Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Jumat, 07 September 2012

Untaian Mutiara Hikmah 2

Untaian Mutiara Hikmah

11 - Kaidah Memperlakukan Orang Lain


Al-Hakim rahimahullahu berkata, “Ketulusan dalam hal bergaul dengan makhluk adalah engkau senang apabila mereka memperlakukanmu sebagaimana engkau memperlakukan mereka.”
Abu Bakr bin ‘Ayyasy rahimahullahu mengatakan, “Raihlah keutamaan dengan cara engkau mengutamakan orang lain. Sesungguhnya, manusia memperlakukan dirimu sebagaimana engkau memperlakukan mereka.”
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada tiga hal yang akan membuat kecintaan saudaramu kepadamu menjadi tulus: engkau mengucapkan salam ketika bertemu dengannya, melapangkan majelis untuknya, dan memanggilnya dengan nama yang paling disenanginya.”
(Adabul ‘Isyrah wa Dzikru ash-Shuhbah wal Ukhuwwah, Abul Barakat al-Ghazzi)

12 - Memilih Teman yang Baik


Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau mengatakan,
“Jangan engkau tanya tentang seseorang, tanyalah tentang temannya, karena setiap orang itu akan meneladani temannya.”
Diriwayatkan juga bahwa beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Janganlah engkau berteman dengan orang bodoh, hati-hatilah darinya. Betapa banyak orang bodoh membinasakan seorang santun ketika keduanya bertemu. Seorang disamakan dengan orang lain ketika ia berjalan bersamanya. Sesuatu itu dengan sesuatu yang lain memiliki kesamaan dan keserupaan. Hati itu dengan hati yang lain ada penunjuk ketika berjumpa.”
(Adabul ‘Isyrah wa Dzikru ash-Shuhbah wal Ukhuwwah, Abul Barakat al-Ghazzi)

13 - Mewaspadai Sikap Sombong karena Ilmu


Wahb bin Munabbih rahimahullahu berkata, “Sesungguhnya ilmu dapat membuat sombong sebagaimana harta.”
Masruq rahimahullahu berkata, “Cukuplah seseorang dikatakan berilmu jika ilmu tersebut membuahkan rasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sebaliknya, cukuplah seseorang dianggap bodoh tatkala membanggakan diri dengan ilmunya.”
Abu Wahb al-Marwazi rahimahullahu berkata, “Aku bertanya kepada Ibnul Mubarak tentang kesombongan. Beliau menjawab, ‘(Kesombongan) adalah engkau meremehkan dan merendahkan manusia.’ Kemudian aku bertanya kepadanya mengenai ujub (bangga diri). Beliau pun menjawab, ‘(Ujub) adalah engkau memandang bahwa dirimu memiliki sesuatu yang tidak ada pada selainmu’.”
Ibnu Abdil Barr rahimahullahu berkata, “Di antara adab seorang alim yang paling utama adalah bersikap rendah hati (tawadhu’) dan tidak ujub, yakni merasa sombong, bangga, dan terkagum-kagum terhadap ilmu yang dimilikinya. Adab berikutnya, ia berusaha menjauhi kecintaan akan kepemimpinan dengan sebab ilmunya.”
Al-Baihaqi rahimahullahu berkata, “Ketahuilah, fondasi dari suatu kedudukan adalah senang tersebarnya reputasi, cinta ketenaran, dan kemasyhuran, padahal itu merupakan bahaya yang sangat besar. Adapun keselamatan itu terdapat pada lawannya, yakni menjauhi ketenaran.”
Para ulama tidak bertujuan mencari kemasyhuran. Tidak pula mereka menampakkan dan menawarkan diri untuk tujuan tersebut. Mereka juga tidak menempuh sebab-sebab yang menyampaikan ke arah sana. Apabila ternyata kemasyhuran tersebut datang dari sisi Allah Subhanallahu wa Ta’ala, mereka berusaha melarikan diri darinya. Mereka lebih mengutamakan ketidaktenaran.
(an-Nubadz fi Adabi Thalabil Ilmi, hlm. 185-186)

14 - Sikap Pertengahan dalam Hal Mencari Rezeki


Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Antara seorang hamba dan rezekinya ada pemisah. Jika dia qanaah (merasa cukup) dan jiwanya merasa ridha, rezekinya akan menghampirinya. Akan tetapi, jika dia memaksa masuk dan meruntuhkan hijab itu, dia tidak akan bisa menambah rezekinya di atas kadar yang telah ditentukan untuknya.”
Sebagian salaf berkata, “Bertawakallah, maka engkau akan dianugerahi rezeki tanpa kelelahan dan susah payah.”
Al-Marwazi bertanya kepada al-Imam Ahmad tentang seseorang yang hanya duduk di rumahnya -padahal dia mampu untuk beraktifitas- dan mengatakan, “Aku akan duduk dan bersabar. Aku tidak akan mengharapkan sesuatu dari orang lain.”
Al-Imam Ahmad menjawab, “Dia keluar dari rumahnya dan berbuat sesuatu lebih aku sukai. Kalau dia hanya duduk di rumahnya, aku khawatir, dia malah berharap akan ada orang yang mengiriminya sesuatu.”
(diambil dari Jami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali, hlm. 591-592)

15 - 

 

Keutamaan Masa Awal Islam



Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Sungguh, hari ini kalian berada di atas fitrah. Suatu saat, kalian akan membuat perkara-perkara baru dalam agama. Akan dibuatkan pula untuk kalian perkara-perkara baru dalam agama. Jika kalian melihat sebuah perkara baru dalam agama, hendaknya kalian kembali kepada petunjuk yang terdahulu.” Beliau mengatakan kalimat ini pada masa al-Khulafa ar-Rasyidin.
Abdurrahman bin Mahdi meriwayatkan bahwa al-Imam Malik rahimahullahu mengatakan, “Hawa-hawa nafsu ini tidak pernah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, Abu Bakr, Umar, dan Utsman.”
Dengan ucapan ini, beliau mengisyaratkan kepada perpecahan dalam hal pokok-pokok agama, yaitu munculnya Khawarij, Rafidhah, Murji’ah, dan yang semisalnya.
(Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 361)

16 - Taqwa yang Sempurna

Abu Darda bin Qais Al-Asy’ari [1] mengatakan,
“Takwa yang sempurna adalah bertakwa kepada-Nya sampai pada masalah sekecil apa pun. Sampai ia meninggalkan perkara yang ia ketahui halal, karena takut seandainya perkara tersebut ternyata adalah haram. Yang mana takwa ini akan menjadi penghalang antara ia dan perkara-perkara yang haram. Sesungguhnya Allah telah menerangkan kepada seluruh hamba-Nya, bahwa mereka akan kembali kepada Allah,
‘Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.’ (QS. Al Zalzalah: 7-8)
Maka janganlah kalian memandang remeh kebaikan sekecil apa pun untuk kalian amalkan dan jangan pula memandang remeh perbuatan dosa sekecil apa pun untuk kalian tinggalkan.” [Jami'ul 'Ulum wal Hikam 1/400]

17 - Keutamaan Ilmu Atas Harta


‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu itu akan menjagamu, sedangkan harta engkaulah yang menjaganya. Ilmu itu semakin berkembang dengan infaqkan, sedangkan harta akan berkurang jika dinafkahkan. Ilmu adalah yang mengaturmu, sedangkan harta, engkau yang akan mengaturnya, mencintai ilmu adalah agama yang seorang itu beribadah dengannya.
Ilmu akan membuahkan ketaatan di dalam kehidupan pemiliknya serta mengharumkan namanya setelah ia meninggal dunia. Kebaikan para pemelihara harta akan melenyap bersamaan dengan kepergiannya. Para penimbun harta (pada hakikatnya) telah mati (meskipun) mereka itu masih hidup. Adapun para ulama tetap kekal sepanjang masa. Jasad mereka telah tiada, namun kenangan tentang mereka senantiasa melekat di hati manusia.”
(Durus fil Qira’ah al-Mustawa ar-Rabi’, hlm. 16)

18 - Tanda-tanda Kemunafikan




Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Termasuk kemunafikan adalah berbedanya hati dengan lisan, berbedanya sesuatu yang disembunyikan dan yang ditampakkan; serta berbedanya yang masuk dan yang keluar.”
Sekelompok salaf mengatakan, “Khusyuk munafik adalah engkau melihat jasadnya khusyuk, sedangkan hatinya tidak.”
Diriwayatkan pula yang semakna dengan itu dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata di atas mimbar, “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah munafik yang alim.” Orang-orang bertanya, “Bagaimanakah munafik yang alim itu?”
Beliau menjawab, “Orang yang berbicara dengan penuh hikmah, tetapi amal perbuatannya mungkar.”
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Siapakah munafik itu?”
Beliau radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Orang yang mengatakan beriman namun tidak mengamalkannya.”
Dikatakan kepada Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Sesungguhnya ketika kami masuk menemui penguasa, kami berbicara kepadanya dengan pembicaraan yang berbeda dengan pembicaraan kami ketika telah keluar dari tempatnya.” Ibnu Umar menukas, “Kami menganggap hal itu adalah kemunafikan.” (Shahih al-Bukhari)
Bilal bin Sa’d berkata, “Munafik adalah orang yang perkataannya ma’ruf namun amalannya mungkar.”
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hlm. 547) 
sumber ; Majalah Asy Syariah  & http://atsarsalaf.wordpress.com

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif