“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Hud: 6)
حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ n وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ، قَالَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللهُ مَلَكًا يُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ: اكْتُبْ عَمَلَهُ ورِزْقَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. ثُمَّ يُنْفَخُ فِيْهِ الرُّوْحُ…
Rasulullah n telah menceritakan kepada kami dan beliau adalah orang yang jujur/benar lagi dibenarkan1. Beliau bersabda, “Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya dalam tempo 40 hari. Kemudian 40 hari berikutnya menjadi segumpal darah. Lalu 40 hari berikutnya menjadi segumpal daging. Setelah itu Allah l mengutus malaikat kepada bakal anak manusia tersebut dan diperintahkan kepadanya empat kata. Dikatakan kepada malaikat tersebut, ‘Catatlah amalnya, rezekinya, dan apakah ia orang yang sengsara ataukah orang yang berbahagia.’ Kemudian ditiupkanlah ruh pada janin tersebut….” (HR. al-Bukhari no. 3208 dan Muslim no. 6665)
Ada hamba yang diberi sedikit sesuai dengan keadilan Allah l dan ilmu-Nya. Ada pula yang diberi banyak. Karenanya, ada yang kaya dan ada pula yang miskin dengan berbagai tingkatannya.
Sifat qana’ah ini akan melahirkan sifat iffah, yaitu tidak berambisi mendapatkan apa yang ada di tangan orang lain serta tidak mengeluhkan keadaan yang dialami selain kepada Allah l. (Bahjatun Nazhirin, 1/583)
أُرِيْتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ. قِيْلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang kufur2. Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah mereka kufur kepada Allah?” “Tidak,” jawab beliau, “Mereka kufur kepada suami dan kufur terhadap kebaikan suami. Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang tahun, lalu ia melihat padamu sesuatu (yang tidak disukainya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku belum pernah sama sekali melihat kebaikan darimu’.” (HR. al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
وَيَنْشَأُ نَاشِئُ الْفِتْيَانِ مِنَّا عَلَى مَا كَانَ عَوَّدَهُ أَبُوْهُ
“Tumbuhnya pemuda di kalangan kami adalah di atas apa yang dibiasakan oleh ayahnya.”
Sungguh, banyak suami yang terjatuh dalam kejahatan, berbuat curang, dan menipu karena tuntutan istrinya. Ketika melihat tetangganya memiliki perabot yang bagus dan baru, si istri pun merengek minta yang sama kepada suaminya. “Si Fulanah punya ini dan itu…, masak kita ndak punya?!” Atau mencak-mencak kepada suaminya, “Si Allanah suaminya baik banget. Semua keinginannya dipenuhi. Minta mebel baru, dibelikan. Minta kulkas, dibelikan. Minta ricecooker, dibawain…. sementara kamu pelit banget sama aku! Aku minta ganti perabot baru, nggak pernah dipenuhi!”
Akhirnya, karena uang di tangan tidak mencukupi sementara hati tak enak apabila tidak memenuhi keinginan istri tercinta atau karena takut dengan omelan si istri, sang suami pun menggelapkan uang di kantornya, korupsi, dan sebagainya.
Sebaliknya, dengan memiliki sifat qana’ah, ia akan merasa tenteram dengan pemberian Allah l kepadanya. Sungguh, siapa yang meyakini sabda Rasulullah n dalam hadits Ibnu Mas’ud z di atas, ia akan merasa tenang dan cukup/qana’ah dalam masalah rezeki, disertai dengan menempuh sebab yang bisa menyampaikannya kepada rezekinya. Di samping itu, ia tidak rakus terhadap harta, apatah lagi sampai menjual agama karenanya.
Bila seorang istri ingin memiliki jiwa yang lapang, hendaklah ia berupaya bersifat qana’ah, niscaya ia tidak akan merasa sempit karena dunia. Inilah orang kaya yang sesungguhnya. Rasulullah n bersabda dalam hadits Abu Hurairah z:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kaya hati.” (HR. al-Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 2417)
Rasulullah n juga bersabda dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri z:
وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ
“Siapa yang menampakkan kecukupan niscaya Allah l akan membuatnya kaya.” (HR. al-Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 1745)
Rasulullah n menetapkan keberuntungan bagi orang yang diberikan rezeki secukupnya dan dianugerahkan sifat qana’ah ini. Beliau n bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh beruntung seorang yang berislam, diberi rezeki cukup (tidak berlebih namun sesuai kadar hajatnya dan tidak kurang), dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana’ah dengan apa yang Dia berikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 2423)
Mengapa demikian? Karena rezeki yang pas sekadar hajat akan menjaga dan membentengi seseorang dari kehinaan. Ia tidak perlu meminta-minta kepada manusia sebagaimana orang yang kekurangan. Di samping itu, karena miliknya cuma sebatas kebutuhannya dan keluarganya, ia akan terhalang dari sikap melampaui batas berupa sombong dan takabur, atau berbuat zalim kepada orang yang lemah. Sikap ini biasa dilakukan oleh orang yang kaya-raya, yang beroleh rezeki melimpah ruah melebihi kebutuhannya, namun tidak memiliki takwa.
Tentu keberuntungan hanya akan diraih apabila orang tersebut adalah seorang muslim yang beriman kepada Allah l dan hari akhir. Tidak pernah keberuntungan itu menyertai orang kafir, siapa pun dia.
Rasulullah n dan istri-istri beliau—semoga Allah l meridhai mereka semua—telah memberikan teladan kepada kita dalam masalah qana’ah ini. Hal ini tampak dalam gambaran kehidupan beliau n dan keluarganya yang disebutkan oleh hadits Anas bin Malik z berikut ini. Anas berkata:
رَهَنَ النَّبِيُّ n دِرْعَهُ بِشَعِيْرٍ وَمَشَيْتُ إِلَى النَّبِيِّ n بِخُبْزِ شَعِيْرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ، وَلَقَدْ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: مَا أَصْبَحَ لِآلِ مُحَمَّدٍ صَاعٌ وَلاَ أَمْسَى. وَإِنَّهُمْ لَتِسْعَةُ أَبْيَاتٍ
Nabi n pernah menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan gandum (bahan makanan untuk keluarganya). Aku pernah berjalan menuju Nabi n membawa roti gandum dan lemak cair3. Sungguh aku mendengar beliau n bersabda, “Tidaklah keluarga Muhammad berpagi hari dan tidak pula bersore hari selain dengan satu sha’ makanan.”
Kata Anas, “(Padahal ketika itu) keluarga Rasulullah ada sembilan rumah.”4 (HR. al-Bukhari no. 2508)
Anas z menyebutkan hal ini sebagai isyarat bahwa Rasulullah n menyatakan demikan bukan karena berkeluh kesah. Sungguh jauh beliau n dari yang demikian. Beliau n mengucapkan demikian tidak lain untuk meminta udzur tidak memenuhi undangan si Yahudi dan sebagai alasan beliau menggadaikan baju besinya. (Fathul Bari, 5/175)
Di samping itu, hadits ini memberi pelajaran kepada kita tentang kesabaran Rasulullah n dengan kehidupan yang sekadarnya dan bersifat qana’ah dengan yang sedikit.
Hadits ini juga menunjukkan keutamaan istri-istri beliau dengan kesabaran mereka di atas kesempitan dan kesulitan hidup bersama suami mereka yang mulia, Rasulullah n.
Karena kekurangan yang ada, Rasulullah n tidak sempat menebus baju besi tersebut sampai beliau meninggal dunia, seperti yang diberitakan oleh istri beliau yang thahirah (suci), Aisyah x.
تُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ n وَدِرْعُهُ مَرْهُوْنَةً عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ فِي ثَلاَثِيْنَ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ
“Rasulullah n wafat dalam keadaan baju besi beliau masih tergadai pada seorang Yahudi karena beliau mengambil 30 sha’ gandum.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Istri shalihah yang qana’ah ini pernah pula memberitakan kepada keponakannya, ‘Urwah ibnuz Zubair t:
وَاللهِ يَا ابْنَ أُخْتِيْ، إِنْ كُنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى الْهِلاَلِ ثُمَّ الْهِلاَلِ ثُمَّ الْهِلاَلِ؛ ثَلاَثَةَ أَهِلَّةٍ فِي شَهْرَيْنِ، وَمَا أُوْقِدَ فِي أَبْيَاتِ رَسُوْلِ اللهِ n نَارٌ. قُلْتُ: يَا خَالَةُ، فَمَا كَانَ يُعِيْشُكُمْ؟ قَالَتِ: الْأَسْوَدَانِ؛ التَّمْرُ وَالْمَاءُ، إِلاَّ أَنَّهُ كَانَ لِرَسُوْلِ اللهِ n جِيْرَانٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، وَكاَنَتْ لَهُمْ مَنَايِحُ وَكَانُوْا يُرْسِلُوْنَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ n مِنْ أَلْبَانِهَا فَيُسْقِيْنَا.
“Demi Allah, wahai putra saudara perempuanku! Sungguh kami (istri-istri Rasulullah n) melihat hilal (bulan tanggal satu), kemudian melihat hilal bulan berikutnya, lalu hilal berikutnya lagi (masuk bulan ketiga), tiga hilal dalam dua bulan, dalam keadaan tidak pernah dinyalakan api di rumah-rumah Rasulullah n (untuk memasak makanan).” Urwah bertanya, “Wahai bibi, lalu apa yang menghidupi kalian?” Aisyah menjawab, “Al-Aswadan, yaitu kurma dan air. Hanya saja, Rasulullah n memiliki tetangga-tetangga dari kalangan Anshar. Mereka memiliki kambing atau unta yang biasa dipinjamkan kepada orang lain untuk diambil susunya dan setelahnya dikembalikan lagi kepada mereka. Mereka biasa mengirimkan susu hewan tersebut kepada Rasulullah dan beliau n memberi minum kami dengan susu tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 2567 dan Muslim no. 7378)
Dalam sebuah hadits, Aisyah x juga mengabarkan:
مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ n مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ مِنْ طَعَامِ الْبُرِّ ثَلاَثَ لَيَالٍ تِبَاعًا حَتَّى قُبِضَ
“Sejak datang ke Madinah, keluarga Muhammad tidak pernah memakan roti gandum sampai kenyang selama tiga malam berturut-turut hingga Rasulullah n wafat.” (HR. al-Bukhari no. 5416 dan Muslim no. 7369)
Sabar dengan kekurangan dan kesempitan hidup serta qana’ah dengan yang sedikit. Itulah teladan yang dicontohkan oleh Rasulullah n dan istri-istri beliau.
“Istri-istriku yang ada di sekitarku ini menuntut nafkah kepadaku,” ujar Rasulullah n.
Bangkitlah Abu Bakr z menuju putrinya, Aisyah, lalu memukulnya. Demikian pula Umar z menuju putrinya, Hafshah. Keduanya berkata, “Apakah kamu meminta kepada Nabi n apa yang tidak ada pada beliau?”
Akhirnya, istri-istri Rasulullah n menyadari perbuatan mereka. Mereka berjanji, “Demi Allah, setelah majelis ini kami tidak akan meminta kepada Rasulullah apa yang tidak ada pada beliau.”
Kemudian Allah l turunkan ayat khiyar (tawaran untuk memilih).
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Apabila kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya maka kemarilah, kuberikan kepada kalian mut’ah5 dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik. Namun, jika kalian menghendaki keridhaan Allah dan Rasul-Nya serta negeri akhirat, sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian.” (al-Ahzab: 28—29)
“Apa itu?” tanya Aisyah. Rasulullah n lalu membacakan ayat di atas.
Aisyah x berkata setelah itu, “Apakah dalam urusan yang berhubungan denganmu aku harus bermusyawarah dengan kedua orang tuaku? Aku memilih Allah dan Rasul-Nya.”
Sebagaimana pilihan Aisyah x, demikian pula yang dipilih oleh istri-istri Rasulullah n yang lain, semoga Allah l meridhai mereka semuanya. (HR. al-Bukhari dan Muslim. Lihat ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul, hlm. 184—187)
Istri-istri yang mulia ini memilih hidup dalam kesempitan dan qana’ah dengan yang sedikit, demi beroleh kebaikan di dunia dan kebahagiaan di negeri yang kekal abadi berdampingan dengan suami yang mulia, khalilullah n. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kehidupan mereka….
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Al-Imam an-Nawawi t menyatakan bolehnya memberikan sebutan kufur kepada orang yang mengingkari hak-hak orang lain terhadapnya sebagai bentuk celaan bagi si pelaku, walaupun ia tidak kafir kepada Allah l. (al-Minhaj, 6/213)
4 Karena istri beliau n ketika itu ada sembilan orang, lima dari Quraisy: Aisyah, Hafshah, Ummu Habibah, Saudah, dan Ummu Salamah; empat yang lain adalah Shafiyah bintu Huyai an-Nadhiriyah, Maimunah bintul Harits al-Hilaliyah, Zainab bintu Jahsyin al-Asadiyah, dan Juwairiyah bintul Harits al-Musthaliqiyah. Semoga Allah l meridhai mereka semuanya. (Tafsir Ibni Katsir, 6/244)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar