Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Sabtu, 01 September 2012

BERSAMA ORANG TUA MENUJU SURGA




BERSAMA ORANG TUA MENUJU SURGA


وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apayang dikerjakannya. [ath-Thûr/52:21]

PENJELASAN AYAT 
Kenikmatan Ahli Jannah, Hidup Bersama Anak-Anak Mereka
Ayat di atas berbicara tentang salah satu kenikmatan sangat menyenangkan, yang diraih oleh penghuni surga (ahlul-jannah). Karunia yang tidak hanya direguk oleh para wali-Nya di surga. Yakni hidup bersama-sama dengan keturunan mereka, meskipun amalan shalih anak keturunan mereka tidak sepadan dengan orang tuanya baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. 

Dengan ini, pandangan orang tua tersebut menjadi sejuk damai, kebahagiaan mereka kian tak terkira, dan kegembiraan pun semakin sempurna. Suasana menyenangkan ini lantaran Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatukannya kembali dengan anak keturunan mereka. Itu merupakan takrimah (penghargaan), ganjaran dan tambahan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala . [1] 

Sungguh, benar-benar sebuah kenikmatan yang membahagiakan, manakala orang tua berjumpa kembali dengan anak-anaknya. Suatu kenikmatan yang sangat besar. Kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sangat luas. Namun, persyaratan yang harus ada, yaitu anak-anak mereka juga beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, sebagaimana tercantum secara jelas dalam ayat.

Perhatikan keterangan Imam Ibnu Katsir rahimahullah tentang ayat di atas berikut ini. 

Beliau berkata: "Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan mengenai keutamaan, kemurahan, kenikmatan dan kelembutan-Nya, serta curahan kebaikan-Nya kepada makhluk. Bahwa kaum mukminin, bila keturunan mereka mengikuti dalam keimanan (sebagaimana keimanan orang tua mereka), niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menempatkan anak-anak yang beriman ini ke derajat orang tua mereka, kendatipun amalan-amalan shalih mereka (anak-anak yang beriman) itu tidak sebanding dengan amalan para orang tuanya itu. Supaya pandangan para orang tua menjadi damai sejuk dengan kebersamaan anak-anaknya di tempat yang sama. Lantas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatukan mereka dalam kondisi terbaik. Anak yang kurang amalannya terangkat oleh orang tuanya yang sempurna amalannya. Hal ini tidak mengurangi sedikit pun amalan dan derajatnya, meskipun mereka berdua akhirnya berada di tempat yang sama.[2] 

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 

وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ

(dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka).

Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan: Kami tidak mengurangi pahala amalan anak-anak lantaran sedikitnya amalan mereka. Dan pula, tidak mengurangi pahala para orang tua sedikit pun, meskipun menempatkan keturunan mereka bersama dengan orang tua mereka (yang berada di derajat yang lebih tinggi, Pen.).[3] 

Atau dengan pengertian lain, seperti diungkapkan oleh Imam ath-Thabari: Kami tidak mengurangi ganjaran kebaikan mereka sedikit pun dengan mengambilnya dari mereka (para orang tua) untuk kemudian Kami tambahkan bagi anak-anak mereka yang Kami tempatkan bersama mereka. Akan tetapi, Kami beri mereka pahala dengan penuh, dan (lantas) Kami susulkan anak-anak mereka ke tempat-tempat mereka (para orang tua) atas kemurahan Kami bagi mereka.[4] 

Demikianlah, kemurahan dan keutamaan yang diraih anak-anak melalui keberkahan amalan para orang tua. Adapun keutamaan dan kemurahan yang dilimpahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para orang tua melalui doa anak-anaknya, tertuang pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ : يَا رَبِّ أَنىَّ لِيْ هَذِهِ ؟ فَيَقُوْلُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ 

"Sungguh, Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba-Nya yang shalih di surga," maka ia pun bertanya: "Wahai Rabbku, bagaimana ini bisa terjadi?" Allah menjawab: “Berkat istighfar anakmu bagi dirimu”.[5] 

Hadits ini diperkuat oleh hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dalam Shahîh Muslim:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Ketika seorang manusia meninggal, maka putuslah amalannya darinya kecuali dari tiga hal, (yaitu) sedekah (amal) jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shalih yang mendoakannya. 

Setiap Manusia Terikat Oleh Amalannya

Firman Allah: 

كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

(tiap-tiap manusia terikat dengan apayang dikerjakannya), mengandung pemberitahuan mengenai keadilan Allah. Bahwa pada hari kiamat kelak, setiap jiwa akan terikat dengan amalnya. Akan mendapat pembalasan berdasarkan amalnya itu. Kalau amalnya baik, maka balasannya baik pula. Sebaliknya, bila amalannya buruk, maka akibat balasan yang diterimanya pun buruk. 

Hanya saja, Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan kemurahan-Nya kepada para orang tua, yaitu dengan bentuk mengangkat derajat keturunan-keturunan mereka ke tingkatan mereka sebagai wujud curahan kebaikan dari-Nya, tanpa adanya amalan dilakukan oleh anak keturunannya itu.[6] 

Imam al-Qurthubi membawakan beberapa pengertian ayat ini dari keterangan para ulama. Yang pertama, ayat ini berbicara tentang penghuni neraka. 

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata: 
Para penghuni neraka Jahannam terkungkung oleh amalan (buruk) mereka. Sementara itu, para penghuni surga menuju kenikmatan. Hal ini serupa kandungan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : 

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ عَنِ الْمُجْرِمِينَ 

Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka tanya-menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa. [al-Muddatstsir/74:38-41]. 

Kandungan ayat ini juga bersifat umum, berlaku bagi setiap manusia. Yang ia terikat dengan tindak-tanduknya. Ia tidak dikenai pengurangan pahala dari amalan baiknya. Adapun bertambahnya pahala, ialah karena kemurahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala . 

Menurut penjelasan lainnya, pengertian ayat ini dimaksudkan kepada anak keturunan yang tidak beriman. Sehingga, lantaran tak beriman, maka anak-anak keturunannya itu tidak bisa mencapai derajat seperti yang diraih oleh orang tua mereka yang beriman, dan akan tetap terkungkung oleh kekufurannya.[7] 

Berbeda dengan keterangan-keterangan di atas, Syaikh as-Sa'di berpendapat, penggalan ayat ini ditujukan untuk menghilangkan prasangka bahwa anak-anak penghuni neraka (ahlun-nar) pun mengalami hal serupa. Yaitu akan berada di tempat yang sama dengan orang tua mereka. Lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa keadaannya tidak demikian. Dalam masalah ini, tidaklah sama kondisi antara surga dan neraka. Neraka adalah tempat penegakan keadilan. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengadzab seseorang kecuali dengan perbuatan dosanya. Seseorang juga tidak memikul dosa orang lain.[8] 

PELAJARAN DARI AYAT 
1. Besarnya keutamaan dan kemurahan Allah kepada para hamba-Nya, kaum mukminin.
2. Penetapan adanya hari Pembalasan dan Kebangkitan. 
3. Keutamaan iman dan kemuliaan para ahlinya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyebabkan anak keturunannya yang memiliki amalan sedikit dapat dipersatukan dengan para orang tua mereka yang memiliki banyak amal shalih. 
4. Penetapan kaidah, setiap manusia akan tergantung dengan amal perbuatannya di akhirat kelak. Wallahu a'lam

Marâji`:
1. Aisarut-Tafâsîr, Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Maktabah 'Ulum wal-Hikam, Madinah. 
2. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-'Arabi, Cetakan IV, Tahun 1422 H – 2001 M. 
3. Jâmi'ul-Bayân 'an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cetakan I, Tahun 1423 H – 2002 M.
4. Kutub wa Rasâ`il, Min Kunûzil Qur`anil Kariim, 'Abdul-Muhsin al-Abbâd al-Badr. 
5. Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma'îl bin 'Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Dârul Hadîts Kairo 1426H-2005M. 
6. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, 'Allâmah Syaikh Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa'di, Dârul-Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H – 1999 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/Sya'ban 1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Aisarrut-Tafâsir (2/1286), Jâmi’ul-Bayân (27/34), Taisîrul-Karîmir-Rahmân (hlm. 815).
[2]. Tafsîrul-Qur`anil-‘Azhîm, 7/437.
[3]. Al-Jâmi' li Ahkamil-Qur`ân, 17/60.
[4]. Jâmi'ul-Bayân, 27/34.
[5]. Tentang hadits ini, Imam Ibnu Katsir t berkata: "Isnadnya shahîh". Syaikh al-Albâni berkata: "……" 
[6]. Aisarut-Tafâsir (2/1286), Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (7/438), Min Kunûzil-Qur`ânil-Karîm (1/314).
[7]. Lihat al-Jâmi', 17/60.
[8]. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 815.



sumber ; http://almanhaj.or.id/content/3348/slash/0/bersama-orang-tua-menuju-surga/

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif