah menjelaskan kepada kita bagaimana posisi tangan ketika berdiri dalam shalat. Diantaranya adalah hadits :
    كان الناس يؤمرون أن يضع الرجل اليد اليمنى على ذراعه اليسرى في الصلاة
    “Adalah para shahabat diperintahkan (oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam) bahwa seseorang agar meletakkan tangan kanannya di atas hasta kirinya dalam shalat” [HR. Al-Bukhari no. 740 dari Sahl bin Sa’d radliyallaahu ‘anhu].


    إنا معشر الأنبياء أمرنا أن نؤخر سحورنا ونعجل فطرنا وأن نمسك بأيماننا على شمائلنا في صلاتنا
    “Sesungguhnya kami para nabi telah diperintahkan untuk mengakhirkan sahur kami, menyegerakan buka puasa kami, dan untuk mengeratkan tangan-tangan kanan kami di atas tangan-tangan kiri kami dalam shalat” [HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 1770].


    صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ووضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره
    “Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau meletakkan tangan kanannya atas tangan kirinya di atas dadanya” [HR. Ibnu Khuzaimah dalamShahih-nya no. 479 dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu].


    رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم واضعا بيمينه على شماله في الصلاة
    “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam shalat" [HR. Ad-Daruquthni 1/286 dari Wail Al-Hadlramy radliyallaahu ‘anhu].


    Empat hadits di atas (dan juga beberapa hadits yang lain) menjelaskan kepada kita bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (bersedekap) dalam shalat. Dan hal itu tentu tidak bisa dipahami kecuali beliau lakukan dalam keadaan berdiri ketika shalat (mencakup semua macam berdiri : berdiri sebelum rukuk dan setelah rukuk). Ini adalah lafadh umum.


    Jikalau ada yang bertanya : “Bukankah dalam hadits telah dijelaskan secara tafshil (rinci) dari keumuman hadits di atas bahwasannya bersedekap itu hanya dilakukan 4 keadaan :
    a) Berdiri setelah takbiratul-ihram, sebagaimana hadits :
    عن وائل بن حجر أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم رفع يديه حين دخل في الصلاة كبر وصف همام حيال أذنيه ثم التحف بثوبه ثم وضع يده اليمنى على اليسرى 
    “Dari Wail bin Hujr radliyallaahu anhu : 


    "Bahwasannya ia melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya ketika masuk dalam shalatnya………… kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya” [HR. Muslim no. 401 dimana Imam Muslim meletakkan hadits ini pada bab yang berjudul : وضع يده اليمنى على اليسرى بعد تكبيرة الإحرام...... = 


    Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri setelah takbiratul ihraam] .
    b) Berdiri ketika bangun dari sujud
    c) Berdiri ketika bangun dari at-tahiyat awal; dimana butir a dan b berdasarkan keumuman hadits yang menyebutkan bahwa apa yang dilakukan pada waktu berdiri pada raka’at dua, tiga, atau empat adalah sama dengan apa yang dilakukan pada saat raka’at pertama. (HR. Muslim, Ahmad, dan lainnya).


    Hal itu kita jawab :
    Penyebutan 3 (tiga) kondisi sebagaimana tersebut di atas bukanlah merupakan perincian dan batasan yang menyeluruh. Banyak contoh serupa yang terdapat dalam hadits. Contohnya adalah, ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjelaskan sucinya kulit yang telah disamak dengan sabdanya :
    إذا دبغ الإهاب فقد طهر
    “Apabila telah disamak kulit binatang, maka, maka ia menjadi suci” [HR. Muslim no. 366, Ahmad no. 1895, dan yang lainnya].


    Pemahaman yang didapat dari hadits adalah semua kulit yang telah disamak adalah suci. Akan tetapi, konteks yang dibicarakan dalam hadits hanyalah kulit bangkai kambing. Tidak semua kulit binatang disebutkan dalam hadits. Namun, ini bukan berarti kulit yang lain yang tidak disebutkan dalam hadits – seperti misal : kulit kerbau, kulit kelinci, atau kulit sapi – tidak termasuk dalam keumuman hadits kesucian kulit yang telah disamak. Bahkan semua kulit binatang yang telah disamak adalah suci. Tegasnya, sesuatu yang telah ada asalnya atau pokoknya, bila perinciannya tidak disebutkan disebutkan dalam riwayat, tidak otomatis bahwa “yang tidak disebutkan” itu tidak ada. 


    Begitu juga dengan bersedekap ketika berdiri setelah rukuk. Walaupun tidak disebutkan secara sharih oleh riwayat, maka hal itu termasuk keumuman dari berdiri dalam shalat yang di dalamnya diperintahkan untuk bersedekap. Dan hal itu akan lebih jelas pada penjelasan berikutnya.


  2. Ketika menyebutkan keadaan waktu berdiri setelah rukuk, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan meluruskan punggung sehingga setiap tulang kembali ke tempatnya. Hal ini sebagaimana hadits :
    فإذا رفع رأسه استوى حتى يعود كل فقار مكانه 
    “Apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kepalanya, beliau berdiri rata sehingga setiap tulang belakang kembali kepada tempatnya” (HR. Al-Bukhari no. 827 dari Abu Humaid As-Saidi radliyallaahu ‘anhu]
    .
    ثم قال سمع الله لمن حمده ورفع يديه واعتدل حتى يرجع كل عظم إلى موضعه معتدلا
    Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : Sami’allaahu liman hamidah dan mengangkat kedua tangannya dan berdiri i’tidal sehingga setiap tulang mengambil posisi di tempatnya dengan lurus” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 587 dari Abu Haumaid As-Sa’idiradliyallaahu ‘anhu].


    فإذا رفع رأسك فأقم صلبك حتى ترجع العظام إلى مفاصلها
    (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :) “Apabila engkau mengangkat kepalamu di waktu rukuk, maka tegakkanlah tulang punggungmu hingga tulang-tulang kembali kepada sendi-sendinya” [HR. Ahmad no. 19017 dari Rifa’ah bin Rafiq Az-Zarqiradliyallaahu 'anhu].


    ثم يمكث قائماً حتى يقع كل عضو موضعه
    “…Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menunggu sambil berdiri hingga setiap anggota badan terletak (kembali) pada tempatnya” [Subulus-SalamKitaabush-Shalah].


    Dan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa posisi tangan/tulang tangan sebelum rukuk (yaitu ketika berdiri) adalah bersedekap. Pemahaman yang didapatkan adalah, ketika ada perintah untuk mengembalikan tulang (العظم) pada posisinya/tempatnya/sendinya semula, maka hal ini tentu merujuk pada posisi bersedekap.


    Jikalau ada yang bertanya : “Bagaimana bisa dikatakan bersedekap jikalau hadits di atas menyuruh kita untuk mengembalikan tulang dengan lurus (sehingga menunjukkan posisi tangan adalah irsal) sebagaimana riwayat Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzi berikut :
    واعتدل حتى يرجع كل عظم في موضعه معتدلا
    “Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berdiri tegak hingga setiap tulang kembali kepada tempatnya masing-masing dengan lurus” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 677 dan At-Tirmidzi no. 304 dari Abu Humaid As-Sa’idi radliyallaahu ‘anhu, dan ia berkata : hadits hasan shahih].


    Maka kita jawab : “Lurus yang dimaui dalam hadits tersebut bukan lurusnya tangan, akan tetapi lurusnya punggung sehingga seseorang berdiri dengan tegap ketika i’tidaldalam shalat setelah rukuk”. Dalam beberapa hadits yang telah dituliskan di atas disebutkan dengan menggunakan lafadh [كل عظم] dan [العظام]. Bentuk kalimat ini adalah muthlaq, yaitu lebih umum yang meliputi semua tulang, tiap-tiap tulang, atau tulang-tulang. Setelah itu, coba kita perhatikan riwayat Abu Humaid di atas dari Al-Bukhari :
    فإذا رفع رأسه استوى حتى يعود كل فقار مكانه
    “Apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kepalanya, beliau berdiri rata sehingga setiap tulang belakang (فقارkembali kepada tempatnya”.


    Dan juga hadits dari Rifa’ah :
    فإذا رفع رأسك فأقم صلبك حتى ترجع العظام إلى مفاصلها
    “Apabila engkau mengangkat kepalamu di waktu rukuk, maka tegakkanlah tulang punggungmu (صلبكhingga tulang-tulang kembali kepada sendi-sendinya”.


    Dua hadits di atas telah membatasi (men-taqyid) dari ke-muthlaq-an kalimat [كل عظم] dan [العظام]. Jadi yang dimaksud dengan “setiap tulang” yang hendaknya diluruskan adalah tulang punggung. Dan yang menguatkan hal tersebut adalah bahwa penafsiran atau pen-taqyid-an (pembatasan) ke dalam makna tulang punggung ini merupakan ucapan dan perintah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang dilihat dan didengar oleh para shahabat. 


    Adapun lafadh-lafadh {[كل عظم] dan [العظام]} merupakan perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang dikhabarkan oleh para shahabat dari apa yang mereka lihat. Tentu pengkhabaran ini sesuai dengan pemahaman dan bahasa dari orang yang mengkhabarkan, walaupun mereka ini (para shahabat) merupakan thabaqatyang paling tsiqah. Kedudukan yang terakhir ini tidak bisa mengalahkan kedudukan yang pertama dalam hal pengambilan pemahaman sebagaimana mafhum diketahui.
KESIMPULAN : Posisi tangan ketika berdiri setelah rukuk adalah bersedekap, bukan irsal(melepaskan/meluruskan kedua tangan ke bawah). Allaahu a’lam.


Abul-Jauzaa'
sumber = http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/11/posisi-tangan-setelah-bangun-dari-rukuk.html

6 komentar:

Hariyadidzunnurain mengatakan...

COMMENTS

arief nur mengatakan...
Kalo imam irsal, apakah kita ikuti?
atau tetap bersedekap?

syukran

7 September 2009 10:25
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Bersedekap.

7 September 2009 10:34
Hamba Allah mengatakan...
Assalamu'alaykun ustadz,,
bolehkah meninggalkan sunnah bersedekap dikarenakan kondisi masyarakat, takut terjadi fitnah?

8 April 2010 21:09
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Jika kita telah meyakini bahwa hal itu merupakan sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam shalat, hendaknya kita tidak meninggalkannya. Adapun jika ada sebagian masyarakat ada yang menanyakan atau tidak sepakat tentang hal itu, maka kita jelaskan duduk permasalahannya sebaik mungkin. Wallaahu a'lam.

12 April 2010 08:30
noto mengatakan...
bagaimana hukumnya jika kita meyakini sesuatu yang beda dengan yang dikerjakan imam, padahal ma'mum harus mengikuti setiap gerakan sholat sang imam?

29 September 2010 22:59
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
lihat di bagian kolom komentar : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/09/qunut-shubuh.html.

29 September 2010 23:41

Hariyadidzunnurain mengatakan...

Anonim mengatakan...
Untuk tambahan pengetahuan dalam maslah ini silahkan kunjungi

http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=10423

إسدال اليدين بعد الرفع من الركوع (كلام الألباني رحمه الله و إقرار البازمول حفظه الله لما ذهب إليه)

30 September 2010 09:50
Arianto mengatakan...
Abu Jauzaa' berkata :

صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ووضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره

“Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau meletakkan tangan kanannya atas tangan kirinya di atas dadanya” [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 479 dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu].

Ada yang mengatakan bahwa lafadz على صدره (di atas dada) ini merupakan idraj

Cek disini akh http://an-nashihah.com/?p=89

Bagaimana penjelasannya ?

7 November 2010 20:39
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Terima kasih atas masukannya.

Mungkin yang dimaksud adalah paragraf :

Jadi jelaslah, bahwa Yahya bin Sa’id bersendirian dalam meriwayatkan lafazh “meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya”, dan menyelisihi 6 orang lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury, dan menyelisihi Ashab (baca: murid-murid) Simak bin Harb yang lain, seperti Za`idah bin Qudamah, Syu’bah, Abul Ahwash, Asbath bin Nashr, Syarik bin ‘Abdillah, dan Hafsh bin Jami’. Maka jelaslah bahwa terdapat kesalahan pada riwayat tersebut, sehingga dihukumi sebagai riwayat yang syadz ‘ganjil’ atau mudraj, tetapi kami tidak bisa menentukan dari mana asal dan kepada siapa ditumpukan kesalahan ini. Wallahu a’lam..

Definsi syaadz dalam ilmu hadits adalah penyelisihan perawi maqbul terhadap perawi yang lebih tsiqah darinya. Di sini, termasuk bahasan ziyaadatuts-tsiqaat. Ziyaadatuts-tsiqaat bisa termasuk katagori syaadz jika tambahan tersebut menyelisihi riwayat jama'ah. Di sini Yahyaa bin Sa'iid Al-Qaththaan tidak menyelisihi. Hanya saja, ia meriwayatkan lafadh yang tidak diriwayatkan oleh jama'ah. Maka ini dilihat, jika perawi tersebut termasuk seorang imam tsiqah yang terjaga hapalannya, maka diterima tambahannya itu. Yahyaa bin Sa'iid Al-Qaththaan adalah yang tsiqah, mutqin, haafidh, imam, lagi qudwah (teladan) (120-198 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1055-1056 no. 7607].

Karenanya, sampai saat ini dengan kadar ilmu dan pemahaman yang saya miliki, tambahan lafadh itu bukan termasuk syaadz.

Jika dikatakan mudraj, maka ini sebenarnya juga berpijak pada asumsi tambahan tersebut adalah syaadz.

Wallaahu a'lam bish-shawwaab.

8 November 2010 11:29

Hariyadidzunnurain mengatakan...

Arianto mengatakan...
Antum katakan : Ziyaadatuts-tsiqaat bisa termasuk katagori syaadz jika tambahan tersebut menyelisihi riwayat jama'ah. Di sini Yahyaa bin Sa'iid Al-Qaththaan tidak menyelisihi. Hanya saja, ia meriwayatkan lafadh yang tidak diriwayatkan oleh jama'ah

Seorang teman mengatakan bahwa penyelisihan lafadz tsb karena ziyadah rawi yang tsiqah tsb bertentangan dengan kemutlakan hadits yang tanpa ziyadah, seperti menambahkan riwayat lain yang tidak diriwayatkan oleh rawi lain.

Mafhum hadits sedekap adalah umum, bisa diletakkan disembarang tempat (dada, perut, atau antara keduanya), sedangkan mafhum hadits dengan ziyadah "di atas dada" tsb bersifat khusus. Karens sifatnya berbeda, maka hukumnya berbeda pula maka telah terjadi perselisihan dalam hal hukumnya.

Bagaimana jawabannya akh ?

10 November 2010 06:28
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ibnu Shalah telah mencontohkan jenis ziyaadatuts-tsiqaat yang diterima, yaitu apa yang diriwayatkan dari Maalik, dari Naafi', dari Ibnu 'Umar :

أن رسول الله صلى اله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على كل حر أو عبد، ذكر أو أنثى من المسلمين

"Bahwasannya Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa salam telah mewajibkan zakat fithr di bulan Ramadlaan kepada setiap orang baik yang merdeka, budak, laki-laki, ataupun perempuan dari kalangan kaum muslimin".

Abu 'Iisaa (At-Tirmidziy) mengatakan bahwa Maalik telah bersendirian di antara pra perawi tsiqaat dengan tambahan : minal-muslimiin. Hadits ini juga diriwayatkan oleh 'Ubaidullah bin 'Umar, Ayyub (As-Sikhtiyaaniy), dan yang lainya dari Naafi', dari Ibnu 'Umar; tanpa tambahan tersebut. Namun para imam telah berhujjah dengan tambahan tersebut seperti Asy-Syaafi'iy dan Ahmad [selesai].

Nah, bukankah tambahan minal-muslimiin di situ juga merupakan tambahan lafadh yang membatasi kemutlakan hadits tanpa tambahan ? Nakun kenyataannya, para ulama mutaqaddimiin menerimanya - karena tambahan tersebut tidak menyelisihi riwayat jama'ah.

Wallaahu a'lam.

10 November 2010 09:58
Arianto mengatakan...
Al-Jauzaa' berkata : Nah, bukankah tambahan minal-muslimiin di situ juga merupakan tambahan lafadh yang membatasi kemutlakan hadits tanpa tambahan ? Namun kenyataannya, para ulama mutaqaddimiin menerimanya - karena tambahan tersebut tidak menyelisihi riwayat jama'ah.

Katanya, tambahan minal-muslimiin dalam hadits yang antum sebutkan tidak dikatakan syadz (oleh karena itulah Ibnu Shalah telah mencontohkan jenis tsb sebagai ziyaadatuts-tsiqaat yang diterima) karena hukum zakat (secara umum) HANYA dibebankan bagi kaum muslimin dan tidak dibebankan bagi kaum lainnya. Lebih khusus lagi adalah zakat fithrah, dimana dia diwajibkan bagi kaum muslimin setelah menunaikan 'ibadah puasa Romadhon.

Maka tambahan lafadz minal-muslimiin dalam hadits :


أن رسول الله صلى اله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على كل حر أو عبد، ذكر أو أنثى من المسلمين

"Bahwasannya Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa salam telah mewajibkan zakat fithr di bulan Ramadlaan kepada setiap orang baik yang merdeka, budak, laki-laki, ataupun perempuan dari kalangan kaum muslimin"

tidak menimbulkan pertentangan/perlawanan hukum dengan hadits lain yang tanpa tambahan (ziyadah) tsb. Contoh tsb berbeda dengan hukum sedekap dalam sholat, dimana ziyadah "di atas dada" meniadakan posisi sedekap selain pada lafadz yang ditunjukka oleh ziyadah tsb.

Bagaimana tanggapannya akhi ?

10 November 2010 23:33

Hariyadidzunnurain mengatakan...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Sebenarnya bahasannya menurut saya adalah : Apakah bentuk taqyid dari lafadh muthlaq bisa dikatakan sebagai syaadz ?.

Tambahan minal-muslimin itu merupakan pentaqyid dari kemutlakan lafadh sebelumnya.

Oleh karenanya, taqyid ini merupakan jawaban atas pertanyaan, misalnya : Apakah wajib seseorang mengeluarkan zakat dari budak kafir yang ia miliki (yang masih dalam tanggungan nafkahnya) ?. Dalam hadits disebutkan :

ليس على المسلم في عبده صدقة إلا صفقة الفطر

"Tidak ada kewajiban bagi seorang Muslim pada budak yang ia milki zakat, kecuali zakat fithri".

Karena itu, kok kurang pas (bagi saya) jika alasan tambahan minal-muslimin itu tidak syaadz karena :

karena hukum zakat (secara umum) HANYA dibebankan bagi kaum muslimin dan tidak dibebankan bagi kaum lainnya. Lebih khusus lagi adalah zakat fithrah, dimana dia diwajibkan bagi kaum muslimin setelah menunaikan 'ibadah puasa Romadhon.

Justru tambahan itu memberikan keterangan dan kejelasan (baca : taqyid) dari lafadh yang semula mutlak, yang kemudian menjadi pemutus hukum atas pertanyaan yang merupakan konsekuensi dari lafadh mutlak itu :

- apakah wajib membayar zakat fithri budaknya yang kafir ?

- apakah wajib membayar zakat fithri istrinya yang kafir ?

- apakah wajib membayar zakat fithri anak yang kafir yang menjadi tanggungannya ? (misal : anak bawaan dari istri yang kafir).

- apakah wajib membayar zakat fithri atas kerabat-kerabat dekatnya yang kafir yang masuk dalam tanggungan nafkahnya (karena kefaqirannya) ?

Dalam hal ini sama dengan kasus sedekap. Ia mentaqyid lafadh sedekap yang masih umum, yaitu di dada. Oleh karenanya, tambahan ini bukan masuk dalam katagori syaadz. Wallaahu a'lam.

11 November 2010 02:24
abu faadhilah mengatakan...
usatadz, Jazakumullahu khairan atas artikelnya, untuk hal ini ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan

1. adakah atsar dari para shabat untuk menguatkan kesimpulan diatas?

2. boleh tahu Ulama mana saja yang menguatkan kesimpulan diatas

11 November 2010 17:06
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
1. Sampai saat ini, saya belum tahu atsar shahih dan sharih yang menjelaskan posisi tangan pada waktu berdiri setelah rukuk. Baik yang berpendapat sedekap atau irsal. Dalil yang dijadikan hujjah sifatnya dalil umum. Kalau ada ikhwan Pembaca yang mengetahui apa yang ditanyakan akh Abu Fadlillah, jangan segan-segan menuliskannya di kolom komentar ini.

2. Ulama yang berpendapat irsal adalah (dengan menukil penjelasan Dr. Anis bin Ahmad bin Thaahir) :

- Abu Hanifah, Abu Yuusuf, dan Muhammad bin Al-Hasan.

- Ahmad telah memilih antara meletakkan tangan dan melepaskan tangan.

- Ibnu Hazm.

Secara persis bagaimana kalimat para imam yang disebtkan Dr. Anis tersebut, saya belum meneliti/mencarinya.

Wallaahu a'lam bish-shawwab.

11 November 2010 17:25

Hariyadidzunnurain mengatakan...

Arianto mengatakan...
al-Jauzaa berkata : Dalam hal ini sama dengan kasus sedekap. Ia mentaqyid lafadh sedekap yang masih umum, yaitu di dada.

Bolehkah saya mendapat contoh ziyadah yang di tolak (syadz) sebagai pembading ziyadah yang diterima ?

Dan 1 lagi, kalo boleh saya mendapat contoh perbedaan antara ziyadah dan idraj.


Kalo tidak via bloq ini, mungkin akh bisa kirim via email saja.


Syukron

12 November 2010 06:18
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Untuk contoh hadits syaadz : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/03/hadits-kewajiban-saksi-dalam-pernikahan.html

Contoh idraaj adalah hadits :

أسبغوا الوضوء ويل للأعقاب من النار

"Sempurnakanlah wudlu kalian, karena kecelakaanlah bagi tumit-tumit akan masuk neraka".

kalimat أسبغوا الوضوء ; adalah idraaj dari perkataan Abu Hurairah, sebab dalam riwayat lain, Abu Hurairah berkata :

أسبغوا الوضوء فإن أبا القاسم صلى الله عليه وسلم قال ويل للعقب من النار

"Sempurnakanlah wudlu kalian, karena Abul-Qaasim shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'kecelakaanlah bagi tumit-tumit akan masuk neraka'".

Wallaahu ta'ala a'lam.

12 November 2010 09:58
Arianto mengatakan...
Abul Jauzaa'mengatakan : Untuk contoh hadits syaadz : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/03/hadits-kewajiban-saksi-dalam-pernikahan.html

Contoh idraaj adalah hadits :

أسبغوا الوضوء ويل للأعقاب من النار

"Sempurnakanlah wudlu kalian, karena kecelakaanlah bagi tumit-tumit akan masuk neraka".

Dari contoh yang antum sebutkan, nampaknya bahwa dalam hadits yang dikatakan syadz dengan tambahan "dua orang saksi yang ‘adil". bersumber dari rawi yang Dla'if bukan rawi Tsiqah.

Apakah contoh tsb cocok disebut sebagai Ziyadatuts-Tsiqah ?

Bukankah perbedaan syadz dan munkar bersumber pada kekuatan hapalan rawi, maka jika rawi tsiqah menyelisihi rawi tsiqah lainnya atau lebih tsiqah maka disebut syadz, sedangkan jika rawi yang lemah ingatan/hapalannya menyelisi rawi tsiqah disebut munkar.

Jika tambahan "dua orang saksi yang ‘adil" bersumber dari rawi tsiqah, lalu apa bedanya dengan contoh hadits sedekap ?

CMIIW

13 November 2010 02:03
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Dikarenakan CMIIW adalah Corect Mi If I'm Wrong, maka saya katakan : Yes, I'll Corect You 'Cause You're Wrong (sorry, I'm kiddin' my brother....).

Coba antum perhatikan hadits 'Aaisyah. Di situ saya katakan bahwa tiga orang - atau lebih tepatnya dua orang - telah menyelisihi riwayat jama'ah dengan menyebutkan tambahan dan dua orang saksi yang 'adil. Mereka adalah Yahyaa bin Sa'iid dan Hafsh bin Ghiyaats. Adapun 'Iisaa bin Yuunus, dalam riwayat Ishaaq bin Rahawaih tidak meriwayatkan tambahan tersebut.

Yahyaa bin Sa'iid, ia adalah Ibnu Farrukh Al-Qaththaan At-Tamiimiy. Seorang yang tsiqah lagi mutqin.

Hafsh bin Ghiyaats, ia adalah Ibnu Thalq bin Mu’aawiyyah bin Maalik bin Al-Haarits An-Nakha’iy, Abu ‘Umar Al-Kuufiy, seorang yang tsiqah lagi faqih, namun sedikit berubah hapalannya di akhir usianya.

Kira-kira, mereka itu tsiqah gak pak ?

Nah, dua orang perawi ini telah menyelisihi banyak perawi (saya menyebutkan 23 orang). Sedikit keterangan tentang 22 orang tersebut (saya acu dari At-Taqriib) :

1. 'Abdullah bin Al-Mubaarak, seorang yang tsiqah, tsabt, 'aalim.

2. Ismaa'iil bin Zakariyyaa, seorang yang shaduuq, sedikit keliru.

3. 'Abdulah bin Wahb, seorang yang tsiqah lagi haafidh.

4. 'Abdullah bin Rajaa' Al-Makkiy, seorang yang yang tsiqah, namun sedikit berubah hapalannya.

5. 'Abdurrazzaaq bin Hammaam, seorang yang tsiqah lagi haafidh.

6. Adl-Dlahhaak bin Makhlad Abu 'Aashim, seorang yang tsiqah lagi tsabt.

.......

dan lain-lain silakan antum teruskan sendiri.

I hope it's clear for U brother...

13 November 2010 13:32

Hariyadidzunnurain mengatakan...

Anonim mengatakan...
Assalamu alaikum Pak Ustad sy yang sangat awam ini mau bertanya..1)jika hendak sujud yg mana ddahulukan kedua tangan atau lutut? begitu jg ketika bangun dari sujud utk berdiri ke rakaat selanjutnya? 2) minta pendapat :jika sesorang berniat kurban untuk tdk mencukur rambut dan memotong kuku sejak 1 zulhijjah sampai hewan korban disembelih?

13 November 2010 18:12
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.

1. Ketika mau sujud, tangan dulu. Ketika mau bangkit, lutut dulu diangkat.

2. Ya benar.

Wallaahu a'lam bish-shawwaab.

13 November 2010 19:56
al-ikhwan mengatakan...
Assalamu'alaikum Ust Abul Jauzaa

mohon bantuannya tentang takhrij beserta jalur sanad hadits berikut ini:

عن وائل بن حجر قال: رأيت النبي صلى الله عليه وسلم حين كبّر رفع يديه خِذاء اُذنيه ثم حين قال سمع الله لمن حمده رفع يديه ورأيتُه مُمْسِكًا بيمينه على شماله فى الصلاة . أحمد

saya mendapatinya dalam risalah Ust A. Qodir Hassan dalam buku "Cara Berdiri I'tidal"

Jazakumullah

21 April 2012 10:07

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif