Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Sabtu, 29 September 2012

Perpecahan Umat, Sebab dan Solusinya (2)

Sambungan dari artikel Perpecahan Umat, Sebab dan Solusinya (1)
Sejarah perpecahan

Pembicaraan seputar sejarah perpecahan umat sangat bermanfaat, namun dalam tulisan ini tidak dapat menjelaskan perincian secara detail. Diantara yng perlu diketahui adalah berikut:
Aqidah kelompok yang menyimpang yang muncul pada umat ini awalnya hanya sekedar konsep pemikiran dan keyakinan yang tersembunyi dan hanya tampak sangat samar, yaitu Aqidah Saba’iyah (Akidah Syi’ah Rafidhoh dan Khawarij). Yang terkenal memunculkan bibit-bibit perpecahan adalah seorang yang tidak jelas jatidirinya bernama Abdullah bin Saba’ . ia menyebarkan keyakinan menyimpangnya diantara kaum muslimin sehingga banyak kaum munafikin dan orang-orang yang baru masuk islam meyakini kebenarannya hingga keluarlah sekte khawarij dan Syi’ah.
Kemudian muncullah iftiroq dalam bentuk kelompok tertentu yang dimulai dengan kelompok Khawarij yang sebenarnya juga muncul dari pemahaman Saba’iyah, sebagaimana Syi’ah juga demikian. Sabaiyah terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu Syi’ah Rafidhoh dan Khawarij. Demikian walaupun ada perbedaan besar antara syiah dan khawarij. Perbedaan antara Khawarij dan SYi’ah sebenarnya adalah upaya dan hasil kerja musuh-musuh islam dalam rangka memperparah perpecahan umat. Dalam pengertian Ibnu Saba’ dan kroni-kroninya menanamkan benih-benih sesuai dengan kelompok dari ahli hawa tertentu dan menanamkan benih lainnya pada kelompok lainnya dan menjadikan keduanya saling bermusuhan agar cepat membuat perpecahan pada umat ini.

Yang perlu diketahui bahwa sejarah perpecahan umat tidak terjadi pada zaman sahabat. Yang terjadi pada zaman mereka hanyalah perbedaan pendapat yang kemudian berakhir dengan ijma’ atau tunduk dengan pendapat mayoritas atau bersatu pada keputusan imam.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: Ketahuilah bahwa umumnya kebid’ahan yang berhubungan dengan akidah dan ibadah hanyalah terjadi pada umat ini pada akhir-akhir masa khulafa’ Rasyidin sebagaimana diberikan Rasulullah ketika bersabda:
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِيْنَ مِنْ بَعْدِي”…
Siapa yang didup dari kalian setelahku maka akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib bagi kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin al-mahdiyin setelahku..
Lalu beliau melanjutkan: “Ketika berlalu negara khulafa’ Rasyidin dan menjadi kerajaan, maka muncullah kekurangan (kelemahan) pada para penguasa (umara’), sehingga mesti juga muncul pada ahli ilmu dan agama. Akhirnya pada akhir kekhilafahan ‘Ali menyempal dua kebidahan yaitu Khawarij dan Rafidhoh yang berhubungan dengan imamah (kepemimpinan) dan kekhilafahan serta yang berhubungan dengnnya berupa amalan dan hukum-hukum syari’at. Mu’awiyah dulu adalah raja dan rahmat, ketika beliau wafat dan datanglah pemerintahan Yazid terjadilah padanya fitnah pembunuhan al-Husein di Iraq dan fitnag ahlu al-Harah di Madinah serta mereka mengepung Makkah ketika dipimpin oleh Abdullah bin al_zubeir. Kemudian Yazid meninggal dunia dan umat terpecah belah: Ibnu al-Zubeir di al-Hijaaz, Banu al-Hakam di Syam, al-Mukhtaar bin Abu ‘Ubaid dan selainnya menyerang Iraq dan itu terjadi di akhir masa sahabat dan masih tersisi sedikit dari mereka seperti Ibnu ABas, Abdullah bin ‘Umar, Jaabir bin ABdillah dan Abu Sa’id al-Khudri. Mereka dahulu membantah dan memperingatkan kaum muslimin dari kebid’ahan al-Khawarij dan Rafidhoh. Umumnya al-qadariyah ketika itu belum berbicara tentang amalan hamba sebagaimana al-Murji’ah berbicara tentang hal tersebut, sehingga jadilah perkataan mereka dalam ketaatan, kemaksiatan, mukmin, fasiq dan sejenisnya dari masalah-masalah al-asma wa al-Ahkaam dan al-Wa’d wa al-Wa’id. Mereka semua belum bicara tentang Rabb mereka dan tidak pula pada sifat-sifat Allah kecuali di akhir-akhir masa Shighar al-Tabi’in ketika masa akhir kekuasaan daulat Umawiyah hingga awal abad ketiga –yaitu tabi’I Tabi’in- dimana mayoritas tabi’in telah wafat.
Karena yang dilihat pada tiga generasi adalah dengan mayoritas generasi (ahli al-Qurun) dan merekalah tengah-tengahnya. Mayoritas sahabat hilang dengan hilangnya khulafa’ rasyidin yang empat, hingga tidak tersisa ahli badr kecuali sedikit sekali. Mayoritas tabi’in bi ihsaan hilang pada akhir ashaghir al-shohabat pada pemerintahan Abdullah bin al-Zubeir dan Abdulmalik. Mayoritas tabi’it Tabi’in pada akhir-akhir daulat Umawiyah dan awal-awal daulat ‘Abasiyah, jadilah banyak orang-orang non Arab dalam wali amri dan keluar banyak urusan dari kepemimpinan Arab. Lalu kitab-kitab non Arab berupa kitab-kitab persia, India, dan Rumawi diterjemahkan dan muncullah apa yang disabdakan Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam :
“ثم يفشوا الكذب حتى يشهد الرجل ولا يستشهد، ويحلف ولا يستحلف”
Lalu menyebarlah kedustaan sampai-sampai orang bersaksi walau tidak dimintai persaksiannya, dan bersumpah walau tidak dimintai sumpah
Muncullah kemudian tiga kebid’ahan: Ra’yu, Ilmu Kalam, Tasawwuf. Lalu muncullah Jahmiyah yaitu penafian sifat Allah dan lawannya yaitu al-Tamtsil”.
Hingga beliau berkata: “Mengenal prinsip dan ideologi sesuatu dan mengenal agama dan prinsip-prinsipnya serta prinsip yang lahir darinya termasuk ilmu yang paling bermanfaat, karena seorang yang tidak mengetahui hakekat sesuatu yang dibutuhkannya dengan sempurna maka akan tersisa dihatinya satu keraguan”[ Lihat Majmu' Fatawa 10/354-368 dinukil dari Taqrib al-Tadmuriyah 10-12.]

Ibnu al-Qayyim menyatakan: “Kebid’ahan al-Qadar mendapati akhir masa sahabat, lalu sahabat yang masih hidup seperti Abdullah bin Umar, Ibnu Abas dan semisalnya mengingkarinya, kemudian muncul kebidahan irja’ setalah hilang masa sahabat, lalu kibaar tabi’in yang mendapati kebidahan ini membantahnya. Kemudian kebidahan jahmiyah mendapati masa tabi’in dan membesar serta keburukannya merata pada zaman para iamam seperti imam Ahmad dan rekan-rekannya. Kemudian setelah itu muncul bid’ah al-Hulul dan tampak jelas pada zaman al-Husein al-Halaaj. Setiap kali syeithon menampakkan satu kebidahan dari kebidahan-kebidahan tersebut dan selainnya , Allah bangkitkan dari hizbu dan tentaraNya orang yang membantahnya dan memperingatkan kaum muslimin dari itu semua dalam rangka nasehat Lillah, kitab suci, RasulNya dan kaum muslimin” [ Lihat Tahdzib Sunan Abi Daud 7/61 hadits no. 4527]

Sedangkan Ibnu Hajar dalam menjelaskan hal ini berkata: “diantara yang terjadi adalah penulisan (kodefikasi) hadits kemudian tafsir al-Qur’an kemudian penulisan masalah-masalah fikih yang dihasilkan dari ra’yu murni kemudian penulisan yang berhubungan dengan amalan hati.
Adapun yang pertama diingkari oleh Umar, Abu Musa dan sejumlah sahabat lainnya dan mayoritas membolehkannya. Yang kedua diingkari oleh sejumlah Tabi’in seperti al-Sya’bi. Sedangkan yang ketiga diingkari oleh imam Ahmad dan sejumlah kecil ulama dan demikian juga pengingkaran imam Ahmad lebih keras pada yang berikutnya (keempat)
Diantara yang muncul adalah penulisan pemikiran dalam prinsip-prinsip agama, lalu muncullah kelompok al-Mutsbitah dan al-Nufaah. Yang pertama ektrim hingga menyerupakan Allah dengan makhlukNya dan yang kedua ektrim sehingga menafikannya (ta’thil). Maka semakin keras pengingkaran para salaf terhadap hal tersebut, seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan al-Syaafi’i. pernyataan mereka dalam mencela ilmu kalam cukup masyhur. Sebabnya adalah mereka berbicara terhadap sesuatu yang Nabi dan para sahabatnya diam. Dan telah shohih penukilan dari Maalik bahwa yang tidak ada pada zaman Nabi, Abu Bakar dan Umar sedikitpun maka termasuk hawa yaitu kebidahan Khawarij, Rafidhoh dan al-Qadariyah. Orang-orang setelah tiga generasi terbaik memperlonggar pada umumnya permasalahn yang telah diingkari seluruh tabi’in dan tabi’it tabi’in dan tidak merasa cukup dengan hal itu hingga mereka mencampur adukkan masalah-masalah agama dengan pemikiran Yunani dan menjadikan pemikiran filsafat sebagai dasar menolak semua yang menyelisihinya dari atsar dengan ta’wil walaupun dipaksakan. Kemudian mereka tidak cukup hanya demikian hingga meyakini bahwa yang mereka pegangi tersebut adlah ilmu yang paling mulia dan paling pantas dimiliki dan yang tidak menggunakan istilah mereka dianggap awam dan jahil.
Orang yang bahagia adalah orang yang berpegang kepada ajaran salaf dan menjauhi kebidahan kholaf . Kalau terpaksapun maka cukuplah mengambil sesuai kebutuhan saja dan menjadikan yang pertama sebagai tujuan asalnya” [ Lihat Fathul Bari 13/253]

Tokoh-tokoh besar pencetus kelompok sesat dalam Islam

  • Abdullah bin Saba yang dikenal dengan Ibnu Sauda’ al-yahudi dibunuh tahun 34 H
  • Ma’bad al-Juhani mati tahun 80 H membuat bid’ah Qadariyah tahun 63 H
  • Ghailaan al-Dimasqi dibunuh tahun 105 H
  • al-Ja’ad bin Dirham dibunuh tahun 124 H
  • al-Jahm bin Shofwaan
  • Washil bin ‘Atho’
  • Amru bin Ubaid dll.
Demikian sebagian tokoh-tokoh ini dan masih banyak yang lainnya lagi yang tidak dapat ditulis dalam makalah ini.
Cara berlindung dari perpecahan
Ada beberapa sebab yang dapat melindungi kita dari perpecahan, ada yang bersifat umum dan ada yang khusus. Yang bersifat umum adalah: takwa dan berpegang tegug kepada al-Qur`an dan Sunnah.
Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:


firman Allah:


sedangkan Nabi menjelaskan dalam sabdanya:
عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Dari al-’Irbadh bin Saariyah beliau berkata, Rasululloh telah menasehati kami pada satu hari dengan satu sehat yang menyentuh membuat mata menangis dan hati bergetar. Lalu seorang berkata, Sungguh ini adalah nasehat orang yang akan berpisah, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami wahai Rasululloh! Maka beliau bersabda: aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah dan mendengar dan taat (kepada penguasa) walaupun budak habasyi, karena siapa dari kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang banyak dan hati-hatilah kalian dari hal-hal yang baru dalam agama” HR al-Tirmidzi.

namun dari sebab umum ini muncullah sebab-sebab khusus, diantaranya:
  1. Mengenal ajaran Nabi dan berpegang teguh dengannya. Orang yang berbuat demikian –Insya Allah- akan mendapatkan petunjuk dan beragama diatas bashiroh. Dari sini ia akan menjauhi perpecahan atau perselisihan dan terjerumus padanya secara otomatis.
  2. Berjalan diatas manhaj salaf as-Sholih yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam besar ahlu sunnah wa al-Jama’ah
  3. Memahami agama dengan belajar kepada para ulama dengan metode yang benar sesusai manhaj para ulama dalam mengambil ilmu.
  4. Berkumpul bersama para ulama umat yang umat islam telah mengakui kredibilitas mereka dalam agama, amalan dan amanah mereka. Allamdulillah mereka selalu ada sampai hari kiamat nanti.
  5. Jangan sekali-kali merasa lebih pakar dan mulia dari para ulama
  6. Segera mengobati fenomena perpecahan yang ada dan kelompok sesat yang muncul khususnya pada anak-anak muda, orang yang suka tergesa-gesa dan yang tidak suka tafaqquh fiddin.
  7. Semangat untuk berpegang kepada jamaah dan persatuan serta perbaikan dalam makna yang luas dan prinsip-prinsipnya.
  8. Mulazamah ulama dan orang sholih
  9. Menjauhi sikap hizbiyah dan fabnatik buta terhadap golongan
  10. Memberikan nasehat kepada para pemimpin baik yang sholeh ataupun yang fajir.
  11. Melaksanakan amar amkruf nahi mungkar dengan dasar fikih dan bashiroh.

Penutup

Akhirnya kami berwasiat kepada para pemuda untuk senantiasa belajar dan mengambil ilmu dari para ulama yang telah diakui kredibilitasnya dalam memahami agama dan mengamalkannya, khususnya dalam permasalahan-permasalahan umat dan kontemporer yang butuh ijtihad dan kematangan ilmu. Juga hendaknya menjaga ukhuwah dengan menunaikan hak-hak dan etika ukhuwah yang telah dijabarkan para ulama berdasarkan al-Qur`an dan sunnah.
Mudah-mudahan Allah memberikan taufiqNya kepada kita semua dan mengaruniai kita semua ilmu yang manfaat dan amal sholeh.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. > Artikel Muslim.Or.Id

Perpecahan Umat, Sebab dan Solusinya (1)

Perpecahan Umat, Sebab dan Solusinya (1)


Fenomena perpecahan umat dizaman kiwari ini sedemikian banyak. Bukan hanya karena tidak adanya ilmu dan orang yang menuntut ilmu atau sulitnya mendapatkan wasilah mendapatkan ilmu. Namun tampaknya karena ilmu tersebut hilang barokahnya. Bisa jadi disebabkan karena mengambilnya tidak dari sumber aslinya atau tidak dengan manhaj para ulama. Mungkin juga banyaknya dan mudahnya sarana mendapatkan ilmu dan informasi membuat kita semua tergesa-gesa dan mencukupkan hanya dengan sarana tersebut tanpa melihat para ulama pewaris Nabi.
Syeikh Nashir al-’Aql menyatakan:
إن البركة إنما تتحقق في العلم الذي يؤخذ عن العلماء ، وهو الأصل الذي هو سبيل المؤمنين ، أما أخذ العلم عن الوسائل فقط دون الرجال فإنه لا ينفع إلا قليلاً ، مما نتج عنه ظهور الأهواء والآراء الشاذة عن السنة ، وشيوع مظاهر الافتراق والتنازع في الدين.
“Sungguh barokah hanyalah akan ada pada ilmu yang diambil dari para ulama dan ia adalah dasar yang menjadi jalannya kaum mukminin. Adapun mengambil ilmu dari sarana-sarana saja tanpa (melihat) kepada para ulama, maka tidak bermanfaat kecuali sedikit. Hal ini menghasilkan munculnya hawa dan pemikiran nyeleneh dari Sunnah dan berkembangnya fenomena perpecahan dan perselisihan dalam agama” (lihat kitab Al-Iftiraq)
Berapa banyak kaum muslimin yang belum mengerti kata perpecahan menurut pandangan islam, sehingga mereka memiliki pemahaman yang salah tentangnya. Karenanya perlu dijabarkan pengertiannya agar tidak terjadi salah kaprah.

Pengertian “Perpecahan Umat” (al-Iftiraq)

Menilik kata perpecahan yang dalam bahasa Arabnya adalah Al Iftiraaq (الافتراق), ternyata berasal dari kata المفارقة yang berarti المباينة (perpisahan), المفاصلة (pemisahan) dan الانقطاع (pemutusan). Kata iftiraaq juga diambil dari pengertian memisahkan diri dan nyeleneh, seperti ungkapan: الخروج عن الأصل (keluar dari kaedah), الخروج عن الجادة (keluar dari biasanya).
Sedangkan dalam pengertian para ulama, kata iftiraaq berarti keluar (menyimpang) dari As Sunnah dan Al Jama’ah pada satu pokok atau lebih dari pokok-pokok agama yang sudah baku dan pasti (qath’i), baik pada pokok-pokok ajaran aqidah atau pokok ajaran amaliyah yang berhubungan dengan hal-hal yang qath’I atau yang berhubungan dengan kemaslahatan besar umat ini atau yang berhubungan dengan keduanya sekaligus (lihat kitab al- Iftiraaq).
Hal ini ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah yang berbunyi:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِي يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا وَلَا يَتَحَاشَى مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلَا يَفِي لِذِي عَهْدٍ عَهْدَهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ ([() رواه مسلم .]) .
Dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam beliau bersabda: “siapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jama’ah lalu ia mati, maka ia mati seperti kematian orang jahiliyah dan siapa yang berperang dibawah panji yang tidak jelas, marah karena kesukuan atau mengajak kepada kesukuan atau menolong karena kesukuan lalu terbunuh maka ia terbunuh seperti terbunuhnya orang jahiliyah. Siapa yang memberontak dari umatku, memukul (membunuh) yang baik dan yang fajirnya dan tidak memperdulikan dari kemukminannya serta tidak menunaikan janjinya kepada orang yang dijanjikan maka ia bukan dariku dan aku lepas diri darinya” (HR. Muslim)

Apakah setiap kekufuran adalah iftiraaq?

Memang setiap kekufuran adalah iftiraaq dan tidak setiap iftiraaq adalah kekufuran. Maksudnya semua amalan atau keyakinan yang membuat sesorang menjadi kafir adalah iftiraaq, namun terkadang iftiraaq muncul dari sekelompok orang atau jama’ah yang tidak dihukumi dengan kufur, seperti iftiraaq-nya Khawarij. Khawarij memisahkan diri dari jama’ah muslimin dan memberontak dengan pedang. Walaupun demikian para sahabat tidak sepakat mengkafirkannya. Kholifah Ali bin Abi Tholib ditanya tentang mereka dan beliau tidak memvonis kafir. Demikian juga Ibnu Umar dan sahabat lainnya masih sholat dibelakang Najdah al-Haruri dan dahulu Ibnu Abas menjawab dan berdebat dengan Naafi’ bin al-Azraaq sebagaimana dua orang muslim berdebat (lihat Minhajus Sunnah, 5/247،248) .
Perbedaan perselisihan (al-Ikhtilaf) dan perpecahan (al-Iftiraq)
Terkadang orang salah kaprah dalam menyikapi perbedaan pendapat /perselisihan dengan perpecahan. Sehingga memberikan hukum-hukum iftiraaq pada ikhtilaf dan sebaliknya. Karena itulah sangat penting sekali mengetahui perbedaan antara khilaf dengan iftiraaq.
Diantara perbedaannya adalah:
  • Iftiraaq lebih buruk dari ikhtilaf, bahkan ia adalah hasil dari khilaf. Karena khilaf terkadang sampai pada batasan iftiraaq dan kadang tidak sampai. Kalau demikian iftiraq adalah ikhtilaf plus.
  • Tidak semua ikhtilaf adalah iftiraaq, namun semua iftiraaq adalah ikhtilaf. Banyak masalah-masalah yang diperselisihkan kaum muslimin adalah termasuk masalah khilafiyah dan tidak boleh menghukumi orang yang menyekisihnya dengan kekufuran, mufaaraqah dan keluar dari ahli sunnah.
  • Iftiraaq tidak terjadi kecuali pada masalah pokok yang inti seperti ushul agama yang tidak dibolehkan khilaf padanya dan yang sudah ditetapkan dengan nash qath’i atau ijma’ atau ahlusunnah tidak pernah berselisih dalam mengamalkannya.
  • Ikhtilaf terkadang muncul dari ijtihad dan niat baik. Yang salah mendapatkan pahala selama mencari kebenaran dan yang benar mendapatkan lebih besar pahalanya. Bisa jadi seorang yang salah dipuji atas ijtihadnya. Namun bila hal ini sampai batasan iftiraaq maka semuanya tercela.
Perpecahan pasti terjadi!
Apakah perpecahan dalam umat ini satu keniscayaan? Jawabannya adalah benar, perpecahan dalam umat ini merupakan sunatullah yang pasti terjadi dan telah terjadi. Adapun dasar argumentasi pernyataan ini adalah:
1. Berita yang masyhur dari Nabi tentang terjadinya perpecahan dalam umat ini, diantaranya hadits iftiqatul ummat yang berbunyi:
افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً ، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً ، وَسَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الأُمَّةُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً
Orang-orang Yahudi telah berpecah belah dalam tujuh puluh satu kelompok dan Nashora berpecah belah menjadi tujuh puluh dua kelompok serta umat ini akan pecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok”. (HR al-Tirmidzi).
2. Nabi telah mengkhabarkan bahwa umat ini akan mengikuti umat-umat terdahulu dalam sabda beliau:
لَتُتَّبَعَنَّ سُنَنُ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبَعْتُمُوْهُ )) . قُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى ؟! قَالَ : (( فَمَنْ )) ([() أخرجه البخاري ، فتح الباري ، 13/300 . ومسلم ، رقم (2669) .]) ؟!
Sungguh jalan orang-orang sebelum kalian akan diikuti sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi hasta hingga seandainya mereka masuk lubang Dhobb tentulah kalian akan mengikutinya. Kami bertanya: Wahai Rasululloh apakah yahudi dan nashrani?! Beliau menjawab: Siapa lagi?!” (HR. Bukhari – Muslim)
Hal ini menunjukkan bahwa Nabi -dalam rangka memperingatkan umat ini- menceritakan bahwa umat ini akan berpecah belah secara pasti. Namun tidaklah terjadinya perpecahan adalah celaan kecuali untuk orang yang memecah atau memisahkan diri dari jamaah muslimin.
Kalau demikian jelaslah kepastian terjadinya perpecahan pada umat ini, walaupun belum dibuktikan dengan realita. Sebab banyaknya peringatakan akan sesuatu menunjukkan kepastian ada dan akan terjadinya sesuatu itu.
Nash-nash yang ada dalam al-Qur`an dan sunnah yang berisi peringatan dari mengikuti jalan-jalan yang tidak lurus, diantaranya :
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَتَفَرَّقُوْا [ آل عمران : 103 ]
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai:, (QS. Al Imran: 103)
وَلاَ تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ [ الأنفال : 46 ]
dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu” (QS. Al Anfal: 46)
وَلاَ تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ [ آل عمران: 105 ]
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka” (QS. Al Imran: 105)
وأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ [ الأنعام : 153 ]
dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” (QS. Al An’am: 153)
Ayat-ayat ini dijelaskan Nabi dengan terperinci dalam hadits Ibnu Mas’ud yang berbunyi:
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menggaris satu garis kepada kami, kemudian bersabda; inilah jalannya Allah. Kemudian menggaris beberapa garis dari sebelah kanan dan kirinya. Kemudian berkata: Inilah jalan-jalan yang berpecah-pecah, setiap jalan darinya ada syeitan yang menyeru. Kemudian membaca firman Allah. “dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. (QS. 6:153)”
Demikian juga Allah melarang kita berselisih, seperti dalam firmanNya:
وَلاَ تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ [ الأنفال : 46 ]
dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu” (QS. Al Anfal: 46)
Allah juga mengancam orang yang keluar dari jalannya kaum mukminin dalam firmanNya:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا  [ النساء : 115 ]
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” (QS. An Nisaa: 115)
Nabi memberikan hukuman tertentu bagi orang yang melakukan iftiraaq yang menunjukkan hal itu akan terjadi. Seperi sabda beliau :
(( لاَ يَحِلُّ دَمُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنِّيْ رَسُوْلُ اللهِ إلَّا بِإِحْدَى ثَلاَثٍِ : الثَّيْبُ الزَّانِيْ ، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ )) ([() متفق عليه ، البخاري ، 4/317 . ومسلم ، 5/106 .]) .
Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang bersyahadatain kecuali dengan sebab tiga perkara; orang yang telah menikah berzina, jiwa dengan jiwa dan orang yang meninggalkan agamanya lagi meninggalkan jama’ah” (Muttafaqun ‘alaih)
Nabi pun telah menceritakan realitas perpecahan pada umat ini ketika menceritakan kemunculan Khawarij, seperti sabda beliau:
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ حُدَثَاءُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ لَا يُجَاوِزُ إِيمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْرٌ لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata: Aku telah mendengar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Akan datang diakhir zaman satu kaum yang berusia muda dan lemah akalnya, mereka berkata dari sebaik-baiknya perkataan manusia. Mereka meninggalkan islam sebagaimana anak panah keluar menemui sasarannya. Iman mereka tidak melewati tenggorokan mereka. Dimana kalian temui mereka maka bunuhlah, karena membunuh mereka adalah pahala bagi yang membunuhnya dihari kiamat” (HR. Bukhari)
Jelaslah dari dalil-dalil diatas bahwa realita perpecahan umat tidak dapat dipungkiri lagi. Ini semua sebagai ujian dan fitnah kepada umat islam dan ini semua sudah menjadi sunnatullah yang tidak mungkin dirubah. Walaupun tetap perpecahan tersebut tercela. Karenanya sudah menjadi kewajiban seorang muslim mengetahuinya dan mengetahui siapa yang benar dan menjauhi semua yang dapat menggelincirkannya dari jalan yang lurus.
Sebab-sebab Perpecahan (Diiringkas dari Majalah al-Buhuts al-Islamiyah Edisi 46 hal 343-351)
Bila kita ingin mensensus sebab-sebab perpecahan sejak zaman dahulu hingga zaman kiwari ini tentulah akan banyak sekali. Namun disini hanya disampaikan sebagian yang terpenting dan pokok saja, yaitu:
  1. Tipu daya dan konspirasi musuh-musuh Islam, baik yang menampakkan kekufurannya seperti yahudi dan salibis ataupun yang menampakkan keislaman dengan tujuan melemahkan kekuatan dan menumbuhkan perselisihan diantara kaum muslimin. Mereka melakukan gerakan rahasia dan bawah tanah untuk menyebarkankebatilan dan makar busuk mereka. Sebagian mereka mendapatkan kedudukan dan tempat yang memudahkan mereka berbuat demikian. Sebagai contoh Ibnu al-Muqaffa’ al-Majusi, al-Baramikah (keluarga al-Barmaki) termasuk yang memiliki kisah dan peran besar ketika masa-masa hilangnya kesadaran islam. Yang lebih besar lagi adalah Perdana mentri Ibnu al-’Alqami dan al-Naashir al-Thusi yang keduanya memiliki peran besar masukkan bangsa Tartar menghancurkan peradaban islam diwilayah timur. Demikian juga yang berbentuk negara seperti dua negara syi’ah yaitu Daulah Fathimiyah dan Isma’iliyah , Daulah al-Thuluniyah dan al-Hamadaaniyah serta lainnya. Mereka ini memiliki pengaruh besar dalam menghancurkan kesatuan umat dan menjadikan kekhilafahan islamiyah menjadi negara-negara kecil seperti sekarang ini.
    Hal ini telah diisyaratkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabda beliau:
    “يُوْشَكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ الأمَمُ كَمَا تَدَاعَى الأكَلَةُإِلَى قَصْعَتِهَا” فَقَالَ قَائِلٌ: أَوَمِنْ قِلّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: “بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيْرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيَنْزَعَنَّ اللّه مِنْ صُدُوْرِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيُقْذِفَنَّ اللّه فِي قُلُوْبِكُمُ الْوَهْنَ” فَقَالَ قَائِلٌ: يَارَسُوْلَ اللّه، وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ: “حُبُّ الدُّنيَا وَكَرَاهِيَّةُ الْمَوْتِ”.‏
    “Dari Tsauban beliau berkata, telah bersabda RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam :”nyaris sudah para umat-umat (selain Islam) berkumpul (bersekongkol) menghadapi kalian sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang makan menghadapi bejana makanannya” lalu bertanya seseorang:’apakah kami pada saat itu sedikit?” beliau menjawab :”tidak, bahkan kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian itu buih seperti buih banjir, dan Allah akan menghilangkan dari diri musuh-musuh kalian rasa takut terhadap kalian dan menimpakan kedalam hati-hati kalian wahn (kelemahan),”, lalu bertanya lagi :’wahai rasululloh apa wahn (kelemahan) itu?”, kata beliau :”cinta dunia dan takut mati””.[Shohih lighairihi (shohih lantaran ada yang lain yang menguatkannya (pen)) dikeluarkan oleh Abu Daud (4297) dari jalan periwayatan ibnu Jabir, ia berkata telah menceritakan kepadaku Abu Abdussalam darinya (Tsauban) secara marfu’]
  2. Kebodohan terhadap agama, karena keselamatan ada pada ilmu dan kebinasaan ada pada kebodohan. Kebodohan disini bermakna ketidak tahuan terhadap aqidah dan syari’at, bodoh terhadap sunnah, ushul, kaedah dan manhajnya, bukan hanya sekedar tidak memiliki pengetahuan saja; sebab seorang terkadang cukup memiliki hal-hal yang menjaga dirinya dan menjaga agama dengannya lalu menjadi alim dengan agamanya walaupun belum menjadi pakar dalam ilmu. Sebaliknya terkadang ada orang yang mengetahui banyak pengetahuan dan dipenuhi dengan informasi dan maklumat, namun tidak mengetahui ushul dan kaedah dasar agama. Hingga ia tidak mengetahui ushul aqidah dan hukum-hukum iftiraaq serta hukum-hukum bergaul dengan orang lain, ini musibah besar. Memang kebodohan adalah satu musibah dan menjadi sebab pokok perpecahan. Allah berfirman: “Katakanlah:”Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui” (QS. 39:9)
    Sufyan al-Tsauri menyatakan:
    لعالم واحد أشد على الشيطان من مائة عابد
    Sungguh seorang alim lebih ditakuti syaitan dari seribu ahli ibadah“.
    Sedangkan Abu al-’Aliyah menyatakan:
    ( تعلموا الإسلام فإذا تعلمتموه فلا ترغبوا عنه) رواه الآجري في كتاب الشريعة ص ( 31)
    “Belajarlah islam, apabila kalian telah mempelajarinya maka jangan membencinya” (Diriwayatkan Al Ajurri dalam kitab Asy Syari’ah, 1/31)
  3. Ketidak beresan dalam manhaj menerima ilmu agama (talaqqi). Kita dalam menerima ajaran agama harus mengikuti manhaj yang sudah ada sejak zaman Rasululloh dan para salaf umat ini hingga sekarang. Manhaj tersebut mencakup ilmu, amal, mengambil petunjuk dan teladan, suluk prilaku dan pergaulan. Hal ini dilakukan dengan lebih memperhatikan kaedah-kaedah syari’at dan ushul-ushul umum daripada sekedar perhatian pada masalah praktis dan kuantitas jumlah nash.
    Hal ini dapat diwujudkan dengan mengambil ajaran islam dari generasi teladan dan ulama-ulama besar yang kredibel. Ilmu tersebut diambil dengan bertahap baik jenis dan ukurannya sesuai dengan kemampuan dan kesiapan yang ada. Ilmu yang dapat menjadikan seseorang menjadi ahli dalam agamanya yaitu ilmu yang didasarkan kepada al-Qur`an, Sunnah dan atsar yang shohih dari para ulama umat.
    Diantara fenomena kesalahan dalam talaqqi adalah:
    a. Mengambil ilmu bukan dari ahlinya. Seperti diisyaratkan Rasulullah dalam sabdanya:
    إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا ([() البخاري في كتاب الاعتصام بالكتاب والسنة ، الفتح 13/282 . وروي بألفاظ أخرى عند مسلم وأحمد والترمذي وابن ماجه وأبي دواد .]) .
    Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekali cabut yang ia cabut dari hambaNya, namun mencabut ilmu dengan memawafatkan para ulama hingga bila tidak sisa seorang alimpun maka manusia menganggkat para tokoh yangbodoh lalu mereka ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Lalu mereka sesat dan menyesatkan” (HR Al-Bukhori)
    b. Tidak merujuk kepada para ulama sama sekali (الاستقلالية عن العلماء والأئمة ).
    c. Meremehkan dan merendahkan para ulama (ازدراء العلماء واحتقارهم والتعالي عليهم ).
    d. Menganggap ittiba’ kepada ulama besar umat ini sebagai taklid (اعتبار اتباع الأئمة على هدى وبصيرة تقليدًا).
  4. Kezhaliman dan kedengkian diantara mereka sehingga mereka saling bunuh dan berpecah belah. Sebagaimana difirmankan Allah: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (QS. Al Imran: 19)
    Demikianlah ambisi ingin menjadi orang nomor satu dan saling aniaya menjadi salah satu sebab perpecahan. Oleh karena itu Nabi memperingatkan kita dalam sabda beliau:
    لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
    Jangan kalian kembali setelahku menjadi kafir, sebagian kalian membunuh sebagian lainnya” (HR al-Bukhari)
    Itulah yang menjadikan musuh-musuh islam berhasil mengalahkan kaum muslimin, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
    إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِيَ الْأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا وَأُعْطِيتُ الْكَنْزَيْنِ الْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَضَ وَإِنِّي سَأَلْتُ رَبِّي لِأُمَّتِي أَنْ لَا يُهْلِكَهَا بِسَنَةٍ عَامَّةٍ وَأَنْ لَا يُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ سِوَى أَنْفُسِهِمْ فَيَسْتَبِيحَ بَيْضَتَهُمْ بَيْضَتَهُمْ وَإِنَّ رَبِّي قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَإِنَّهُ لَا يُرَدُّ وَإِنِّي أَعْطَيْتُكَ لِأُمَّتِكَ أَنْ لَا أُهْلِكَهُمْ بِسَنَةٍ عَامَّةٍ وَأَنْ لَا أُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ سِوَى أَنْفُسِهِمْ يَسْتَبِيحُ بَيْضَتَهُمْ وَلَوِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِمْ مَنْ بِأَقْطَارِهَا أَوْ قَالَ مَنْ بَيْنَ أَقْطَارِهَا حَتَّى يَكُونَ بَعْضُهُمْ يُهْلِكُ بَعْضًا وَيَسْبِي بَعْضُهُمْ بَعْضًا
    Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyatukan untukku dunia, lalu aku melihat timur dan baratnya dan sesungguhnya umatku akan sampai kekuasaannya seluas yang disatukan Allah untukku dan aku diberi dua harta simpanan yaitu emas dan perak lalu aku memohon kepada Robb-ku untuk umatku agar dia tidak menghancurkannya dengan kelaparan yang menyeluruh, dan menguasakan atas mereka musuh-musuhnya dari selain mereka sendiri lalu menghancurkan seluruh jama’ah mereka, dan Robb-ku berkata:” wahai Muhammad, sesungguhnya aku jika telah memutuskan satu qadho’ maka tidak dapat ditolak, dan aku telah memberikan kepadamu untuk umatmu bahwa aku tidak akan menghancurkan mereka dengan kelaparan yang menyeluruh dan tidak akan menguasakan atas mereka musuh-musuh dari selain mereka yang menghancurkan seluruh jamaahnya walaupun mereka telah berkumpul dari segala penjuru – -atau mengatakan: orang yang ada diantara penjuru dunia-sampai sebagian mereka membunuh dan menjadikan rampasan perang sebagian yang lainnya”[ HSR Muslim (2889)].

  5. Kebid’ahan dalam agama.

  6. Sikap ekstrim dalam agama. Hal ini dilarang Allah dalam firmanNya:
    Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar..” (QS. 4:171)
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun melarangnya dalam sabda beliau:
    يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
    Wahai sekalian manusia, hati-hatilah dari sikaf berlebihan dalam agama, karena orang sebelum kalian binasa karena sikap berlebihan dalam agama” (HR Ibnu Majah dan Ahmad)
    Hal itu karena agama ini dibangun diatas pengamalan hukum-hukum syari’at dengan memperhatikan kemudahan, meringankan kesulitan dan mengambil keringanan pada tempatnya serta prasangka baik kepada manusia dan kasih sayang kepada mereka. Tidak keluar dari hal-hal ini kecuali dengan mashlahat yang kuat dalam pandangan ulama. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
    (( إن الدين يسر ، ولن يشاد الدين أحد إلا غلبـه ، فسددوا وقاربوا وأبشروا واستعينوا بالغدوة والروحة وشيء من الدلجة ))
    Agama itu mudah, tidaklah seorang itu ekstrim dalam agama kecuali akan kalah, maka luruslah, dekatilah (kesempurnaan), berilah kabar gembira dan gunakanlah waktu pagi dan sore dan sedikit dari tengah malam“.

  7. Meniru dan mengekor kepada umat-umat terdahulu, sebagaimana dijelaskan Rasululloh dalam sabda beliau:
    لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
    “Akan datang kepada umatku apa yang telah menimpa bani Isro’il sama persis hingga bila ada dari mereka orang yang menzinahi ibunya terang-terangan pasti akan ada pada umatku yang berbuat demikian. Sungguh bani Isro’il telah berpecah belah dalam tujuh puluh satu kelompok dan umat ini akan pecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok seluruhnya di neraka kecuali satu. Mereka bertanya: Siapakah ia wahai Rasulullah!? Beliau menjawab: Yang mengikuti ajaranku dan sahabat-sahabatku” (HR al-Tirmidzi).
    Imam al-Aajuri menyatakan: “Seorang alim yang berakal yang membuka lembaran keadaan umat ini tentu mengetahui bahwa kebanyakan umat ini dan keumumannya berjalan urusan mereka sesuai jalan-jalannya ahli kitab (Yahudi dan Nashrani)” (Al-Syari’ah hal. 20).
    Diantaranya adalah terpengaruhnya kaum muslimin dengan pemikiran dan filsafat yang datangnya dari negeri kafir. Hal ini diawali dengan diterjemahkannya ilmu-ilmu umat lain seperti Yunani dan India yang didasarkan pada tsaqafah paganisme. Terjemahan ini dimulai diakhir masa kekhilafahan bani Umayyah pada tahun dua ratusan hijriyah ketika Kholid bin Yazid bin Mu’awiyah sangat menggemari ilmu-ilmu dan filsafat orang terdahulu, kemudian tambah menjadi-jadi pada masa kekhilafahan Ma’mun dengan mengutus delegasi kepada para raja di negara-negara lain untuk mengambil manuskrip ilmu-ilmu pengetahuan tersebut berikut kitab-kitab filsafat hingga merusak aqidah muslimin.
    Oleh karena itu didapatkan sekte-sekte menyimpang dalam islam telah mengambil sebagian pokok ajarannya atau kebanyakannya dari agama-agama terdahulu. Contohnya Rafidhoh Syi’ah mengambil dari Yahudi dan Majusi, Jahmiyah dan Mu’tazilah mengambil dari Shobi’iyah dan filsafat Yunani dst.
(bersambung) silahkan ke : Perpecahan Umat, Sebab dan Solusinya (2)
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc > Artikel Muslim.Or.Id

Keutamaan Iffah dan Bersabar


Abu Sa’id al-Khudri z menyampaikan sabda Rasulullah n yang mulia:
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l akan menganugerahkan kepadanya iffah (kehormatan diri). Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki). Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l akan menjadikannya sabar. Tidaklah seseorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 2421)
Hadits yang agung ini terdiri dari empat kalimat yang singkat, namun memuat banyak faedah lagi manfaat.

Pertama: Ucapan Nabi n:
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ
“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l akan menganugerahkan kepadanya iffah.”

Kedua: Ucapan Nabi n:
وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ
“Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki).”
Dua kalimat di atas saling terkait satu sama lain, karena kesempurnaan seorang hamba ada pada keikhlasannya kepada Allah l, dalam keadaan takut dan berharap serta bergantung kepada-Nya saja. Adapun kepada makhluk, tidak sama sekali. Oleh karena itu, seorang hamba sepantasnya berupaya mewujudkan kesempurnaan ini dan mengamalkan segala sebab yang mengantarkannya kepadanya, sehingga ia benar-benar menjadi hamba Allah l semata, merdeka dari perbudakan makhluk.

Usaha yang bisa dia tempuh adalah memaksa jiwanya melakukan dua hal berikut.

1. Memalingkan jiwanya dari ketergantungan kepada makhluk dengan menjaga kehormatan diri sehingga tidak berharap mendapatkan apa yang ada di tangan mereka, hingga ia tidak meminta kepada makhluk, baik secara lisan (lisanul maqal) maupun keadaan (lisanul hal).
Oleh karena itu, Rasulullah n bersabda kepada Umar z:
مَا أَتَاكَ مِنْ هذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ فَخُذْهُ, وَمَا لاَ فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ
“Harta yang mendatangimu dalam keadaan engkau tidak berambisi terhadapnya dan tidak pula memintanya, ambillah. Adapun yang tidak datang kepadamu, janganlah engkau/menggantungkan jiwamu kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 2402)
Memutus ambisi hati dan meminta dengan lisan untuk menjaga kehormatan diri serta menghindar dari berutang budi kepada makhluk serta memutus ketergantungan hati kepada mereka, merupakan sebab yang kuat untuk mencapai ‘iffah.

2. Penyempurna perkara di atas adalah memaksa jiwa untuk melakukan hal kedua, yaitu merasa cukup dengan Allah l, percaya dengan pencukupan-Nya. Siapa yang bertawakal kepada Allah l, pasti Allah l akan mencukupinya. Inilah yang menjadi tujuan.
Yang pertama merupakan perantara kepada yang kedua ini, karena orang yang ingin menjaga diri untuk tidak berambisi terhadap yang dimiliki orang lain, tentu ia harus  memperkuat ketergantungan dirinya kepada Allah l, berharap dan berambisi terhadap keutamaan Allah l dan kebaikan-Nya, memperbaiki persangkaannya dan percaya kepada Rabbnya. Allah l itu mengikuti persangkaan baik hamba-Nya. Bila hamba menyangka baik, ia akan beroleh kebaikan. Sebaliknya, bila ia bersangka selain kebaikan, ia pun akan memperoleh apa yang disangkanya.

Setiap hal di atas meneguhkan yang lain sehingga memperkuatnya. Semakin kuat ketergantungan kepada Allah l, semakin lemah ketergantungan terhadap makhluk. Demikian pula sebaliknya.
Di antara doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi n:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, iffah, dan kecukupan.” (HR. Muslim no. 6842 dari Ibnu Mas’ud z)
Seluruh kebaikan terkumpul dalam doa ini. Al-huda (petunjuk) adalah ilmu yang bermanfaat, ketakwaan adalah amal saleh dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Hal ini membawa kebaikan agama.
Penyempurnanya adalah baik dan tenangnya hati, dengan tidak berharap kepada makhluk dan merasa cukup dengan Allah l. Orang yang merasa cukup dengan Allah l, dialah orang kaya yang sebenarnya, walaupun sedikit hartanya. Orang kaya bukanlah orang yang banyak hartanya. Akan tetapi, orang kaya yang hakiki adalah orang yang kaya hatinya.
Dengan ‘iffah dan kekayaan hati sempurnalah kehidupan yang baik bagi seorang hamba. Dia akan merasakan kenikmatan duniawi dan qana’ah/merasa cukup dengan apa yang Allah l berikan kepadanya.

Ketiga: Ucapan Nabi n:
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ
“Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l akan menjadikannya sabar.”

Keempat: Bila Allah l memberikan kesabaran kepada seorang hamba, itu merupakan pemberian yang paling utama, paling luas, dan paling agung, karena kesabaran itu akan bisa membantunya menghadapi berbagai masalah. Allah l berfirman:
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (Al-Baqarah: 45)
Maknanya, dalam seluruh masalah kalian.
Sabar itu, sebagaimana seluruh akhlak yang lain, membutuhkan kesungguhan (mujahadah) dan latihan jiwa. Karena itulah, Rasulullah n mengatakan: وَمَنْ يَتَصَبَّرْ  “memaksa jiwanya untuk bersabar”, balasannya: يُصَبِّرهُ اللهُ  “Allah l akan menjadikannya sabar.”
Usaha dia akan berbuah bantuan Allah l terhadapnya.
Sabar itu disebut pemberian terbesar, karena sifat ini berkaitan dengan seluruh masalah hamba dan kesempurnaannya. Dalam setiap keadaan hamba membutuhkan kesabaran.
Ia membutuhkan kesabaran dalam taat kepada Allah l sehingga bisa menegakkan ketaatan tersebut dan menunaikannya.
Ia membutuhkan kesabaran untuk menjauhi maksiat kepada Allah l sehingga ia bisa meninggalkannya karena Allah l.
Ia membutuhkan sabar dalam menghadapi takdir Allah l yang menyakitkan sehingga ia tidak menyalahkan/murka terhadap takdir tersebut. Bahkan, ia pun tetap membutuhkan sabar menghadapi nikmat-nikmat Allah l dan hal-hal yang dicintai oleh jiwa sehingga tidak membiarkan jiwanya bangga dan bergembira yang tercela. Ia justru menyibukkan diri dengan bersyukur kepada Allah l.

Demikianlah, ia membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaan. Dengan sabar, akan diperoleh keuntungan dan kesuksesan. Oleh karena itulah, Allah l menyebutkan ahlul jannah (penghuni surga) dengan firman-Nya:
Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan), “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (Ar-Ra’d: 23—24)
Demikian pula firman-Nya:
“Mereka itulah yang dibalasi dengan martabat yang tinggi dalam surga karena kesabaran mereka….” (Al-Furqan: 75)
Dengan kesabaranlah mereka memperoleh surga berikut kenikmatannya dan mencapai tempat-tempat yang tinggi.
Seorang hamba hendaklah meminta keselamatan kepada Allah l, agar dihindarkan darimusibah yang ia tidak mengetahui akibatnya. Akan tetapi, bila musibah itu tetap menghampirinya, tugasnya adalah bersabar. Kesabaran merupakan hal yang diperintahkan dan Allah l-lah yang menolong hamba-Nya.

Allah l menjanjikan dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya bahwa orang-orang yang bersabar akan beroleh ganjaran yang tinggi lagi mulia.
Allah l berjanji akan menolong mereka dalam semua urusan, menyertai mereka dengan penjagaan, taufik dan pelurusan-Nya, mencintai dan mengokohkan hati serta telapak kaki mereka.
Allah l akan memberikan ketenangan dan ketenteraman, memudahkan mereka melakukan banyak ketaatan.
Dia juga akan menjaga mereka dari penyelisihan.
Dia memberikan keutamaan kepada mereka dengan shalawat, rahmat, dan hidayah ketika tertimpa musibah.
Dia mengangkat mereka kepada tempat-tempat yang paling tinggi di dunia dan akhirat.
Dia berjanji menolong mereka, memudahkan menempuh jalan yang mudah, dan menjauhkan mereka dari kesulitan.
Dia menjanjikan mereka memperoleh kebahagiaan, keberuntungan, dan kesuksesan.
Dia juga akan memberi mereka pahala tanpa hitungan.
Dia akan mengganti apa yang luput dari mereka di dunia dengan ganti yang lebih banyak dan lebih baik daripada hal-hal yang mereka cintai yang telah diambil dari mereka.
Allah l pun akan mengganti hal-hal tidak menyenangkan yang menimpa mereka dengan ganti yang segera, banyaknya berlipat-lipat daripada musibah yang menimpa mereka.
Sabar itu pada mulanya sulit dan berat, namun pada akhirnya mudah lagi terpuji akibatnya. Ini sebagaimana dikatakan dalam bait syair berikut.
وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ
لَكِنَّ عَوَاقِبَهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ
Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya
Akan tetapi, akibatnya lebih manis daripada madu.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Diterjemahkan Ummu Ishaq al-Atsariyyah dari kitab Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu ‘Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, hadits ke-33, hlm. 9l—93, Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di t)
(ditulis oleh: Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di)

Minggu, 23 September 2012

Kebenaran Tercampakkan Karena Kedengkian dan Kesombongan


Nikmat-nikmat yang Allah l limpahkan kepada umat manusia tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di antara nikmat paling agung yang Allah l limpahkan adalah diciptakan-Nya mereka di atas fitrah yang mulia. Sebagaimana firman Allah l:
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Ar-Rum: 30)
Di antara fitrah yang Allah l ciptakan umat manusia di atasnya adalah mencintai kebenaran dan mencarinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Hati adalah makhluk yang mencintai kebenaran, menginginkan dan mencarinya.” (Majmu’ Fatawa, 10/88)
Beliau pun berkata: “Maka sesungguhnya al-haq (kebenaran) itu dicintai fitrah yang baik, dan dia (al-haq) itu lebih dicintai, lebih dimuliakan, lebih lezat bagi fitrah dibandingkan kebatilan yang tidak ada hakikatnya. Sungguh fitrah tidak mencintai hal ini.” (Majmu’ Fatawa, 16/338)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Agama Islam itu adalah agama yang hikmah. Maknanya, mengilmui kebenaran dan mengamalkannya dalam seluruh perkara.” (Taisirul Lathifil Mannan, hal. 58)
Sehingga apabila jiwa itu tetap di atas fitrahnya, maka tidak akan menuntut kecuali kebenaran. Sedangkan kebenaran itu telah jelas dan terang, tidak ada kesamaran atasnya.
Al-’Allamah Ibnul Qayyim t berkata: “Sesungguhnya kesempurnaan seseorang itu berkisar pada dua hal:
1. Kemampuan membedakan antara kebenaran dan kebatilan
2. Lebih memilih kebenaran tersebut daripada kebatilan.
Tidaklah kedudukan makhluk di sisi Allah l, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali ditentukan oleh kadar perbedaan mereka dalam dua perkara tersebut. Karena dua perkara inilah, para nabi dipuji oleh Allah l dalam firman-Nya:
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub yang memiliki kekuatan dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shad: 45)
الْأَيْدِي maknanya kuat dalam melaksanakan kebenaran, الْأَبْصَارُ maknanya kemampuan membedakan antara kebenaran dengan kebatilan dalam urusan agama.
Dalam ayat ini, Allah l menyifati mereka, para nabi, dengan kesempurnaan memahami kebenaran dan kesempurnaan dalam mengamalkannya.” (Al-Jawabul Kafi, hal. 139)
Oleh karena itulah, setiap hamba wajib berpegang teguh dengan fitrahnya dan berhati-hati terhadap sebab-sebab yang akan menghalanginya dari kebenaran (al-haq), serta takut terhadap segala sesuatu yang akan menyimpangkannya. Apabila ada suatu hal yang telah menggelincirkannya dari kebenaran tersebut, dia segera kembali kepada al-haq itu dan berusaha memeganginya dengan kuat.
Adapun faktor-faktor yang akan menghalangi dan menyimpangkan seorang hamba dari al-haq banyak sekali jumlahnya. Bisa berasal dari diri sendiri, seperti kebodohan dan hawa nafsunya. Bisa juga dari luar dirinya, seperti setan dari golongan jin dan manusia.
Di antara sekian banyak faktor tadi, yang paling banyak menggelincirkan makhluk dari jalan Allah l adalah al-kibr (kesombongan) dan al-hasad (kedengkian) yang ada pada dirinya.
Kesombongan dan kedengkian inilah yang menyeret Iblis la’natullah alaih untuk durhaka kepada Allah l. Kedurhakaan Iblis ini adalah yang pertama kali dalam alam semesta. Hal itu terjadi karena Iblis iri dan dengki dengan keutamaan serta kedudukan Adam q. Di mana Allah l memilih beliau untuk menjadi khalifah di muka bumi, Allah l ajari beliau berbagai nama (benda) seluruhnya, serta Allah l perintahkan para malaikat untuk sujud kepadanya. Hal inilah yang menyeret Iblis untuk durhaka kepada Allah l.
Demikian pula, kesombongan dan kedengkianlah yang menyeret Yahudi untuk tidak beriman kepada Allah l dan mengingkari kenabian Muhammad n. Mereka adalah ahlul kitab, yang mengetahui berita akan diutusnya beliau n melalui kitab Taurat dan Injil. Sebelum beliau n diutus, mereka juga sering menceritakan kepada orang-orang Arab bahwa waktu diutusnya Muhammad n telah dekat. Setelah diutusnya beliau n, mereka juga betul-betul yakin bahwa beliau n adalah utusan Allah l, sebagaimana yakinnya mereka terhadap anak-anak mereka sendiri.
Allah l berfirman:
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 146)
Yang menyeret mereka untuk mendustakan dan enggan untuk beriman kepada beliau n adalah kesombongan dan kedengkian. Hal ini terjadi karena beliau bukan berasal dari bangsa mereka, di mana mereka merasa lebih mulia daripada bangsa Arab.
Apabila kesombongan dan kedengkian itu mampu menyeret manusia ke dalam kekafiran, padahal dosa ini adalah dosa yang paling besar, maka bagaimana tidak mungkin akan menyeret kepada dosa-dosa lain yang lebih kecil? Tentunya sangat mudah, kecuali orang-orang yang mendapatkan perlindungan dan hidayah taufik dari Allah l.

Al-Hasad (Kedengkian)
Allah l berfirman:
“Ataukah mereka (orang-orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang telah Allah berikan kepadanya?” (An-Nisa’: 54)
Dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
وَلاَ تَحَاسَدُوا
“Janganlah kalian saling iri dan dengki.” (HR. Muslim)
Dalil-dalil di atas menunjukkan haramnya hasad (iri dan dengki). Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk bersungguh-sungguh menjaga dirinya dari penyakit tersebut, serta khawatir dirinya akan terjatuh padanya. Juga senantiasa berupaya membersihkan diri darinya. Karena hasad itu sangat tersembunyi di dalam jiwa, sewaktu-waktu bisa muncul dan membinasakan dirinya. Wal ‘iyadzu billah.
Al-Allamah Abdurrahman Al-Mu’allimi t berkata: “Hasad itu hakikatnya adalah apabila orang lain yang menerangkan kebenaran, maka dia (orang yang dalam hatinya ada iri dan dengki) menganggap bahwa bila dia meyakini kebenaran tersebut berarti dia mengakui kelebihan ilmu dan keutamaan orang itu, serta mengakui kebenaran yang ada pada diri orang tersebut. Sehingga akan semakin membesarkan kewibawaannya di mata umat. Barangkali orang yang mengikuti dia akan semakin banyak. Sungguh engkau akan dapati sebagian orang yang berambisi menyalahkan orang lain adalah dari kalangan ulama, walaupun dengan cara yang batil sekalipun. Hal itu terjadi karena kedengkiannya dan upaya menjatuhkan kedudukannya di mata umat. Kebanyakan terjadinya saling iri dan dengki itu adalah di antara orang-orang yang seusia, sederajat, seprofesi, atau sekelas (aqran dari kalangan penuntut ilmu).” (At-Tankil, 2/190)
Oleh karena itulah, kebanyakan orang menolak (tidak mau menerima) kebenaran apabila orang yang membawa kebenaran itu adalah orang yang dianggap sederajat dengannya. Padahal dia akan menerima kebenaran tersebut kalau yang menyampaikan adalah gurunya atau orang yang lebih tinggi darinya.
Abu Hatim Ibnu Hibban t berkata: “Kebanyakan hasad (iri dan dengki) itu terjadi di antara aqran (orang-orang yang seumur, sekelas, seprofesi). Orang-orang yang sama profesinya, seperti para penulis, tidak akan hasad kepadanya kecuali para penulis juga. Sebagaimana para hafizh itu tidak akan hasad kepadanya kecuali para hafizh pula. Dan seseorang tidak akan mencapai suatu kedudukan dari berbagai kedudukan dunia kecuali dia pasti akan mendapati orang yang membenci dirinya karena kedudukan tersebut (karena iri dan dengki kepadanya). Maka, orang yang hasad adalah lawan yang senantiasa berusaha menentang.” (Raudhatul ‘Uqala, hal. 136)
Asy-Syaukani t berkata: “Di antara sebab yang menghalangi seseorang bersikap inshaf (adil dan ilmiah) adalah apa yang terjadi di antara orang-orang yang berlomba-lomba mendapatkan keutamaan di antara aqran (selevel). Hal itu terjadi pula dalam urusan kepemimpinan dunia maupun agama. Maka apabila setan telah mengembuskan (api hasad) pada dirinya, persaingan pun semakin sengit, sampai pada suatu tingkatan yang bisa menjerumuskan masing-masingnya untuk menolak segala sesuatu yang dibawa oleh lawannya (walaupun berupa kebenaran yang sangat jelas).
Dalam perseteruan ini, sungguh kita menyaksikan dan mendengarkan peristiwa-peristiwa yang mengherankan yang dilakukan oleh segolongan orang-orang yang berilmu layaknya perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman. Mereka menolak kebenaran yang dibawa pihak lawannya serta membantah dengan cara yang batil1.” (Adabuth Thalib, hal. 91-92)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata: “Kesimpulannya, hasad adalah akhlak yang tercela. Yang sungguh memprihatinkan adalah bahwa kebanyakan hasad tersebut terjadi di antara para ulama dan thalabatul ilmi (penuntut ilmu). Terjadi pula hasad di antara para pedagang. Orang-orang yang memiliki profesi yang sama akan hasad terhadap orang-orang yang seprofesi dengannya. Namun yang paling memprihatinkan adalah hasad di antara para ulama lebih dahsyat. Hasad di antara para penuntut ilmu juga lebih dahsyat. Padahal semestinya orang-orang yang berilmu adalah orang yang paling jauh dari penyakit ini. Mereka mestinya adalah orang yang paling baik akhlaknya. (Kitabul ‘Ilmi, hal. 74)

Al-Kibr (Kesombongan)
Allah l berfirman:
“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Ghafir: 35)
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud z)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Karena faktor-faktor inilah, orang-orang Yahudi terus-menerus di atas kebatilannya. Yaitu karena apa yang ada dalam hati-hati mereka seperti kesombongan, kedengkian, keras kepala, dan tabiat-tabiat jelek lainnya.” (Naqdhul Manthiq, hal. 27)
Dengan hal inilah kita mendapatkan kejelasan bahwa kesombongan itu adalah salah satu penghalang untuk menerima kebenaran.
Demikian juga apabila kesombongan itu telah memenuhi hatinya, akan menjadikan pemiliknya menganggap dirinya tinggi dan sempurna, sehingga merasa tidak membutuhkan orang lain. Hal ini juga akan menghalanginya dari evaluasi danintrospeksi diri, barangkali yang keliru adalah dirinya. Inilah keadaan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu.
Ibnul Jauzi t berkata: “Orang yang sombong adalah orang yang menganggap dirinya lebih tinggi daripada orang lain (dalam segala perkara).” (At-Tabashshurah, 2/222)
Al-Imam Asy-Syathibi t berkata: “Orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai hakim bagi dirinya, maka mereka tidak akan memedulikan apapun. Mereka tidak akan memperhitungkan hal-hal yang menyelisihi pendapatnya sama sekali. Mereka juga tidak mau introspeksi diri atau mengevaluasi pandangan-pandangannya. Tidak sebagaimana sikap orang-orang yang berusaha mencurigai dirinya sendiri (barangkali kesalahan ada di pihaknya), dan akan berhenti tatkala menimbulkan suatu permasalahan (padahal inilah sikap orang-orang yang berakal).” (Al-I’tisham, 2/269)
Orang-orang yang mengikuti kebenaran adalah orang-orang yang tawadhu’. Orang-orang yang senantiasa mengintrospeksi dirinya adalah orang-orang yang gigih mencari dan menuntut kebenaran. Oleh karena itu, mereka tidaklah enggan untuk mengevaluasi pendapatnya. Tidak enggan pula untuk menuntut hakikat kebenaran dari suatu pemasalahan. Lebih-lebih pada hal-hal yang menimbulkan masalah.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Sungguh aku telah mendengar Asy-Syaikh Muqbil lebih dari sekali berkata: ‘Demi Allah, kami tidak mengkhawatirkan dakwah ini, kecuali dari diri-diri kami.’ Aku (Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam) katakan: Demi Allah, sungguh Asy-Syaikh Muqbil t memiliki firasat yang tepat, di mana Rasulullah n membuka khutbahnya dengan ucapan:
وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
“Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami dan dari kejelekan amalan kami.”
Maka, jiwa kita, apapun kebaikan yang ada padanya, mesti terdapat kekurangan atau kejelekan.” (At-Tanbihul Hasan, hal. 68-69)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Seseorang beralih dari suatu pendapat kepada pendapat yang lain karena kejelasan yang dia dapatkan, adalah sikap terpuji. Berbeda dengan sikap orang yang sombong, terus-menerus di atas suatu pendapat yang tidak mengandung hujjah atau dalil yang kuat (ini adalah sikap yang tercela). Sedangkan meninggalkan suatu pendapat yang telah jelas hujjah atau dalilnya, atau berpindah dari suatu pendapat kepada pendapat lain karena adat dan mengikuti hawa nafsu, itu adalah sikap yang tercela pula.” (Al-Fatawa Al-Kubra, 5/125)

Terapi Hati dari Penyakit Sombong dan Hasad
Rasulullah n bersabda:
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
“Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkatnya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Makna tawadhu’ adalah menerima kebenaran dengan tunduk kepadanya, menghina diri, patuh, dan masuk di bawah perbudakannya. Di mana kebenaran itulah yang mengatur dirinya, sebagaimana seorang raja mengatur kekuasaannya. Dengan inilah seorang hamba akan mendapatkan akhlak tawadhu’. Agar bisa bersikap demikian, seorang muslim membutuhkan ilmu, ikhlas, sabar, dan latihan yang terus-menerus, diiringi doa, serta senantiasa menjaga keselamatan hati dari penyakit-penyakitnya (ujub, riya, sum’ah sombong, hasad, dll).
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)
Hammad bin Ibrahim berkata: “Kebenaran itu telah jelas dan mudah. Di mana manusia diciptakan di atas fitrahnya untuk mengetahui, mencintai, dan menerima kebenaran tersebut, kecuali orang yang telah rusak fitrahnya. Rasulullah n memerintahkan Abu Dzar z untuk mengatakan kebenaran walaupun pahit. Hal ini (kebenaran yang pahit rasanya) adalah bagi orang yang belum terlatih jiwanya. Demikian juga bagi ahli bid’ah serta orang yang mengikuti hawa nafsunya.” (Ash-Shawarif ‘anil Haq, hal. 41)
Ar-Raghib Al-Asfahani berkata: “Ucapan mereka bahwa kebenaran itu pahit, itu adalah bagi orang yang belum terlatih jiwanya (untuk menerimanya) dan hatinya sakit. Seorang penyair berkata:
فَمَنْ يَكُنْ ذَا فَمٍ مُرّ مَرِيضٍ يَجِدْ مُرًّا بِهِ الْمَاءَ الزُّلَالَا
Orang yang mulutnya pahit, dia sakit
dia merasakan pahit dengannya air yang segar.
Maka, orang yang sehat fitrahnya akan senang dengan (kebenaran) itu walaupun berat.” (Adz-Dzani’ah ila Makarisy Syari’ah, hal. 126)
Al-Khaththabi t berkata: “Manusia itu tidak akan berubah dari tabiat-tabiatnya yang jelek, dan tidak akan meninggalkan kesenangannya terhadap berbagai macam kebiasaan kecuali dengan latihan-latihan yang keras dan pengobatan yang serius.” (A’lamul Hadits, 1/218)
Siapapun yang jiwanya belum terlatih menerima kebenaran, maka jiwa tersebut membutuhkan latihan dan pendidikan sampai jiwa itu menuruti kebenaran dan tunduk kepadanya, senantiasa mengoreksi amalan-amalan yang telah dia lakukan, dan senantiasa mensyukuri segala nikmat Allah l, sehingga mudah menerima al-haq.
اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran itu adalah kebenaran dan karuniakanlah kepada kami rezeki untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kepada kami yang batil itu adalah batil dan karuniakanlah kepada kami rezeki untuk menjauhinya. Amin, ya Rabbal ‘alamin.
“Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai. Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Al-Ahqaf: 15)
Ya Allah, limpahkanlah qalbun salim (hati yang selamat dan bersih) kepada kami kaum muslimin, mukminin, salafiyyin, hati yang selalu menerima al-haq, mencintainya dan selalu mendahulukannya, hati yang putih bersih yang memancarkan cahaya iman, yang kokoh di atas al-haq.
Amin ya Rabbal ‘alamin.
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan)
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif