Barangsiapa yang mendapati suatu perselisihan, maka ia harus berpegang dengan Sunnah Nabi shallalla

  • Saya tidak mengatakan diri saya sebagai seorang ahli 'ilmu karena memang saya bukanlah ahlu 'ilmu, melainkan hanya penuntut 'ilmu . maka Janganlah engkau MENIMBA dan BERTANYA tentang 'ilmu kepadaku. Janganlah pula jadikan postingan-postingan saya sebagai rujukan 'ilmu bagi kalian. Tapi timbalah dan tanyalah 'ilmu kepada ahlinya. Apa-apa yang kupostingkan di website ini yang berisikan kebenaran, maka terimalah. Apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran, maka tolaklah, dan luruskanlah dengan 'ilmu dan hujjah.

Bukti Cinta

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

(Tafsiir Ibni Katsiir I/384)

Jumat, 14 September 2012

Ketika Pendosa Berlimpah Kekayaan

Ketika Pendosa Berlimpah Kekayaan 

"Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa" (QS Al-An'am [6]: 44).

"Ustadz, mengapa ada orang atau keluarga yang tidak taat beragama; tidak shalat, tidak puasa, tapi rezekinya melimpah, usahanya sukses, kaya dan sekilas kelihatannya bahagia?" tanya seorang jamaah haji kepada saya. Pertanyaan ini tampaknya mewakili masyarakat yang penasaran melihat fenomena orang yang ahli ibadah tapi hidupnya serba kesulitan. Sementara di sisi lain, ada orang atau keluarga yang ahli maksiat, koruptor, dan tidak taat menjalankan agama, tapi hidup dengan bergelimang kekayaan. Rezeki mereka seperti banjir; mudah datangnya dan begitu melimpah.
Dalam konteks global, banyak negara dengan penduduk mayoritas Muslim dengan ribuan masjid tersebar di seantero negeri, sekian juta kali lantunan zikir dan doa, tapi mayoritas penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Sebaliknya, tidak sedikit negara yang kafir, yang penduduknya selalu tenggelam dalam beragam bentuk kemaksiatan dan kemungkaran–zina, khamr, judi, narkoba dan lain-lain–tapi tampaknya maju dalam banyak aspek kehidupan; ekonomi, militer, pendidikan, teknologi, informasi, dan sebagainya. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Ayat di atas menjawab pertanyaan tersebut dengan gamblang.

Ujian kesejahteraan hidup bagi pendosa
Ayat di atas bercerita tentang umat-umat terdahulu yang Allah mengutus kepada mereka para rasul, kemudian Allah siksa mereka dengan kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan merendahkan diri. Namun, ketika siksaan Allah datang, mereka tidak melakukan hal itu. Hati mereka justru semakin keras, lalu atas bisikan setan mereka memandang indah perbuatan itu.
            Maka, di tengah kedurhakaan mereka kepada Allah, Allah menguji mereka dengan kemakmuran dan kesejahteraan hidup. "Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka," demikian penegasan Allah swt tentang berlimpahnya kesenangan yang diterima para pendosa tersebut. Menurut Imam Ibnu Katsir, "Maksudnya, Kami membukakan untuk mereka pintu-pintu rezeki dari segala hal (dalam semua aspek kehidupan) yang mereka pilih. Dan ini adalah istidraj (mengulur-ulur) dan imlaa'(penangguhan) dari Allah Ta'ala bagi mereka" (Tafsir Ibnu Katsir II/259).
Imam Malik menafsirkannya dengan kemakmuran dunia dan kemudahannya (Lihat Tafsir Ibnu Katsir II/259).
Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya (IV/145) meriwayatkan hadits dari Uqbah bin 'Aamir ra dari Nabi saw, "Apabila engkau melihat Allah memberi seorang hamba kelimpahan dunia atas maksiat-maksiatnya, apa yang Ia suka, maka ingatlah sesungguhnya hal itu adalah istidraj,"kemudian Rasulullah saw membaca ayat tersebut. Hadits ini oleh Imam As Suyuthi dinilai sebagai hadits hasan (Al Jaami' Ash Shaghir I/97 no. 629).
Begitulah sunnatullah dalam kehidupan pendosa dan pelaku maksiat. Kadang-kadang Allah swt membukakan beragam pintu rezeki dan pintu kesejahteraan hidup serta kemajuan dalam banyak aspek kehidupan seperti termaktub dalam redaksi ayatnya, "Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka"; kemajuan di bidang ekonomi, pendidikan, teknologi, militer, kesehatan, kebudayaan, stabilitas keamanan dan lain sebagainya. Dan ini merupakan istidraj dan imlaa' dari Allah bagi mereka sebagaimana firman Allah, "Maka serahkanlah (Ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Quran), nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat tangguh" (QS Al Qalam [68]: 44-45).
Maka, ketika ada seseorang yang tidak shalat, tidak puasa Ramadhan, hobi bermaksiat, tapi hidupnya makmur dan sejahtera, ini adalah istidraj. Ketika ada keluarga yang jauh dari Allah dan mengelola rumah tangganya dengan nilai-nilai yang tidak islami, namun rezekinya melimpah dan hidupnya senang, ini pun termasuk istidraj.
Ketika ada ormas atau jamaah yang menghidupi organisasi dan jamaahnya dengan uang haram, tapi kelihatannya tambah maju, anggota dan pendukungnya banyaknya, dan pengaruhnya luas, ini juga termasuk istidraj. Ketika ada seseorang atau partai yang memenangkan pilkada dengan melanggar syarat-syarat kemenangan hakiki yang digariskan oleh Allah, baik dalam fund raising (pendanaannya) maupun dalam menarik dukungan menggunakan hal-hal yang haram dan menghalalkan segala cara, namun mendapatkan dukungan suara dan kursi yang sangat signifikan, maka ingatlah yang demikian pun adalahistidraj.
Hal ini juga berlaku bagi bangsa dan negara. Jika ada negara yang kufur, menghalalkan yang diharamkan oleh Allah, melegalkan beragam kemaksiatan, memerangi orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, membatasi atau melarang berbagai aktivitas dakwah dan hal-hal positif lainnya, namun secara fisik tampak maju, maka hal ini termasuk istidraj.
Mengapa? Tidak setiap orang, keluarga, komunitas, ormas, partai, bangsa atau negara yang dianugerahi rezeki, kesejahteraan hidup, kemajuan dan kemenangan, berarti Allah mencintainya dan mendukungnya. Tidak, karena Allah memberi rezeki orang yang mukmin dan kafir, yang baik dan jahat, bahkan bisa jadi Allah mengabulkan doa dan permintaaan mereka lalu memberi mereka apa yang mereka di dunia, namun di akhirat mereka tidak mendapatkan bagian (pahala) apa pun, bahkan nerakalah tempat mereka.
Mari renungkan firman Allah berikut, "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, Kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali" (QS Al Baqarah [2]: 126).
Juga firman-Nya, "Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh kami kepada mereka [Yakni: dengan memperpanjang umur mereka dan membiarkan mereka berbuat dosa sesuka hatinya] adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan" (QS Ali Imran [3]: 178). 
Jadi, menurut Sayyid Quthb, sesungguhnya kemakmuran dan kesejahteraan hidup merupakan ujian lain sebagaimana ujian kesulitan dan kesengsaraan hidup. Bahkan, posisi ujian kesejahteraan lebih tinggi daripada ujian kesengsaraan. Dan Allah menguji hamba-Nya dengan kesejahteraan dan kesengsaraan, dengan kemudahan dan kesulitan. Dia swt menguji hamba-hamba-Nya yang taat dan maksiat (Fii Zhilal Al Qur'an II/1090). Bedanya, orang Mukmin tidak terpukau terhadap nikmat, namun justru menyikapinya dengan syukur dan sabar sehingga semua urusannya menjadi baik dan bernilai pahala. Rasulullah saw bersabda, "Ajaib atau unik urusan orang mukmin itu. Sebab, semua urusannya itu baik, dan itu tidak dimiliki kecuali oleh orang mukmin. Jika ia mendapatkan kebahagiaan (kemudahan) lalu bersyukur, maka hal itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika ia ditimpa kesulitan, namun bersabar, maka hal itu pun menjadi kebaikan baginya" (HR Muslim no. 5318).

Datangnya kebinasaan di puncak kesenangan
Setelah Allah mengulur-ulur (istidraj) dan memberi tangguh (imlaa') dengan membukakan pintu-pintu kesejahteraan, kemakmuran, dan kemenangan "Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa."
Inilah yang harus selalu kita waspadai. Ternyata, kemakmuran dan kesejahteraan hidup di tengah tumpukan maksiat kepada Allah bukanlah nikmat yang hakiki, melainkan istidraj dan mukaddimah kepada siksa. Ternyata, kemajuan dalam banyak aspek dan kemenangan yang diraih dengan menghalalkan segala cara adalah kemajuan dan kemenangan semu, karena bisa jadi merupakan istidraj dan justru pengantar bagi kehancuran, kemunduran, dan kekalahan. Maka, waspadalah untuk berkomentar, "Saya tidak shalat  tapi banyak rezeki." Atau "Pakai uang haram sedikit-sedikit kan tidak apa-apa untuk kemenangan dakwah yang lebih besar," dan lain-lain.
Kini, masihkah ada di antara kita yang bangga dan terhipnotis oleh kemilau kemajuan negeri adidaya Amerika dan negara Barat lainnya? Masihkah, kita asyik masyuk dengan beragam kemaksiatan dan kemungkaran, toh masih merasa banyak kemudahan rezeki? Dan masihkah kita terus membiayai aktivitas rumah tangga, organisasi, atau partai kita dengan uang-uang haram, toh tetap saja keluarga atau simpatisan dan anggota kita tidak berkurang?
Ingat, kehancuran dan kebinasaan serta kekalahan itu datang secara tiba-tiba, bahkan bisa jadi datang pada puncak kebahagiaan, kemajuan, dan kemenangan.
Sumber :
http://www.ummi-online.com/berita-80-ketika-pendosa-berlimpah-kekayaan.html

Tidak ada komentar:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ( An Nisa : 48)"

Nasehat Imam Empat Mazhab," Jangan fanatik kepada kami "!

Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)

2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”

3. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)

Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3.Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’ Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah berkata,

1. “Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)

3. ”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

4. ”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)

5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)

6. “Setiap masalah yang jika di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)

7. ”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih, maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Mu’addab)

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

9. “Setiap hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)

Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)

Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak. Beliau berkata,

1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di dalam Al-Jami`, 2/149)

3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).

Selengkapnya klik DI SINI

Demikianlah ucapan para Imam Mazhab. Masihkah kita taqlid buta kepada mereka, atau taqlid kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?


Ilmu & Amal

Tuntutan ilmu adalah amal & tuntutan amal adalah ilmu . Amal hati/batin dinilai dengan keikhlasan & amal lahir dinilai dengan ketaatan mengikuti sunnah Rasul

Tauhid

“Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ’Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu kaum berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemudharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yg telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran- lembaran telah kering.’” (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata,” Hadist ini hasan shahih). ☛ ☛ ☛ “Jagalah Allah, maka engkau mendapati-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”(Dalam riwayat selain at-Tirmidzi)

Tes Gannguan Jin Dalam Tubuh

Sesungguhnya syirik itu melenyapkan amalan dan menyebabkan kekal di dalam neraka

Gerakan Sholat Yang Benar

www.loogix.com. Animated gif